Anda di halaman 1dari 12

PENGKAJIAN KEPERAWATAN PALIATIF

“AGAMA BUDHA”

DOSEN FASILITATOR : Ns.


Rezky Pradessetia, M.Kep

DISUSUN OLEH:
Kelompok 4

Mifta Rilli Adzkia 21031069


Della Fatika 21031070
Hikmatul Aulia 21031071
Sefriyonaliza 21031072
Lusy Ade Pratiwi 21031073
Ivo Cahyang 21031074
Syalsa Marshanda 21031075

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HANG TUAH PEKANBARU
2023
KATAPENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat AllahSWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Tanpa pertolongan-Nya kami tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami
menghanturkan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik secara materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan tangan terbuka menerima
masukan, saran dan usul dari berbagai pihak guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya kami
selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Terimakasih.

Pekanbaru, 31 Oktober 2023

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................ Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI............................................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................... Error! Bookmark not defined.

1.2 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 1

1.3 Manfaat Penulisan ....................................................................................................... 1

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Keyakinan Buddha dan Akhir Kehidupan .................................................................. 5

2.2 Studi tentang Perawatan Paliatif dan Buddhisme ....................................................... 7

2.3 Potensi Ajaran Buddha dalam Perawatan Paliatif ....................................................... 7

2.4 Membawa ajaran Buddha ke Samping Tempat Tidur............................................................. 8

2.5 Pengkajian Spiritual…………………………………………………………………………..9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 11


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut agama Buddha, penderitaan melekat pada semua umat manusia. Nasihat
tentang bagaimana penderitaan dapat dikurangi selama penyakit serius mungkin
bermanfaat bagi pasien dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
progresif. Perawatan paliatif dapat memperoleh manfaat dari wawasan Buddhis dalam
bentuk perawatan penuh kasih sayang dan menghubungkan kematian dengan
kehidupan. Ajaran Buddha dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan menawarkan kepada pasien cara untuk
memfokuskan pikiran mereka saat menghadapi gejala dan penyakit fisik.
Agama pada dasaranya adalah sikap dasar manusia yang seharusnya kepada
Tuhan.Agama mengungkapkan diri dalam sembah bakti sepenuh hati kepada Tuhan.
Berbeda de ng an ima n ya ng d ida sar kan pa da pewa hy uan T u han , agam a
s ebe nar nya m eru paka n ha sil u sa ha ma nu sia , y ang dik emb an gka n da lam ra ng ka
me ng atur berb ag ai h al yan g berkaitan dengan pengungkapan
iman. Disebut tiada batasnya karena perjalanan rohani terutama berkaitan dengansesuatu
yang trasenden atau gaib. Hal ini mungkin tidak hanya bermanfaat bagi pengikut agama
Buddha tetapi juga bagi semua pasien. (Relasi dengan tuhan , 2006)

1.2 Rumusan Masalah


Ber das arka n lata r bel aka ng diat as, m ak a r umus an ma sala h ya ng did apat ka n
a dala h bagaimana perawatan spiritual dalam perspekti agama Buddha.

1 .3 Tuj ua n
Ad ap un tu jua n dalam p embu ata n mak ala h i ni yait u unt uk men get ah ui
p era wat an spiritual dalam perspekti agama budha.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keyakinan Buddha dan Akhir Kehidupan


Ajaran Buddha mempunyai relevansi yang bertahan lama karena secara konsisten
menghubungkan kematian dengan kehidupan. Merupakan hal yang biasa untuk mulai menghadapi
kematian begitu seseorang dihadapkan padanya. Umat Buddha mengatakan seseorang harus
memulainya jauh sebelumnya, sehingga rasa sakit dan kecemasan tidak mengganggu kemampuan
seseorang untuk memahami situasinya. (Pengaruh dan dampak agama budha [ada pengobatan tibet dan
oarang yang sakit parah serta sekarat di nepal, 2008)
Dalam doktrin Buddhis, tubuh dan pikiran tidak dianggap terpisah karena entitas yang ada secara
independen tidak dianggap ada. Semuanya saling terkait dan terhubung secara kausal dan segala
sesuatunya terus berubah dan berkumpul kembali. Ini berarti bahwa kefanaan dan perubahan adalah
ciri dasar ajaran Buddha. Kita dapat mengatakan bahwa hal yang sama berlaku untuk tubuh manusia:
ia juga terus berubah dari lahir hingga mati dan dengan demikian mewakili pemikiran ini. Tubuh
dianggap sebagai guru ketidakkekalan. (Akhirnya kehidupan, 2005)
Buddha bersejarah sendiri mencari suatu kondisi yang tidak dapat dihancurkan oleh
kematian. Mengikuti pengalaman orang yang dicintainya bertambah tua, ia menyadari bahwa apapun
yang dilahirkan pasti mati. Ini membuatnya mencari sifat sebenarnya dari segala sesuatu. Beliau wafat
pada usia 80 tahun dalam keadaan tenteram dan penuh kesadaran.
Agama Buddha dianggap sebagai agama moderat tanpa formalitas yang kaku, di mana kasih
sayang dan rasa hormat terhadap kehidupan melekat dan kematian dianggap sebagai bagian integral
dari kehidupan. Karena pendekatannya yang non-teistik, ada yang menyebutnya lebih sebagai
filsafat daripada agama. Menurut ajaran Buddha, merupakan kesalahan mendasar jika menganggap diri
sendiri ada secara terpisah dari orang lain. Dalam agama Buddha, memiliki tubuh manusia dianggap
sebagai hak istimewa yang langka, karena bentuk fisik adalah dasar jalan menuju pencerahan.
Seseorang tidak dianggap sebagai atau memiliki tubuh, melainkan menghuninya.
Konfrontasi dengan kematian berjalan seiring dengan penolakan, penolakan, penyangkalan, dan
pembangkangan, tidak hanya dalam masyarakat, tetapi juga jika dilihat dari perspektif klinis. Di
fakultas kedokteran, penyakit yang tidak dapat disembuhkan tampaknya hanya fenomena sementara,
yang berulang kali ditekankan dengan jelas bahwa belum ditemukan obat untuk penyakit
tertentu. Dengan melihat penyakit yang tidak dapat disembuhkan, kematian, dan kematian hanya dari
sudut pandang ilmiah, komunitas medis berisiko kehilangan pandangan terhadap individu. Menurut
agama Buddha, kebenaran tidak dapat ditemukan secara ekstrim. (Empat kebenaran mulia, 2005).
Empat Kebenaran Mulia dianggap sebagai intisari agama Buddha. Hal-hal tersebut diajarkan
oleh Buddha segera setelah pencerahannya, dan dengan demikian menjadi awal
dari ajarannya. Kebenaran disebut mulia karena diungkapkan kepada seseorang yang telah
mengalami sikap tidak mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, mereka menunjukkan sifat
sebenarnya dari realitas. Empat Kebenaran Mulia adalah sebagai berikut:
a. kebenaran mulia tentang penderitaan
b. kebenaran mulia tentang asal mula penderitaan
c. kebenaran mulia tentang lenyapnya penderitaan dan asal mula penderitaan
d. kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan dan asal mula penderitaan.

Umat Buddha percaya bahwa keberadaannya terbatas dan menganggap ketidaktahuan, kemarahan, dan
keterikatan sebagai akar penderitaan. Kebebasan dari penderitaan dan asal mula penderitaan hanya
dapat ditemukan di luar keterikatan pada tubuh, nama, dan bentuk. Hal ini dikatakan dapat dicapai
melalui meditasi dan mempelajari ajaran Buddha.

2.2 Studi tentang Perawatan Paliatif dan Buddhisme


Kami tidak mengetahui adanya penelitian mengenai kemungkinan dampak agama Buddha
pada pasien dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang menerima perawatan paliatif atau
perawatan di akhir hayat. Namun, hubungan erat antara kepedulian spiritual dan kualitas hidup
pasien kanker stadium lanjut menyoroti pentingnya perawatan spiritual dalam perawatan paliatif.
(Spiritualitas,religiusitas, dan penderitaan spiritual pada pasien kanker stadium lanjut,
2011)
.
Mengelola gejala penyakit di akhir kehidupan adalah salah satu tugas terpenting. Jika hidup
tidak dapat diperpanjang, pasien sering kali mengungkapkan kekhawatiran spiritualnya.
Mayoritas pasien menganggap agama dan/atau spiritualitas sebagai hal yang penting. Tujuan
dari unit perawatan paliatif adalah untuk meningkatkan pelayanan sedemikian rupa sehingga
memfasilitasi keluarnya pasien dari rumah sakit. Namun, hal ini juga disertai dengan tingginya
persentase pasien yang menderita penyakit stadium lanjut, tidak dapat dipulangkan, dan kemudian
meninggal di rumah sakit.Oleh karena itu, pendekatan spiritual dapat membantu pasien mengatasi
penyakitnya dan meringankan tekanan di akhir hidupnya. Dalam studi empiris oleh Kongsuwan et
al.dari Unit Perawatan Intensif Buddha Thailand. (Sikap dan praktik keagamaan orang lanjut usia
yang sakit dan dirawat di rumah sakit, 1998)
Empat kualitas inti didefinisikan untuk menggambarkan konsep kematian yang damai:
memiliki pikiran yang damai, tidak menderita, penerimaan keluarga terhadap kematian pasien, dan
berada bersama orang lain dan tidak sendirian. Penyakit stadium lanjut dapat menimbulkan
berbagai gejala, dan tujuan perawatan paliatif adalah untuk mendukung kebutuhan pasien sejak
diagnosis, selama, dan setelah pengobatan. Harus ada pembedaan antara perawatan paliatif dan
perawatan akhir hidup, namun keduanya memiliki kesamaan yaitu kualitas hidup, manajemen
gejala, dan penanganan penyakit harus ditingkatkan. (Persepektif perawat unit perawatan intensif
budha thailand tentang kematian yang damai, 2010)

2.3 Potensi Ajaran Buddha dalam Perawatan Paliatif


Agama Buddha dan perawatan paliatif sama-sama berfokus pada masa kini. Masuk ke unit
perawatan paliatif biasanya disebabkan oleh gejala fisik, dan unit ini awalnya akan berkonsentrasi
pada gejala yang muncul pada pasien. Seperti dalam pemahaman Buddhis, saat ini adalah hakikat
kita. Ajaran Buddha tidak memerlukan kepercayaan. Salah satu ajaran dasar Buddha adalah
membuktikan segalanya dan tidak mempercayai begitu saja apa yang diajarkan Buddha hanya
karena seseorang menganggap orang lain meyakinkan. Seseorang tidak boleh melepaskan
otonominya atau mengikuti kemauan orang lain secara membabi buta. Hal ini hanya akan
menimbulkan khayalan. Tujuannya adalah untuk mengetahui diri sendiri apa itu
kebenaran. Artinya ajaran Buddha tidak boleh dikedepankan sebagai metode untuk memanipulasi
pikiran dari luar. Hal ini sebaiknya dianggap sebagai stimulus untuk menghadapi topik-topik sulit.
Mengatasi kematian dan ketidakkekalan hidup sangat penting dalam filsafat Buddhis.
Kematian dianggap selalu ada dan merupakan bagian alami dari keberadaan. “Daripada dilahirkan
dan mati, sifat sejati kita adalah tidak dilahirkan dan tidak mati.” Meskipun demikian, peristiwa
kematian secara fisik memberi seseorang kesempatan untuk mempersiapkan dan melatih pikiran.
Terlepas dari apakah seseorang adalah seorang penganut Buddha yang mahir dalam teknik
meditasi, ada pendekatan dan latihan Buddhis yang dapat memberikan perlindungan dan kekuatan
dalam menghadapi kematian. Agama Buddha menjadi cukup populer di Barat karena tidak
menganggap kematian sebagai titik akhir. (Hidup dalam kaitannya dengan kematian, 2003)

2.4 Membawa ajaran Buddha ke Samping Tempat Tidur


Saat berhubungan dengan pasien yang menderita penyakit yang mengancam jiwa, seseorang
harus menemukan cara untuk bersikap sensitif tanpa bersikap tidak jujur. Putaran di unit perawatan
paliatif berbeda dari putaran biasanya karena konsultasi medis dalam keadaan seperti itu lebih
mempertimbangkan perasaan pribadi pasien. Selama kunjungan kami, kami menemukan bahwa unsur-
unsur tertentu dari ajaran Buddha, tanpa harus menyebutkan bahwa mereka beragama Buddha, dapat
memberikan kenyamanan kepada pasien kami. Contohnya termasuk instruksi untuk fokus pada saat
ini dan saat ini, pengetahuan tentang ketidakkekalan segala sesuatu (serta gejala-gejala yang tidak
menyenangkan), atau hadir dengan belas kasih.
Bertentangan dengan kepercayaan umum, pengalaman dari unit perawatan paliatif memberi
tahu kita bahwa pasien merasa tidak terbebani setelah berdiskusi tentang akhir hayat. Tampaknya
persepsi realistis pasien terhadap situasi mendukungnya dalam perjalanan penyakitnya. Data dari
penelitian Steinhauser et al. menunjukkan bahwa pertanyaan “Apakah Anda merasa damai?” berfungsi
dengan baik sebagai alat skrining untuk kebutuhan spiritual dan perasaan damai berkorelasi kuat
dengan kesejahteraan emosional dan spiritual. Praktik medis tanpa perspektif spiritual dapat
mengakibatkan ketergantungan reduksionis pada sains tanpa memenuhi kebutuhan pasien.
Akhir dari kehidupan adalah sesuatu yang sangat pribadi sehingga ilmu pengetahuan sendiri pun
bingung mengenainya. (Perspektif antar agama tentang harapan dan batasan dalam pengobatan kanker,
2005)
2.5 PENGKAJIAN SPIRITUAL
SPIRIT
1. Sistem keyakinan
a. Kehidupan spiritual yang penting untuk klien
b. Makna hidup bagi klien
2. Pengalaman Spiritual
a. Menjelaskan keyakinan dan pelaksanaan agama yang diyakini oleh klien
b. Makna agama bagi klien
c. Peran agama dalam kehidupan sehari hari klien
3. Integrasi dengan Komunitas
a. Keterlibatan klien dengan kelompok spiritual
b. Seberapa penting kelompok tersebut bagi klien
c. Dukungan yang diberikan oleh kelompok tersebut
d. Dukungan yang diberikan oleh kelompok berkaitan dengan penyakit klien
4. Ritual
a. Ritual yang dilakukan oleh klien sebagai bagian dari kehidupan spiritual klien
b. Gaya/cara hidup yang didukung dan dilarang oleh agama klien
c. Makna dari ritual keagamaan yang dijalani bagi klien
d. Sejauh mana klien mengikuti pedoman dalam agama yang dianutnya
5. Implikasi
a. Hal-hal tertentu dari kegiatan pengobatan dan perawatan yang tidak sesuai dengan
ketentuan agama yang dianut klien.
b. Aspek-aspek tertentu dari agama klien yang perlu dipertimbangkan selama kegiatan
perawatan.
c. Batasan-batasan hubungan yang diatur dalam agama klien
d. Kesediaan klien untuk mendiskusikan implikasi keagamaan klien terhadap pelayanan
Kesehatan
6. Terminal events planing (perencanaan peristiwa Terminal)
a. Aspek tertentu dari kegiatan pengobatan dan perawatan yang klien ingin tetap
pertahankan atau tinggalkan terkait dengan agama yang klien anut.
b. Praktik keagamaan yang ingin klien rencanakan selama perawatan terminal di
rumah sakit atau di rumah.
c. Bagaiman klien mendapatkan kekuatan untuk mengatasi penyakitnya.
d. AlasaN klien untuk tetap bersyukur meskipun dalam keadaan sakit.
e. Bagaimana klien bisa mendapatkan kenyamanan saat klien ketakutan atau mengalami
nyeri
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mengatasi penderitaan adalah elemen umum dalam ajaran Buddha dan perawatan paliatif.
Tujuan dari praktik Buddhis adalah untuk membebaskan semua makhluk hidup dari penderitaan,
sama seperti tujuan medis untuk meringankan penderitaan dalam perawatan paliatif. Latihan
Buddhis dalam bentuk meditasi dapat membantu menghindari penderitaan. Hal ini juga dapat
memperkuat pengakuan bahwa keberadaan manusia itu menyakitkan. Hal ini dapat
memberikan dukungan mental, terutama kepada pasien yang dirawat di unit perawatan
paliatif. Dharma Buddha, yang berarti ajaran Buddha, terbukti bermanfaat selama masa
penderitaan.
Khususnya di rumah sakit yang lengkap, kebutuhan pekerjaan sehari-hari dan peningkatan
pengetahuan medis biasanya lebih diutamakan daripada pengembangan pikiran. Menetapkan dan
menawarkan ajaran Buddha atau bahkan praktik meditasi di rumah sakit terbukti bermanfaat bagi
dokter dan pasien. Hal ini dapat membantu pasien untuk menjadi lebih mandiri dari pengaruh
eksternal. Harus menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan dapat membuat seseorang
kehilangan kendali diri karena harus menyerahkan keintiman dan kepercayaan pada tangan staf
medis. Dimasukkan ke unit perawatan paliatif berarti melepaskan kemandirian dan dikondisikan
oleh faktor-faktor di luar kendalinya. Mempertahankan pikiran yang kuat dan jernih mungkin
menjadi lebih sulit jika kondisi kesehatan memburuk. Dari sudut pandang Buddhis, ini berarti
seseorang terjebak dalam keberadaan yang terkondisi. Rasa sakit, kecemasan, atau rasa tidak aman
dapat menyebabkan stres yang luar biasa. Oleh karena itu, ada gunanya mempersiapkan pikiran
terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA

Fransisca, A., & Wijoyo, H. 2020. Implementasi Metta Sutta terhadap Metode Pembelajaran di
Kelas Virya Sekolah Minggu Sariputta Buddhies. Jurnal Ilmu Agama dan Pendidikan
Agama Buddha, 2(1), 1-12.
Pranata, J., & Wijoyo, H. 2020. Meditasi Cinta Kasih untuk Mengembangkan Kepedulian dan
Percaya Diri. Jurnal Maitreyawira, 1(2), 8–14.
Fegg, Martin, L’hoste Sibylle, Monika Brandstatter dan Gian Domenico Borasio, ‘Does the
Working Environment Influence Health Care Professionals ’ Values , Meaning in Life
and Religiousness ? Palliative Care Units Compared With Maternity Wards’, Journal of
Pain and Symptom Management, 48 (2014): 915–923,
https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2014.01.009.
Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian. Jakarta Selatan: Penerbit Noura Books, 2015.

Anda mungkin juga menyukai