Surah Yusuf
Surah Yusuf
INI ADALAH PESAN-PESAN dari sebuah wahyu yang jelas dalam dirinya sendiri dan
secara jelas menunjukkan kebenaran:2
1
Lihat artikel Al-Muqatta’at (Huruf-Huruf Terpisah) dalam Al-Qur’an.
2
Adjektiva partisipial {na’t fa’iliyyah} mubin dapat menunjukkan sifat dari kata
benda yang diterangkannya (“jelas”, “nyata”, “terang”, dan sebagainya) maupun
fungsinya (“membuat jelas” atau “menyatakan”, yakni kebenaran), yang masing-
masing maknanya ditentukan oleh konteksnya. Menurut kesepakatan para mufasir,
kedua makna ini tercakup dalam contoh di atas; karena itu, diperlukan frasa
gabungan untuk menerjemahkan istilah tersebut secara tepat.
3
Menurut Al-Zamakhsyari, inilah makna la’allakum ta’qilun dalam konteks di atas.
Meskipun pada awalnya dialamatkan kepada bangsa Arab yang hidup pada masa
Nabi, dua ayat ini pada dasarnya berlaku untuk seluruh manusia yang memahami
bahasa Arab, dari mana pun asal-usul mereka. Kedua ayat ini dimaksudkan untuk
mengingatkan setiap orang yang mendengar atau membaca Al-Quran bahwa
seruannya terutama ditujukan kepada akal manusia, dan bahwa “perasaan” semata
tidak dapat menjadi dasar keimanan yang memadai. (Lihat juga Surah Ar-Ra’d [13]:
37 dan Surah Ibrahim [14]: 4, serta catatan-catatannya.)
Surah Yusuf Ayat 3
َنْح ُن َنُقُّص َع َلْيَك َأْح َس َن اْلَقَص ِص ِبَم ا َأْو َح ْيَنا ِإَلْيَك َٰه َذ ا اْلُقْر آَن َو ِإْن ُكْنَت ِم ْن َقْبِلِه َلِم َن
اْلَغ اِفِليَن
naḥnu naquṣṣu ‘alaika aḥsanal-qaṣaṣi bimā auḥainā ilaika hāżal-qur`āna wa ing kunta
ming qablihī laminal-gāfilīn
3. Dalam tindakan Kami mewahyukan4 Al-Quran ini kepadamu, [wahai Nabi,] Kami
menjelaskannya kepadamu dengan cara yang sebaik mungkin,5 mengingat bahwa
sebelum ini engkau benar-benar termasuk di antara orang-orang yang tidak
mengetahui [apakah wahyu itu].6
4
Atau: “Dengan telah Kami wahyukannya”.
5
Lit., “dengan penjelasan yang terbaik (ahsan al-iqtishash). Penerjemahan ini
sangat dekat dengan penafsiran yang dikemukakan Al-Zamakhsyari: “Kami
menyatakan Al-Quran ini kepadamu dengan cara terbaik yang dapat dinyatakan”.
Menurut Al-Razi, bisa diasumsikan dengan aman bahwa kata sifat “sebaik mungkin”
mengacu bukan pada isi dari apa “yang dinyatakan”—yakni, kisah tertentu yang
dipaparkan dalam surah ini—alih-alih pada cara Al-Quran (atau surah yang
bersangkutan ini) dinyatakan: dan, dalam hal ini, dia sependapat dengan Al-
Zamakhsyari. Hendaknya diingat bahwa verba qashsha (yang nomina infinitifnya
adalah qashash dan iqtishash) pada dasarnya berarti “dia telah mengikuti selangkah
demi selangkah” atau “sedikit demi sedikit”, dan juga “dia telah menceritakan
[sebuah berita atau kisah] seolah-olah dia mengikuti jejak-jejaknya”: karena itu, “dia
menguraikan[-nya] secara bertahap” atau “dia menjelaskan[-nya]” (bdk. Lane VII, h.
2526, yang mengutip Al-Qamus dan Taj Al-‘Arus dengan rujukan spesifik pada ayat
di atas). Jika, di sisi lain, nomina infinitif qashash dianggap bersinonim, dalam
konteks ini, dengan qishshah (“kisah” atau “narasi” [cerita]), kalimat di atas bisa
diterjemahkan menjadi “Kami menceritakan kepadamu kisah yang terbaik”, yakni
kisah tentang Yusuf. Namun, menurut saya, penerjemahan “Kami menjelaskannya
[yakni Al-Quran] dengan cara sebaik mungkin” ini lebih tepat karena ia sepenuhnya
bersesuaian dengan dua ayat pembuka surah ini, yang menyatakan bahwa Al-
Quran sebenarnya jelas dengan sendirinya.
6
Dalam tafsirnya mengenai hal ini, Al-Razi mengarahkan perhatian pembaca
pada Surah Asy-Syura [42]: 52—”engkau tidak mengetahui apakah wahyu itu, dan
tidak pula mengetahui apa [implikasi dari] iman itu”: sebuah pasase yang sama
maksudnya dengan kata-kata penutup ayat di atas; karena itu, saya menambahkan
frasa “apakah wahyu itu” di dalam kurung siku.
Surah Yusuf Ayat 4
ِإْذ َقاَل ُيوُس ُف َأِلِبيِه َيا َأَبِت ِإِّني َر َأْيُت َأَح َد َع َش َر َك ْو َك ًبا َو الَّش ْمَس َو اْلَقَم َر َر َأْيُتُهْم ِلي
َس اِج ِد يَن
iż qāla yụsufu li`abīhi yā abati innī ra`aitu aḥada ‘asyara kaukabaw wasy-syamsa
wal-qamara ra`aituhum lī sājidīn
7
Partikel idz biasanya merupakan acuan waktu dan, dalam kebanyakan kasus, dapat
diterjemahkan menjadi “ketika”. Namun, adakalanya ia digunakan sebagai partikel
penegas yang dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian pembaca (atau
pendengar) kepada munculnya sesuatu secara tiba-tiba (Al-Mughni, Al-
Qamus, Taj Al-‘Arus) atau—sebagaimana sering dijumpai di dalam Al-Quran—
kepada peralihan wacana: dan dalam hal ini, ia lebih tepat diterjemahkan menjadi
“lihatlah” {lo} atau “nah, adapun” {now}.
qāla yā bunayya lā taqṣuṣ ru`yāka ‘alā ikhwatika fa yakīdụ laka kaidā, innasy-syaiṭāna
lil-insāni ‘aduwwum mubīn
8
Lihat Surah Hud [11], catatan no. 65.
9
Sebagaimana dalam catatan Bibel tentang kisah Yusuf, Al-Quran menunjukkan
bahwa Ya’qub tidak salah memahami arti mimpi yang dialami anaknya itu tentang
kejayaannya pada masa depan, dengan sebelas bintang yang melambangkan
saudara-saudaranya, serta matahari dan bulan sebagai perlambang bagi
orangtuanya. Namun, sementara Bibel menyatakan bahwa sang ayah “menegur”
anaknya (Kejadian 37: 10) karena jelas-jelas beranggapan bahwa mimpi tersebut
merupakan akibat angan-angan kosong belaka, Al-Quran menjelaskan bahwa
Ya’qub (yang juga seorang nabi) langsung menyadari kualitas profetik dan implikasi-
implikasi yang lebih dalam dari mimpi itu.
10
Lit., “perkataan-perkataan” atau “kabar-kabar” (ahadits). Kebanyakan mufasir
beranggapan bahwa hal ini secara khusus mengacu pada kemampuan Nabi Yusuf
a.s. pada masa yang akan datang untuk menafsirkan mimpi; tetapi Al-Razi
menjelaskan bahwa, dalam konteks ini, istitah hadits (jamaknya, ahadits) bisa
bersinonim dengan hadits (“sesuatu yang baru saja muncul”, yakni “suatu peristiwa”
atau “suatu kejadian”). Menurut hemat saya, ini lebih meyakinkan daripada sekadar
acuan terhadap penafsiran mimpi, lebih-lebih karena istilah ta’wil sering digunakan
di dalam Al-Quran (misalnya, dalam Surah Ali ‘Imran [3]: 7, Surah Yunus [10]: 39,
atau Surah Al-Kahfi [18]: 78) dalam pengertian “makna pamungkas {final meaning}”,
“makna yang lebih dalam {inner meaning}”, atau “makna sesungguhnya {real
meaning}” dari suatu kejadian, pernyataan, atau sesuatu yang berbeda dari
tampilan permukaan-lahir, prima-facie-nya. Digunakannya partikel min (“dari”) di
depan kata ta’wil mengindikasikan bahwa pengetahuan mutlak tentang apa yang
diimplikasikan oleh sesuatu atau peristiwa hanya ada pada Allah (bdk. Surah Ali
‘Imran [3]: 7—”hanya Allah-lah yang mengetahui makna pamungkasnya”), dan
bahwa bahkan manusia-manusia pilihan Allah pun, yakni para nabi—sekalipun
pandangan mereka lebih luas daripada manusia biasa—hanya diberikan sebagian
pengetahuan mengenai misteri-misteri penciptaan yang dilakukan oleh Allah.
11
Lit., “orang-orang yang bertanya”.
Lit., “suatu kelompok” atau “kumpulan”. Bunyamin adalah saudara kandung Yusuf
12
9. [Berkata salah seorang di antara mereka,] “Bunuhlah Yusuf, kalau tidak, buanglah
dia ke suatu negeri [yang jauh] supaya perhatian ayah kalian tertuju kepada kalian
saja: dan sesudah hal ini dilakukan, kalian akan menjadi [bebas untuk bertobat dan
hidup sekali lagi sebagai] orang-orang yang saleh!”14
14
Frasa yang saya sisipkan dalam dua tanda kurung—yang mencerminkan sikap
ironis-bawah sadar saudara-saudara Yusuf—didasarkan pada kesepakatan
mayoritas mufasir klasik.
10. Yang lainnya di antara mereka berkata, “Jangan bunuh Yusuf, alih-alih—jika
kalian harus melakukan sesuatu—masukkan dia ke dasar sumur yang gelap ini
[sehingga] suatu kafilah dapat memungutnya!”15
Dengan kata lain, “mereka akan membawanya ke suatu tempat yang jauh” (bdk.
15
11. [Tentang hal ini mereka sepakat; dan kemudian] mereka berkata [demikian
kepada ayah mereka], “Wahai, Ayah kami! Mengapa engkau tidak memercayakan
Yusuf kepada kami, padahal kami benar-benar orang-orang yang menginginkan
kebaikan baginya?
12. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok agar dia dapat bersenang-senang dan
bermain: dan, sungguh, kami akan menjaganya dengan baik!”
14. Berkata mereka, “Sungguh, jika serigala memakannya meskipun jumlah kami
sangat banyak—maka, perhatikanlah, kami sendirilah yang mestinya binasa!”
Surah Yusuf Ayat 15
َفَلَّم ا َذ َهُبوا ِبِه َو َأْج َم ُعوا َأْن َيْج َع ُلوُه ِفي َغ َياَبِت اْلُجِّب ۚ َو َأْو َح ْيَنا ِإَلْيِه َلُتَنِّبَئَّنُهْم ِبَأْم ِرِهْم
َٰه َذ ا َو ُهْم اَل َيْش ُعُروَن
fa lammā żahabụ bihī wa ajma’ū ay yaj’alụhu fī gayābatil-jubb, wa auḥainā ilaihi
latunabbi`annahum bi`amrihim hāżā wa hum lā yasy’urụn
16
Lihat ayat 89-90 surah ini.
16. Dan, kala senja, mereka datang kepada ayah mereka sambil menangis
17. [dan] berkata, “Wahai, Ayah kami! Perhatikanlah, kami pergi untuk berlomba-
lomba dan meninggalkan Yusuf dengan barang-barang kami; dan kemudian serigala
memakannya! Namun, [kami mengetahui bahwa] engkau tidak akan memercayai
kami meskipun kami berkata benar”—
Surah Yusuf Ayat 18
َو َج اُء وا َع َلٰى َقِم يِص ِه ِبَد ٍم َك ِذٍب ۚ َقاَل َبْل َس َّو َلْت َلُك ْم َأْنُفُس ُك ْم َأْم ًرا ۖ َفَص ْبٌر َج ِم يٌل ۖ َو ُهَّللا
اْلُم ْسَتَع اُن َع َلٰى َم ا َتِص ُفوَن
wa jā`ụ ‘alā qamīṣihī bidaming każib, qāla bal sawwalat lakum anfusukum amrā, fa
ṣabrun jamīl, wallāhul-musta’ānu ‘alā mā taṣifụn
18. dan mereka memperlihatkan baju gamis Yusuf (yang berlumuran) darah palsu.
[Namun, Ya’qub] berseru, “Tidak, tetapi pikiran kalian [sendiri]-lah yang membuat
kejadian [yang sangat buruk ini] tampak sebagai sesuatu yang ringan bagi kalian!
17
Namun, [adapun bagiku,] kesabaran dalam menghadapi kesusahan adalah yang
terbaik [dalam pandangan Allah]; dan [hanya] kepada Allah-lah aku berdoa agar
memberikan kepadaku kekuatan untuk menanggung kemalangan yang telah kalian
gambarkan kepadaku.”18
Tampaknya, Ya’qub tidak memercayai cerita tentang serigala itu. Akan tetapi,
17
Lit., “kepada Allah-lah aku berpaling meminta tolong terhadap apa yang kalian
18
gambarkan”.
Menurut Bibel (Kejadian 37: 25), mereka adalah “orang Ismael”—yakni orang-
19
orang Arab—yang “datang dari Gilead dengan untanya yang membawa damar,
balsam, dan damar ladan, dalam perjalanannya mengangkut barang-barang itu ke
Mesir”. (Gilead adalah nama yang dipakai Bibel untuk menyebut bagian timur
Yordania.)
20
Lit., “Aduhai, kabar baik!”.
20. Dan, mereka menjualnya dengan harga yang sangat murah—hanya beberapa
keping uang perak: demikian rendahnya mereka menghargai Yusuf.*
21. Dan, orang dari Mesir yang membelinya21 berkata kepada istrinya, “Berikanlah
kepadanya tempat tinggal yang terhormat [bersama kita]; mungkin saja dia berguna
bagi kita atau kita bisa mengangkatnya sebagai seorang anak.”
Dan demikianlah, Kami berikan kepada Yusuf tempat yang kukuh di muka bumi;
dan [Kami melakukan ini] agar Kami mengajarkan kepadanya sebagian pemahaman
tentang makna yang lebih dalam dari kejadian-kejadian.22 Karena, Allah selalu
berjaya dalam apa pun yang menjadi tujuan-Nya:* tetapi, kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya.
21
Al-Quran tidak menyebutkan nama atau kedudukannya. Akan tetapi,
julukan al-‘aziz (“seorang yang besar” [atau “berkuasa”]) dalam ayat 30 selanjutnya
menunjukkan bahwa dia mempunyai posisi yang tinggi atau seorang bangsawan.
22
Lihat catatan no. 10.
* {“Karena, Allah selalu berjaya dalam apa pun yang menjadi tujuan-Nya” adalah
terjemahan Asad untuk frasa wa Allah ghalibun ‘ala amrihi, yang secara harfiah
berarti “dan Allah, berkuasa terhadap urusan-Nya (amrihi)”.—AM}
24. Dan, sesungguhnya, perempuan itu menghasrati Yusuf dan Yusuf pun
menghasrati perempuan itu; [dan Yusuf pasti telah tunduk] andai kata dia tidak
melihat suatu bukti kebenaran Pemeliharanya [dalam godaan ini]:23 demikianlah
[Kami menetapkan agar hal itu terjadi] agar Kami memalingkan darinya segala
keburukan dan semua perbuatan keji—sebab, perhatikanlah, dia benar-benar salah
seorang di antara hamba-hamba Kami.24
23
Frasa yang disisipkan “dan Yusuf pasti telah tunduk”, menurut Al-Zamakhsyari,
tersirat dalam kalimat di atas. Dalam tafsirnya mengenai ayat ini, dia lebih lanjut
menjelaskan bahwa signifikansi moral dari “kebajikan” terletak dalam kemenangan
batin seseorang dalam mengalahkan nafsu yang tercela, dan bukan pada ketiadaan
nafsu semacam itu. Bdk. sabda Nabi yang masyhur, yang dicatat berdasarkan
riwayat Abu Hurairah oleh Al-Bukhari dan Muslim: “Allah, Yang Mahatinggi,
berfirman, ‘Jika hamba-Ku berniat melakukan suatu perbuatan baik [semata], Aku
akan mencatat [niat] itu sebagai satu perbuatan baik; dan jika dia melakukannya,
Aku akan menghitungnya sepuluh kali lipat. Dan, jika dia berniat melakukan suatu
perbuatan jahat, tetapi tidak jadi melakukannya, Aku akan mencatatnya sebagai
perbuatan baik karena dia menahan diri darinya semata-mata demi Aku …'”—yakni,
sebagai hasil pertimbangan moral (yang dalam hal ini, digambarkan sebagai “suatu
bukti kebenaran Allah”).
24
Lit., “dia termasuk di antara hamba-hamba Kami yang ikhlas”.
25. Dan, mereka berdua bergegas-gegas menuju pintu; dan perempuan itu
[memegang dan] mengoyak baju Yusuf dari belakang—dan [lihatlah!] mereka
mendapati suami perempuan itu di muka pintu!
qāla hiya rāwadatnī ‘an nafsī wa syahida syāhidum min ahlihā, ing kāna qamīṣuhụ
qudda ming qubulin fa ṣadaqat wa huwa minal-kāżibīn
26. [Yusuf] berseru, “Dialah yang berupaya membuatku menyerahkan diri
kepadanya!”
Dan, salah seorang yang hadir, seorang anggota keluarga perempuan itu sendiri,
mengusulkan begini:25 “Jika baju gamisnya koyak dari depan, perempuan itu berkata
benar dan Yusuf adalah seorang pembohong;
25
Lit., “seorang yang hadir (syahid) dari keluarganya memberi kesaksian”—yakni,
mengusulkan agar pernyataan-pernyataan itu diuji. Di sini, sekali lagi, uraian kisah
Al-Quran berbeda dengan kisah yang dituturkan Bibel karena menurut Bibel
(Kejadian 39: 19-20), sang suami segera memercayai tuduhan palsu itu dan
menjebloskan Yusuf ke dalam penjara; peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
ayat 26-34 surah ini tidak tercantum dalam uraian Bibel.
27. tetapi jika baju gamisnya koyak dari belakang, perempuan itu berbohong dan
Yusuf berkata benar.”
28. Dan, ketika [suaminya] melihat baju gamis Yusuf koyak dari belakang, dia
berkata, “Perhatikanlah, ini adalah [suatu contoh] dari tipu daya kalian, wahai kaum
perempuan! Sungguh, amat mengerikan tipu daya kalian!
29. [Namun,] Yusuf, biarkan ini berlalu!26 Dan engkau, [wahai lstriku,] mohon
ampunlah atas dosamu—sebab, sungguh, engkau telah berada dalam kesalahan
yang sangat besar!”
Lit., “berpaling dari”. Menurut hampir semua mufasir, maknanya adalah “jangan
26
menceritakan hal ini kepada siapa pun”—yakni, sang suami siap memaafkan dan
melupakannya.
27
Lit., “kami memandangnya benar-benar dalam kesalahan yang nyata”.
31. Lalu, ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, dia mengundang
mereka dan mempersiapkan bagi mereka suatu jamuan makan yang mewah,28 dan
memberikan kepada mereka masing-masing sebuah pisau dan berkata [kepada
Yusuf], “Keluarlah dan tunjukkanlah dirimu kepada mereka!”
32. Berkata perempuan itu, “Maka, inilah dia orangnya yang membuat kalian
mencelaku! Dan, sesungguhnya, aku telah berupaya membuatnya menyerahkan diri
kepadaku, tetapi dia tetap menolak. Namun, jika kini dia tidak melakukan apa yang
kuperintahkan kepadanya, pasti dia akan dipenjarakan, dan pasti dia akan
mendapati dirinya di antara orang-orang yang hina!”30
30
Lit., “menjadi salah seorang di antara orang-orang yang dipermalukan”.
Surah Yusuf Ayat 33
َقاَل َر ِّب الِّس ْج ُن َأَح ُّب ِإَلَّي ِمَّم ا َيْدُع وَنِني ِإَلْيِه ۖ َو ِإاَّل َتْص ِرْف َع ِّني َك ْيَد ُهَّن َأْص ُب ِإَلْيِهَّن
َو َأُك ْن ِم َن اْلَج اِهِليَن
qāla rabbis-sijnu aḥabbu ilayya mimmā yad’ụnanī ilaīh, wa illā taṣrif ‘annī
kaidahunna aṣbu ilaihinna wa akum minal-jāhilīn
33. Berkata Yusuf, “Wahai, Pemeliharaku! Penjara lebih aku sukai daripada
[memenuhi] ajakan perempuan-perempuan ini kepadaku: sebab, jika Engkau tidak
mengalihkan tipu daya mereka dariku, aku akan menyerah terhadap daya pikat
mereka31 dan menjadi salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui
[kebenaran dan kesalahan].”
31
Lit., “cenderung terhadap mereka”; namun, hendaknya diingat bahwa
verba saba meliputi konsep-konsep kecenderungan, kerinduan, dan hasrat berahi
(bdk. Lane IV, h. 1649); karena itu, saya menerjemahkannya seperti di atas.
32
Lit., “memalingkan tipu daya mereka darinya”.
33
Lit., “terlintas dalam pikiran mereka”.
34
Dengan demikian, menurut Al-Quran, Yusuf dipenjarakan bukan karena tuannya
menganggap dia bersalah, melainkan karena, dalam kelemahannya, dia ingin
memenuhi tuntutan istrinya, “dengan benar-benar patuh kepadanya, dan
berperilaku layaknya seekor unta-tunggangan yang tali kekangnya dipegang oleh
istrinya” (Al-Zamakhsyari).
36. SYAHDAN, dua orang pemuda ternyata masuk penjara pada waktu yang
bersamaan dengan Yusuf.35
Salah seorang di antara mereka berkata, “Perhatikanlah, aku melihat diriku sendiri
[dalam suatu mimpi] sedang memeras anggur.”
Dan, yang lainnya berkata, “Perhatikanlah, aku melihat diriku sendiri [dalam suatu
mimpi] sedang membawa roti di atas kepalaku dan burung-burung memakannya.”
Lit., “masuk penjara dengannya”; menurut catatan Bibel (yang dalam hal ini tidak
35
37. [Yusuf] menjawab, “Sebelum datang kepada kalian berdua makanan yang
[setiap hari] kalian makan, aku akan telah memberitahukan kepada kalian arti
sebenarnya dari mimpi-mimpi kalian,37 [agar kalian dapat mengetahui apa yang
akan terjadi] sebelum kejadian itu datang kepada kalian:* sebab, inilah [sebagian]
dari pengetahuan yang telah Pemeliharaku ajarkan kepadaku.
“Perhatikanlah, aku telah meninggalkan jalan-jalan orang yang tidak beriman pada
Allah,38 dan yang berkukuh mengingkari kebenaran kehidupan akhirat;
37
Lit., “arti sebenarnya dari itu”.
38. dan aku mengikuti keyakinan bapak-bapak leluhurku, Ibrahim, Ishaq, dan
Ya’qub. Mustahil bahwa kami akan [dibiarkan untuk] menisbahkan ketuhanan
kepada apa pun selain Allah: ini adalah [suatu hasil] dari karunia Allah kepada kami
dan kepada seluruh umat manusia39—tetapi, kebanyakan manusia tidak bersyukur.
39
Karena Allah Mahabesar dan Mahacukup, peringatan kepada manusia agar tidak
menisbahkan sifat-sifat ketuhanan kepada apa pun selain Dia bukanlah dilakukan
untuk kepentingan Allah: celaan total terhadap dosa ini semata-mata dimaksudkan
demi kepentingan manusia sendiri, karena hal ini akan membebaskannya dari
segala takhayul, dan dengan demikian akan menaikkan martabatnya sebagai
makhluk yang sadar dan berakal.
40
Lit., “lebih baik”, tampaknya dalam pengertian “lebih baik sesuai dengan tuntutan-
tuntutan akal”.
40. “Semua yang kalian sembah selain Allah tiada lain hanyalah nama-nama
[hampa] yang kalian buat-buat42—kalian dan nenek moyang kalian—[dan] yang Allah
tidak menurunkan suatu keterangan pun tentangnya. Keputusan [berkenaan dengan
apa yang benar dan apa yang salah] ada pada Allah saja—[dan] Dia telah
memerintahkan agar kalian tidak menyembah apa pun kecuali Dia: inilah [satu-
satunya] keyakinan yang sejati: tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.43
42
Lit., “nama-nama yang telah kalian namai”—yakni, “rekaan khayal kalian sendiri”.
43
Bdk. kalimat terakhir dari Surah Ar-Rum [30]: 30.
41. “[Dan sekarang,] wahai rekan-rekanku sepenjara, [aku akan mengatakan kepada
kalian makna mimpi-mimpi kalian:] adapun salah seorang di antara kalian berdua,
dia akan [kembali] memberi tuannya [sang Raja] anggur untuk diminum; adapun
yang lainnya, dia akan disalib dan burung-burung akan memakan kepalanya. [Akan
tetapi, bagaimanapun masa depan kalian,] persoalan yang kalian tanyakan
kepadaku itu telah diputuskan [oleh Allah].”
42. Dan, [kemudian Yusuf] berkata kepada salah seorang di antara keduanya yang
dianggapnya akan selamat, “Ceritakanlah mengenai aku kepada tuanmu [ketika
engkau bebas]!”
43. DAN, [suatu hari] Raja berkata,44 “Perhatikanlah, aku melihat [dalam suatu mimpi]
tujuh ekor sapi yang gemuk-gemuk di lahap oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus,
dan tujuh bulir [gandum] yang hijau di samping [tujuh] lainnya yang kering. Wahai,
para bangsawan! Terangkanlah kepadaku tentang [arti dari] mimpiku jika kalian
dapat menafsirkan mimpi-mimpi!”
44
Tampaknya, raja ini adalah salah seorang dari enam penguasa Hyksos yang
menguasai Mesir dari sekitar 1700 hingga 1580 SM, setelah menginvasi negeri
tersebut dari timur melalui Semenanjung Sinai. Nama dinasti ini, yang tidak
diragukan lagi berasal dari bahasa asing, berasal dari bahasa Mesir, hiq
shasu atau heku shoswet, yang berarti “penguasa-penguasa tanah pengembara”
atau—menurut sejarahwan Mesir Manetho—”raja-raja gembala”: semuanya ini
menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab yang—meskipun ada fakta
bahwa sebelum invasi mereka ke Mesir, mereka telah tinggal menetap di Suriah—
hingga batas tertentu masih memelihara gaya hidup nomaden mereka. Hal ini
menjelaskan—sebagaimana disebutkan dalam surah ini—mengapa sang raja
kemudian yakin untuk menempatkan Yusuf—orang Yahudi itu—dan keluarganya
(yang kemudian akhirnya menjadi bangsa Israel) di Mesir: karena, hendaknya
diingat bahwa orang-orang Yahudi pun merupakan salah satu keturunan dari sekian
banyak suku nomaden yang pada beberapa abad sebelumnya telah bermigrasi dari
Semenanjung Arabia ke Mesopotamia, dan kemudian ke Suriah (bdk. Surah AI-A’raf
[7], catatan no. 48); dan bahwa bahasa Hyksos mestilah sangat berdekatan dengan
bahasa Yahudi yang, bagaimanapun, tidak lain merupakan sebuah dialek Arab kuno.
44. Mereka menjawab, “[Ini adalah salah satu dari] mimpi-mimpi yang paling rumit
dan membingungkan,45 dan kami tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang arti
sebenarnya dari mimpi-mimpi itu.”
45
Lit., “rangkaian mimpi yang membingungkan (adghats)”.
45. Dalam pada itu, salah seorang dari kedua [orang yang dahulu dipenjara] yang
selamat, dan [yang tiba-tiba] teringat [kepada Yusuf] sesudah sekian
lamanya,46 berkata [begini], “Akulah yang dapat memberitahukan kepada kalian
tentang arti sebenarnya dari [mimpi] ini; maka, biarkanlah aku pergi [untuk
mencarinya].”47
46
Menurut hampir semua mufasir, nomina ummah di sini berarti “suatu waktu” atau
“suatu periode waktu yang panjang”.
46. [Dan, dia pergi mengunjungi Yusuf di dalam penjara dan berkata kepadanya,]
“Yusuf, wahai engkau yang jujur! Terangkanlah kepada kami tentang [arti mimpi]
tujuh ekor sapi yang gemuk-gemuk dilahap oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus,
dan tujuh bulir hijau [gandum yang terlihat] di samping [tujuh] lainnya yang kering—
sehingga aku dapat kembali [dengan penjelasan engkau] kepada orang-orang
[istana dan] agar mereka mengetahui [orang seperti apakah engkau ini]!”
47. [Yusuf] menjawab, “Kalian harus menanam selama tujuh tahun sebagaimana
biasanya; tetapi biarkanlah semua [biji] yang kalian panen tetap berada di bulirnya,
kecuali hanya sedikit untuk kalian makan:
48. sebab, setelah [periode tujuh tahun yang baik] itu, akan datang tujuh [tahun]
yang sulit yang akan menghabiskan semua yang kalian simpan untuk masa itu,
kecuali hanya sedikit dari yang kalian simpan sebagai persediaan.
49. Dan, setelah itu, akan datang satu tahun yang padanya orang-orang akan
terlepas dari segala kesukaran,48 dan yang padanya mereka akan memeras [minyak
dan anggur sebagaimana sebelumnya].”
dengan nomina infinitif ghaits (“hujan”) atau ghauts (“lepas dari kesulitan”).
Meskipun hasil panen Mesir bergantung sepenuhnya pada banjir tahunan Sungai
Nil, ketinggian air sungai tersebut pada gilirannya bergantung pada jumlah curah
hujan pada saat puncaknya.
50. Dan, [begitu penafsiran Yusuf disampaikan kepadanya,] Raja berkata, “Bawalah
dia ke hadapanku!”
Akan tetapi, ketika utusan [Raja] datang kepadanya, [Yusuf] berkata, “Kembalilah
kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya [dahulu untuk menyelidiki kebenaran]
tentang perempuan-perempuan yang telah melukai tangan mereka-sebab,
perhatikanlah, [hingga kini,] hanya Pemeliharaku [sajalah yang] mengetahui
sepenuhnya tipu daya mereka!”
51. [Kemudian, Raja mengundang para perempuan itu; dan ketika mereka datang,]
dia bertanya, “Apakah yang ingin kalian capai ketika kalian berupaya membuat
Yusuf menyerahkan diri kepada kalian?”49
Para perempuan itu menjawab, “Allah, selamatkanlah kami! Kami tidak melihat
sedikit pun [niat] yang buruk padanya!”
[Dan,] istri dari bekas tuan50 Yusuf berseru, “Kini kebenaran telah jelas! Akulah yang
mencoba membuatnya menyerahkan diri kepadaku—sementara dia, perhatikanlah,
sungguh-sungguh berkata benar!”
49
Jelaslah bahwa Raja ingin mengetahui apakah mereka sebelumnya telah didorong
oleh Yusuf atau apakah Yusuf benar-benar tidak bersalah. Nomina khathb berarti
“sesuatu yang diminati seseorang” atau “yang dihasrati” atau “yang dicoba
diperoleh”; jadi, ungkapan ma khathbukunna (lit., “apakah yang [sebenarnya] kalian
inginkan”) lebih tepat diterjemahkan seperti di atas.
50
Lit., “istri orang yang mulia itu (al-‘aziz)”.
52. [Ketika Yusuf mengetahui apa yang telah terjadi, dia berkata,51 “Aku
memohonkan] ini agar [bekas tuanku] dapat mengetahui bahwa aku tidak
mengkhianati dia di belakangnya,52 dan bahwa Allah tidak memberkati dengan
petunjuk-Nya rencana-rencana licik dari orang-orang yang mengkhianati amanat
mereka.
Sejumlah mufasir (misalnya, Ibn Katsir dan, di antara mufasir modern, Rasyid
51
Ridha dalam Al-Manar XII, hh. 323 dan seterusnya) memandang ayat ini dan ayat
berikutnya sebagai kelanjutan dari pengakuan perempuan tersebut; tetapi
mayoritas mufasir klasik, termasuk Al-Thabari, Al-Baghawi, dan Al-Zamakhsyari
menisbahkan ucapan berikutnya ini secara tegas—dan, menurut saya, paling
meyakinkan—kepada Yusuf: demikianlah alasan saya memasukkan kalimat sisipan
di awal ayat.
52
Lit., “ketika [dia] tidak ada” atau “secara diam-diam” (bi al-ghaib).
53. Dan, sungguhpun begitu, aku tidak berusaha membebaskan diriku dari
kesalahan: sebab, sungguh, lubuk diri manusia memang mendorong[nya) pada
keburukan,53 dan yang dikecualikan hanyalah orang-orang yang kepada mereka
Pemeliharaku melimpahkan rahmat-Nya.54 Perhatikanlah, Pemeliharaku Maha
Pengampun, Sang Pemberi Rahmat!”
53
Lit., “benar-benar biasa memerintahkan [untuk melakukan] keburukan”—yakni,
penuh dengan dorongan-dorongan yang sering bertentangan dengan apa yang
dipandang oleh akal sebagai kebaikan moral. Ini jelas merupakan acuan pada
pernyataan dalam ayat 24—”perempuan itu menghasrati Yusuf, dan Yusuf pun
menghasrati perempuan itu; [dan Yusuf pasti telah tunduk] andaikata dia tidak
melihat suatu bukti kebenaran Pemeliharanya [dalam godaan ini]”—serta acuan
pada doa Yusuf dalam ayat 33, “jika Engkau tidak mengalihkan tipu daya mereka
dariku, aku akan menyerah terhadap daya pikat mereka”. (Lihat juga catatan no. 23
sebelum ini.) Penegasan Yusuf tentang kelemahan yang melekat dalam watak
manusia ini adalah suatu ungkapan kerendahhatian yang mulia dari seseorang yang
telah berhasil mengatasi kelemahan itu sendiri: sebab, seperti terlihat dalam
lanjutan ayatnya, dia menyatakan bahwa kemenangan moralnya itu bukanlah
karena kehebatan dirinya sendiri, melainkan semata-mata karena belas kasih dan
rahmat Allah.
ganti ma (lit., “yang”) di sini sama artinya dengan man (“dia yang” atau “siapa pun
yang”).
54. Dan, sang Raja berkata, “Bawalah dia kepadaku agar aku dapat memilihnya
menjadi orang yang dekat denganku.”
Dan, ketika Raja telah berbicara dengannya, [dia] berkata, “Perhatikanlah, [mulai]
hari ini engkau menjadi seorang yang berkedudukan tinggi bersama kami, yang
mendapatkan wewenang dengan segenap amanat!”
55
Dengan membuat permohonan ini, Yusuf ingin memastikan dibangunnya
lumbung-lumbung gandum yang efisien sebagai persediaan untuk beberapa tahun
kedepan karena me·ngetahui bahwa tahun-tahun makmur itu akan disusul oleh
tujuh tahun kekurangan. Jelaslah dari rangkaian ayat selanjutnya bahwa
permohonannya itu dikabulkan dan bahwa dia mampu memenuhi kewajiban yang
telah dia tentukan sendiri itu.
56. Dan, demikianlah Kami mengukuhkan kedudukan Yusuf di negeri [Mesir] itu: dia
berkuasa penuh terhadapnya, [melakukan] apa pun yang dia kehendaki.
[Begitulah] Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa pun yang Kami
kehendaki; dan Kami tidak lalai membalas orang-orang yang berbuat kebajikan.56
Yakni, kadang-kadang memberi balasan di dunia ini, tetapi pasti akan memberi
56
57
Lit., “bagi orang-orang yang telah meraih iman …” dst.
58. DAN [setelah beberapa tahun,] saudara-saudara Yusuf datang [ke Mesir]58 dan
hadir di hadapannya: dan dia mengenal mereka [seketika itu juga], sedangkan
mereka tidak mengenalinya.
58
Yakni, untuk membeli gandum dari gudang-gudang simpanan yang telah
dibangun oleh Yusuf selama tujuh tahun yang makmur: sebab, kini semua negeri
yang berada di sekitar Mesir didera kelaparan, yang telah dia prediksikan
sebelumnya, dan hanya Mesirlah yang memiliki surplus (kelebihan), yang
distribusinya berada dalam pengawasannya pribadi (bdk. Bibel, Kitab Kejadian 41:
54-57).
59. Dan, ketika dia telah memperlengkapi mereka dengan persediaan mereka, dia
berkata, “[Jika kalian datang ke sini lagi,] bawalah kepadaku saudara kalian yang
seayah dengan kalian.59 Tidakkah kalian melihat bahwa aku telah memberikan
[kepada kalian] takaran yang penuh dan telah menjadi tuan rumah yang terbaik?
Lit., “saudara kalian dari ayah kalian”—yakni, Bunyamin, saudara tiri mereka yang
59
merupakan saudara kandung Yusuf (ibu mereka adalah Rahel, istri kesayangan
Ya’qub), sedangkan sepuluh saudara lainnya memiliki ibu yang berbeda-beda.
Bunyamin, anak Ya’qub yang paling bungsu, tidak menemani saudara-saudaranya
dalam perjalanan pertama mereka ke Mesir, tetapi agaknya mereka menyebut-
nyebut Bunyamin ketika bercakap-cakap dengan Yusuf.
60. Namun, jika kalian tidak membawanya kepadaku, kalian tidak akan pernah lagi
menerima satu takaran [biji gandum] pun dariku, tidak pula kalian akan [diizinkan]
mendekatiku!”
61. Mereka menjawab, “Kami akan mencoba membujuk ayahnya untuk berpisah
dengannya dan, sungguh, kami akan melakukan [sepenuh daya kami]!”
60
Yakni, barang-barang yang telah mereka tukarkan dengan gandum (Ibn Katsir):
sebuah penjelasan yang sangat masuk akal karena fakta bahwa tukar-menukar
(barter) adalah bentuk perdagangan paling lazim pada masa-masa kuno itu.
Lit., “sehingga mereka dapat melihatnya ketika mereka kembali pulang kepada
61
63. Maka, tatkala mereka telah kembali kepada ayah mereka, [saudara-saudara
Yusuf] berkata, “Wahai, Ayah kami! Seluruh biji gandum62 [akan] ditahan dari kami
[pada masa yang akan datang, kecuali kalau kami membawa Bunyamin bersama
kami]: oleh karena itu, utuslah saudara kami bersama kami supaya kita memperoleh
takaran [biji gandum] kita; dan, sungguh, kami akan menjaganya dengan baik!”
62
Lit., “takaran [biji gandum]”, yang di sini digunakan secara metonimia untuk secara
tidak langsung mengacu pada kata-kata Yusuf (ayat 60).
63
Lit., “kecuali”.
asing, yakni setiap orang mendapatkan jatah sebanyak yang dapat ditanggung oleh
seekor unta.
66. Berkata [Ya’qub], “Aku tidak akan mengutusnya bersama kalian sebelum kalian
memberikan kepadaku sumpah setia, di hadapan Allah, bahwa kalian sungguh akan
membawanya kembali kepadaku, kecuali kalau kalian diliputi [oleh kematian]!”*
Dan, ketika mereka telah memberikan sumpah setia mereka kepadanya, [Ya’qub]
berkata, “Allah adalah saksi terhadap segala yang kita ucapkan!”
* {“Kecuali kalau kalian diliputi [kematian] adalah terjemahan Asad untuk frasa ilia
an yuhatha bikum. Dalam bahasa Indonesia, frasa ini diterjemahkan menjadi
“kecuali jika kamu dikepung musuh”. Verba yuhatha berarti “meliputi”, atau
“dikepung”. Asad memilih yang pertama sehingga menambahkan sisipan
[kematian], sedangkan terjemahan Indonesia memilih yang kedua dengan
menambahkan sisipan [musuh]. Melihat konteks pembicaraan ayatnya, terjemahan
Asad agaknya lebih tepat.—AM}
Mungkin agar tidak menarik perhatian yang tidak perlu di negeri orang dan
65
barangkali juga supaya tidak jatuh ke dalam berbagai intrik. Dalam kaitan ini, lihat
catatan no. 68 di bawah.
* {“Namun [meskipun begitu,] aku sedikit pun tiada bermanfaat bagi kalian terhadap
[apa pun yang mungkin dikehendaki oleh] Allah” adalah terjemahan Asad untuk
frasa ma ughni ‘ankum min Allah min syai’, yang dalam terjemah Al-Quran Depag
RI diterjemahkan menjadi, “Namun demikian, aku tidak dapat melepaskan kamu
barang sedikit pun dari (takdir) Allah”. Secara literal, verba ughni memang lebih
tepat diartikan dengan “tiada bermanfaat” atau “tiada dapat memberikan manfaat”.
—AM}
68. Akan tetapi, meskipun66 mereka memasuki [kota Yusuf] menurut yang
diperintahkan ayah mereka, terbukti bahwa hal ini sedikit pun tiada bermanfaat bagi
mereka terhadap [rencana] Allah.67 [Permintaan Ya’qub] hanyalah untuk memenuhi
hasrat hati Ya’qub [untuk melindungi mereka]:68 sebab, perhatikanlah, berkat apa
yang telah Kami ajarkan kepadanya, dia benar-benar dianugerahi pengetahuan
[bahwa kehendak Allah pastilah berlaku senantiasa69]; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya.
66
Lit., “ketika”.
Sebagaimana ditunjukkan dalam lanjutan ayat ini, mereka dan ayah mereka
67
Lit., “ia [yakni permintaan Ya’qub agar mereka memasuki kota melalui pintu-pintu
68
gerbang yang berbeda] tidak lain hanyalah suatu hasrat dalam hati (nafs) Ya’qub,
yang [akhirnya] dia penuhi”. Dengan kata lain, ketika dia memberi nasihat ini kepada
anak-anaknya, dia hanya mengikuti dorongan naluriah, suatu dorongan yang secara
manusiawi dapat dipahami, dan tidak begitu berharap agar tindakan eksternal apa
pun dapat menolong mereka: sebab, sebagaimana ditunjukkannya sendiri ketika
berpisah, “keputusan tentang apa yang akan terjadi hanya ada pada Allah”.
Penekanan atas kebergantungan mutlak manusia kepada Allah ini—sebuah ajaran
fundamental dalam Islam—menjelaskan mengapa nasihat Ya’qub (yang isinya
sendiri tidak relevan dengan kisah ini) disebutkan dalam kisah Al-Quran di atas.
69
Klausa sisipan ini didasarkan pada pendapat Al-Zamakhsyari ketika menafsirkan
frasa “yang dianugerahi pengetahuan” yang merujuk pada Ya’qub.
69. DAN, KETIKA [anak-anak Ya’qub] hadir di hadapan Yusuf, dia menarik
saudaranya [Bunyamin] ke arahnya seraya berkata [diam-diam kepadanya],
“Perhatikanlah, aku adalah saudaramu! Maka, janganlah engkau berdukacita
terhadap perbuatan mereka pada masa lalu!”70
70
Dengan demikian, bertentangan dengan catatan Bibel, di sini Yusuf dinyatakan
telah memberitahukan identitasnya kepada Bunyamin jauh sebelum dia
memberitahukannya kepada kesepuluh saudara tirinya. Kata-kata “perbuatan
mereka pada masa lalu” jelas-jelas mengacu pada tindak khianat mereka terhadap
dirinya yang sekarang rupanya diungkapkan Yusuf kepada Bunyamin.
70. Dan [kemudian,] ketika dia telah memperlengkapi mereka dengan persediaan
mereka, dia memasukkan piala—minum [Raja] ke dalam karung—unta saudaranya.
Dan, [tatkala mereka meninggalkan kota itu,] seorang bentara71 berteriak, “Wahai,
kalian orang-orang kafilah! Sungguh, kalian adalah pencuri!”72
71
Lit., “seorang penyeru” (muadzdzin)—sebuah nomina yang diderivasi dari bentuk
verba adzdzana (“dia telah menyiarkan” atau “dia telah mengumumkan” atau “dia
telah menyatakan kepada publik”).
72
Ketika menafsirkan ayat ini, Al-Razi berkata, “Al-Quran sama sekali tidak pernah
menyatakan bahwa tuduhan ini mereka buat atas perintah Yusuf; bukti tidak
langsung sebaliknya menunjukkan bahwa (al-aqrab ila zhahir al-hal) mereka
melakukan hal ini atas kemauan mereka sendiri: sebab, ketika mereka telah merasa
kehilangan piala-piala minum itu, [pelayan-pelayan Yusuf ini ingat bahwa] tidak
seorang pun yang telah mendekati piala-minum tersebut [kecuali anak anak Ya’qub]
sehingga terpikirlah oleh mereka bahwa anak-anak Ya’qub itulah yang
mengambilnya.” Pandangan-pandangan serupa juga dikemukakan oleh Al-Thabari
dan Al-Zamakhsyari dalam tafsir mereka atas kata-kata terakhir dari ayat 76.
Penjelasan yang sangat masuk akal ini berbeda tajam dengan catatan Bibel
mengenai kejadian ini (Kejadian 44). Menurut Bibel, tuduhan palsu tersebut adalah
bagian dari “muslihat” yang tidak dapat dibenarkan, yang direncanakan oleh Yusuf.
Jika kita menolak bagian versi Bibel ini—yang memang harus kita tolak—jauh lebih
logis untuk berasumsi bahwa Yusuf, yang telah mendapatkan wewenang penuh
dari Raja terhadap segala yang berada dalam kekuasaan sang Raja (lihat ayat 56),
telah memasukkan piala kerajaan itu sebagai sebuah hadiah ke dalam tas saudara
kesayangannya; dan bahwa dia melakukannya secara rahasia, tanpa
memberitahukan kepada para pelayannya, karena dia tidak mau seorang pun,
terutama kesepuluh saudara tirinya, mengetahui kecintaannya kepada Bunyamin.
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kejadian ini dan relevansi etisnya dalam
konteks kisah Yusuf, lihat catatan no. 77.
73
Lit., “Mereka berkata seraya menghadap ke arah mereka”.
Surah Yusuf Ayat 72
َقاُلوا َنْفِقُد ُص َو اَع اْلَم ِلِك َو ِلَم ْن َج اَء ِبِه ِح ْم ُل َبِع يٍر َو َأَنا ِبِه َز ِع يٌم
qālụ nafqidu ṣuwā’al-maliki wa liman jā`a bihī ḥimlu ba’īriw wa ana bihī za’īm
72. Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala minum Raja; dan dia yang
menyerahkannya akan memperoleh [biji gandum] seberat beban-unta [sebagai
hadiahnya]!”
73. Berkata [saudara-saudara itu], “Demi Allah! Kalian sungguh mengetahui bahwa
kami datang bukan untuk melakukan kerusakan di negeri ini, dan bahwa kami tidak
mencuri!”
74. [Orang-orang Mesir itu] berkata, “Akan tetapi, apakah balasan atas [perbuatan]
ini jika kalian [terbukti] berdusta?”
74
Kebanyakan mufasir (mungkin dengan bersandar pada Bibel, Keluaran 22: 3)
berasumsi bahwa ini adalah hukuman yang lazim untuk pencurian bagi orang-orang
Yahudi kuno. Namun, Al-Razi menyatakan bahwa kalimat terakhir ini bukan
merupakan bagian dari jawaban saudara-saudaranya, melainkan suatu penegasan
yang dinyatakan oleh pejabat Mesir yang berarti, “[Kenyataannya,] demikianlah
kami (orang-orang Mesir] membalas orang-orang yang berbuat kesalahan
[semacam itu]”.
76. Kemudian, [mereka dibawa ke hadapan Yusuf untuk diperiksa; dan] dia mulai
dengan karung saudara-saudara tirinya75 sebelum karung saudaranya sendiri
[Bunyamin]: dan akhirnya, dia mengeluarkan piala-minum itu76 dari karung
saudaranya.
Demikianlah, Kami mengatur untuk Yusuf [agar hasrat hatinya tercapai]: menurut
undang-undang Raja, [kalau tidak demikian] dia tidak dapat menahan saudaranya,
seandainya Allah tidak menghendaki demikian. Kami tinggikan derajat-derajat
[pengetahuan] bagi siapa pun yang Kami kehendaki—akan tetapi, di atas setiap
orang yang dianugerahi pengetahuan itu, ada lagi Yang Maha Mengetahui.77
75
Lit., “dengan karung-karung mereka“.
76
Lit., “dia mengeluarkannya”.
Kini, makna kisah ini menjadi jelas: ia merupakan suatu ilustrasi lebih lanjut tentang
77
doktrin dasar bahwa “keputusan [tentang apa yang akan terjadi] hanya ada pada
Allah” (ayat 67). Yusuf menginginkan agar Bunyamin tetap bersamanya, tetapi
menurut undang-undang Mesir, dia tidak dapat melakukannya tanpa persetujuan
dari saudara-saudara tirinya, yang merupakan wali-wali sah saudara mereka yang
belum dewasa; dan mereka yang terikat dengan sumpah setia kepada ayah mereka
pasti tidak akan setuju meninggalkan Bunyamin di Mesir. Satu-satunya pilihan lain
yang terbuka bagi Yusuf adalah menyingkapkan identitasnya kepada mereka; tetapi
karena belum siap melangkah sejauh itu, dia terpaksa mengizinkan Bunyamin pergi
bersama saudara-saudaranya. Hadiah Yusuf yang ditemukan secara tidak sengaja,
yang sama sekali tidak diduga oleh Yusuf (lihat ayat 72), mengubah segalanya:
sebab, kini Bunyamin terlihat bersalah karena kasus pencurian dan, menurut
undang-undang Mesir, Yusuf berhak menyatakan Bunyamin sebagai budaknya dan,
dengan demikian, menahannya di rumahnya. Kata-kata “Demikianlah, Kami
mengatur untuk Yusuf [agar hasrat hatinya tercapai]”, yang mengacu pada insiden
piala-minum tersebut, mengindikasikan bahwa hasil akhirnya tidaklah direncanakan
dan bahkan tidak pula diramalkan oleh Yusuf.
qālū iy yasriq fa qad saraqa akhul lahụ ming qabl, fa asarrahā yụsufu fī nafsihī wa
lam yubdihā lahum, qāla antum syarrum makānā, wallāhu a’lamu bimā taṣifụn
78
Ini jelas mengacu pada saudara kandung Bunyamin, yakni Yusuf. Karena tidak ada
indikasi bahwa Yusuf sebelumnya pernah dituduh mencuri, masuk akal untuk
berasumsi bahwa saudara-saudaranya, yang tidak menyadari bahwa mereka justru
sedang berdiri di hadapan Yusuf, semata-mata ingin memburuk-burukkan
Bunyamin saja demi berlepas diri secara lebih efektif dari Bunyamin, yang sekarang
tampaknya menjadi terpidana dalam kasus pencurian.
Lit., “Yusuf menyembunyikannya dalam dirinya sendiri dan tidak menyatakannya
79
kepada mereka; dia berkata …” dan seterusnya. Menurut hampir semua mufasir,
kata ganti ha “nya” mengacu pada “perkataan” Yusuf berikutnya atau, agaknya,
pada pemikiran Yusuf, yang diindikasikan oleh kata kerja “dia berkata” (yakni dalam
diri sendiri); inilah alasan terjemahan bebas saya untuk frasa ini.
80
Lit., “apa yang kalian sifatkan”, yakni pada Yusuf dan Bunyamin—secara tersirat,
“karena kalian sendiri telah mencuri Yusuf dari ayahnya”.
78. Mereka berkata, “Wahai, engkau yang mulia! Perhatikanlah, dia mempunyai
seorang ayah, seorang yang sangat tua: oleh karena itu, tahanlah salah seorang di
antara kami sebagai gantinya. Sungguh, kami melihat bahwa engkau adalah seorang
yang berbuat kebajikan!”
79. Dia menjawab, “Semoga Allah melindungi kita dari [dosa] menahan siapa pun,
kecuali orang yang padanya kami temukan barang-barang kami—sebab kalau
begitu, perhatikanlah, kami benar-benar akan menjadi orang-orang yang zalim!”
Yang tertua di antara mereka berkata, “Tidakkah kalian ingat81 bahwa ayah kalian
telah mengikat kalian dengan suatu sumpah setia di hadapan Allah—dan betapa
kalian, sebelumnya, telah lalai berkenaan dengan Yusuf? Karena itu, aku tidak akan
pergi dari negeri ini hingga ayahku memberikan izin kepadaku atau Allah
memberikan keputusan terhadapku:82 sebab, Dia-Iah hakim yang sebaik-baiknya.
81
Lit., “mengetahui”—tetapi karena di sini ungkapan ini lebih menunjukkan kenangan
ketimbang pengetahuan dalam pengertian yang sebenarnya dari kata ini, ungkapan
tersebut dapat diterjemahkan secara tepat seperti di atas.
82
Yakni, “memungkinkanku untuk mendapatkan kembali saudaraku, Bunyamin”.
81. [Dan, adapun kalian,] kembalilah kepada ayah kalian dan katakanlah, “Wahai,
Ayah kami! Perhatikanlah, anakmu telah mencuri—akan tetapi, kami tidak [dapat]
memberi kesaksian lebih daripada apa yang kami ketahui;83 dan [meskipun kami
telah bersumpah kepadamu], kami tidak dapat berjaga-jaga dari sesuatu yang
[tersembunyi pada masa yang akan datang dan, karenanya,] di luar jangkauan
pengetahuan kami.84
Zamakhsyari).
Lit., “Kami bukanlah penjaga terhadap apa yang ada di luar jangkauan
84
82. Dan, tanyakan saja di kota tempat kami berada [pada waktu itu], dan
rombongan kafilah yang kami bepergian bersamanya, dan [engkau akan mendapati
bahwa] kami sungguh berkata benar!”
83. [DAN, KETIKA mereka kembali kepada ayah mereka dan menuturkan
kepadanya apa yang telah terjadi,] dia berseru, “Tidak, tetapi pikiran kalian [sendiri]-
lah yang membuat kejadian [yang sangat buruk ini) tampak sebagai sesuatu yang
ringan bagi kalian! Namun, [adapun bagiku,] kesabaran dalam menghadapi
kesusahan adalah yang terbaik; semoga Allah membawa mereka semua [kembali]
kepadaku:85 sungguh, Dia sajalah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana!”
85
Yakni, Bunyamin, anak tertuanya (yang tetap tinggal di Mesir), serta Yusuf, yang
dugaan tentang kematiannya tidak pernah benar-benar dipercayai oleh Ya’qub
{bdk. catatan no. 17).
84. Akan tetapi, dia berpaling dari mereka dan berkata, “Duhai, betapa aku berduka
karena Yusuf!”—dan matanya menjadi rabun86 karena tenggelam dalam duka.
86
Lit., “putih”: yakni, rabun karena air mata yang memenuhinya (Al-Razi). Meskipun
sekarang Ya’qub kehilangan tiga putranya, dukacitanya atas Yusuf merupakan yang
paling parah karena dialah satu-satunya dari ketiga putranya yang hilang itu yang
tidak diketahui oleh Ya’qub apakah dia sudah mati atau masih hidup.
85. Berkata [anak-anaknya], “Demi Allah! Engkau tidak pernah berhenti mengingat
Yusuf hingga tubuh dan jiwamu rusak atau engkau meninggal!”
Yakni, bahwa “keputusan [tentang apa yang akan terjadi] hanya ada pada Allah”,
87
dan bahwa “semua orang yang percaya [akan keberadaan-Nya] haruslah bersandar
penuh percaya (bertawakal) kepada-Nya saja” (ayat 67): dua gagasan yang
mendasari keseluruhan surah ini, dan yang kini coba diingatkan oleh Ya’qub kepada
anak-anaknya. Di samping itu, kenangannya terhadap mimpi profetik Yusuf (ayat 4)
dan keyakinannya sendiri pada saat itu bahwa anak kesayangannya itu akan dipilih
oleh Allah untuk mendapatkan rahmat khusus-Nya (ayat 6), memberi Ya’qub suatu
harapan baru bahwa Yusuf masih hidup (Al-Razi dan Ibn Katsir): dan ini
menjelaskan bimbingan-bimbingan yang dia berikan kepada anak-anaknya dalam
kalimat berikutnya.
87. [Karena itu,] wahai Anak-Anakku, pergilah dan cobalah mencari berita tentang
Yusuf dan saudaranya; dan janganlah berputus asa dari belas kasih Allah nan
menghidupkan:88 sungguh, tiada seorang pun yang akan pernah berputus asa dari
belas kasih Allah nan menghidupkan, kecuali orang-orang yang mengingkari
kebenaran.”
Thabari dan yang lainnya), istilah rauh di sini bersinonim dengan rahmah (“belas
kasih” atau “rahmat”). Karena secara linguistik istilah tersebut terkait dengan
nomina ruh (“napas kehidupan” atau “ruh”), dan juga mempunyai pengertian
metonimia “istirahat” (rahah) dari dukacita dan kesedihan (Taj Al-‘Arus), tampaknya
penerjemahan yang paling tepat adalah “rahmat yang menghidupkan” {life-giving
mercy}.
Surah Yusuf Ayat 88
َفَلَّم ا َد َخ ُلوا َع َلْيِه َقاُلوا َيا َأُّيَها اْلَع ِزيُز َم َّسَنا َو َأْهَلَنا الُّض ُّر َوِج ْئَنا ِبِبَض اَع ٍة ُم ْز َج اٍة َفَأْو ِف
َلَنا اْلَك ْيَل َو َتَص َّدْق َع َلْيَنا ۖ ِإَّن َهَّللا َيْج ِزي اْلُم َتَص ِّد ِقيَن
fa lammā dakhalụ ‘alaihi qālụ yā ayyuhal-‘azīzu massanā wa ahlanaḍ-ḍurru wa ji`nā
bibiḍā’atim muzjātin fa aufi lanal-kaila wa taṣaddaq ‘alainā, innallāha yajzil-
mutaṣaddiqīn
88. [DAN, ANAK-ANAK Ya’qub kembali pergi ke Mesir dan kepada Yusuf;] dan
ketika mereka hadir di hadapannya, mereka berkata, “Wahai, engkau yang mulia!
Kesengsaraan telah menimpa kami dan keluarga kami, maka kami datang
membawa barang-barang dagangan yang sedikit saja;89 tetapi berikanlah kepada
kami takaran [gandum] yang penuh, dan bermurah-hatilah kepada kami:
perhatikanlah, Allah membalas orang-orang yang memberi sedekah!”
89
Yakni, barang-barang yang mereka maksudkan agar ditukarkan dengan gandum
(lihat catatan no. 60).
89. Jawabnya, “Apakah kalian ingat90 apa yang telah kalian lakukan terhadap Yusuf
dan saudaranya ketika kalian masih tidak mengetahui [kebenaran dan kesalahan]?”91
90
Lit., “mengetahui” (lihat catatan no. 81).
Dia menjawab, “Aku adalah Yusuf dan ini saudaraku. Allah benar-benar telah
mengasihi kami. Sungguh, jika seseorang92 sadar akan Dia dan bersabar dalam
menghadapi kesusahan—perhatikanlah, Allah tidak lalai memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat kebajikan!”
92
Lit., “siapa pun yang …” dan seterusnya.
92. Berkata dia, “Tiada cercaan yang akan terucap pada hari ini terhadap kalian.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian: sebab, Dia-lah yang paling
Penyayang di antara para penyayang!
Surah Yusuf Ayat 93
اْذ َهُبوا ِبَقِم يِص ي َٰه َذ ا َفَأْلُقوُه َع َلٰى َو ْج ِه َأِبي َيْأِت َبِص يًرا َو ْأُتوِني ِبَأْهِلُك ْم َأْج َم ِع يَن
iż-habụ biqamīṣī hāżā fa alqụhu ‘alā waj-hi abī ya`ti baṣīrā, wa`tụnī bi`ahlikum
ajma’īn
93. [Dan sekarang,] pergi dan bawalah baju gamis milikku ini dan letakkanlah ia ke
wajah ayahku, niscaya penglihatannya akan pulih kembali.93 Dan kemudian,
datanglah [kembali] kepadaku bersama seluruh keluarga kalian.”
Lit., “dia akan melihat [kembali]”—yakni, “dia akan berhenti menangisi aku, dan
93
keburaman penglihatannya yang disebabkan karena derita dan tangis yang terus-
menerus akan hilang setelah mengetahui bahwa aku masih hidup”: demikianlah
yang dapat disimpulkan dari penjelasan Al-Razi mengenai kalimat di atas.
Menurutnya, tidak ada alasan yang memaksa kita untuk berasumsi bahwa Ya’qub
benar-benar menjadi buta karena dukacita.
94. DAN SEGERA setelah kafilah [yang membawa serta anak-anak Ya’qub] itu
berada di tengah perjalanan,94 ayah mereka berkata [kepada orang-orang di
sekitarnya], “Perhatikanlah, seandainya kalian tidak akan menganggapku pikun, [aku
akan mengatakan bahwa] aku benar-benar merasakan aroma Yusuf [di udara]!”
94
Lit., “telah berangkat”, yakni dari Mesir.
95. Mereka menjawab, “Demi Allah! Engkau benar-benar masih tenggelam dalam
penyimpangan lamamu!”
96. Akan tetapi, ketika pembawa berita gembira itu datang [dengan baju gamis
Yusuf], dia meletakkannya ke wajahnya; dan dia dapat melihat kembali, [dan]
berseru, “Bukankah aku telah mengatakan kepada kalian, ‘Sungguh, aku
mengetahui, dari Allah, sesuatu yang tidak kalian ketahui’?”95
95
Lihat ayat 86.
98. Dia berkata, “Aku akan memohon kepada Pemeliharaku agar mengampuni
kalian: Dia sajalah Yang Maha Pengampun, Sang Pemberi Rahmat yang sejati!”
99. DAN, KETIKA mereka [semua tiba di Mesir dan] hadir di hadapan Yusuf, dia
menarik kedua orangtuanya ke arahnya,96 sambil berkata, “Masuklah ke Mesir! Jika
Allah menghendaki, kalian akan aman [dari segala kejahatan]!”
Rahel, telah meninggal ketika melahirkan Bunyamin. Karena itu, kita bisa berasumsi
bahwa “ibu” yang tersirat dalam istilah “kedua orangtua” adalah istri Ya’qub lainnya,
yang telah membesarkan Yusuf dan Bunyamin; asumsi ini sesuai dengan kebiasaan
Arab kuno yang mempergunakan kata “ibu” untuk mengacu pada ibu angkat.
Kemudian [Yusuf] berkata, “Wahai, Ayahku! Inilah arti sebenarnya dari mimpiku
dahulu, yang Pemeliharaku telah menjadikannya suatu kenyataan.99 Dan, Dia benar-
benar telah berbuat baik kepadaku ketika Dia membebaskanku dari penjara, dan
[ketika] Dia membawa kalian [semua kepadaku] dari gurun, setelah setan
menyemaikan perselisihan antara aku dan saudara-saudaraku. Sungguh,
Pemeliharaku Maha Tak Terduga dalam [cara-Nya menciptakan] apa pun yang Dia
kehendaki:100 sungguh, Dia sajalah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana!
97
Lit., “ke atas singgasana (al-‘arsy)”, dalam pengertian metaforis kata ini.
Menurut ‘Abd Allah ibn ‘Abbas (sebagaimana dikutip Al-Razi), kata ganti personal
98
pada “di hadapan-Nya” (lahu) mengacu pada Allah, sebab mustahil dibayangkan
bahwa Yusuf membiarkan kedua orangtuanya bersujud di hadapannya sendiri.
99
Terwujudnya mimpi masa kecil Yusuf adalah dalam hal martabat tinggi yang
diperolehnya dan fakta bahwa kedua orangtua beserta saudara-saudaranya telah
datang dari Kanaan ke Mesir demi dirinya: sebab, “tidak ada seorang berakal pun
yang dapat berharap bahwa perwujudan suatu mimpi harusnya merupakan suatu
replika/kejadian yang persis sama dengan mimpi itu sendiri” (Al-Razi, merujuk pada
sujud-simbolis sebelas bintang, matahari, dan bulan yang disebutkan dalam ayat 4
surat, ini).
100
Mengenai penerjemahan saya atas kata lathlf sebagai “Maha Tak Terduga”,
lihat Surah Al-An’am [6], catatan no. 89. Dalam contoh ini, istilah tersebut
memberikan suatu penekanan lebih lanjut, demikianlah kira-kira, terhadap tema
bahwa “keputusan [tentang apa yang akan terjadi] hanya ada pada Allah” (ayat 67).
Lit., “kerajaan”, yang mengindikasikan bahwa kekuasaan dan kerajaan yang mutlak
101
102. BERITA tentang sesuatu yang berada di luar jangkauan pemahamanmu ini Kami
wahyukan kepadamu [kini], [wahai Nabi:] sebab, engkau tidak berada bersama
saudara-saudara Yusuf103 ketika mereka merencanakan apa yang akan mereka
lakukan dan menyusun siasat jahat mereka [terhadapnya].
103
Lit., “bersama mereka”.
104. meskipun engkau tidak meminta balasan apa pun dari mereka untuk itu: ia
hanyalah pengingat [dari Allah] bagi seluruh umat manusia.
106. Dan, kebanyakan dari mereka bahkan tidak beriman pada Allah tanpa [juga]
menisbahkan kuasa-kuasa Ilahi kepada wujud-wujud lain selain-Nya.
108. Katakanlah [wahai Nabi]: “Inilah jalanku: berdasarkan pengetahuan sadar yang
dapat dijangkau oleh akal, aku menyeru [kalian semua] kepada Allah104—aku dan
orang-orang yang mengikutiku.”
Dan [katakanlah:] “Maha Tak Terhingga Allah dalam kemuliaan-Nya; dan aku
bukanlah salah seorang di antara orang-orang yang menisbahkan ketuhanan
kepada apa pun selain-Nya!”
104
Mustahil untuk menerjemahkan ungkapan ‘ala bashirah secara lebih ringkas.
Nomina bashirah diderivasikan dari verba bashura atau bashira (“dia menjadi
melihat “atau” dia telah melihat”). Kata ini, seperti juga bentuk verbanya,
mempunyai pengertian abstrak “melihat dengan pikiran seseorang”: dengan
demikian, ia berarti “kemampuan pemahaman yang berdasarkan pengetahuan
sadar” serta, secara figuratif, “bukti yang dapat dijangkau oleh akaI” atau “dapat
diverifikasi oleh akaI”. Dengan demikian, “seruan kepada Allah” yang diucapkan
oleh Nabi digambarkan di sini sebagai hasil dari pengetahuan sadar yang dapat
diterima dan dapat diverifikasi oleh akal manusia: sebuah pernyataan yang dengan
sempurna menggambarkan pendekatan Al-Quran terhadap semua persoalan iman,
etika, dan moralitas, dan digemakan berkali-kali dalam ungkapan-ungkapan seperti
“agar kalian menggunakan akal kalian” (la’allakum ta’qilun), atau “maka, tidakkah
kalian menggunakan akal kalian?” (afala ta’qilun), atau “agar mereka dapat
memahami [kebenaran]” (la’allahum yafqahun), atau “agar kalian dapat berpikir”
(la’allakum tatafakkarun); dan, akhirnya, dalam pernyataan yang sering kali diulang,
bahwa pesan Al-Quran itu sendiri ditujukan secara khusus “bagi orang-orang yang
berpikir” (li qaumin yatafakkarun).
Surah Yusuf Ayat 109
َو َم ا َأْر َس ْلَنا ِم ْن َقْبِلَك ِإاَّل ِرَج ااًل ُنوِح ي ِإَلْيِهْم ِم ْن َأْهِل اْلُقَر ٰى ۗ َأَفَلْم َيِس يُروا ِفي اَأْلْر ِض
َفَيْنُظُروا َك ْيَف َك اَن َع اِقَبُة اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلِهْم ۗ َو َلَداُر اآْل ِخ َر ِة َخ ْيٌر ِلَّلِذ يَن اَّتَقْو ا ۗ َأَفاَل َتْع ِقُلوَن
wa mā arsalnā ming qablika illā rijālan nụḥī ilaihim min ahlil-qurā, a fa lam yasīrụ fil-
arḍi fa yanẓurụ kaifa kāna ‘āqibatullażīna ming qablihim, wa ladārul-ākhirati khairul
lillażīnattaqau, a fa lā ta’qilụn
109. Dan, [bahkan] sebelum masamu, Kami tidak pernah mengutus [sebagai rasul-
rasul Kami] melainkan manusia [biasa] yang Kami ilhamkan, [dan yang selalu Kami
pilih] dari kalangan orang-orang di antara masyarakat-masyarakat [itu sendiri, yang
kepadanya wahyu itu hendak disampaikan].105
Maka, tidak pernahkah mereka [yang menolak kitab Ilahi ini] melakukan perjalanan
di muka bumi dan memperhatikan apa yang pada akhirnya terjadi terhadap orang-
orang [yang mengingkari kebenaran] itu, yang hidup sebelum mereka?—dan
[tidakkah mereka mengetahui bahwa] bagi orang-orang yang sadar akan Allah,
kehidupan di akhirat benar-benar lebih baik [daripada dunia ini]? Maka, tidakkah
mereka menggunakan akal mereka?
yang tidak beriman, yakni bahwa manusia biasa yang sama seperti mereka tidak
mungkin diberi amanat untuk menyampaikan pesan Allah kepada manusia.
110. [Semua rasul terdahulu terpaksa mengalami penganiayaan untuk waktu yang
lama;] tetapi akhirnya106—ketika para rasul itu telah kehilangan segala harapan dan
melihat diri mereka sendiri dijuluki sebagai para pendusta107—pertolongan Kami
datang kepada mereka: kemudian setiap orang yang Kami kehendaki [untuk
diselamatkan] (akhirnya) diselamatkan [dan para pengingkar kebenaran
dihancurkan]: sebab, hukuman Kami tidak pernah dapat dihindarkan dari orang-
orang yang tersesat dalam dosa.
mereka sendiri, yang memandang bahwa harapan para nabi akan pertolongan Allah
hanyalah angan-angan kosong, ataupun didustakan oleh kenyataan pahit yang
tampaknya berlawanan dengan harapan para nabi tersebut, yakni bahwa
pertolongan Allah segera datang (Al-Zamakhsyari). Ketika menafsirkan ayat ini,
‘Abd Allah ibn ‘Abbas biasa mengutip Surah Al-Baqarah [2]: 214—”dan begitu
terguncangnya mereka sehingga rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya
berseru, ‘Bilakah pertolongan Allah akan datang?'” (ibid.).
111. Sesungguhnya, pada kisah orang-orang ini108 terdapat suatu pelajaran bagi
orang-orang yang dianugerahi pengetahuan yang mendalam.
108
Lit., “dalam kisah-kisah mereka”—yakni, kisah-kisah para nabi.
Lihat juga Surah Yunus [10]: 37 dan catatan no. 60 yang terkait.