Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

PERAWATAN PALIATIF DALAM PRESPEKTIF AGAMA DAN SPIRITUAL

Dosen Pembimbing :
Dr.H. Edi Sukamto,S.Kp., M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 8
Ayu Kartika
Eko Fajar Kurniawan
Rahmawati Paonganan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Perawatan Paliatif Dalam Prespektif Agama Dan Spiritual” dalam memenuhi
penugasan yang diberikan oleh dosen pengajar dalam mata kuliah Keperawatan
Menjelang Ajal dan Paliatif.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan karena adanya bantuan baik moral maupun material serta kerja sama
terutama dari teman-teman, dosen pembimbing, dan berbagai pihak. Untuk itulah,
kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada pembimbing dalam bimbingan pembuatan makalah ini.
Akhir kata, kami menerima secara terbuka saran dan kritik atas segala
kekurangan dalam makalah ini, dan penulis berharap makalah ini dapat meningkatkan
ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dan
masyarakat luas.

Samarinda, 4 Agustus 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Agama Dalam Perawatan Paliatif...................................................................2
B. Perspektif Agama Terhadap Kehilangan.......................................................................12
C. Kebutuhan Spiritual.......................................................................................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................................17
B. Saran..............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila merujuk pada definisi perawatan paliatif maka secara umum kita
dapat menyimpulkan bahwa perawatan paliatif merupakan suatu upaya untuk
mengurangi penderitaan pasien melalui perawatan secara holistic yang mana
tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas hiudp baik pasien
sebagai subyek yang mengalami penyakit yang mengancam jiwa maupun
keluarga atau orang terdekatnya (Amoah, 2011).
Perspektif menurut agama terhadap kehilangan, dalam perspektif agama
saat menghadapi kehilangan manusia di haruskan untuk sabar, berserah diri,
menerima, dan mengembalikannya kepada Allah karena hanya Dia pemilik
mutlak segala yang kita cintai, dan manusia bukan lah pemilik apa-apa yang
di akuinyah.
Spiritualitas merupakan sesuatu yang di percaya oleh seseorang dalam
hubunganya ddengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan
suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya tuhan, dan permohonan maaf
atas segala kesalahan yang di buat.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana klien dan keluarga memahami perawatan paliatif dalam
perspektif agama dan spiritual.

C. Tujuan
1. Mengetahui tinjauan agama dalam perawatan paliatif.
2. Mengetahui perspektif agama terhadap kehilangan untuk yang di tinggalkan.
3. Memenuhi kebutuhan spiritual.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Agama Dalam Perawatan Paliatif


Bila merujuk pada definisi perawatan paliatif maka secara umum kita
dapat menyimpulkan bahwa perawatan paliatif merupakan suatu upaya untuk
mengurangi penderitaan pasien melalui perawatan secara holistic yang mana
tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup baik pasien sebagai
subyek yang mengalami penyakit yang mengancam jiwa maupun keluarga atau
orang terdekatnya (Amoah, 2011).
Sejak dimulainya sistem pengobatan modern, maka paradigma holistic
dari leluhur mengenai perawatan kesehatan secara bertahap tergantikan dengan
adanya pandangan bahwa harus ada pemisah antara pengobatan yang terkait
dengan masalah tubuh dengan perawatan terkait jiwa (Broeckaert, 2011)
Perawatan spiritual merupakan salah satu domain dasar dalam upaya
pelayanan perawatan paliatif yang berkualitas sebagaimana yang telah
dinyatakan dalam The National Consensus Project For Quality Palliative Care
(NCP) dan The National Quality Forum pada tahun 2009 (Otis-Green, Ferrell,
Borneman, Puchalski, Uman dan Garcia, 2012).
Sejak dimualainya pelayanan hopsis yang kemudian dikembangkan
menjadi pelayanan paliatif, spiritualitas telah diperkenalkan sebagai elemen
dasar dalam perawatan paliatif (Puchalski,2013). Sebagai pendiri hopsis, Dame
Cicely Saunders telah mendedikasikan hidupnya untuk merawat pasien yang
menjelang akhir hayat dengan mendampingi pasien yang mengalami “Total
Pain”. Total pain yang dimaksudkan adalah istilah unutk menggambarkan
kondisi distress pasien akibat dari distress spiritual, psikososial dan fisik. Atas
dasar pemikiran tersebut maka lahirlah sebuah model yang saat ini dikenal
dengan model biopsikososio spiritual, dan model tersebut menjadi acuan dalam
pelayanan perawatan paliatif.
Perawatan paliatif yang merupakan sebuah disiplin yang dikhususkan
untuk menyediakan perawatan secara holistic pada pasien dengan penyakit
stadium lanjut, dan penyakit yang mengancam jiwa (Penderell & Brazil, 2010).
Sebagaimana diketahui bahwa perawatan paliatif merupakan pelayanan yang
berupaya untuk memberikan kualitas hidup yang terbaik pada pasien dalam
menghadapi kematian. Sehingga penting adanya untuk memberikan perawatan
yang komprehensif, tidak hanya fisik, emosional, psikologis, namun juga
memberikan pelayanan untuk kebutuhan spiritual pasien. Olehnya itu, maka
penting adanya seorang praktisi kesehatan mengetahui akan pentingnya peran
spiritualisas terhadap pasien dan keluarganya. Sekalipun WHO telah
menyatakan bahwa perawatan spiritual merupakan bagian dari komponen
perawatan paliatif, namun hal ini sering terabaikan dalam tatanan klinis
(Sleman, Young, Vermandere, Stirling & Leget, 2014).
1. Spiritualitas dan Religiusitas
Spiritualitas didefinisikan sebagai aspek dari kemanusiaan yang
mana hal tersebut merujuk pada cara seseorang mencari dan
mengekspresikan makna, tujuan atau maksud, dan cara pengalaman
mereka yang mana semua hal tersebut saling berhubungan pada waktu
atau kejadian, pada diri sendiri, pada yang lainnya, pada alam, pada orang
terdekat, maupun pada yang kuasa (Puchalski, 2013). Definisi ini
menggaris bawahi tentang universalitas dari spiritualitas itu sendiri, yang
mana semua orang mencari makna dan tujuan hidupnya di dlam
kehidupan mereka.
Spiritual distress, termasuk ketidak bermaknaan dalam hidup atau
keputusasaan sering terjadi pada pasien dengan penyakit yang semakin
parah atau stadium lanjut dengan kondisi kualitas hidup yang semakin
jelek, keputuan menjelang akhir hayat, atau ketidakpuasan dengan
pelayanan yang diberikan (Sleman, Young, Vermandere, Stirling &
Leget, 2014). Hal serupa juga dikemukakan oleh Wynne (2013) bahwa
spiritual distress diketahui terjadi sebagai akibat dari proses recovery atau
pemulihan yang lambat, kurangnya penerimaan pasien terhadap kondisi
sakitnya, dan kualitas hidup yang semakin menurun, serta meningkat
masa hospitalisasi.
Tren dan isu tentang spiritualitas dan agama dalam perawatan
paliatif meningkat sejak tahun 1990 (Flannelly, 2012). Hal ini dibuktikan
dari hasil penelusuran artikel yang telah dipublikasi dimana tema
spiritualitas dan agama sangat banyak ditemukan pad artikel tentang
perawatan paliatif dibandingkan dengan disiplin lain dalam dunia
kedokteran.
Spiritualitas merujuk pada aspek filosofis, keagamaan, spiritual dan
existensial. Worhington (2009, dalam Nelson-Becker, Ai, Hopp,
McCormick, Schlueter & Csmp, 2015). Menyatakan bahwa ada beberapa
perbedaan dimensi spiritualitas di dunia ini, hal ini didasarkan pada
perbedaan prinsip keimanan dari agama itu sendiri. Akibat dari adanya
keberagaman dalam cara pandang maka sebagai praktisi kesehatan
penting adanya untuk memiliki sikap terbuka terhadap berbagai macam
keyakinan pasien baik secara agama maupun spiritualitas.
Agama sering dibedakan dengan spiritualitas, dimana agama
merupakan manifestasi perilaku dari keyakinan atau nilai agama dan
social, yang saling berhubungan dan dipersatukan oleh suatu keyakinan
dan iman (Nelson-Becker, ai, Hopp, McCormick, Schlueter &
Camp,2015). Akan tetapi dalam studi gerontology dan geriatric, konsep
agama lebih diorientasikan cesara organisasi berupa sistem kepercayaan
dan keyakinan, praktik dan ritual yang mana akan menghubungkan
seorang ke kondisi realitas dan ke orang lain. Sehingga agama memiliki
makna yang lebih luas berupa pengalam dan kode etik bersama dan
disampaikan ke orang lain dari waktu-ke waktu.
Religiusitas didefinisikan sebagai sebuah perangkat kepercayaan
yang merujuk pada aktifitas yang didasarkan atas keyakinan dan keimnan
yanh baik dilakukan dengan kasat mata maupun sesuatu yang tak kasat
mata (bjarnason, 2012). Lebih lanjut Bjarnason (2010) menjelaskan
bahwa relihiusitas merupakan hal yang terpenting yang mana memiliki
tiga fokus utama yaitu sebagai alat untuk mengidentifikasi afiliasi
seseorang terhadap suatu agama atau keyakinan, untuk mengidentifikasi
praktik keagamaan seseorang termasuk kegiatan ibadah, dan kepercayaan
terhadap agama yang dianutnya. Yang mana dengannya seseorang dapat
menunjukan derajat seberapa pentingnya suatu agama dalam
kehidupannya, atau hubungannya dengan kekuatan yang maha dahsyat.

2. Praktik Keberagaman
Saunders (2000 dalam Wynne, 2013) mempercayai bahwa
meninggal dengan baik sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan
seseorang terhadap sesuatu seperti melakukan sesuatu dengan keyakinan
bahwa ia akan bersama dengan yang Maha Kuasa atau melakukan sesuatu
hanya karena dorongan yang bersifat duniawi semata. Hal tersebut terjadi
pada pasien setelah melakukan suatu keterlibatan secara mendalam
sihingga menimbulkan suatu hubungan yang kuat, membangun keyakinan
berdasarkan kepercayaan, kejujuran dan dengan proses mendengar secara
aktif. Perawatan spiritual yang baik seharusnya dilakukan secara
individual, dengan huungan yang lebih dekat, dan apa yang terpikirkan
dan dirasakan akan menjadi suatu kebenaran.

3. Kematian Dalam Perspektif Agama


Akhir hayat merupakan sesuatu yang kejadiannya beragam dan
kompleks pada setiap orang, karena seseorang dapat meniggal dunia di
usia yang sangat belia, atau bahkan meninggal di usia yang sangat tua
(Nelson-Becker, ai, Hopp, McCormick, Schlueter & Camp,2015).
Spiritualitas dinilai sebagai salah satu dimensi yang penting untuk menilai
kualitas hidup sekaligus kualitas kondisi kematian. Saat ini peran agama
dan spiritualitas semakin didasari terutama dalam kondisi menjelang akhir
hayat.
Penelitian yang dilakukan oleh Simha, Noble & Chaturvedi, (2013)
pada kelompok pasien kanker disalah satu rumah hospital di daerah
kerala, india menemukan bahwa semua pasien yang menjadi sampel
penelitian tersebut telah memikirkan tentang kematoiannya. yang
menarikmya, tak seorangpun yang menunjukkan rasa talut akan kematian.
beberapa diantaranya justru menunjukkan keinginan agar kematian segera
menjemputnya. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh penderitaan yang
dialami akibat penyakitnya. Lebih lanjut, beberapa aspek terkait agama
dan kepercayaan tidak dicantumkan dan dijelaskan dalam beberapa
literature di Negara barat seperti “Karma” dan “Pooja atau ibadah” dalam
agama hindu.

4. Spiritual Assessment
Di era reformasi pelayanan kesehatan, rohaniawan merasakan
tekanan untuk menjustifikasi dan mengukur kontribusi mereka dalam
upaya peningkatan kesehatan, koping dan pemulihan pasien (Derrickson
& Van Hise, 2010). Sejak awal 1970, seorang dokter jiwa sekaligus
rohaniawan, Paul Pruyser menganjurkan para rohaniawan untuk
menggunakan perspektif theology dalam melakukan pengkajian.
Keperawatan pun juga mengembangkan sebuah model pengkajian yang
berdasarkan pada meningkatnya level ancaman terhadap spiritual dengan
menggunakan kateori perilaku.
Pengukuran kriteria hasil terkait spiritual merupakan hal yang
sangat dasar baik dalam praktik klinik maupun dalam penelitian (Selman,
Harding, Gysels, Speck & Higginson, 2011). Tool untuk mengukur
kriteria hasil perannya telah dikenal dalam melakukan skrining terhadap
distress spiritual dan sekaligus untuk mengidentifikasi apakah pasien
membutuhkan dukungan selama masa perawatan.
Pengkajian spiritualitas dalam setting paliatif merupakan isu utama
dalam berbagai budaya (Benito et al, 2014). Spiritual telah diidentifikasi
sebagai sumber yang penting untuk seseorang, yang mana dengan
spiritual tersebut dapat membentu seseorang mengatasi berbagai distress
disaat mengalami dan menderita sakit. Berbagai instrument yang telah
dikembang dan digunakan dalam beberapa tahun belakangan ini seperti
The Palliative Carwe Outcomes Scale, the Exixtential Meaning Scale, the
Functional Assesment of Chronic Illnes Therapy-Spiritual Well Being
(FACIT-Sp) Tool, The Ironson-Woods Spirituality/Religiousness Index
Short Form, the World Health Organization’s Quality of Life Measure
Spiritual Religious and Personal Beliefs, dan nbanyak lagi terkait
pengkajian kebutuhan spiritual untuk pasien.
Selain pengkajian terkait spiritual, penelusuran mengenai riwayat
spiritual yang merupakan bagian dari riwayat social pasien juga menjadi
hal penting untuk dilakukan (Puchalski,2015). Selain riwayat spiritual,
perawat juuga penting menanyakan mengenai distress spiritual sebagian
dari proses penelusuran kejadian distress pada pasien. Beberapa tool yang
sering digunakan untuk menelusuri riwayat spiritual pasien yaitu FICA,
SPIRIT, dan HOPE. HOPE merupakan tool yang sering digunakan karena
singkat, mudah digunakan dan dapt membantu dalam menggali riwayat
spiritual individu (Abbas & Dein, 2011).
Universitas Minnesota Medical Center mengembangkan model
pengkajian spiritual yang bertujuan khusus unutk mengintegrasikan
antara kebutuhan spiritual dan tujuan perawatan paliatif. Model tersebut
dikenal dengan nama Palliative Care Specific Spiritual Assesment
(Galchutt, 2013). Elemen inti nya adalah history, suffering, spirit, sense-
making. Pengkajian ini dimulai dengan menelusuri kisah atau sejarah
pasien. Kisah yang dialami pasien akan menjadi terabaikan seiring
dengan meningkatnya keluhan atau masalah terkait gejala atau tujuan
perawatan yang membutuhkan re-evaluasi. Harapan pasien akan impian
yang akan datang terkait perawatan dan pengobatan tanpa efek samping
mungkin akan berubah sehingga pasien akan mengalami dan merasakan
suatu penderitaan. Penderitaan menjadi elemen inti yang kedua, dimana
hal ini terjadi sebagai akibat dari semakin memburuknya kondisi atau
kualitas hidup yang semakin menurun. Untuk mengetahui seseorang
mengalami penderitaan maka perawat harus bertanya pada pasien
tersebut. Kualitas dan vitalitas yang diekspresikan dalam kehidupan
pasien merupakan elemen inti yang ketiga yaitu spirit. Spirit
menggambarkan bagaimana pasien memaknai pengalamanmnya, tujuan
dan hubungannya serta menetapkan hal mana yang menjadi sesuatu yang
penting dalam hidupnya. Elemen inti yang terakhir yaitu sense- making.
Ini untuk mengeksplorasi pemahaman pasien mengenai kisahnya sejak
mengalami penyakit serius. Elemen inti dari Palliative Care Specifif
Spiritual Assessment di ilustrasikan sebagai berikut.
5. Barrier dan Strategi Spiritual care
Berbagai barrier dalam pelaksanaan spiritual care yang di
identifikasi yaitu waktu, takut akan terungkapnya sesuatu yang berupaya
untuk disembunyikan, masalah yang tidak terselesaikan, kurangnya
perhatian akan privasi pasien, kurangnya keterampilan atau skill yang
dimiliki oleh perawat, dan adanya perbedaan keyakinan antar pasien dan
perawat (Keali, Clayton & Butow, 2014). Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Balboni et al (2014) pada kelompok perawat dan dokter
menemukan beberapa factor yang menjadi barrier sehingga pelaksanaan
spiritual care kurang dilakukan oleh kedua tenaga kesehatan professional,
khawatir akan terjadi ketidakseimbangan sehingga spiritual care dapat
mengganggu aktifitas pengobatan, dan kurangnya pelatihan mengenai
spiritual care terhadap perawat dan dokter. Quinlivan, (2014)
menambahkan komunikasi yang buruk, kurangnya kerjasama tim secara
multidisiplin, dan lemahnya kepemimpinan sebagai factor yang
menghambat proses pemberian layanan spiritual care atau pastoral care
secara efektif. Sedangkan Edwards, Pang, Shiu & Chan (2010)
menemukan bahwwa kurangnya waktu yang tersedia, aspek institusi,
aspek personal / individu, bahasa, budaya dan agama merupakan barrier
dalam pelaksanaan spiritual care. Budaya lingkungan kerja dimana
perawat bekerja juga dapat mempengaruhi perawat dalam melakukan
spiritual; care (Ronaldson, Hayes, Aggar, Green & Carey, 2012).
Selain itu, berbagai strategi untuk membantu penyediaan dukungan
spiritual dan eksistensial telah di identifikasi. Berikut strategi yang telah
dilakukan oleh para perawat di Australia untuk memberikan dukungan
spiritual dan eksistensial pada pasien yaiut : melakukan rujukan secara
tepat, mempertahankan harapan secara realistis, mengatur dan
memodifikasi lingkungan pasien, meningkatkan kemampuan dan
keterampilan konseling, dan melakukan dokumentasi dengan membuat
catatan hasil wawancara mendalam.
6. Perawat Dalam Spiritual Care
Panduan praktik keperawatan holistic dengan memadukan hasil
praktik yang berbasis bukti telah menjadi hal baru sekaligus merubah
modalitas penyembuhan dan terapi alternative dan komplementer
(Cavendish, Edelman, Naradovy, bajo, Perosi & Lanza, 2007). Sekalipun
asuhan keperawatan spiritual telah didokumentasikan sejak beberapa abad
silam dimana perawat telah dikenal dan memberikan pelayanan kepada
seseorang dengan memandang manusia secara utuh dan kompleks artinya
perawat memberikan pelayanan untuk memenuhi semua aspek kehidupan
manusia yaitu fisik, psikologis, emotional, kognitif, budaya dan agama.
Namun warian mengenai agama dan spiritual yang trkait dengan
keperawatan mulai terkikis sejak diperkenalkannya model keperawatan
medical (Wynne, 2013).
Dalam keperawatan, telah banyak waktu dan perhatian yang
difokuskan untuk menelusuri akan penting memahami spiritual pasien
dan atau kebutuhan agama, akan tetapi hanya sedikit literature ilmiah
yang mengeksplorasi mengenai potensi hubungan antara religiusitas
perawat dengan perawatan yang diberikan oleh perawat ke pasien
(Bjarnaason, 2012). Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa konsekuensi
yang mungkin dari keyakinan dan religiusitas perawat dan efek dari
keyakinan dan religiusitas tersebut terhadap pelayanan perawatan
sangatlah luas. Daniel Foster (1982 dalam Bjarnason, 2012) menyatakan
bahwa adaa empat alas an mengapa seorang perawat atau dokter harus
menyertakan aspek agama setiap memberikan pelayanan perawatan pada
pasien yaitu :
a. Agama dapat mepengaruhi perasaan dan aksi seseorang
b. Pasien sering menempatkan dokter dan perawat sebagai rohaniawan.
c. Sakit dan penderitaan sering memicu pertanyaan religious yang serius.
d. Sistem kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki oleh dokter maupun
perawat memiliki efek sekaligus mempengaruhi pelayanan perawatan
pasien.
Meningkatkan atau mendorong dialog spiritual antara perawat dan
pasien dapat membantu meningkatkan pasien outcomes, dan melalui
komunikasi yang terjalin maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar
dalam mengembangkan rencana perawatan untuk memenuhi kebutuhan
khusus pasien termasuk nilai dan kepercayaan pasien. Dialog spiritual
juga dapat memberikan peluang kepada perawat untuk mengeksplorasi
secara otentik mengenai efek penyakit dan kondisi sakit pasien terhadap
kehidupannya (Wynne, 2013).
Peran perawat dalam spiritual care berdasarkan rekomendasi The
NCP Clinical Practice Guidelines for Quality Palliative Care yaitu :
1) Melakukan pengkajian spiritual pada pasien termasuk pasien yang
memiliki agama dan kepercayaan dengan kategori minoritas, yang
agama dan kepercayaan yang diyakininya tersebut dapat menimbulkan
konflik selama masa perawatan.
2) Bekerjasama dengan rohaniawan untuk mengurangi distress spiritual pada
pasien terutama pasien yang merasa terabaikan.
3) Menggunakan keterampilan komunkikasi yang baik untuk memberikan
dukungan pada pasien seperti melakukan wawancara mengenai kehidupan
pasien masa lalu, berusaha melupakan dan memaafkan kejadian yang
telah lalu, atau ketika konflik religi dan kepercaayaan dalam keluarga
sehingga akan mengakibatkan konflik selama masa perawatan terkait
intervensi medic atau lainnya.

B. Perspektif Agama Terhadap Kehilangan


Perspektif menurut agama terhadap kehilangan, dalam perspektif
agama saat menghadapi kehilangan manusia di haruskan untuk sabar, berserah
diri, menerima, dan mengembalikannya kepada Allah karena hanya Dia
pemilik mutlak segala yang kita cintai, dan manusia bukan lah pemilik apa-
apa yang di akuinyah. Sebagai mana firman Allah “;
“dan sungguh kami akan berikan cobaan kepada mu dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekutrangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikan
lah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu ketika mereka di
timpa musibah mereka mengucapkan kami adalah milik allah dan akan
kembali kepada Allah mereka akan mendapatkan keberkahan dan rahmat dari
Tuhan mereka”.
1. Fase-fase kehilangan
a. Fase pengingkaran (denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah
syok, tidak percaya dan menolak kenyataan bahwa kehilangan itu
terjadi, dengan mengatakan “tidak” “saya tidak percaya bahwa itu
terjadi “, “ itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang
mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi
tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah
letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung
cepat, menangis, gelisah, tidak tau harus berbuat apa. Reaksi tersebut
cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.

b. Fase marah (angry)


Fase ini di mulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukann perasaan yang
meningkat yang sering di proyeksikan kepada orang yang ada di
lingkunganya, orang-orang tertentu atau ditunjukan pada dirinya
sendiri. Tidak jarang dia menunjukan perilaku agresif, bicara kasar,
menolak pengobatan, serta menuduh dokter dan perawat yang tidak
becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain. Muka
mera, nadi cepat, gelisah, susuah tidur, tangan mengepal.

c. Fase tawar menawar (bergaening)


Apabia individu telah mampu mengungkapkan masa marahnya
secara intensif, maka ia akan maju kefase tawar menawar dengan
memohon kemurahan tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan
kata-kata “kalo saja kejadian ini bisa di tunda maka saya akan sering
berdoa” apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka
pernyataan sebagai berikut sering dijumpai, “kalou saja yang sakit
bukan anak saya”.

d. Fase depresi (depression)


Individu pada fase ini sering menunjukan sikap antara lain
menarik diri, tidak mau bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien
yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang
menyataakn keputusaan, perasaan tidak berguna. Gejala fisik yang
sering di perlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih,
dorongan libido menurun.
e. Fase penerimaan (accptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.
Fikiran selalu terpusat kepada obyek atau orang hilang akan mulai
berkurang atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan
yang di alaminya, gambatran tentang obyek atau orang yang hilang
mulai dilepaskan dan secara betahap perhatian beralih pada obyek
yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata
seperti “saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang, tapi baju
saya yang baru manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan agar
saya cepat sembuh”. Apabila individu dapat memulai fase-fase
tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan, maka dia
akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan
kehilangannya secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada
salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika menglami
kehilangan lagi sulit baginya masukpada fase penerimaan.

C. Kebutuhan Spiritual
Spiritualitas merupakan sesuatu yang di percaya oleh seseorang dalam
hubunganya ddengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan
suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya tuhan, dan permohonan maaf
atas segala kesalahan yang di buat.
1. Hubungan spiritual sehat dan sakit agama merupakan petunjuk perilaku karena
di dalam agama terdapan ajaran baik dan larangan yang dapat berdampak pada
kehidupan dan kesehatan seseorang. Agama sebagai sumber dukungan bagi
seseorang yang mengalami kelemahan (dalam keadaan sakit) unntuk
membangkitkan semangat untuk sehat, atau juga dapat mempertahankan
kesehatan untuk mencapai kesejahteraan.
2. Hubungan keyakinan dengan pelayanan kesehatan, dalam pelayanan kesehatan,
perawat sebagi petugas kesehatan harus memiliki peran utama dalam memenuhi
kebutuhan speritual. Dengan demikian, terdapat keterkaitan antara keyakinan
dengan pellayanan kesehatan, yaitu kebutuhan dasar manusia yang di berikan
melalui pelayanan kesehatan tidak hanya berupa aspek biologis tetapi juga
aspek spiritual. Aspek sepiritual dapat membantu mebangkitkan semangat
pasien dalam proses penyembuhan.
3. Perkembangan sepiritual. perkembangan spiritual seseorang menurut
Westerhoff “s. dibagi kedalam 4 tingakatan berdasarkan kategori umum yaitu
sebagai berikut :
a) Usia anak-anak
b) Uisa remaja akhir.
c) Usia awal dewasa.
d) Usia pertengahan dewasa.

4. Faktor-faktor yang mepengaruhi kebutuhan spiritual.


a) Perkembangan
b) Keluarga.
c) Ras / suku
d) Agama yang di anut.
e) Kegiatan keagamaan.

5. Beberapa orang yang membutuhkan bantuan spiritual


a) Pasien kesepian
b) Pasien ketakutan dan cemas.
c) Pasien mehadapi pembedahan.
d) Pasien yang harus mengubah gaya hidup.

6. Masalah kebutuhan sepiritual


Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan sepiritual adalah
distress spiritual, distresspiritual terdiri atas sebagai berikut :
a) Sepiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang yang
dicintai atau dari penderitaan yang berat.
b) Sepiritual yang khawatir yaitu terjadinya pertentangan kepercayaan dan
sistem, nilai seperti adanya aborsi.
c) Sepiritual yang hilang, yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan
dalam kegiatan keagamaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bila merujuk pada definisi perawatan paliatif maka secara umum kita
dapat menyimpulkan bahwa perawatan paliatif merupakan suatu upaya untuk
mengurangi penderitaan pasien melalui perawatan secara holistic yang mana
tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas hiudp baik pasien sebagai
subyek yang mengalami penyakit yang mengancam jiwa maupun keluarga atau
orang terdekatnya (Amoah, 2011).
Perspektif menurut agama terhadap kehilangan, dalam perspektif agama
saat menghadapi kehilangan manusia di haruskan untuk sabar, berserah diri,
menerima, dan mengembalikannya kepada Allah karena hanya Dia pemilik
mutlak segala yang kita cintai, dan manusia bukan lah pemilik apa-apa yang di
akuinyah.
Spiritualitas merupakan sesuatu yang di percaya oleh seseorang dalam
hubunganya ddengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan
suatu kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya tuhan, dan permohonan maaf
atas segala kesalahan yang di buat.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai
berikut :
1. Pada Perawat
Agar meningkatkan kualitas dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan
pada klien menjelang ajal.
2. Diharapkan dapat melaksanakan tekhnik komunikasi terapeutik pada
keluarga klien yang di tinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Yodang. 2018. Buku Ajar Keperawatan Paliatif Berdasarkan Kurikulum AIPNI 2015.
Jakarta:CV. Trans Info Media
Yosep, Iyus. dan Sutini, Titin. 2016. Buku Ajar Keperawatan Jiwa Dan Advance
Mental Health Nursing. Bandung:PT Refika Aditama
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2014. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia.
Jakarta:Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai