Secara bahasa Orientalisme berasal dari bahasa latin Oriens yang berarti sesuatu yang
berhubungan dengan terbitnya matahari, arti ini bisa di asosiasikan dengan timur yang
merupakan arah dimana matahari terbit. Secara pengertian cukup beragam, Orientalism dapat
dikatakan sebagai studi yang membahas dan meneliti bahasa, masyarakat dan budaya, dari
timur dekat dan timur jauh (Near and Far Estern).
Menurut Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, di buku (ensiklopedi) tersebut
dapat kita temukan entri kata Orientalism, disana dijelaskan bahwa Orientalism pada awalnya
adalah studi keilmuan yang membahas pada teks-teks dari bahasa-bahasa Asia, Orientalism
muncul di keilmuan Eropa pada abad 18 sampai sekitar abad 20. Salah satu tujuannya adalah
sebagai satu studi kritik filologis terhadap teks-teks karya peradaban Asia, hal ini
dimaksudkan untuk mengungkap sisi esensial bagaimana perabadan Asia terbentuk.
Studi ini tidak hanya terbentuk karena dasar pengambangan keilmuan semata namun juga
karena semangat ini kaum Eropa mempunyai keinginan untuk mempelakari budaya yang
berada di dunia lain (Other World), beberapa hal yang menjadi kajian utama waktu itu adalah
seni, sastra dan musik.
Pengertian Orientalism yang kemudian menjadi bias dan dimaknai secara kuasa wacana
adalah karena kemunculannya berbarengan dengan gerakan kolonialisasi barat pada negara-
negara timur.
Perkembangan Orientalisme
John M. MacKenzie dalam bahwa bukunya Orientalism : History, Theory and the Arts
mengatakan bahwa perkembangan makna Orientalism hingga kemudian menuai makna
negatif adalah tidak lepas dari perkembangan dunia ketiga yang bebas dari jajahan dunia
barat. Independensi tersebut berdampak pada transformasi makna yang menganggap terdapat
perselingkungan antara wacana kaum orientalis dengan kekuasaan barat waktu itu. Jadi
timbulnya makna baru pada studi orientalism merupakan konteks wacana post-kolonial dan
post-nationalist.
Said mengkombinasi dan mengadaptasi dua konstruk teori yang berkembang di abad dua
puluh untuk re-evaluasi makna orientalism. Dia mengambil konsep wacana Michel Foucoult,
dimana aparatus bahasa dengan artikulasi pengetahuan menjadi satu ekspresi dari kekuasaan
(power), wacana tersebut kemudian dihubungkan dengan pemikiran Antonio Gramci tentang
kultural hegemoni dimana para elit mengontrol massa dibawahnya.
Dengan menggunakan kerangka analisa tersebut, Said berhasil mentransformasi makna
Orientalisme dari sebuah studi keilmuan yang dilakukan orang barat menjadi sebuah struktur
pengetahuan yang dibentuk dan digunakan untuk kepentingan ideologi barat. Said kemudian
menggunakan istilah knowledge is power, untuk menyatakan bahwa pengetahuan menjadi
sarana untuk mencapai kekuasaan
Geografi Imajiner Timur Dan Barat
“Geografi Imajinatif” dalam kajian orientalisme dikemukakan oleh Edward W. Said
dalam bukunya yang berjudul Orientalisme. Nampaknya, hanya Edward said lah satu-satunya
orientalis yang membahas tentang hal ini. Penulis sendiri telah mencoba mencari-cari buku
tentang Orientalisme yang di dalamnya membahas tentang hal ini, namun ternyata sulit untuk
ditemukan. Mungkin memang benar, bahwa hanyalah Edward Said yang mengangkat tema
ini dalam kajian Orientalisme. Adapun para peneliti-peneliti ataupun penulis buku
Orientalisme yang lain atau hal-hal yang berkaitan dengannya, yang mengangkat tema ini,
nampaknya hanya mengembangkan atau mengutip pembicaraan Edward. Dan buku-buku
yang mereka tulis itu pun, tidak penulis temukan di perpustakaan universitas. Penulis
sebenarnya ingin membeli buku-buku tersebut di toko buku, namun terhalang oleh
keterbatasan dana.
Dalam materi “geografi imajiner Timur dan Barat” ini, pada intinya hal yang dibicarakan
adalah mengenai eksistensi Timur dan pandangan orang-orang Barat terhadap mereka serta
batas antara penyebutan wilayah Timur dan Barat yang semua ini berdasar pandangan orang-
orang Barat, bukan dari orang timur sendiri. Adapun penjelasan lebih detail akan penulis
kemukakan pada poin-poin berikutnya.