Anda di halaman 1dari 7

KONSEP TAKDIR DALAM PENINGKATAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA

Disusun dalam rangka tugas mata kuliah Ilmu Akidah


Dosen pengampu:
Hudan Ngisa Ansori, M.Pd
Kelas PAI F
Disusun oleh:
Tria Ramadani (201230416)
Fresti Martin (201230131)
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Abstrak: Kata takdir (taqdir) terambil dari kata qaddara yang berasal dari akar kata qadara,
yang antara lain berarti mengukur. Memberi kadar atau ukuran, sehingga jika kita berkata,
"Allah telah menakdirkan demikian, maka im berarti Allah telah memberi kadar atan ukuran
maupun batas tertentu di dalam diri, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Percaya
kepada takdir qada dan qadhar, merupakan aku iman yang ke 6 atau terakhir Beriman kepada
takdir artinya seseorang mempercayai dan meyakini bahwa Allah telah menjadikan segala
makhluk dengan kodrat dan irodatnya dengan segala hikmahnya. Sebagai manusia kita harus
menyakini akan adanya takdir Allah. Dan tugas manusia yang menginginkan perubahan
kondisi dalam menjalani hidup adalah dengan berusaha dan berdoa hanya kepada Allah
SWT. Penulisan artikel ini bertujuan untuk dapat mempelajari dan memahami makna dari
takdir itu sendiri, karna tidak mudah untuk menyakinkan diri sendiri untuk bisa menerima
dan memahami akan takdir serta mengetahui konsep takdir dalam peningkatan mutu sumber
daya manusia.
Kata kunci: Takdir, Qada, Qadar, Sumber Daya Manusia

PENDAHULUAN
Takdir adalah suatu ketetapan akan garis kehidupan seseorang. Setiap orang lahir
lengkap dengan skenario perjalanan kehidupannya dari awal dan akhir. Hal ini dinyatakan
dalam Qur'an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri seorang sudah tertulis dalamdi
Lauhil Mahfudz. Namun pemahaman seperti ini tidak bisa berdiri sendiri, karena dengan
hanya memahami seperti tersebut diatas dapat menyebabkan seseorang bingung untuk
menjalani hidup dan menyikapinya.
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya.
Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya
akan takdimya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan
berfikimya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan
yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan
keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi. Oleh sebab itu sekiranya
manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah
oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya.
Konsep takdir atau nasib telah lama menjadi subjek perdebatan dan refleksi dalam
berbagai budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Dalam banyak kepercayaan dan sistem
kepercayaan, takdir dianggap sebagai kekuatan tak terelakkan yang mengarahkan perjalanan
hidup individu. Namun, dalam konteks peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM),
pertanyaan muncul: bagaimana konsep takdir memengaruhi pemahaman dan upaya individu
dalam mencapai potensinya?
Konsep takdir dalam peningkatan mutu sumber daya manusia adalah isu yang
kompleks. Dalam berbagai konteks budaya, agama, dan individual, takdir dapat menjadi
pemandu, penghalang, atau sumber inspirasi. Memahami bagaimana individu memandang
takdir dan bagaimana konsep ini memengaruhi motivasi dan tindakan mereka adalah kunci
untuk merancang strategi yang efektif dalam membantu mereka mencapai potensi terbaik
mereka. Dengan pendekatan yang seimbang, individu dapat menggabungkan pemahaman
takdir dengan usaha aktif untuk meraih keberhasilan dalam peningkatan mutu SDM.
Individu yang melihat takdir sebagai pemandu yang dapat digarap mungkin lebih
termotivasi untuk menghadapi tantangan dan mencapai potensi maksimal. Mereka mungkin
lebih bersemangat untuk merencanakan langkah-langkah untuk mencapai tujuan mereka
karena mereka percaya bahwa mereka memiliki kendali dalam mewujudkannya. Penting
untuk mencapai keseimbangan antara konsep takdir dan upaya individu dalam peningkatan
mutu SDM. Mereka tidak harus saling bertentangan, tetapi seharusnya saling melengkapi.
Konsep takdir dapat memberikan ketenangan batin dan rasa penghargaan terhadap
ketidakpastian kehidupan, sementara usaha aktif dan perencanaan memberikan kerangka
kerja untuk meraih tujuan.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Takdir
Kata al-qadr (‫ )القدر‬secara bahasa berasal dari kata kerja ‫ قدرا – يقدر– قدر‬yang berarti
kekuasaan, ukuran sesuatu, penentuan, kemuliaan, dan kata takdir yang berakar sama dengan
al-qadr adalah mashdar dari kata ‫ قدرا – يقدر – قدر‬yang berarti penentuan, pengaturan dan
penentuan sesuatu1. Dalam lisan al-Arab, kata al-Qadr dan al-Taqdir mempunyai makna yang
sama yaitu ketentuan Allah, kedua kata ini sering digunakan dalam makna yang sama yaitu
ketentuan Allah. Ulama kenamaan Indonesia M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata
takdir terambil dari kata ‫ قدر‬yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran,
jika anda berkata, Allah telah mentakdirkan demikian, maka itu berarti Allah telah memberi
kadar, ukuran, batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal pada makhluk-
Nya2.
Dalam pengertian sehari-hari, qada berarti keputusan atan ketetapan, sedangkan
qaddar berarti ketentuan atau ukuran Secara rinci pengertian qada adalah ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan Allah sejak zaman azali tentang segala sesuatu yang menyangkut
makhluknya. seperti bulan mengitari matahari, api membakar, nasib baik dan buruk, manfaat
dan malapetaka sukses dan gagal sehat dan sakit dan sebagainya. Sedangkan qadar adalah
perwujudan dari ketentuan-ketentuan Allah telah ada sejak zaman azali. Kepercayaan kepada
qada dan gadhar Allah secara ringkasnya menyatakan, bahwa segala sesuatu yang terjadi di
alam ini, termasuk juga yang terjadi pada duri manusia, baik dan buruk, semuanya tidaklah
terlepas dari takdir atan ketentuan ilahi. Semuanya yaitu alam benda-benda atau masyarakat
manusia, dikuasai oleh suatu Inkum yang pasti dan tetap, juga tidak tunduk kepada kemanan
manusia. Bukti adanya takdir tulan ini dapat dilihat pada diri manusia sendiri, sejak lahir
sampai mati.
Untuk lebih memperdalam lagi pemahaman tentang takdir, berikut ini beberapa
pengertian takdir menurut ulama.
1. Al-Jurjaniy
Al-Qadr adalah keterkaitan kehendak Tuhan dengan segala keadaan baik itu masalah
waktu, keadaan zaman tertentu3.
2. Ibn Manzhur
Qadha dan qadar adalah muwaffiq (mempunyai pengertian sama) dikatakan Tuhanlah
yang menentukan (dan bisa juga berarti) apabila sesuatu itu sesuai dengan sesuatu (artinya
akan terjadi sesuai dengan kadar ketentuannya)4.
3. Abu Hanifah

1
Mustafa, Al-Ziyad, al-Mu’jam al-Wassith, al-Maktabah al-Islamiyah, (1932), hlm. 718.
2
Shihab, Wawasan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Mizan, 1997)
hlm. 61.
3
Ali ibn Muhammad al Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, Jeddah Haramain, tth, hlm. 174.
4
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth, hlm. 22.
Qadar adalah penentuan sesuatu dengan martabatnya yang akan diperoleh berupa
kebaikan dan kejahatan, manfaat dan mudharat yang meliputi setiap ruang dan waktu,
termasuk penentuan, ganjaran dan hukuman5.
Dari beberapa definisi di atas, ada dua pendapat yang bisa kita ambil. Pertama,
bahwa takdir adalah sesuatu ketentuan yang sudah ditakdirkan Allah sejak azali berlaku bagi
semua makhluk ciptaan-Nya. Termasuk apa yang akan didapat dan tidak akan bisa dirubah
berupa kebaikan, kejahatan, pahala dan siksaan. Kedua, pemahaman tentang takdir lebih
mengarah kepada adanya usaha manusia untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang
menjadikannya sebab akibat berlakunya takdir itu.
Dari sekian banyak ayat Al-qur'an di pahami bahwa semua makluk telah di tetapkan
takdirnya oleh Allah SWT. Menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya
mereka tuju begitu di pahami antara lain dari ayat-ayat permulaan surat Al-A'la yang
memiliki arti "Sucikanlah nama Tuhanmu yang maha tinggi, yang menciptakan semua
mahluk dan menyempurnakan-Nya, yang memberi takdir kemudian mengarahkan-Nya" (Qs.
Al-A'la: 1-3).
Juga di tegaskan pula dalam surat Yasin yang artinya: "Dan matahari berada di tempat
peredarannya. Demikian itulah takdir yang di tentukan oleh Allah yang maha perkasa lagi
maha mengetahui." (Qs. Yasin: 38).
Percaya kepada takdir qada dan qadhar, merupakan rukun iman yang ke 6 atau
terakhir. Beriman kepada takdir artinya seseorang mempercayai dan meyakini bahwa Allah
telah menjadikan segala makhluk dengan kodrat dan irodatnya dengan segala hikmahnya6.
Adapun takdir sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua macam
yaitu:
1. Takdir Muallaq, yaitu takdir yang masih digantungkan pada ikhtiar atau usaha
manusia. Dalam takdir muallaq ini, Allah telah menetapkan sesuatu hal, dan hal
tersebut dapat diubah sesuai dengan usaha yang ditempuh oleh manusia. Contohnya:
seseorang kaya dan pintar berarti orang tersebut harus melalui proses usaha untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam
surah An-Najm ayat 40.
‫َو َاَّن َس ۡع َيٗه َس ۡو َف ُيٰر ى‬
Artinya: “Dan bahwasannya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).” (Qs.
An-Najm: 40)
5
Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit, Syarah Kitab al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, (tth),
hlm. 22.
6
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 136.
2. Takdir Mubram, yaitu takdir yang sudah tidak bisa diubah oleh manusia, meskipun
dengan usaha apapun. Dalam takdir mubram ini, Allah telah menetapkan suatu hal,
dan hal tersebut tidak dapat diubah, meskipun manusia telah melakukan usaha
maksimal. Contohnya: Kematian. Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 34 telah
menjelaskan bahwa ajal atau kematian tidak akan dapat ditunda.
‫َو ِلُك ِّل ُاَّمٍة َاَج ٌل ۚ َفِاَذ ا َج ٓاَء َاَج ُلُهۡم اَل َيۡس َتۡا ِخ ُر ۡو َن َس اَع ًة َّو اَل َيۡس َتۡق ِدُم ۡو َن‬
Artinya: “Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba,
mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (Qs. Al-A’raf:
34).

B. Konsep Takdir Dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia


Manusia adalah makhluk yang ada (maujud), diberi alat kelengkapan yang disebut
akal, dan dengan berbagai alat kelengkapan lainnya, sehingga ia mempunyai kehendak untuk
melakukan perbuatannya, hal ini dapat kita kaitkan dalam meningkatkan Sumber Daya
Manusia (SDM)7. Kepercayaan kepada qada' dan qadar bukanlah berarti bahwa, ikhtiar dan
tanggung jawab manusia dihapuskan, Manusia telah dianugrahi kesanggupan berusaha dan
ikhtiar, dan karena itu kepadanya pula dibebani tanggung jawab dalam amal perbuatannya 8.
Pernyataan Muhammad Sholeh yang mengambil bahan dari pendapat Al-Baijun,
menunjukkan bahwa semua makhluk, termasuk manusia tidak dapat memiliki kekuasaan
apapun. Sebab semuanya telah diciptakan oleh Allah, dan orang dapat berbuat baik karena
anugrah Allah. Namun manusia tidak boleh menggantungkan atas pertolongan Allah semata,
karena Allah dan Rosul-Nya tidak mengajarkan yang demikian.
Pernyataan tersebut secara tegas menolak terhadap manusia yang hanya pasrah
menggntungkan ketentuan Allah, namun dengan pernyataan itu pula berarti memberikan
dorongan kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang disebut kasb (perbuatan),
sebagaimana kaum Asy'ariyah lainnya bahwa semua makhluk tidak mampu menciptakan
perbuatan kecuali hanya dengan kasb beserta ikhtiyar9.
Kaitan dengan peningkatan mutu sumber daya manusia, takdir adalah pengetahuan
sempurna yang dimiliki Allah tentang seluruh kejadian masa lalu atau masa depan.
Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah dapat mengetahui peristiwa yang

7
H. Ghazali Munir, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih as-
Samarani, (Semarang: RaSAIL, 2008), hlm. 130.
8
Hamzah ya’qub, Ilmu Ma’rifat: Sumber Kekuatan dan ketenangan dan ketentraman Bhatin, hlm. 141.
9
H. Ghazali Munir, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih as-
Samarani, (Semarang: RaSAIL, 2008), hlm. 133.
belum terjadi, dan ini membuat mereka gagal memahami kebenaran takdir. "Kejadian yang
belum terjadi” hanya belum dialami oleh manusia. Allah tidak terikat ruang ataupun waktu,
karena Dialah pencipta keduanya. Oleh sebab itu, masa lalu, masa mendatang, dan sekarang,
seluruhnya sama bagi Allah; bagi-Nya segala sesuatu telah berjalan dan telah selesai.
Untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, sudah seharusnya lah kita selalu
berusaha dan berdo'a, dan jangan hanya mengandalkan do'a saja ataupun cuma hanya
berusaha saja. Antara usaha dan do'a haruslah seimbang, tanpa keduanya tak ada artinya.
Ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna atau
berlaku begitu pula sebaliknya.
Manusia melaksanakan kasb (bekerja) kaitannya dengan peningkatan SDM dalam
rangka untuk dapat menghasilkan harta benda (mal). Karena harta itu untuk menjaga
kelangsungan ruh dalam badan dan harta adalah merupakan tempat lahirnya ni'mat dan
rahmat Allah. Maka dinyatakannya tidak sempurna iman dan Islam seseorang kecuali dengan
harta agar dapat melaksanakan infaq, zakat dan shodaqoh, yang semua itu dengan harta dan
demikianlah yang bermanfaat10
Jadi, konsep takdir dalam meningkatkan SDM berarti bahwa kita sebagai manusia
haruslah tetap berusaha ini karena manusia dianugerahi akal oleh Allah untuk melaksanakan
kasab dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia tetapi tidak hanya pasrah
menggantungkan ketentuan (takdir) Allah sehingga mendapatkan kesempurnaan iman kita.

KESIMPULAN
Kata takdir (taqdir) terambil dari kata qaddara yang berasal dari akar kata qadara,
yang antara lain berarti mengukur. Takdir adalah sesuatu ketentuan yang sudah ditakdirkan
Allah sejak azali berlaku bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Termasuk apa yang akan
didapat dan tidak akan bisa dirubah berupa kebaikan, kejahatan, pahala dan siksaan.
Pemahaman tentang takdir lebih mengarah kepada adanya usaha manusia untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan yang menjadikannya sebab akibat berlakunya takdir itu
Takdir dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua yaitu takdir muallaq dan takdir mubram,
takdir muallaq adalah yaitu takdir yang masih digantungkan pada ikhtiar atau usaha manusia
sedangkan takdir mubram adalah yaitu takdir yang sudah tidak bisa diubah oleh manusia,
meskipun dengan usaha apapun.

10
H. Ghazali Munir, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih as-
Samarani, (Semarang: RaSAIL, 2008), hlm. 138-139.
Dengan memahami konsep takdir maka kita dapat menarik kesimpulan yaitu sebagai
manusia kita harus meyakini adanya takdir Allah. Dan tugas manusia adalah berusaha dan
berdoa. Doa dan usaha haruslah seimbang. Tanpa keduanya semua tidak ada artinya. Jika
tidak ada ikhtiar dari manusia maka takdir menjadi tidak bermakna. Begitu sebaliknya jika
tidak ada takdir maka ikhtiar manusia akan sia-sia.

DAFTAR RUJUKAN
Mustafa, Al-Ziyad, al-Mu’jam al-Wassith, al-Maktabah al-Islamiyah, (1932), hlm. 718.
Shihab, Wawasan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Mizan, 1997) hlm. 61.
Ali ibn Muhammad al Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, Jeddah Haramain, tth, hlm. 174.
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth, hlm. 22.
Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit, Syarah Kitab al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, (tth), hlm. 22.

Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 136.
H. Ghazali Munir, Tuhan, Manusia dan Alam dalam Pemikiran Kalam Muhammad Shalih
as-Samarani, (Semarang: RaSAIL, 2008), hlm. 130, 133 dan 138-139.
Hamzah ya’qub, Ilmu Ma’rifat: Sumber Kekuatan dan ketenangan dan ketentraman Bhatin,
hlm. 141.

Anda mungkin juga menyukai