Anda di halaman 1dari 16

ALQUR'AN DAN LANGGAM BACAAN:KONTROVERSI

BACAAN SELAIN LANGGAM YANG DISEPAKATI1


Oleh: Fahrurrozi2

ABSTRAK

Q.S.al-Alaq menegaskan bahwa proses pewahyuan terhadap


Muhammad SAW adalah starting point pengetahuan, karena
bagaimanapun proses pewahyuan dimulai dengan perintah: iqra
'(bacalah!). Pembacaan adalah sebuah proses pengajaran, sehingga
setelahnya muncul dua pilar yang merupakan bagian dari pengetahuan.
Yang pertama: bahwa wujud yang berada di luar kesadaran manusia
terbentuk dari tanda-tanda yang saling berhubungan sebagiannya
dengan sebagian yang lain. Kedua: adalah kesadaran manusia
terhadap tanda-tanda ini tidak mungkin bisa sempurna kecuali dengan
at-taqlim, yaitu pembedaan sebagian dari tanda ini dengan sebagian
yang lain. Alat-alat indera adalah instrument-instrument material untuk
perbedaan indekatif secara lansung.
Firman Allah itu nirhuruf dan suara (kalam Allah laisa bi harfin wa lâ
shautin). Arab hanyalah locus budaya bagi al-Qur'an yang niscaya
dipilih Allah karena Islam turun di sana. Namun, Islam tidaklah
diperuntukkan untuk orang Arab saja, melainkan bagi siapapun dengan
anekalatar budaya berbeda. Lalu, kenapa bersikeras memenjarakan al-
Qur'an dalam langgam baca budaya tertentu seraya menista meraka
yang hendak menikmatinya dengan langgam lain? Pernyataan di atas
memberikan ruang dialog yang sangat luas terhadap eksistensi bacaan
langgam Alquran yang selama ini digunakan. Selama ini Langgam
Qiroah yang terdengar di kalangan kaum muslimin "seolah-olah"
langgam Arab yang sangat Shoheh dengan segala dimensinya, padahal
langgam-langgam tersebut bukanlah langgam bahasa Arab melainkan
bahasa 'Ajam/ Persia.
Menelitik fenomena tersebut, menarik untuk mendialogkan sisi
lain dari Bacaan langgam yang disepakati dengan langgam yang
dianggap "aneh" karena kalam Suci (baca: al-Qur'an) yang diletakkan
dalam dimensi budaya masyarakat, dapat mencedrai kesucian kalam
Allah tersebut.

Kata Kunci: Qiro'ah, Langgam, Budaya, Bahasa,


Interaksi, Arab, Persia, Suara, Tajwid.

1
Materi mentah sebagai pengantar diskusi rutin di Majelis Qur'anic Centre (QC) IAIN
Mataram Rabu Tanggal 17 Juni 2015 di Ruang QC IAIN Mataram.
2
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram dan Dosen Pascasarjana IAIN
Mataram.

1
PENDAHULUAN

Belakangan ini penggunaan langgam Jawa dalam tilawah masih


menjadi perdebatan. Seperti lantunan ayat suci Al-Quran yang
dibacakan qori Muhammad Yasser Arafat di Istana Negara pada Jumat
(15-5-2015) Qori Yasser Arafat saat itu membaca Surah An Najm ayat
1-15 dengan langgam Jawa dalam acara peringatan Isra Miraj di Istana
Negara, dan fenomena bacaan al-qur'an dengan langgam Sasak pada
acara launching buku biografi Tokoh NTB Lalu Mujtahid yang diawali
dengan bacaan al-Qur'an dengan langgam Sasak yang dibacakan oleh
Ust Saprianto mendapatkan tanggapan yang beragam di kalangan
masyarakat Islam.
Mengamati fenomena tersebut, posisi kajian tafsir sedang
mendapatkan posisi yang sangat strategis untuk didialogkan sesuai
dengan ilmu pengetahuan yang senantiasa memperbaharui teori dan
analisa seiring perkembangan zaman dan berlansung terus menerus
sesuai dengan kemajuan zaman. Sampai saat ini ilmu pengetahuan
masih dalam keadaan antara kurang dan lengkap, antara samar dan
jelas, antara keliru dan mendekati kebenaran, tapi al-Qur'an memuat
prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan dan peradaban. Dengan begitu,
al-Qur'an tidak dapat dikatakan sebagai buku ilmiah atau ensiklopedi
ilmu, tetapi ia lebih layak disebut sebagai sumber yang memberikan
motivasi dan inspirasi untuk melahirkan ilmu pengetahuan dengan
berbagai dimensinya, termasuk di dalamnya dimensi bacaan alquran
dalam langgam penutur budaya3
Melihat al-qalam dalam pengertian metaforis sebagai alat-alat
tulis terhadap abjad. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita menulis
surat dengan tinta putih pada kertas yang putih. Karena terhadap yang
demikian itu mata tidak bisa membedakannya. Akan tetapi jika
misalnya menulis diwarnai hijau pada kertas putih, ini adalah

3
M.Darwis Hude, Dkk, Cakrawala..h.4.

2
pembedaan pertama, lalu di sana ada pembedaan yang kedua, yaitu
terhadap huruf-huruf sehingga kita bisa menyimbolkan suara nun
dengan huruf nun, suara lam dengan simbol huruf lam. Disebabkan
karena ''nun' dan ''lam'' adalah dua huruf yang berbeda satu dengan
yang lainnya. Kemudian kita menyimbolkan keduanya dengan dua
simbol yang berbeda untuk membedakan perbedaan.4
Disebabkan karena dasar-dasar pengetahuan manusia adalah
kemampuan untuk membedakan pembedaan (qalam), yang pada
persepsi fua'adi mata berfungsi untuk membedakan warna, dimensi
bentuk yang menjadi kapasitasnya. Sedangkan telinga berfungsi untuk
membedakan suara sesuai dengan kapasitasnya pendengaran.5
Demikian juga indera-indera yang lain, lalu setelah itu muncul pikiran
abstrak dan pengetahuan mengenai hubungan abstrak antara sebagian
dengan sebagian yang lain, yang pertama kali adalah melalui media
bahasa lalu selanjutnya melalui media bahasa yang sifatnya abstrak,
bilangan dan symbol. 6
al-Qur'an menginformasikan bahwa salah satu media untuk
mengadakan pembedaan yang sangat berperan dalam bahasa abstrak
manusia adalah suara ''nun''. Yang demikian itu terdapat dalam
firmannya'' nun, demi al-qalam dan apa yang mereka tuliskan (Q.S.al-
Qalam: 1). Kita bisa melihat di dalam bahasa Arab, bentuk umum yang
merujuk kepada sesuatu yang berakal ataupun tidak berakal adalah
bentuk mim (ma) Q.S.an-Nahl: 49,'' dan kepada Allahlah apa (ma)
yang di langit dan apa (ma) yang di bumi bersujud. Lalu digunakanlah
''nun'' guna membedakan yang khusus untuk yang berakal yaitu
dengan kata ''man'' (Q.S.AL-Ra'd:15) ''dan kepada Allahlah siapa yang
(man) di langit dan siapa (man) di bumi bersujud baik dengan tunduk

4
M.Syahrur, al-kitab wa al-Qur'an: Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar
Epistimologi Qur'ani, terj. M.Firdaus, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2004), cet.1.
h.150. Buku ini diterjemahkan dari bab kedua buku; M.Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an:Qira'ah
Mu'ashirah, (Damaskus: al-Ahali li Thiba'ah wa al-Nashr wa al-Tauzi',1991).
5
Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001) h. 23.

6
M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab... h.151.

3
atau terpaksa. Ma (huruf mim) adalah bentuk umum (sighah 'ammah)
yang telah digunakan secara historis. Sedangkan man adalah bentuk
khusus (sighah khassah) untuk yang berakal, yang muncul setelah ma
yang di dalamnya digunakan suara nun (ma-n). demikian juga nun
memainkan peran dalam membedakan antara laki-laki dengan
perempuan. Yang demikian itu adalah pada nun an-niswah (nun yang
digunakan untuk menunjukkan jamak perempuan). Antum adalah
bentuk umum untuk laki-laki dan perempuan yang muncul sejak awal.
Sedangkan antunna adalah bentuk kalimat yang khusus untuk
perempuan. Artinya bahwa mim al-jamâ'ah mendahului nun al-niswah
dalam penggunaan secara historis.7
Dengan demikian bahwa suara nun dalam konteks historisnya
mempunyai peran sangat besar untuk memberikan pembedaan ( al-
taqlim). Oleh sebab itulah suara nun diikuti dengan firman-Nya'' demi
al-qalam''. Dengan penambahan al-taqlim (pembedaan), maka
bertambahlah suara susunan dari segala dan inilah yang dinamakan
attashthir (pengkomposisian). Oleh sebab itulah dilanjutkan dengan
''wa ma yasthurun''. Yasthurûn muncul dari kata sathara yang dalam
bahasa Arab mempunyai asal yang mandiri, yang menunjuk kepada
makna keteraturan sesuatu (classification) atau dengan istilah Arab (al-
tashnif). Artinya bahwa al-qalam adalah membedakan sebagian dari
sesuatu dengan sebagian yang lain. Inilah yang diistilahkan dengan
identification. Lalu diikuti dengan menyusun segala sesuatu sesuai
dengan tempatnya, inilah yang dinamakan at-tashthir. Dari kata
sathara juga muncul kata al-usthurah (mitos) yaitu menyusun sebagian
dari segala sesuatu yang salah dengan sebagian yang lain, untuk
menghasilkan sebuah cerita. Oleh sebab itu dinamakan usthurah.
Suara nun bisa menambahkan pembedakan beberapa hal dari sebagian
yang lain, di samping juga menambahkan pembedaan ( al-taqlim) yang

7
Muhammad al-Damiry, al-Shihâfah fi Dhau'i al-Islâm, (Madinah: Maktabah al-
Islamiyah, 1403 H), cet. 1. h. 65.

4
membawa kepada adanya al-tashnif (penyusunan). Inilah yang
dikehendaki oleh Q.S. al-qalam: 1-2).8
Dalam konteks pemaknaan suara Nun tersebut menunjukkan
begitu pentingnya suara bacaan al-Qur'an, yang semestinya harus
dibaca sesuai dengan Lisan Arabiyyin Mubiin (dengan bahasa Arab
yang Jelas).
Lantas bagaimana jika al-qur'an dibaca dengan langgam bi lisaan
sasakiyyin mubiin wa jawiiyin mubin?

SEJARAH LANGGAM BACAAN DALAM AL-QUR'AN

Keberadaan ilmu nagham, tidak sekedar realisasi dari firman


Allah dalam suroh Al-Muzzammil ayat 4,”Bacalah Al Quran itu secara
tartil”, akan tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang memiliki
cipta, rasa, dan karsa. Rasa yang melahirkan seni (termasuk nagham)
merupakan bagian integral kehidupan manusia yang didorong oleh
adanya daya kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu sendiri timbul
karena didorong oleh karsa rohaniah dan pikiran manusia.
Seni baca Al Qur’an ialah bacaan Al Qur’an yang bertajwid
diperindah oleh irama dan lagu. al-Quran tidak lepas dari lagu. Di
dalam melagukan al-Quran atau taghonni dalam membaca al-Qur’an
akan lebih indah bila diwarnai dengan macam-macam lagu. Untuk
melagukan al-Quran, para ahli qurro di Indonesia membagi lagu atas 7
(tujuh) macam bagian. Antara lain sebagai berikut: Bayati, Shoba,
Hijaz, Nahawand, Rost, Jiharka, Syika.
Nagham merupakan salah satu dari sekian ekspresi seni yang
menjadi bagian integral hidup manusia. Bahkan nagham ini telah
tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur menyatakan bahwa ada dua teori
tentang asal mula munculnya nagham al-Quran. Pertama, nagham al-
Quran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua,

8
M.SYahrur, al-Qur'an wa al-Kitab…h. 207.

5
nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi
tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al
Quran berasal dari khazanah tradisional Arab (tentu saja berbau
padang pasir). Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Al
Quran idealnya bernuansa irama Arab. Sehingga apa yang pernah
ditawarkan Mukti Ali dalam sebuah kesempatan pertemuan ilmiah
tentang pribumisasi lagu-lagu al-Quran (misalnya menggunakan
langgam es lilin dan dandang gulo) tidak dapat diterima. Pada Masa
akhir ini sesuai dengan perkembangan maka melalui teori konvergensi
asal bersesuaian dengan nahgam Arab klasik.
Meski kedua teori tersebut hampir benar adanya tapi tetap saja
muncul permasalahan. Jika memang benar nagham al-Quran berasal
dari seni Arab lalu siapakah yang pertama kali mengkonversikannya
untuk lagu al-Quran? Sampai di sini ketidakjelasan. Dan lagi, jika
memang benar nagham al-Quran berasal dari nyanyian tentu dapat
direpresentasikan dalam not balok atau oktaf tangga nada. Tapi
kenyataannya tidaklah demikian, nagham al-Quran sangat sulit
ditransfer ke dalam notasi angka atau nada. Dan karena sifat
eksklusifisme inilah kemudian yang “memaksa” bahwa metode sima’i,
talaqqi, dan musyahafah merupakan satu-satunya cara dalam
mentransmisikan lagu-lagu al-Quran.
Pada zamannya, Rasulullah SAW adalah seorang qari’ yang
membaca al-Quran dengan suara indah dan merdu. Abdullah bin
Mughaffal pernah mengilustrsikan suara Rasulullah dengan
terperanjatnya unta yang ditunggangi Nabi ketika Nabi melantunkan
surah al-Fath. Para sahabat juga memiliki minta yang besar terhadap
ilmu nagham ini. Sejarah mencatat sejumlah sahabat yang berpredikat
sebagai qari’, di antaranya adalah: Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abu Musa
Al Asy’ari. Pada periode tabi’in, tercatat Umar bin Abdul Aziz dan Safir
Al Lusi sebagai qari’ kenamaan. Sedangkan periode tabi’ tabi’in dikenal
nama Abdullah bin Ali bin Abdillah Al Baghdadi dan Khalid bin Usman
bin Abdurrahman.

6
Kendati di masa awal Islam sudah tumbuh lagu-lagu al-Quran,
namun perkembangannya tak bisa dilacak karena tak ada bukti yang
dapat dikaji. Hal ini dimungkinkan karena pada saat itu belum ada alat
perekam suara. Transformasi seni baca al-Quran berlangsung secara
sederhana dan turun temurun dari generasi ke generasi. Sejarah juga
tak mencatat perkembangan pasca tabi’in. Apresiasi terhadap seni al-
Quran semakin tenggelam seiring dengan semakin maraknya umat
Islam melakukan olah akal (berfilsafat), olah batin (tasawwuf), dan
olah laku ibadah (fiqh). Selain itu, barangkali ini yang paling mendasar
bahwa dibutuhkan kemampuan khusus untuk masuk dalam kualifikasi
qari’, terumata menyangkut modal suara. Modal ini lebih merupakan
hak perogratif Allah untuk diberikan kepada yang dikehendaki-Nya.
Pada abad ke-20, kedua model lagu tersebut masuk ke
Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut dilakukan oleh ulama-ulama
yang mengkaji ilmu-ilmu agama di sana yang pulang ke tanah air untuk
mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca al-Quran. Lagu Makkawi
sangat digandrungi di awal perkembangannya di Indonesia karena
liriknya yang sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi
mewujud dalam barzanji. Beberapa qari’ yang menjadi eksponen aliran
ini adalah: KH Arwani, KH Sya’roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH
Damanhuri, KH Saleh Ma’mun, KH Muntaha, dan KH Azra’i Abdurrauf.
Memasuki paruh abad 20, seiring dengan eksebisi qari’ Mesir ke
Indonesia, mulai marak berkembangan lagu model Mishri. Pada tahun
60-an pemerintah Mesir mensuplai sejumlah maestro qari’ seperti
Syeikh Abdul Basith Abdus Somad, Syeikh Musthofa Ismail, Syeikh
Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syeikh Abdul Qadir Abdul Azim. Animo
dan atensi umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Mishri demikian
tinggi. Hal ini disebabkan karakter lagu Mishri yang lebih dinamis dan
merdu. Keadaan ini cocok dengan kondisi alam Indonesia. Sejumlah
qari’ yang menjadi elaboran lagu Mishri adalah : KH Bashori Alwi, KH
Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma’mun, KH Muhammad
Assiry, dan KH Ahmad Syahid.

7
Seni baca Al-Quran baru menampakkan geliatnya pada awal
abad 20 M yang berpusat di Makkah dan Madinah serta di Indonesia
sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif
mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk nagham) sejak awal 19 M.
Hingga hari ini Makkah dan Mesir merupakan kiblat nagham dunia.
Masing-masing kiblat memiliki karakteristik tersendiri. Dalam makkawi
dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, rakby, Jiharkah, Sikah, dan
Dukkah. Sementara pada Misri terdapat Bayyati, Hijaz, Shoba, Rashd,
Jiharkah, Sikah, dan Nahawand.
Nagham Yang sangat sering ditampilkan Qari /Qari’ah dimasa
kini: 1. Nagham bayati yang terdiri dari bayati qoror, bayati nawa,
bayati jawab, bayati jawabul jawab. 2. Nagham shaba yang terdiri dari
shoba Asli, shoba jawab, shoba ajami salalim su’ud, shoba ajami
salalim nuzul. Shoba bastanjar. 3. nagham Hijaz yang terdiri dari hijaz
asli, hijas kard, hijaz kard-kurd, hijaz kur. 4.Nagham nahawand yang
terdiri nahawand asli , nahawand usysyaq. 5. Naghan sikka yang terdiri
diri sikka asli,sikka ramal, sikka misri, sikka turk. 6. Naghan ras yang
terdiri dari ras asli, ras alan nawa, ras syabir.
Nagham ini bisa dikembangkan dengan bermacam variasi, yang
dikembangkan dengan banyak mendengarkan bacaan Syaiekh
Mustofha Ismail, Syeikh Mustofha Ghalwas dan lainnya dan juga
dengan banyak mendengarkan lagu-lagu padang pasir dari sumber
aslinya, seperti lagu-lagu Ummi Kulsum, Muhammad Abdul Wahhad
dan lainnya. Kita dapat mengembangkan sendiri dan bisa juga dengan
memasukkan irama lainnya yang munasabah (sesuai).

PRO-KONTRA LANGGAM BACAAN DI LUAR LANGGAM YANG


DIKENAL.

8
Pro-kontra di kalangan ummat Islam seputar Langgam bacaan di luar
yang tersepakati saat ini, dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok:9

Pertama: Yang Tidak Membolehkan.

Qari’ internasional, Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar berpendapat


mengenai qira’at dengan Langgam Jawa tersebut.

Syeikh Ali Bashfar memberikan kritik dan catatan terkait video muratal
dengan lagu Dandanggulo macapat Jawa tersebut yang dibacakan oleh
Muhammad Yaser Arafat.

• Kesalahan tajwid; dimana panjang mad-nya dipaksakan


mengikuti kebutuhan lagu.
• Kesalahan lahjah (logat). Membaca Al-Qur’an sangat dianjurkan
menggunakan lahjah Arab, sebagaimana orang Arab
membacanya. Dalam hadist disebutkan: “Iqra’ul qur’aana
biluhuunil ‘Arobi wa ashwaatiha”.
• Kesalahan takalluf, yakni memaksakan untuk meniru lagu yang
tidak lazim dalam membaca Al-Qur’an.
• Yang cukup berbahaya jika ada kesalahan niat, yaitu merasa
perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan atau
kebangsaan dalam berinteraksi dengan al Qur’an, membangun
sikap ashabiyyah dalam ber-Islam.
• Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan
ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang
dalam suku Jawa.10

TGB.M.Zainul Majdi, Doktor Tafsir al-qur'an berpendapat bahwa al-


Qur'an itu posisinya sangat terhormat, tidak seperti kalam apapun. Di
Zaman Rasulullah SAW sendiri tidak ada langgam yang aneh-aneh. al-
Qur'an memiliki Langgam khusus yang tidak dibuat-buat. Orang Jawa
atau orang Sasak sendiri ketika membaca al-Qur'an pasti secara alami
akan sedikit mengikuti dialek Jawa atau Sasak. Namun hal itu jelas
berbeda ketika pembacaan al-Qur'an sengaja dibuat ke dalam langgam
Jawa atau Sasak, sehingga menimbulkan kesamaran, apakah yang

9
Lihat di website tentang langgam bacaan Jawa atau Nusantaran pada berikut ini: »
Soal Bacaan Qur’an Dengan Langgam Jawa, NU Garis Lurus Kecam Keras Menag
http://www.nugarislurus.com/2015/05/soal-bacaan-quran-dengan-langgam-jawa-nu-garis-
lurus-kecam-keras-menag.html#ixzz3bP8j42GL NUGarisLurus;Menag minta masyarakat tak
saling salahkan soal tilawah langgam Jawa Ketum PBNU: Tilawah langgam Jawa boleh asal
tidak mengurangi tajwid Menteri Agama pastikan baca Alquran berlanggam Jawa atas izin
ulama PKS nilai baca Alquran berlanggam Jawa tak masalah Intelektual NU: Tak ada dalil
baca Alquran wajib berlanggam Arab Habib Rizieq: Jokowi dan menteri agama, tobat atau
lengser! 'Tilawah Alquran langgam Jawa sah selama hukum bacaannya benar.

10
Seperti dikutip dari Fimadani, Ahad (17/05),

9
mereka (masyarakat) dengar ini al-Qur'an atau tembang-tembang
hiburan yang diciptakan manusia.11

Menurut Gubernur NTB ini, penggunaan langgam Sasak tidak hanya


masalah tajwid. karena kalau masalah tajwid mungkin bisa disesuai-
sesuaikan serapi mungkin, bacaan tidak akan benar seutuhnya. Zainul
Majdi meyakini bahwa dengan tidak membaca al-Qur'an dengan
Langgam Sasak, Maka tidak pula mengurangi kuatnya penghayatan
Islam masyarakat.

Majelis Ulama Indonesia yang diwakili oleh Wakil Sekretariat Majelis


Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen mengungkapkan membaca
Alquran dengan menggunakan langgam Jawa di Istana Negara, telah
mempermalukan Indonesia di kancah internasional. Tengku merasa
banyak kesalahan, baik dari segi tajwid, fashohah, dan lagunya.

Menurutnya, pembacaan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan


langgam Jawa adalah hal konyol. Dalam Alquran sudah dijelaskan kitab
suci itu diturunkan dengan huruf dan bahasa Arab asli. Jadi
membacanya juga mesti sesuai pada saat Alquran diturunkan ke bumi.
“Ibadah itu sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya. Dalam Alquran
dijelaskan bahwa Alquran itu diturunkan dalam lisan Arab asli. Nabi
juga mengatakan Alquran untuk dialek Quraisy, jadi membacanya
harus dengan cara bagaimana Alquran itu diturunkan.12 Selain itu,
Tengku menambahkan, lagu untuk pembacaan Alquran sendiri sudah
disepakati para Qurra yang ada di dunia. “Lagunya yang sudah
disepakati para Qurra’ tingkat dunia adalah lagu standar yang selama
ini ada yakni husaini bayati, hijaz, shoba, nahqand, rast, sikkah,
jaharkah atau Ajami. Dia juga menilai akan lahir keanehan jika Alquran
dibaca dengan menggunakan langgam tertentu seperti lagu Cina,
Batak, seriosa, Indian, Jawa, Sunda, dan lainnya. “Hal itu tentu akan
merusak keindahan Alquran sendiri. Bayangkan lah jika lagu Jawa
dinyanyikan pakai cara seriosa, maka penciptanya akan protes dan
keindahannya hilang.

Hartono Ahmad Jaiz berpendapat, Pembacaan Al-Qur’an yang


biasanya dilantunkan sesuai dengan kaidah Islam baik dari segi tajwid
dan tatacaranya, namun dalam peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana
Negara itu dilantunkan dengan lagu Dandang Gulo, salah satu tembang
alias nyanyian dalam Langgam Jawa. Masalah membaca Al-Qur’an
dengan lagu Jawa Dadandanggulo dan sebagainya. Jenis lagu
Dandanggulo itu dari segi makna kurang lebih adalah angan-angan
manis. Lagu dalam langgam Jawa itu punya cengkok naik turunnnya
nada dan panjang pendeknya, jumlah bait syairnya serta jumlah suku

11
Zainul Majdi, Larang baca Al-qur'an Langgan Sasak, Radar Lombok edisi Senin 15
Juni 2015. keterangan ini disampaikan di saat Launching Buku Biografi Lalu Mudjitahid yang
diawali dengan pembacaan kalam Ilahi oleh Ustaz Saprianto dengan Langgam Sasak.
12
Republika Edisi Ahad 17-5-2015 tentang bacaan langgam Jawa.

10
kata dan qafiyahnya, bunyi-bunyi di akhir bait. Bahkan sekaligus
mengandung pula misi dalam isi jenis langgam itu. Ketika jenis lagunya
Dandanggulo maka ya hanya angan-angan manis. Lantas, ketika
ternyata untuk melagukan Ayat-ayat Al-Qur’an, berarti sama dengan
“memerkosa” ayat Allah untuk diresapi sebagai angan-angan manis
belaka. Betapa celakanya! Lantas nanti ketika membaca al-Qur’an
dengan langgam jenis lainnya, misalnya Durmo (sindiran untuk orang
songong, tak peduli totokromo/ tatakrama), bagaimana kalau itu untuk
membaca ayat-ayat tentang Keagungan Allah Ta’ala? Perlu diketahui,
tatacara melagukan dan menyusun bait-bait syair lagu langgam Jawa
itu mirip dengan ilmu ‘Arudh wal qawafi dalam Sastra Arab. Kalau
dalam Langgam Jawa ada Dandanggulo (yang ketika disebut jenis itu)
maka mencakup isinya bermakna sekitar angan-angan manis. Irama
lagu nyanyiannya sudah tertentu, termasuk panjang pendeknya, jumlah
bait syairnya, huruf-huruf akhir baitnya dan sebagainya.

Lagu irama Dandagulo Jawa, ya tidak bisa untuk melagukan jenis


tembang Durmo (songong, bahasa Betawi, tidak peduli tatakrama dan
susila). Bagaimana mau melagukan angan-angan manis (Dandanggulo)
untuk laku Durmo (sindiran untuk yang songong)? Nah, persoalannya,
lha sesama langgam Jawa saja yang satu tidak boleh untuk yang lain,
karena serba berlainan, bahkan tujuannya juga berlainan, ada yang
untuk angan-angan manis, ada yang untuk menyindir kesongongan,
ada yang untuk masalah kasmaran (asmarandana) dan sebagainya.
Jadi dari arah mana, ketika mau dipaksakan untuk membaca Al-Qur’an?
Itu belum lagi ketika antara irama lagu Jawanya itu tujuannya untuk
menyindir kesongongan, misalnya, lalu untuk membaca ayat-ayat
tentang keagungan Allah Ta’ala. Bagaimana? Bukankah itu jatuhnya
menjadi mengolok-olok ayat Allah? Padahal kalau sampai dinilai
sebagai mengolok-olok ayat Allah, maka menjadi kafir.

‫وض َو َنل َع ُب ُقل َأ ِبأ َّ َِّلل َو َء َأي ِت ِهۦ َو َر ُسو ِل ِهۦ ُك ُنتم‬ُ ‫َو َل ِئن َس َأل َت ُهم َل َي ُق ُول َّن ِإ َّن َمأ ُك َّنأ َن ُخ‬
ُ ‫ ََل َتع َتذ ُر ْوأ َقد َك َفرُتم َبع َد إ َيم ِن ُكم إن َّنع ُف َعن َطأ ِئ َفة م‬٦٥ ‫ون‬
‫نكم ُن َع ِذب َطأ ِئ َف َة‬ َ ‫َتس َتهز ُء‬
ِ ِ ِ ِ ْ ِ َّ َ
َ
]٦٦-٦٥,‫ [سورة ألتوبة‬٦٦ ‫ِبأن ُهم كأنوأ مج ِر ِمين‬ ُ ُ َ

Langgam Jawa dandanggulo dan sebagainya, bukan hanya masalah


nada irama, tapi mengandung muatan tertentu. Begitu disebut dandanggulo,
ya muatannya tentang angan-angan manis. Kalau jenis lagu Durmo ya
mengenai semacam sindiran terhadap kesongongan (yang tidak peduli
tatakrama/ totokromo). Sehingga penghayatan orang yang melagukan dan
yang mendengarnya juga sudah terbawa oleh jenis langgam itu.

Dan satu hal yang sangat perlu diingat, Langgam Jawa Dandanggulo,
Durmo dan sebagainya itu hanya bisa digunakan untuk tembang alias
nyanyian. Maka ketika disuarakan, walau yang disuarakan itu Al-Qur’an,
kesannya ya tetap nyanyian. Jadi sama dengan membanting ayat suci

11
menjadi nyanyian belaka. Apakah setega itu kita mau memperlakukan
ayat-ayat Allah Ta’ala?

Sekali lagi saya tanyakan (secara inkari): Bagaimana kalau ayat-ayat


tentang keagungan Allah Ta’ala, lalu dibaca dengan langgam Durmo
yang inti nada lagu itu sindiran terhadap orang songong? Tentu yang
terjadi bukan penghormatan terhadapm kesucian Al-Qur’an dan
pengagungan untuk Allah Ta’ala dalam isi ayat suci itu, namun adalah
istihza’ aias pelecehan. Padahal, kalau sampai jatuhnya ke istihza’
terhadap Allah, ayat-ayat suciNya, dan Nabi Muhammad shallalahu
‘alaihi wa sallam, maka bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.13

Kedua: Yang Membolehkan Sama-Sekali.

Fatwa al-azhar: Dar al-ifta' al-Mishriyyah anggota KFM Syaikh Fahmi


abdul Qawy membolehkan dengan argumentasi sebagai berikut:14

Pertama: Pembacaan al-Qur'an dengan langgam bahasa apapun boleh


selama qori memberikan hak kepada setiap huruf yang dibaca serta
tetap menjaga hukum-hukum tajwid dan tilawah.

،ِ‫ إِمَار َُة الس َفهَاء‬:‫م سِتًّا‬ ْ ‫اف َعلَ ْي ُك‬


ُ ‫خ‬ َ َ‫ ” أ‬:َ‫م َقال‬ َ َّ‫َسل‬
َ ‫هو‬ ِ ‫ن ال َّنبِيِ صَلَّى هللاُ َعلَ ْي‬ ِ ‫ َع‬،‫ك‬ ٍ ِ‫ن مَال‬ ِ ‫ف ْب‬ ِ ‫ن َع ْو‬
ْ ‫ َع‬13
‫ط‬ ُ ْ َ َ ُ ْ َ
ِ ‫ وَكثرَة الش َر‬،َ‫ َونشو يَتخِذون القرْآن َمزَامِير‬،‫ِم‬ ُ َّ ٌ ْ َ َّ ُ َ
ِ ‫ وَقطِيعة الرح‬،‫م‬ َ ْ ُ ْ ُ ْ
ِ ‫ َوبَيع الحك‬،ِ‫الدمَاء‬ ُ ‫َس ْف‬
ِ ‫ك‬ َ ‫و‬

]‫ في صحيح الجامع [حكم األلباني‬216 :‫(صحيح) انظر حديث رقم‬

Dari Auf bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,bersabda: Aku khawatir atas
kamu sekalian enam: pemerintahan orang-orang yang bodoh, penumpahan darah, jual
hukum, memutus (tali) persaudaraan/ kekerabatan, generasi yang menjadikan Al-Qur’an
sebagai nyanyian, dan banyaknya polisi (aparat pemerintah, yang berarti banyak
kedhaliman). (HR Thabrani, shahih menurut Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ hadits no. 216)
‫ل َومَا إِمَار َُة الس َفهَا ِء‬ َ ‫ِن إِمَا َر ِة الس َفهَا ِء َقا‬ ُ َّ ‫ك‬
ْ ‫َّللا م‬ َ ‫ج َر َة أَ َعا َذ‬
ْ ‫ن ُع‬ َ ‫لل‬
ِ ‫ِك ْعبِ ْب‬ َ ‫م َقا‬ َ َّ‫َسل‬
َ ‫هو‬ ُ َّ ‫ي صَلَّى‬
ِ ‫َّللا َعلَ ْي‬ َّ ِ‫ن ال َّنب‬ َّ َ‫أ‬
ْ ُ َ َ َ َ َ ُ ُ
ْ‫ِهم‬ ْ ُ
ِ ‫ذبِ ِهم وَأ َعانَهم َعلى ظلم‬ ْ ِ ‫صدقهم بِك‬ ْ ُ َّ ْ َّ ُ َ ْ َ ْ َ ُ
َ ‫ل أ َمرَاء يَكونون بَعدِي َل يَقتَدون بِهَديِي وََل يَستَنون بِسنتِي فمَن‬ْ َ ْ َ ُ ُ َ ‫َقا‬
‫م‬ ْ ‫ِه‬ ْ ُ
ِ ‫م َعلى ظلم‬ َ ُ ُ
ْ ‫م ي ِع ْنه‬ َ
ْ ‫م وَل‬ْ ‫ذبِ ِه‬ َ
ِ ‫م بِك‬ ُ ْ
ْ ‫م يصَدِقه‬ ُ ْ ‫َن ل‬ َ ْ ‫ح ْوضِي َوم‬ َ ‫ي‬ َ ُ َ
َّ ‫م وََل يَرِدوا َعل‬ ُ ُ
ْ ‫ست ِم ْنه‬ َ
ْ ‫ك ل ْيسوا مِنِي وَل‬ُ َ َ ِ‫َف ُأولئ‬
َ
َّ َ‫َسيَرِ ُدوا َعل‬ ْ ‫ك مِنِي وَأَنَا ِم ْن ُه‬ ُ
‫ح ْوضِي‬ َ ‫ي‬ َ ‫م و‬ َ ِ‫ األلباني َفأولَئ‬: ‫ جابر بن عبدهللا المحدث‬: ‫الراوي‬
‫ صحيح لغيره‬: ‫ خالصة حكم المحدث‬2242 :‫ صحيح الترغيب الصفحة أو الرقم‬: ‫المصدر‬

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh,
“Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”, (Ka’b bin ‘Ujroh
Radliyallahu’anhu) bertanya, apa itu kepemerintahan orang bodoh? (Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam) bersabda: “Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti
petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku, barangsiapa yang membenarkan
mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka
dia bukanlah golonganku, dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan
datang kepadaku di atas telagaku, barang siapa yang tidak membenarkan mereka atas
kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka
adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas
telagaku. (Musnad Ahmad No.13919, shahih lighairihi menurut Al-Albani dalam Shahih at-
Targhib).
14
www. fatwaazhar.com diakses tanggal 20 Mei 2015, tentang langgam bacaan
dalam al-Qur'an.

12
Kedua: al-qur'an itu bukan hanya diturunkan orang Arab saja namun
untuk seluruh umat islam.

Ketiga: bacaan al-qur'an dengan cara yang benar meskipun dengan


irama seperti ini, irama hadr, irama nahwan, irama kurdi, atau dengan
irama non-arab apapun. Syaikh Jamal Faruq al-Daqqad berpendapat
bahwa setelah para mahasiswa Indonesia memperlihatkan video
bacaan al-Qur'an langgam Jawa, saya berpendapat bahwa bacaan ini
unik, menunjukkan bahwa yang membaca adalah bukan orang Arab
(natijatul ujmah) dan orang-orang non arab memiliki langgam (lahnun)
dan cara mengejanya tidak sepenuhnya sama seperti lisan orang Arab.
maka dari itu harus diperhatikan cara eksekusi bacaan (thoriqoh al-
ada'). oleh sebab itu ada bab qiroah sab'ah yang merupakan salah satu
latar belakangnya adalah permasalahan ini. menurutnya, bacaan sang
qori' memperhatikan betul kaidah tajwid dengan penghayatan saat
membacanya.15

Pendapat Syaikh Jamal diperkuat oleh Syaikh Ahmad Hajin (pengajar


Ilmu Hadis) dan Syaikh Thoha Hubaisyi (Anggota Pentashih al-Qur'an
Mesir) menyatakan yang terpenting adalah tajwidnya, pemaknaan
terhadap maknanya, karena irama mengikuti artikulasi teks yang
dibacanya.

Mantan Menteri Agama Muhammad Quraish Shihab punya pendapat


tentang penggunaan langgam Jawa dalam tilawah.16

Beberapa hari belakangan ini terdengar banyak pembicaraan


menyangkut bacaan al-Quran dengan langgam Jawa. Ada yang
menerima dengan baik, ada juga yang menolak, bahkan ada yang
mengecam dan menuduh dengan tuduhan yang keji. Tidak dapat
disangkal bahwa ada tatacara yang harus diindahkan dalam membaca
al-Quran, misalnya tentang di mana harus/boleh memulai dan berhenti,
bagaimana membunyikan huruf secara mandiri dan pada saat
pertemuannya dengan berbagai huruf dalam satu kalimat, dan lain-lain.
Inilah syarat utama untuk penilaian baik atau buruknya satu bacaan.
Nah, bagaimana dengan langgam atau nadanya? Hemat penulis, tidak
ada ketentuan yang baku. Karena itu, misalnya, kita biasa mendengar
qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan
langgam qari dari Saudi atau Sudan. Atas dasar itu, apalah salahnya
jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang berbeda
selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Bukankah Nabi saw.
menganjurkan agar al-Quran dibaca dengan suara merdu dan langgam
yang baik, tanpa menentukan langgam tertentu? Nah, jika langgam
Jawa dinilai baik dan menyentuh bagi orang Jawa atau Bugis bagi

15
Dekan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Al-Azhar Cairo Mesir.
lihat Berikut ini penjelasannya seperti merdeka.com lansir dari quraishshihab.com,
16

Rabu (20/5)www.quraishshihab.com, Rabu 20/5 tentang hukum bacaan langgam Jawa.

13
orang Bugis, dan lain-lain, maka bukankah itu lebih baik selama
ketentuan bacaan telah terpenuhi?

Memang ada riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw. yang


menganjurkan agar al-Quran dibaca dengan langgam Arab. Konon
beliau bersabda: Bacalah al-Quran dengan langgam Arab dan suara
(cara pengucapan) mereka; jangan sekali-kali membacanya dengan
langgam orang-orang fasiq dan dukun-dukun. Nanti akan datang
orang-orang yang membacanya dengan mengulang-ulangnya seperti
pengulangan para penyanyi dan para pendeta atau seperti tangisan
orang yang dibayar untuk menangisi seorang yang meninggal dunia.

Hadits tersebut kalaupun dinilai shahih, maka itu bukan berarti bahwa
langgam selain langgam Arab beliau larang. Bukankah beliau
menganjurkan untuk membaca dengan baik dan indah, apalagi
sementara pakar hadits menilai riwayat yang diriwayatkan oleh an-
Nasaiy al-Baihaqy dan at-Thabarani di atas lemah karena dalam
rangkaian perawinya terdapat Baqiyah bin al-Walid yang dikenal lemah
dalam riwayat-riwayatnya.

Pakar Qiroah Indonesia, Prof.Dr. Ahsin Saho' Rektor IIQ Jakarta


berpendapat bahwa membaca al-Qur'an dengan langgam apapun dapat
dibenarkan selama sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan yang benar
dan tentu dengan niat mendekatkan al-Qur'an dengan pembacanya,
jika niatnya untuk istihza' al-qur'an ini yang tidak dibenarkan. sebab
Qiroah yang dipopulerkan saat ini memang bukan hal yang mudah
diterima oleh kalangan umat Islam tapi membutuhkan waktu panjang
untuk diterima di kalangan ummat Islam, dikarenakan langgam yang
digunakan berasal dari Persia Iran/ Iraq yang notabene bukan bangsa
Arab. berangkat dari hal ini langgam-langgam Ajam (luar Arab) jika
sesuai dengan kaidah-kaidah qur'aniyyah tidaklah menjadi persoalan
jika digunakan sebagaimana mestinya.17

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan.


"Tujuan pembacaan Al-Quran dg langgam Jawa adalah menjaga dan
memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di
tanah air. 18 "Pembacaan Al-Quran dg langgam Jawa pada Peringatan
Isra Mi'raj di Istana Negara sepenuhnya ide saya, sama sekali bukan
kehendak Presiden RI." "Kenapa langgam Jawa yg ditampilkan? Karena
saya belum menemukan langgam daerah lain yg tajwidnya baik. Bila
ada, tolong kirim rekamannya. ""Saya menyimak kritik yg berkeberatan
dg adanya pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa. Tapi saya juga
berterimakasih kepada yang mengapresiasinya."

17
Koran Republika, Edisi 12 April 2015, Tentang Rektor IIQ Membolehkan langgam
Jawa.
18
akun twitternya @lukmansaifuddin, Minggu (17/5/2015).

14
KESIMPULAN

Kajian ini masih perlu diperkaya dengan argumentasi dalam


berbagai perspektif, tidak hanya melalui pendekatan kajian tafsir, tapi
perlu dilihat dari aspek sosiologis, anthropologis, hermeneutis,
morfologis, sehingga dapat menemukan rumusan yang konprehensif
tentang bacaan langgam selain langgam yang telah masyhur di
kalangan masyarakat Islam.

Penulis menganalisas pendapat yang mengharamkan dengan


mengambil qaidah “Saddu al-zarîah” (antisipasi), ditakutkan jika
diperbolehkan maka akan banyak langgam yang bermunculan, tidak
menutup kemungkinan diantara banyaknya langgam yang akan muncul
terdapat langgam yang tidak layak dengan Al-Qur”an, bahkan cendrung
merendahkan Al-Qur’an, bayangkan saja jika nanti ada yang membaca
Al-Qur’an dengan langgam hip-hop.

Penulis juga menganalisis kelompok yang membolehkan


membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah, lebih pada melihat al-
qur'an yang muncul sebagai locus budaya manusia, maka boleh saja al-
qur'an dibaca dengan bahasa pembaca al-qur'an dengan memaparkan
dan menambahkan “dhawabit-dhawabit” (catatan-catatan) syarat-
syarat tertentu dalam pembolehannya, jangan hanya dengan sekedar
“dhawabit” (catatan) harus mengikuti qaedah ilmu Tajwid. Ini demi
menjaga harkat martabat Al-Qur’an. Jika syaratnya hanya sekedar
harus mengikuti ilmu Tajwid saja, maka tidak menutup kemungkinan
akan ada pembacaan Al-Qur’an dengan langgam keroncong dengan
dalih yang penting sesuai dengan ilmu Tajwid.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muis, Komunikasi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001)
M.Syahrur, al-kitab wa al-Qur'an: Dialektika Kosmos dan Manusia:
Dasar-dasar Epistimologi Qur'ani, terj. M.Firdaus, (Bandung: Yayasan
Nuansa Cendekia, 2004), cet.1.
M.Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an:Qira'ah Mu'ashirah, (Damaskus: al-
Ahali li Thiba'ah wa al-Nashr wa al-Tauzi',1991).
Muhammad al-Damiry, al-Shihâfah fi Dhau'i al-Islâm, (Madinah:
Maktabah al Islamiyah, 1403 H), cet. 1.
http://www.nugarislurus.com/2015/05/soal-bacaan-quran-dengan-
langgam-jawa-nu- garis-lurus-kecam-keras-
menag.html#ixzz3bP8j42GL NUGarisLurus
Republika Edisi Ahad 17-5-2015 tentang bacaan langgam Jawa.
Musnad Ahmad No.13919, shahih lighairihi menurut Al-Albani dalam
Shahih at-Targhib).
www. fatwaazhar.com diakses tanggal 20 Mei 2015, tentang langgam
bacaan dalam al-Qur'an.

15
merdeka.com lansir dari quraishshihab.com, Rabu
(20/5)www.quraishshihab.com, Rabu 20/5 tentang hukum bacaan
langgam Jawa.
Koran Republika, Edisi 12 April 2015, Tentang Rektor IIQ Membolehkan
langgam Jawa.
Zainul Majdi, Larang baca Al-qur'an Langgan Sasak, Radar Lombok
edisi Senin 15 Juni 2015.

16

Anda mungkin juga menyukai