Anda di halaman 1dari 8

MAZHAB DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH

Nama : Bella Kasari


Nim : 200141792

Pengertian Madzhab

Madzhab adalah perbedaan pendapat di kalangan umat Islam yang disebabkan karena masalah-
masalah yang berhubungan dengan furu‟iyah (diluar aqidah), atau masalah-masalah ubudiyah.

Macam-macam Madzhab :

a) Madzhab Hanafi

Dinisbahkan kepada imam Abu Hanifah An-Na‟mun Ibnu Tsabit Al Kufi (80-150H). Dalam
pendapat hukumnya Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum yang terjadi di Kufah. Kufah
adalah kota yang jauh dari Madinah sehingga sunnah nabi tidak banyak dikenal waktu itu. Sehingga beliau
sangat hati-hati menggunakan sunnah dalam pendapat hukumnya, beliau menggunakan sunnah yang
betul-betul orisinil atau sahih sehingga dikenal sebagai Ahl-Ray (memutuskan hukum berdasarkan pada
akal).

b) Madzhab Maliki

Dinisbahkan kepada imam Malik bin An-Nash dari Madinah (93-179 H). Madinah adalah kota
nabi dan banyak sekali Sunnah. Nenek dan paman serta dirinya adalah perawi Hadist, sehingga pemikiran
hukumnya banyak dipengaruhi oleh sunnah nabi dan sahabat. Kalau dalam memutuskan hukum tidak
memperoleh dasar hukum dari Al-quran dan Sunnah, beliau menggunakan Qiyas dan Al-Masalih Al-
Mursalah (maslahat umum).

c) Madzhab Syafi‟i

Dinisbahkan kepada Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i, lahir di Gazza berasal dari suku
bangsa Quraisy (150-204 H). Dalam pemikiran hukumnya Asy Syafi‟i berpegang pada lima sumber, yaitu
Al-Quran, Sunnah nabi, Ijma atau Konsensus sahabat yang tidak terdapat perselisihan didalamnya,
pendapat sahabat yang terdapat perselisihan didalamnya serta Qiyas.

d) Madzhab Hambali

Dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hambal lahir di Baghdad dari keturunan Arab (164-241
H). Dalam pemikiran hukumnya beliau berperang kepada lima sumber, yakni : Al-quran dan Sunnah.
Pendapat sahabat yang tidak mendapat tentangan dari sahabat lainnya, pendapat seseorang atau beberapa
sahabat yang sesuai dengan Al-quran dan Sunnah, serta Qiyas. Kitab karangannya adalah Al-Musnad,
berisi 40.000 hadist.

Pandangan Muhammadiyah tehadap Madzhab

Dalam bidang fiqih, Muhammadiyah memandang bahwa semangat untuk kembali pada al-Qur‟an
dan Hadits berarti umat Islam harus merujuk pada kedua sumber hukum Islam tersebut secara langsung.
Ini berarti rumusan-rumusan madzhab fiqih yang ada dalam dunia Islam hanya relevan untuk masanya
saja. Sedangkan saat ini, umat Islam harus merujuk langsung pada al-Qur‟an dan Hadits dalam
menyelesaikan suatu problem hukum. Jika perbedaan antar-madzhab teologi menimbulkan sikap
permusuhan dan perpecahan, saling mengkafirkan dan sebagainya, maka perbedaan madzhab dalam fiqih
hampir tidak terdapat bukti kafir-mengkafirkan di antara mereka.

Perkembangan keilmuan dan pemikiran yang “mapan” tersebut mengakibatkan wajah Islam
kurang dinamis, sehingga mengerucut pada suatu bentuk stagnasi dan kemunduran. Munculnya madzhab-
madzhab fiqih menyebabkan kecenderungan terhadap dua sumber utama (al-Qur‟an dan Hadits) kurang
mendapatkan perhatian. Hal ini disebabkan oleh karena umat Islam hanya berhenti pada keputusan-
keputusan yang diambil para imam madzhab, tanpa menggali sendiri dari al-Qur‟an maupun Hadits.
Kondisi taklid yang berlarut-larut tersebut menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam
berbagai bidang. Maka Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (Q.S Annisa:59)

Dari ayat di atas telah jelas bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid memilih untuk tidak
bermadzhab. Bagi Muhammadiyah, usaha untuk “kembali kepada al-Qur‟an dan Hadits” tidak perlu
terkungkung oleh pemilihan madzhab tertentu dalam menentukan metode ijtihadnya. Dengan tanpa
madzhab, Muhammadiyah dapat lebih bebas mengembangkan pikiran tanpa ada kendala psikologis untuk
menerjang ajaran madzhab. Bahkan Muhammadiyah tidak perlu berobsesi untuk menyatakan diri sebagai
Ahlussunnah Wal Jama‟ah, sekalipun jelas konstitusi organisasi dan penafsirannya menyebutkan dasar-
dasar teologi yang tidak bertentangan dengan inti ajaran Ahlussunnah pada abad pertengahan.
Muhammadiyah berusaha untuk merumuskan hukum-hukum Islam yang berorientasi langsung kepada al-
Qur‟an dan Sunnah, sehingga tidak bersifat sektarian.
Inilah salah satu bentuk manifestasi dari identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni, seperti yang tertera dalam al-
Qur‟an dan Hadits, bersih dari segala bid‟ah dan khurafat. Oleh karenanya, Muhammadiyah sering disebut
sebagai gerakan salafiyah, gerakan ishlah, bahkan gerakan tahdits.Oleh karena itu, Muhammadiyah
memandang bahwa orang bebas untuk memilih madzhab mana pun, atau memilih banyak madzhab
sekaligus, atau bahkan tidak bermadzhab sama sekali. Muhammadiyah menyerukan pentingnya untuk
kembali pada masa ketika belum timbul madzhab-madzhab.

Bentuk pengamalan agama yang murni merupakan ciri dan karakter Muhammadiyah. Posisi
Muhammadiyah terletak pada garis yang tegas, yaitu manifestasi konsep “amar ma‟ruf nahi munkar”.
Seperti firman Allah yang berbunyi :

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat
yang nyata. (Q.S Al-Qashash:36)

Konsep “amar ma‟ruf” tercermin dari gerakan “kembali pada al-Qur‟an dan Sunnah”, sedangkan
“nahi munkar” terlihat pada penentangannya terhadap segala bentuk bid‟ah, taklid, khurafat, dan
sebagainya. Meski posisi semacam ini telah berakar kuat pada tradisi madzhab Hambali sebagai aliran fiqih
maupun teologi, namun tidak tepat untuk menyebut Muhammadiyah sebagai bermadzhab Hambali.
Pembahasan tentang madzhab dalam pandangan Muhammadiyah. Hal ini penting mengingat pandangan
tentang madzhab akan sangat memperngaruhi pengistimbatan hukum yang dilakukan oleh dua ormas
tersebut. Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa NU yang mengaku berhaluan ahlus sunnah wal
jamaah dalam bidang fiqih terang-terangan bermadzhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi‟i, dan
Imam Hambali. Apabila dalam suatu masalah tidak ditemukan jawaban dari empat madzhab tersebut
maka baru dilakukan ijtihad.

Di sisi lain, Muhammadiyah bersikap untuk tidak bermadzhab. Muhammadiyah menyatakan


padangannya bahwa pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang berbunyi tdak mengikat diri kepada suatu
madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan
hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur„an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
Dari sana dapat dipahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah satu di antara
madzhab-madzhab tertentu, akan tetapi juga bukan berarti Muhammadiyah anti dengan madzhab, kita
tidak meragukan kualitas keilmuan para Imam-Imam madzhab.

Namun, bagaimanapun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara
mutlak sebagaimana kebenaran al-Qur„an dan as-sunnah ash-Shahihah. Muhammadiyah berpendapat
bahwa pendapat para Imam tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang
tentunya akan terdapat perbedaan dan juga akan ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa kita
sekarang. Menurut Muhammadiyah apa yang menjadi pandangannya, yakni melaksanakan agama dengan
bersumber langsung pada al-Qur„an dan as-Sunnah telah sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,

“Aku telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama berpegang
teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul Nya”.

Dan juga, apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal: “Janganlah
engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafi‟i, Imam Auza‟i dan Imam ats-
Tsauri. Namun, ambillah (ikutilah) dari mana mereka (para Imam itu) mengambil (yaitu Al-Qur‟an dan
As-Sunnah)”.

Singkatnya, demikian di tulis dalam Tanya jawab masalah Agama di Majalah Suara
Muhammadiyah, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak menghormati
pendapat para Imam fuqaha, namun hal ini justru langkah untuk menghormati mereka karena mengikuti
metode dan jalan hidup mereka serta melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi,
sebenarnya hal penting yang perlu diikuti adalah menggali pandapat itu dari sumber pengambilan mereka
yaitu Al-Qur„an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang shahih yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Inilah
perspektif, pandangan, atau pendapat. Perbedaan sangat niscaya. Jika Muhammadiyah berpendapat bahwa
tidak mengikuti madzhab merupakan usaha untuk menghormati imam Fuqoha, maka NU berpandangan
lain. NU tidak menganggap bahwa bermadzhab bisa diartikan dengan sepenuhya taklid. Pengertian taklid,
menurut ormas tradisionalis ini, hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya,
taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari
dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan
oleh ulama, Kiai, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan
dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.

Mengapa Muhammadiyah Tidak Bermadzhab?

Salah satu di antara pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih yang berbunyi “Tidak mengikat diri
kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang
dipandang kuat”. Dari sana dapat difahami bahwa Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah
satu di antara madzhab-madzhab tertentu akan tetapi juga bukan berarti Muhammadiyah anti dengan
madzhab, kita tidak meragukan kualitas keilmuan para Imam-Imam madzhab, namun bagaimana pun juga
pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-
Quran dan as-Sunnah ash-Shahihah. Pendapat-pendapat para imam tersebut sangat erat kaitannya dengan
kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya akan terdapat perbedaan dan juga akan ada hal-hal yang
kurang relevan lagi dengan masa kita sekarang. Apa yang dilakukan Muhammadiyah -melaksanakan agama
bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah – ini sesuai dengan hadis berikut:
ُ ‫سََّّ ِِ َر‬
‫سو ِل ِه‬ ِ ‫ ِكُ َا‬: ‫َّ ْكُ ُ ْن بِ ِِ َوا‬
ُ ‫ِ هللاِ َو‬ ِ ‫ ت ََز ْكتُ فٍِ ُك ْن أ َ ْه َزٌ ِْن لَ ْن ت‬:‫سلَّ َن‬
َّ ‫َضلو َها ت َ َو‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ٍْ ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع ْن َهالِكٍ ب ِْن أَن ٍَس قَا َل‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬ َ
]‫[رو ه هالك فً لووطأ‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: Aku telah meninggalkan kepadamu sekalian dua perkara, tidak akan tersesat kamu selama
berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. [Diriwayatkan oleh Malik
dalam kitab al-Muwattha.

Juga apa yang dikatakan oleh salah satu Imam madzhab, yaitu Imam Ahmad Bin Hanbal yang
berbunyi :Baca juga: Makan Makan di Rumah Duka

]‫ْث أ َ َخذُو [ بن لقٍن فً إعالم لووقعٍن‬


ُ ٍ‫شافِ ِعً َوالَ ْأل َ ْوسَ ِعً َوالَ لث َّ ْو ِري َو ُخ ْذ ِه ْن َح‬
َّ ‫الَ تَقَلَّ ْدنًِ َوالَ تَقَلَّ ْد َها ِل ًكا َوالَ ل‬

Artinya: “Janganlah engkau taqlid kepadaku, demikian juga kepada Imam Malik, Imam Syafi‟i, Imam
Auza‟i dan Imam ats-Tsauri. Namun ambillah (ikutilah) darimana mereka (para Imam itu) mengambil
(yaitu al-Quran dan as-Sunnah)”.

Singkatnya, tidak mengikuti pada madzhab-madzhab tertentu bukan berarti tidak menghormati
pendapat para Imam Fuqaha, namun hal ini justru langkah untuk menghormati mereka karena mengikuti
metode dan jalan hidup mereka serta melaksanakan pesan-pesan mereka agar tidak bertaqlid. Jadi
sebenarnya hal penting yang perlu diikuti adalah menggali pandapat itu dari sumber pengambilan mereka
yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam yang sahih dan tidak diragukan lagi
kebenarannya.

SOAL PILIHAN GANDA

1. Secara bahasa madzhab artinya... .

A jalan pikiran
B. Agama
C. Aturan
D. Fikih
Kunci Jawaban: A

2. Nama ulama di bawah ini yang bukan tergolong empat madzhab dalam Fikih adalah....
A. Hanafi
B. Hambali
C. Maliki
D. Dhahiri
Kunci Jawaban: D
3. Dinisbahkan kepada Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i, lahir di Gazza berasal dari suku
bangsa Quraisy (150-204 H). Dalam pemikiran hukumnya Asy Syafi‟i berpegang pada lima
sumber, yaitu Al-Quran, Sunnah nabi, Ijma atau Konsensus sahabat yang tidak terdapat
perselisihan didalamnya, pendapat sahabat yang terdapat perselisihan didalamnya serta Qiyas.
Termasuk penjelasan madzhab.....
A. Hanafi
B. Hambali
C. Maliki
D. Syafi'i
Kunci Jawaban: C

4. Daerah asal Imam Madzhab Maliki adalah....


A. Makkah
B. Damaskus
C. Irak
D. Madinah
Kunci Jawaban: D

5. Lahir Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i adalah...


A. Mesir
B. Irak
C. Madinah
D. Gazzah
Kunci Jawaban : D

6. Dalam bidang fiqih, Muhammadiyah memandang bahwa semangat untuk kembali pada...
A. Kitab taurat
B. Al-Qur‟an dan Hadits
C. Buku
D. Kitab Injil
Kunci Jawaban: B

7. Munculnya madzhab-madzhab fiqih menyebabkan kecenderungan terhadap dua sumber utama


adalah...
A. Al-Qur‟an dan Hadits
B. Kitab taurat
C. Kitab Injil
D. Sunnah
Kunci jawaban : A

8. Mengapa Muhammadiyah Tidak Bermadzhab....


A. karena Muhammadiyah tidak ingin mendikotomi atau mengkotak-kotakan umat,
B. karena melihat hadis-hadis tentang qunut Subuh dinilai lemah dan banyak diperselisihkan
oleh para ulama
C. Agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang bersumber pada Al-Qur'an dan As-
Sunnah.
D. NU selama ini mengikuti Madzhab Imam Syafi'i
Kunci Jawaban : C

9. Perbedaan pemahaman sebagai hasil ijtihad untuk menentukan suatu hukum disebut....
A. Istihsan
B. Mursalah
C. 'Urf
D. Ikhtilaf
Kunci Jawaban : D

10. Cara menyikapi terhadap ikhtilaf yang terjadi dalam hukum Islam ialah...
A. Menghindarkan diri dari sikap taqlid
B. Menghindarkan diri dari hukum Islam
C. Menghindarkan diri dari masalah
D. Menghindarkan diri dari kaidah Ijtihad
Kunci Jawaban: A
DAFTAR PUSTAKA

Kelompok Studi Lingkaran, Intelektualisme Muhammadiyah; Menyongsong Era Baru, Mizan,


Bandung, 1995.
Lubis, Arbiyah, Muhammadiyah dan Muhammadiyah Abduh: Studi Perbandingan, Bulan
Bintang, Jakarta, 1989.
M. Rusli Karim (Ed.), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, CV. Rajawali, Cet. I, Jakarta,
1986.
Nurhadiantomo, dkk, (Peny.), Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Muhammadiyah
University Press, Surakarta, 1989.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000
Syam, Firdaus, Amin Rais; Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, 2003.
Syamsuddin, M. Din, (Ed.), Muhammadiyah Kini dan Esok, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990.
Rudion, Perndidikan Kemuhammadiyahan 2, Metro, 2012

Anda mungkin juga menyukai