Anda di halaman 1dari 35

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG

PENDIDIKAN

A. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini diharapkan mahasiswa :
1. Mampu menyimpulkan beberapa pemikiran tentang pendidikan
menurut pemikiran klasik dan baru dan
2. Membandingkan beberapa pemikiran tersebut serta
3. Menggunakan pemikiran tentang pendidikan sesuai parakteknya

B. Indikator Pencapaian Kompetensi


Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan, ditetapkan indikator
sebagai berikut :
1. Memiliki kemampuan analisis terhadap pemikiran tentang pendidikan.
2. Memiliki kemampuan dalam memahami dan menjelaskan pemikiran
tentang pendidikan.
3. Meningkatnya penguasaan konsep teoritis terhadap pemikiran tentang
pendidikan.
4. Mampu menganalisis pemikiran baru dalam pendidikan
5. Memberi contoh implikasi dari pemikiran dalam pendidikan terhadap
penyelengaraan pendidikan

C. Pokok – Pokok Materi


Pokok-pokok materi yang akan dibahas pada modul ini adalah :
1. Pemikiran Klasik
a) Empirisme
b) Nativisme
c) Naturalisme
d) Konvergensi
2. Pemikiran baru tentang Pendidikan
a. Pengajaran alam sekitar
b. PengajaranPusat Perhatian
c. Sekolah Kerja
d. PengajaranProyek
e. Sekolah Alam
f. Pendidikan Berasrama(Boarding School)
g. Pendidikan Inklusi
h. Home schooling dan jenisnya

D. Uraian Materi
1. Pemikiran klasik

Pendidikan merupakan suatu proses perubahan tingkah laku seseorang dari


tidak tahu menjadi tahu, dari buruk menjadi baik, yang pada hakikatnya
mencakup proses kegiatan mendidik, belajar mengajar, maupun memberikan
pelatihan sehingga dalam penerapannya dibutuhkan sebuah landasan atas apa
yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Kegiatan ini dilakukan
sebagai usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai budaya tertentu dalam suatu
masyarakat. pelaksanaannya, harus sekaligus, terpadu, berkelanjutan, serta serasi
dengan perkembangan peserta didik dan keadaan lingkungan yang berlangsung
seumur hidup. Pelaksanaan proses pendidikan bersifat dinamis berdasarkan
dinamika suatu masyarakat atau kelompok seiring dengan keadaan budaya dan
perkembangan IPTEK. Sehingga adanya pemikiran-pemikiran pendidikan yang
membawa pembaharuan terhadap perkembangan tersebut. Pemikiran pendidikan
disebut dengan aliran-aliran pendidikan yang termasuk dalam aliran pendidikan.
Aliran adalah suatu paham atau pendapat yang muncul dari beberapa pelopor,
yang dalam hal ini adalah tokoh-tokoh pendidikan. Aliran pendidikan p ertama
pemikiran klasik yang terdiri dari: pemikiran empirisme, nativisme, naturalisme,
dan konvergensi. Kedua pemikiran baru dalam pendidikan yang terdiri dari:
pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja, pengajaran
proyek, home schooling, sekolah alam, dan pendidikan berasrama (boarding
school), tokoh pendidikan yang berpengaruh dari luar negeri yaitu Pestalozzi dan
Maria Montessori, dan tokoh pendidikan yang berpengaruh di Indonesia yaitu Ki
Hajar Dewantara, Muhammad Syafei, Kiyai H. Ahmad Dahlan, dan Rahmah El
Yunusiah.dan aliran baru, aliran klasik terdiri sebagai berikut.
Pemahaman tentang pemikiran pendidikan ini akan membekali tenaga
kependidikan dengan wawasan kesejarahan yakni: kemampuan memahami kaitan
antara pengalaman-pengalaman masa lampau, tuntutan dan kebutuhan masa kini,
serta perkiraan/antisipasi masa datang. Disamping itu akan memberi arah bagi
tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Selanjutnya beberapa
lembaga pendidikan di Indonesia yang lahir sebelum zaman kemerdekaan akan
dapat memberikan pemahaman historis bagi pendidik dan dapat mendorong
semangat untuk meningkatkan kegiatan pendidikan.

a. Aliran Empirisme

Empirisme memegang peranan penting bagi pengetahuan, dan bisa


menjadi satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut
empirisme. Pada aliran ini pengalaman inderawi sering dianggap sebagai
pengadilan yang tertinggi. Berbeda dengan rasionalisme dengan titik tumpu
pengetahuan berdasarkan rasio yang memang menempel secara alami, maka
kita akan menemukan perbedaan tajam dengan aliran yang satu ini, yaitu
empirisme. Aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia berdasarkan
pengalaman.

Aliran empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704), filosof


kebangsaan Inggris, yang terkenal dengan teorinya “Tabularasa” artinya meja
berlapis lilin yang belum ada tulisan di atasnya. Sesorang dilahirkan seperti
kertas kosong yang belum ditulisi maka pendidikanlah yang akan menulisnya.
Perkembangan seseorang tergantung seratus persen pada pengaruh
lingkungan atau pada pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam
kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan memegang peranan penting sebab
pendidik dapat menyediakan lingkungan kepada anak dan akan diterima oleh
anak sebagai pengalaman-pengalaman.
Aliran empirisme merupakan aliran yang mementingkan stimulasi
eksternal dalam perkembangan manusia. Aliran ini menyatakan bahwa
perkembangan anak tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan
yang dibawanya dari sejak lahir tidak dipentingkan (Sukardjo dan
Komaruddin, 2012:17). Aliran empirisme merupakan aliran yang
mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia. Aliran ini
mengatakan bahwa perkembangan anak tergantung pada lingkungan,
sedangkan pembawaan anak yang dibawa semenjak lahir tidak dianggap
penting. Selain itu, Aliran ini juga berpandangan bahwa perkembangan
seseorang tergantung seratus persen kepada pengaruh lingkungan atau kepada
pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupannya. (Idris, 1987:
30).

John Locke (dalam Blishen, 1970) hal-hal yang perlu diperhatikan


dalam pendidikan adalah pendidikan harus diberikan sejak awal mungkin
yaitu pertama, pembiasaan dan latihan lebih penting daripada peraturan,
perintah atau nasehat. Kedua, anak didik harus diamati dari dekat untuk
melihat. Ketiga, apa yang paling tepat bagi anak itu sesuai dengan umurnya
(tingkat perkembangannya) hasrat-hasratnya yang amat kuat. Keempat,
kecenderungannya mengikuti orang tua tanpa merusak semangat anak itu.
Kelima, anak harus dianggap sebagai makhluk rasional, dalam hal ini kepada
anak harus diberikan alasan tentang hal-hal yang dituntut darinya. Keenam,
pelajaran di sekolah jangan sampai menjadi beban bagi anak, namun
hendaknya menyenangkan dan merupakan suasana bermain yang membuka
seluas-luasnya berbagai kemungkinan yang dapat timbul.

Penalaran yang dilakukan dengan mengkaji teori-teori dalam


memahami fakta hanya bisa sampai pada perumusan hipotesis. Penalaran
hanya memberi jawaban sementara, bukan kesimpulan akhir. Oleh sebab itu
agar sampai kepada kesimpulan akhir, Empirisme diperlukan untuk menguji
berbagai kemungkinan jawaban dalam hipotesis, untuk menguji jawaban-
jawaban yang dikumpulkan, disusun dan dianalisis. Namun demikian peranan
empirisme bukan saja hanya berkaitan dengan tugas pencarian bukti-bukti
atau yang lebih dikenal dengan pengumpulan data. Jadi, aliran ini
beranggapan bahwa pengetahuan bersumber utama dari pengalaman yang
masuk melalui indera dan pengaruh eksternal dalam kehidupan, baik dalam
keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat, sedangkan pembawaan
lahir tidaklah dianggap penting sebagai faktor penentu pengetahuan. Segala
sesuatu yang tidak masuk atau dirasakan melalui indera, boleh jadi mereka
katakan tidak benar-benar ada. Oleh karena itu, aliran ini juga sering
dikatakan menolak keberadaan Tuhan dan benda-benda yang bersifat
metafisika. Aliran ini juga melahirkan sekularisasi dalam pendidikan.

Pada kehidupan kehidupan sehari-hari, banyak sekali contoh yang


berkaitan dengan empirisme. Salah satu contohnya seperti bagaimana kita
mengetahui bahwa api itu panas? Seorang empirisme akan berpandangan
bahwa api itu panas karena memang dia mengalaminya sendiri dengan
menyentuh api tersebut dan memperoleh pengalaman yang kita sebut ‘panas’.
Bagaimana kita tahu bentuk rupa jerapah? Tentu kita akan baru benar-benar
tahu setelah melihatnya dengan mata kepala kita sendiri, atau bagaimana kita
mengetahui bahwa bunga melati itu wangi? Kita akan tahu pasti setelah
mencium baunya. Pengetahuan-pengetahuan melalui indera tersebut akan
disimpan dalam memori otak kita, dan dapat dikeluarkan pada saat
dibutuhkan. Dengan menggunakan alat inderawi, kita akan memperoleh
pengalaman yang menjadi pengetahuan kita kelak.

b. Aliran Nativisme

Kata nativisme berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti terlahir
(Idris, 1987: 31). Dalam Wikipedia bahasa Indonesia (wikipedia.org),
dijelaskan bahwa Nativisme adalah aliran pendidikan yang berpandangan
bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan-kemampuan tertentu
bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Ilmu kebahasaan
aliran Nativisme, Douglas Brow (Brow, 2008: 30) mengungkapkan bahwa
istilah Nativis diambil dari pernyataan dasar bahwa pemerolehan bahasa
sudah ditentukan dari sananya, bahwa kita lahir dengan kapasitas genetik
yang memengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang
hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri
manusia. Teori Nativis dalam penerimaan bahasa pertama yang diungkapkan
oleh Douglas Brow ini nampaknya tidak jauh berbeda dengan teori nativisme
dalam pendidikan yang dipelopori oleh filosof Jerman Arthur Schopenhauer
(1788-1860). Arthur Schopenhauer (Blog Swandika 2011) beranggapan
bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam
sekitar ataupun pendidikan.

Aliran ini mengatakan bahwa pengetahuan seseorang sepenuhnya


dipengaruhi oleh pembawaan lahir dan gen yang diturunkan oleh kedua orang
tua. Pendidikan yang diberikan haruslah disesuaikan dengan bakat dan
pembawaan anak didik itu sendiri. Teori ini percaya bahwa lingkungan
pendidikan maupun lingkungan sekitar yang telah direkayasa oleh orang
dewasa tidak akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang pengetahuan
manusia. Aliran ini menekankan bahwa pemerolehan pengetahuan manusia
hanya berasal dari dalam (internal). Pembawaan lahir itu ada yang baik ada
pula yang buruk. Manusia tumbuh dan berkembang membawa segala hal
yang telah ia bawa sejak lahir, dan apa yang mereka bawa tersebut, akan
berkembang sesuai arahnya masing-masing, sedangkan pendidikan tidak akan
mempengaruhi apa-apa.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aliran Nativisme menolak


dengan tegas adanya pengaruh eksternal. Pendidikan tidak berpengaruh sama
sekali dalam membentuk manusia menjadi baik. Pendidikan tidak bermanfaat
sama sekali. Sebaliknya, kalau kita menginginkan manusia menjadi baik,
maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kedua orang tuanya karena
merekalah yang mewariskan faktor-faktor bawaan kepada anak-anaknya.
Nativisme jelas merupakan aliran yang mengakui adanya daya-daya asli yang
telah terbentuk sejak lahirnya manusia ke dunia. Daya-daya tersebut ada yang
dapat tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuan
manusia dan ada yang dapat tumbuh berkembang hanya sampai pada titik
tertentu sesuai dengan kemampuan individual manusia (Setianingsih, 2008).
Para ahli yang berpendirian Nativis biasanya mempertahankan kebenaran
konsep ini dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara
orang tua dengan anak-anaknya (Sabri, 1996). Beberapa tokoh yang
berhubungan dengan aliran Nativisme adalah Rochacher, Rosear, dan
Basedow. Rochacher mengatakan bahwa manusia adalah hasil proses alam
yang berjalan menurut hukum tertentu. Manusia tidak dapat mengubah
hukum-hukum tersebut. Rosear bahwa manusia tidak dapat dididik. Pendidik
malah akan merusak perkembangan anak. Pendidikan adalah persoalan yang
membiarkan atau membebaskan pertumbuhan anak secara kodrati. Sementara
itu, Basedow mengatakan bahwa pendidikan adalah pelanggaran atas
kecenderungan berkembang yang wajar dari anak.

Aliran ini juga disebut predestinatif yang menyatakan bahwa


perkembangan atas nasib manusia telah ditentukan sebelumnya, yakni
tergantung pada bawaan dan bakat yang dimilikinya. Aliran ini masih
memungkinkan adanya pendidikan. Namun, mendidik menurut aliran ini
membiarkan anak tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya
perkembangan anak tergantung kepada tinggi rendahnya dan jenis
pembawaan yang dimiliki anak. Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau
manfaat yang diberikan oleh pendidikan, tidak lebih dari sekadar memoles
permukaan peradaban dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis yang
mendalam dan kepribadian anak, tidak perlu ditentukan

c. Aliran Naturalisme

Naturalisme berasal dari bahasa Latin yaitu nature artinya alam, tabiat,
dan pembawaan. Zahara (1987: 31) mengatakan Aliran ini dinamakan juga
negativisme ialah aliran yang meragukan pendidikan untuk perkembangan
seseorang karena dia dilahirkan dengan pembawaan yang baik. Ciri utama
aliran ini ialah dalam mendidik seseorang kembalilah kepada alam agar
pembawaan seseorang yang baik itu tidak di rusak oleh pendidik. pembawaan
yang baik itu supaya berkembang secara spontan.

Menurut Ngalim Purwanto (2000:59) Pada hakikatnya semua anak


(manusia) itu dilahirkan adalah baik. Pemikiran tersebut juga sependapat
dengan Undang Ahmad (2013:147) yang menjelaskan dalam buku Filsafat
Manusia bahwa sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah
berpembawaan baik. Bagaimana hasil perkembangannya yang kemudian
sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang
memengaruhinya. Jika pengaruh itu baik akan menjadi baiklah ia, akan tetapi
jika pengaruh itu jelek akan jelek pula hasilnya. Jadi Aliran ini berpendapat
bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam (manusia
dan lingkungan). Sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara
alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas.
Aliran ini mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk
mengembangkan pembawaan, kemampuan- kemampuannya, dan
kecenderungan- kecenderungannya. Tetapi seperti telah diketahui, bahwa
gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat
ini ternyata tidak terbukti, sebaliknya pendidikan makin lama makin
diperlukan.

d. Aliran Konvergensi

Konvergensi berasal dari bahasa Inggris dari kata convergenry, artinya


pertemuan pada satu titik. Pemikiran ini dipelopori oleh William Stern
seorang ahli pendidikan bangsa Jerman dalam tahun 1871-1937.

mengatakan bahwa aliran ini mempertemukan atau mengawinkan dua


aliran yang berlawanan di atas antara nativisme dan empirisme.
Perkembangan seseorang tergantung kepada pembawaan dan lingkungannya.
Pembawaan dan lingkungan mempengaruhi perkembangan seseorang,
pembawaan seseorang baru berkembang karena pengaruh lingkungan.
Hendaknya pendidik dapat menciptakan lingkungan yang tepat dan cukup
kaya atau beraneka ragam, agar pembawaan dapat berkembang semaksimal
mungkin.

William Stern (Purwanto, 2000:60) ahli ilmu jiwa sekaligus pelopor


aliran konvergensi berbangsa Jerman ini mengatakan bahwa pembawaan dan
lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia.

Purwanto (2000:61) memberikan saran dengan jelas kepada pendidik


dalam mencari jalan untuk mengetahui pembawaan seseorang dan kemudian
mengusahakan lingkungan atau pendidikan yang baik dan sesuai.
Perkembangan manusia bukan hasil belaka dari pembawaan dan
lingkungannya melainkan manusia harus diperkembangkan dan
memperkembangkannya. Aliran konvergensi menyatakan bahwa
pembawaan tanpa dipengaruhi oleh faktor lingkungan tidak akan bisa
berkembang, demikian juga sebaliknya. Potensi yang ada pada pembawaan
dari seorang anak akan berkembang ketika mendapat pendidikan dan
pengalaman dari lingkungan. Sedangkan secara psikis untuk mengetahui
potensi yang ada pada anak didik yaitu dengan cara melihat potensi yang
dimunculkan pada anak tersebut. Pembawaan yang disertai disposisi telah
ada pada masing-masing individu yang membutuhkan tempat untuk
merealisasikan dan mengembangkannya. Pada dasarnya pembawaan adalah
seluruh kemungkinan-kemungkinan atau kesanggupan-kesanggupan
(potensi) yang terdapat pada suatu individu yang selama masa
perkembangannya benar-benar dapat direalisasikan. Aliran konvergensi
pada prinsipnya berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan sama
pentingnya. Perkembangan jiwa seseorang tergantung pada bakat sejak lahir
dan lingkungannya, khususnya pendidikan. Peran pendidikan adalah
memberi pengalaman belajar agar anak dapat berkembang secara optimal.
Menurut aliran konvergensi perkembangan pribadi merupakan hasil proses
kerjasama antara potensi hereditas (internal) dan lingkungan (eksternal).
Jadi menurut aliran konvergensi: (1) pendidikan dapat diberikan kepada
semua orang, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan
kepada peserta didik untuk mengembangkan pembawaannya yang baik dan
mencegah pembawaan yang buruk, (3) hasil pendidikan tergantung dari
pembawaan dan lingkungan (Moerdiyanto, 2011).

2. Pemikiran Baru tentang Pendidikan


a. Pengajaran Alam Sekitar

Aliran pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah


gerakan pengajaran alam sekitar yang dirintis oleh Fr. A. Finger dengan
Heimatkunde (pengajaran alam sekitar) di Jerman, J. Ligthart di Belanda
dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). Prinsip yang dianut dalam
Heimatkunde yakni (Tirtarahardja & Sulo, 2005): a. Dalam pengajaran alam
sekitar, guru dapat memeragakan secara langsung. b.Pengajaran alam sekitar
memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak berpartisipasi aktif.
c.Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk diberlakukan pengajaran
totalitas dengan ciri segala bahan pengajaran berhubung-hubungan satu sama
lain. d. Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi
intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis. e. Pengajaran alam sekitar
memberikan apersepsi emosional terhadap anak didik.

Het Volle Leven memiliki prinsip sebagai berikut (Tirtarahardja &


Sulo, 2005): a. Pengajaran alam sekitar mengajarkan anak untuk mengetahui
barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya. b. Pengajaran
sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata
pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu. c. Harus diadakan
perjalanan memasuki hidup agar murid paham akan hubungan antara
bermacam-macam lapangan dalam hidupnya. Pada dasarnya, banyak faktor
yang mempengaruhi sistem pendidikan baik faktor yang berasal dari dalam
maupun luar. Secara makro, faktor dari luar merupakan sistem yang berada di
luar pendidikan, antara lain ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya,
lingkungan alam, dan lain-lain. Faktor itu saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi dengan sistem pendidikan. Dengan demikian, pendidikan
akan dipengaruhi oleh bahkan berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun
lingkungan alam dalam ekosistem yang lebih luas. Konsep ini mengarahkan
pada pemahaman dan pembahasan pendidikan dilihat dalam perspektif
ekologi.

Pada pendidikan alam sekitar ditanamkan pemahaman, apresiasi,


pemanfaatan lingkungan alami dan sumber-sumber pengetahuan di luar
sekolah yang semuanya penting bagi perkembangan peserta didik sehingga
peserta didik akan mendapatkan kecakapan dan kesanggupan baru dalam
menghadapi dunia nyata. Melalui penjelajahan alam yang dilakukan, maka
peserta didik akan menghayati secara langsung tentang keadaan alam sekitar,
belajar sambil mengerjakan sesuatu dengan serta merta memanfaatkan waktu
senggangnya.

b. Pengajaran Pusat Perhatian

Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) pengajaran pusat perhatian


dirintis oleh Ovideminat Declory (1871-1932) dari Belgia dengan pengajaran
melalui pusat-pusat minat (centres d’nternet), di samping pendapatnya
tentang pengajaran global. Pendidikan menurut Declory berdasar pada
semboyan ecole pour ia vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup).
Anak harus dididik untuk dapat hidup dalam masyarakat dan dipersiapkan
dalam masyarakat, anak harus diarahkan. Oleh karena itu, anak harus
mempunyai pengetahuan terhadap diri sendiri (tentang hasrat dan cita-
citanya) dan pengetahuan tentang dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di
hari depannya). Pengetahuan anak harus bersifat subjektif dan objektif.

Penelitian secara tekun yang dilakukan Decroly menyumbangkan dua


pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran, yang
merupakan dua hal yang khas, yaitu: a. Metode global (keseluruhan)
berdasarkan observasi dan tes, ia berpandangan bahwa anak-anak mengamati
dan mengingat secara global (keseluruhan). Mengingat keseluruhan lebih
dulu daripada bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas prinsip psikologi Gestalt.
Ketika guru mengajarkan membaca dan menulis, ternyata dengan
mengajarkan kalimat lebih mudah diajarkan daripada mengajarkan huruf-
huruf secara tersendiri. Hal ini disebabkan oleh arti suatu kata yang diajarkan
itu selalu diasosiasikan dengan tanda (tulisan) atau suatu gambar yang dapat
dilihat. Secara psikologis anak-anak mempunyai minat yang spontan
(sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan
tersebut. Minat terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan menjadi: 1)
Dorongan mempertahankan diri, 2) Dorongan mencari makan dan minum dan
3) Dorongan memelihara diri. Sedangkan minat terhadap masyarakat ialah: 1)
Dorongan sibuk bermain-main. 2) Dorongan meniru orang lain. Dorongan-
dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan
pendidikan dan pengajaran harus selalu dihubungkan dengan pusat-pusat
minat tersebut.

Asas-asas Pengajaran Pusat Perhatian adalah sebagai berikut: a.


Pengajaran ini didasarkan atas kebutuhan anak dalam hidup dan
perkembangannya. b. Setiap beban pengajaran harus merupakan keseluruhan,
tidak mementingkan bagian tetapi mementingkan keberartian dari
keseluruhan ikatan bagian itu. c. Anak didorong dan dirangsang untuk selalu
aktif dan dididik menjadi anggota masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan
bertanggung jawab. d. Harus ada hubungan kerjasama yag erat antara rumah
dan keluarga. Gerakan pengajaran pusat perhatian telah mendorong berbagai
upaya agar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan berbagai variasi (cara
mengajar dan lain-lain) agar perhatian siswa tetap terpusat pada bahan ajaran.
Dengan kemajuan teknologi pengajaran, peluang mengadakan variasi tersebut
menjadi terbuka lebar, dan dengan demikian upaya menarik minat menjadi
lebih besar. Pemusatan perhatian dalam pengajaran biasanya dilakukan bukan
hanya pada pembukaan pengajaran, tetapi juga pada setiap kali akan
membahas sub topik yang baru.

c. Sekolah Kerja

Tirtarahardja & Sulo (2005) dan Sagala (2010) gerakan sekolah kerja
dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang
mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. Tokoh
pendidikan sekolah kerja ini adalah G. Kerschensteiner (1854-1932) dengan
konsep “Arbeitschule” (Sekolah Kerja) di Jerman. Sekolah kerja bertolak dari
pandangan bahwa pendidikan tidak hanya demi kepentingan individu, tetapi
juga demi kepentingan masyarakat. Sekolah berkewajiban menyiapkan warga
negara yang baik yakni: (a) tiap orang adalah pekerja dalam salah satu
lapangan jabatan; (b) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk
kepentingan negara; dan (c) dalam menunaikan kedua tugas tersebut harus
diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut
berbuat sesuai dengan kesusilaan serta menjaga keselamatan negara. Sekolah
kerja ini bertolak dari pandangan bahwa pendidikan itu tidak hanya demi
kepentingan individu tetapi berkewajiban menyiapkan warga Negara yang
baik, yakni: (1) tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan,
(2) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan Negara,
dan (3) dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah selalu diusahakan
kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga Negara ikut membantu
mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan Negara.

Tujuan sekolah kerja ini menurut Kerschensteiner sebagai pencetus


sekolah kerja adalah a) menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang
didapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalaman sendiri;
b. agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu; dan c. agar
anak dapat memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi
kepada negara. Kerschensteiner berpendapat bahwa kewajiban utama sekolah
adalah mempersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja. Bekerja di sini bukan
pekerjaan otak yang dipentingkan, melainkan pekerjaan tangan (Tirtarahardja
& Sulo, 2005; Sagala, 2010).

d. Pengajaran Proyek

Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran-pengajaran proyek


diletakkan oleh John Dewey (1859-1952) namun pelaksanaannya dilakukan
oleh pengikut utamanya W. H. Kilpartrick. Pengajaran proyek memberi
kebebasan pada anak untuk menentukan pilihannya, merancang serta
memimpinya. Proyek yang ditentukan oleh anak mendorongnya mencari
jalan pemecahan bila dia menemui kesukaran. Anak dengan sendirinya giat
dan aktif karena sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam pengajaran
proyek, pekerjaan dikerjakan secara berkelompok untuk menghidupkan rasa
gotong-royong. Pengajaran proyek digunakan sebagai salah satu metode
mengajar di Indonesia, antara lain dengan nama pengajaran proyek,
pengajaran unit, dan sebagainya. Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran
proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan
persoalan secara komprehensif dengan kata lain, menumbuhkan kemampuan
pemecahan masalah secara multidisiplin (Tirtarahardja & Sulo, 2005).

Praktek belajar dan pembelajaran dekade terakhir ini mengenalkan kita


pada istilah PjBL atau Pembelajaran Berbasis Proyek. Para ahli memberi
pengertian tentang PjBL. Menurut University of Nottingham, metode
pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam pembelajaran
pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan authentic dan
perancangan produk dan tugas.

Pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk pendalaman


pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan
pertanyaan yang berbobot, nyata dan relevan bagi kehidupannya. Menurut
Blumenfeld et al, pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan
pembelajaran yang dirancang agar pelajar melakukan riset terhadap
permasalahan nyata. Sementara itu, Boud & Felleti mengartikannya sebagai
cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan
sebagai stimulus dan berfokus kepada aktivitas pelajar (Husamah, 2013).

Project Based Learning adalah sebuah model atau pendekatan


pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui
kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada konsep-
konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar
dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna
yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya
menghasilkan produk nyata. Project Based Learning pada umumnya
memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi, tidak sekedar merupakan
rangkaian pertemuan kelas, serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek
memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance),
yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan
belajar kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian,
memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat
interdisipliner.

Husamah (2013) selama berlangsungnya proses belajar dalam PjBL


pelajar akan mendapat bimbingan dari narasumber atau fasilitator, tergantung
dari tahapan kegiatan yang dijalankan. Narasumber bertugas menyusun
trigger problems, sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak
ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan cetak atau elektronik,
melakukan evaluasi hasil pembelajaran. Secara umum peran fasilitator adalah
memantau dan mendorong kelancaran kerja kelompok, serta melakukan
evaluasi terhadap efektifitas proses belajar kelompok.

Secara lebih rinci peran fasilitator adalah: a. Mengatur kelompok dan


menciptakan suasana yang nyaman. b. Memastikan bahwa sebelum mulai
setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca
materi, sementara teman-temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang
bertugas mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi. c.
Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan
perkembangan kelompok. d. Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok
diakhiri dengan selfevaluation. e. Menjaga agar kelompok terus memusatkan
perhatian pada pencapaian tujuan. f. Memonitor jalannya diskusi dan
membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses
belajar, serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada
tahapan dalam proses belajar yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap
tahapan dilakukan dalam urutan yang tepat. g. Menjaga motivasi pelajar
dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga
memberikan pengarahan untuk mendorong pelajar keluar dari kesulitannya. h.
Membimbing proses pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan yang tepat
pada saat yang tepat. Pertanyaan ini hendaknya merupakan pertanyaan
terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman yang lebih mendalam
tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang, dan lain-lain.
Mengevaluasi kegiatan belajar peserta didik termasuk partisipasinya dalam
proses kelompok.

Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses


kelompok dan berbagi pemikiran dan pandangan. j. Mengevaluasi penerapan
pembelajaran yang telah dilakukan. Project Based Learning menuntut siswa
bekerja bersama tugas yang diberikan pengajar agar aktif. Siswa dapat
bekerja secara individu maupun kelompok. Dalam banyak kasus, siswa
mengerjakan proyek secara bersamaan di dalam kelompok kecil. Terdapat
dua jenis kelompok, yakni kelompok off-campus dan kelompok on-campus.
Kebutuhan dua 100 Pengantar Pendidikan jenis kelompok ini sedikit berbeda.
Siswa dalam kelompok on-campus dapat bertemu secara fisik, tidak
memerlukan alat bantu komunikasi canggih, tetapi memerlukan koordinasi
kerja (perencanaan, penjadwalan, dan lain-lain). Siswa di dalam suatu
kelompok off-campus memerlukan komunikasi luas untuk mengerjakan tugas
secara kolaboratif. Oleh karena itu, pelajar memerlukan fasilitas synchronous
dan asynchronous sebagai tambahan terhadap koordinasi kerja.

Husamah (2013) kegiatan siswa dapat dikelompokkan tiga kategori


aktifitas individu, aktivitas dalam kelompok, dan aktivitas antar-kelompok.
Aktivitas di dalam kategori yang ketiga ini dilaksanakan oleh individu atau
kelompok siswa. Secara Individual Setiap individu pelajar mempunyai
kebutuhan yang tidak perlu sama dalam suatu kelompok. Tiap-tiap pelajar
mempunyai kemampuan yang berbeda, pendekatan belajar, dan penyelesaian
tugas. Selama mengerjakan proyek, tiap pelajar melaksanakan aktifitas
seperti: memvisualisasikan aktifitas proyek dan mencari tugas yang akan
dikerjakan, mengatur jadwal, mengorganisir materi pembelajaran, menata
dokumen (computer-files), mengirimkan pesan kepada pengajar atau ahli, dan
self assessment. Para siswa dapat memberikan kontribusi terhadap proyek
yang berbeda secara simultan didalam Kelompok Ketika seseorang bekerja di
dalam kelompok, para siswa harus bekerja sama. Kerja sama berlangsung
dalam wujud aktifitas dasar seperti: brainstorming, diskusi, melakukan
editing dokumen secara bersama-sama, sinkronisasi komunikasi lewat audio,
video, atau text, menata dokumen kelompok, task scheduling, dan peer
assessment. Sebagian dari aktivitas ini dapat dilakukan bersama kelompok
on-campus tanpa perangkat spesifik, sedangkan para siswa dalam kelompok
offcampus didukung oleh perangkat yang memadai. c. Antar Kelompok siswa
menyelesaikan aktivitas lain dalam bentuk berbagi informasi dan
pengetahuan dengan kelompok lain. Contoh aktivitas ini adalah: presentasi,
peer reviews, memberikan kontribusi pada forum diskusi.

e. Home Schooling

Home schooling merupakan model pendidikan alternatif selain


pendidikan di bangku sekolah. keluarga memberikan pendidikan kepada
anak-anak sesuai minat, bakat, dan kebutuhan mereka. Ada beberapa istilah
yang biasa digunakan untuk model pendidikan home schooling yaitu home
education atau home-based learning dan dalam bahasa Indonesia disebut
dengan sekolah rumah atau sekolah mandiri. Home schooling adalah
pendidikan yang dilakukan secara mandiri oleh keluarga, dimana materi-
materinya dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan anak. Home schooling
memiliki asumsi dasar bahwa setiap keluarga memiliki hak untuk bersikap
kritis terhadap definisi dan sistem eksternal yang ditawarkan kepada keluarga.
Kekhasan dan kekuatan home schooling paling besar adalah customized
education, yakni pendidikan yang disesuaikan dengan potensi anak dan
lingkungan yang ada di sekitar. keragaman anak dihargai dan tidak dituntut
untuk seragam dan serupa.
1) Sejarah Home schooling
Filosofi berdirinya sekolah rumah ditulis John Cadlwel Holt dalam
bukunya yang berjudul How Children Fail pada tahun 1964. Filosofi tersebut
adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak
perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan
belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau
mengontrolnya”. Dipicu oleh filosof tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah
perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem
sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan
bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha
pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Setelah
pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas,
Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education;
Ways to Help People Do Things Better, pada tahun 1976 dan pada tahun
1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi
nama: Growing Without Schooling.

Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal
tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moore melakukan penelitian mengenai
kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood
education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa masuknya anak-anak
pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi
sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak
laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka. Serupa dengan Holt, Ray
dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting
home schooling. Setelah itu, home schooling terus berkembang dengan
berbagai alasan. Perkembangan homeschooling terus meluas hingga pada
tahun 1996, di Amerika sudah lebih dari 1,2 juta anak home schooler dengan
pertumbuhan 15% setiap tahunnya. Demikian juga di Eropa dan Asia.

Perkembangan home schooling di Indonesia belum diketahui secara


persis karena belum ada penelitian khusus tentang perkembangannya. Istilah
home schooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun, jika
dili Pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan
orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada home schooling, tanggung
jawab pendidikan anak sepenuhnya berada ditangan orang tua. Sistem di
sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum,
sementara sistem pada home schooling disesuaikan dengan kebutuhan anak
dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan
seragam untuk seluruh siswa. Pada home schooling jadwal belajar fleksibel,
tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua. Pengelolaan di
sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar.
Pengelolaan pada home schooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga
home schooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang
tua (Simbolon, 2007).

Dapat disimpulkan bahwa home schooling merupakan pendidikan


alternatif, dimana orangtua berperan secara aktif dan bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah
sebagai basis pendidikannya dan anak dapat belajar dengan berbagai situasi,
kondisi, lingkungan sosial yang terus berkembang. Proses pembelajaran home
schoolingbersifat fleksibel baik dari segi waktu dan keinginan anak untuk
belajar sesuai dengan minat dan potensinya secara mandiri dan disiplin.

Dilihat dari konsep home schooling sebagai pembelajaran yang tidak


berlangsung di sekolah formal atau otodidak, maka sekolah rumah sudah
tidak merupakan hal baru. Di negeri kita konsep sekolah rumah sudah
diterapkan lama oleh sebagian kecil masyarakat kita. Hal ini dapat dilihat di
pondok-pondok pesantren para Kiai secara khusus telah mendidik anak-
anaknya sendiri karena merasa lebih mengena dan puas bisa mengajarkan
ilmu pada putra sendiri daripada sekadar mempercayakan pada orang lain.
Tokoh-tokoh terkenal seperti KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro atau Buya
Hamka juga mengembangkan cara belajar dengan sistem persekolahan di
rumah ini. Metode ini dijalankan bukan sekedar agar anak didik lulus ujian
kemudian mendapatkan ijazah, namun agar lebih mencintai dan punya
semangat yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang dipelajari.

2) Dasar Hukum Homeschooling


Dasar legalitas home schooling dalam payung hukum nasional adalah:

1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


2) PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3) PP Nomor 73 tentang Pendidikan Luar Sekolah
4) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0131/U/1991 tentang paket A dan B
5) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 132/U/2004 tentang
Paket C.
Selain itu dasar hukum penyelenggaraan homeschooling secara lebih
rinci diatur dalam Permendikbud No.129 tahun 2014 tentang sekolah rumah.
Dalam Permendikbud No.129 tahun 2014 pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa
sekolah rumah adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar dan
terencana dilakukan oleh orang tua atau keluarga di rumah atau tempat-
tempat lain dalam bentuk tunggal, majemuk, dan komunitas dimana proses
pembelajaran dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan
tujuannya agar setiap potensi peserta didik yang unik dapat berkembang
secara maksimal.

3) Kesetaraan Home schooling


Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional ada tiga jalur pendidikan,
yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal.
Program sekolah rumah tunggal dan majemuk dapat dimasukkan sebagai
model pendidikan yang diklasifikasikan sebagai satuan pendidikan informal,
berdasarkan UU Sisdiknas, pasal 27 ayat 1 yang berbunyi: ”Kegiatan
pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk
kegiatan belajar secara mandiri”. Dalam hal ini pemerintah tidak
mengintervensi dengan membuat peraturan tentang standar isi dan proses
pelayanannya. Pemerintah hanya memberlakukan standar penilaian dan
memberikan ijazah bagi lulusan homeschooling informal jika ingin
disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal. Sedangkan
Homeschooling komunitas sebagai pendidikan alternatif, dimasukkan sebagai
model pendidikan yang diklasifikasikan sebagai satuan pendidikan
nonformal. Hal ini sesuai dengan pasal 26 ayat 4 UU Sisdiknas yaitu
”Kelompok belajar ditetap kansebagai salah satu klasifikasi model
pendidikan alternatif yang merupakan satuan pendidikan nonfornmal”. Maka
seperti pada homeschooling informal, pada homeschooling nonformal
pemerintah juga tidak mengintervensi dengan membuat peraturan tentang
standar isi dan proses pelayanannya.

f. Sekolah Alam
Sekolah alam adalah sekolah non formal dengan konsep utamanya adalah
ditujukan agar para siswanya dapat belajar sambil bermain. Berbagai sarana baru
ditawarkan sekolah-sekolah yang menamakan dirinya ’Sekolah Alam’. Sekolah
semacam ini tak hanya dilengkapi laboratorium dan perangkat komputer, tapi
sekolahnya sendiri ditata menjadi bagian dari alam terbuka, ruang-ruangnya
terbuat dari saung daun kelapa dan ijuk. Pohon-pohon rindang dibiarkan tumbuh
di hampir seluruh sudut sekolah, lengkap dengan berbagai sarana eksplorasi
seperti rumah pohon, climbing, lapangan bola dan flying fox. Konsep belajar
melalui pengalaman yang didapat langsung sambil bermain dan berinteraksi di
alam terbuka ini jelas membuat anak tidak mudah bosan saat belajar.Para siswa
sekolah alam juga tidak mengenakan seragam sekolah sebagaimana layaknya
siswa di sekolah umum. Siswa hanya dituntut untuk berpakaian bersih dan sesuai
untuk kegiatan belajar di sekolah.
Hal ini tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan ruang belajar di
sekolah formal. Pada umumnya kegiatan belajar mengajar di sekolah umum
dilakukan di dalam ruang belajar atau kelas tertutup. Anak lebih banyak mendapat
teori pelajaran dan sedikit praktek di lapangan. Situasi dan kondisi belajar
mengajar di ruang yang memiliki 4 dinding memberikan kesan yang kaku.
g. Pendidikan Berasrama

Boarding school adalah himpunan komponen yang saling berkaitan


dalam satu lembaga yang tidak hanya terfokus pada pelaksanaan pengajaran
saja, namun menyatukan antara pendidikan dan pengajaran. Sekolah
berasrama merupakan pemondokan untuk peserta didik, pegawai dan
sebagainya. Setiap peserta yang terdaftar di sekolah tersebut berhak
mengikuti sistem boarding school untuk meningkatkan karakter yang ada
dalam dirinya. Setiawan (2013:6) sistem pendidikan dengan pola boarding
school mengharuskan peserta didiknya mengikuti kegiatan pendidikan reguler
dari pagi sampai siang hari kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pendidikan
dengan nilai-nilai khusus pada sore dan malam hari. Misalkan: kegiatan
pengkajian Al-Quran di pesantren, pengkajian Al-Kitab di gereja, kegiatan
ekstrakurikuler, kegiatan pembinaan displin dan lain sebagainya.

Pendidikan dengan sistem boarding school efektif untuk mendidik


kecerdasan, keterampilan, pembangunan karakter, dan penanaman nilai-nilai
morla peserta didik. Sehingga anak lebih memiliki kepribadian yang utuh,
baik dalam kegiatan kurikuler, kokulrikuler, ekstrakurikuler di sekolah,
asrama, lingkungan masyarakat yng dipantau oleh guru selama 24 jam.
Kesesuaian sistem boardingnya terletak pada semua aktivitas siswa yang
diprogramkan, diatur dan dijadwalkan dengan jelas, sementara aturan
kelambagaannya syarat dengan muatan nilai-nilai moral. Pembinaan mental
peserta didik melalui boarding school secara khusus mudah dilaksanakan,
karena akan dapat mengontrol ucapan, perilaku, dan sikap peserta didik
sehingga akan menciptakan tradisi positif, terciptanya nilai-nilai kebersamaan
dalam kominitas peserta didik. Komitmen komunitas peserta didik terhadap
tradisi yang positif dapat tumbuh secara leluasa, penanaman nilai kejujuran,
kesabaran, toleransi, tanggung jawab, kepatuhan dan kemandirian dapat terus-
menerus diamati dan dipantau oleh para guru atau pembimbing. Sistem
boarding school adalah himpunan komponen yang saling berkaitan dalam
satu lembaga yang tidak hanya terfokus pada pelaksanaan pengajaran saja,
namun menyatukan antara pendidikan dan pengajaran.

1) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berkembangnya Boarding


School
KeberadaanBoarding School adalah suatu konsekuennsi logis dari
perubahan lingkungan sosiall dan keadaan ekonomi serta cara pandang
religiousitas masyarakat. Dijelaskan sebagai berikut:

a) Lingkungan sosial yang kini telah banyak berubah, terutama di kota-kota


besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana
masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan
keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser ke arah
masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada
pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh
nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat
yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti
itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan
intelektual dan perkembangan anak.
b) Keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik, mendorong
pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan
pendidikan. Bagi kalangan menengah-atas yang baru muncul akibat
tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan
posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada
tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk
memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan
yang telah diterima oleh orang tuanya.
c) Cara pandang religiusitas masyarakat telah, sedang, dan akan terus
berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak ke
arah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan
semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas
membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara
kebutuhan rohani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang
sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk
melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup
yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.

2) Jenis-jenis Boarding School


Menurut sistem bermukim siswa:
1) All Boarding School: Seluruh siswa tinggal di asrama kampus atau
sekolah.
2) Boarding Day School: Mayoritas siswa tinggal di sekolah dan
sebagian lagi dilingkungan sekitar kampus atau sekolah. Day
Boarding: Mayoritas tidak tinggal di kampus meskipun ada sebagian
yang tetap tinggal di kampus atau sekolah.
Menurut jenis siswa:
1) Junior Boarding School: Sekolah yang menerima murid dari tingkat
SD s/d SMP, namun biasanya hanya SMP saja.
2) Co-educational School: Sekolah yang menerima siswa laki-laki dan
perempuan.
3) Boys School: Sekolah yang menerima siswa laki-laki saja.
4) Girl School: Sekolah yang menerima siswa perempuan saja.
5) Pre-professional Arts School: Sekolah khusus untuk seniman.
6) Religius School: Sekolah yang kurikulumnya mengacu pada agama
tertentu.
7) Special Needs Boarding School: Sekolah untuk anak-anak yang
bermasalah dengan sekolah biasa.

3) Keunggulan Boarding School


Banyak keunggulan yang terdapat dalam sistem pemondokan atau
boarding school ini. Dengan sistem mesantren atau mondok, seorang siswa
atau santri tidak hanya belajar secara kognitif, melainkan juga afektif dan
psikomotor. Belajar afektif adalah mengisi otak siswa atau santri dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan, dengan cara melatih kecerdasan anak.
Sementara menghadapi era modernisme seperti sekarang ini, otak siswa tidak
lagi cukup dengan dipenuhi ilmu pengetahuan, melainkan perlu keterampilan
dan kecerdasan merasa dan berhati nurani. Sebab, pada kenyataannya, dalam
menghadapi kehidupan, manusia menyelesaikan masalah tidak cukup dengan
kecerdasan intelektual, melainkan perlu kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ). Mengajarkan kecerdasan emosional dan spiritual
tidak cukup dilakukan secara kognitif, sebagaimana mengajarkan kecerdasan
intelektual. Dalam hal ini diperlukan proses internalisasi dari berbagai
pengertian yang ada dalam rasio ke dalam hati sanubari.
Salah satu cara terbaik mengajarkan dunia afektif adalah pemberian
teladan dan contoh dari para pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh
disekitar anak. Dengan mengasramakan anak didik sepanjang 24 jam, anak
didik tidak hanya mendapatkan pelajaran secara kognitif, melainkan dapat
menyaksikan langsung bagaimana perilaku ustadz, guru, dan orang-orang
yang mengajarkan mereka. Para siswa bisa menyaksikan langsung, bahkan
mengikuti imam, bagaimana cara shalat yang khusuk, misalnya. Ini sangat
berbeda dengan pelajaran shalat, misalnya, yang tanpa disertai contoh dan
pengalaman makmum kepada imam yang shalatnya khusuk.
Di samping itu, dengan sistem boarding school, para pimpinan
pesantren dapat melatih psikomotorik anak lebih optimal. Dengan otoritas
dan wibawa yang dimiliki, para guru mampu mengoptimalkan psikomotorik
siswa, baik sekadar mempraktikkan berbagai mata pelajaran dalam bentuk
gerakan-gerakan motorik kasar maupun motorik lembut, maupun berbagai
gerakan demi kesehatan jiwa dan psikis anak. Karena sistem boarding school
mampu mengoptimalkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor siswa, maka
sistem mesantren ini memiliki prasyarat agar para guru dan pengelola sekolah
siap mewakafkan dirinya selama 24 jam. Selama siang dan malam ini, mereka
melakukan proses pendidikan, baik ilmu pengetahuan, maupun memberikan
contoh bagaimana mengamalkan berbagai ilmu yang diajarkan tersebut.
Kelebihan-kelebihan lain dari sistem ini adalah sistem boarding lebih
menekankan pendidikan kemandirian. Berusaha menghindari dikotomi
keilmuan (ilmu agama dan ilmu umum). Dengan pembelajaran yang
mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum diharapkan akan membentuk
kepribadian yang utuh setiap siswanya. Pelayanan pendidikan dan bimbingan
dengan sistem boarding school yang diupayakan selama 24 jam, akan
diperoleh penjadwalan pembelajaran yang lebih leluasa dan menyeluruh,
segala aktifitas siswa akan senantiasa terbimbing, kedekatan antara guru
dengan siswa selalu terjaga, masalah kesiswaan akan selalu diketahui dan
segera terselesaikan, prinsip keteladanan guru akan senantiasa diterapkan
karena murid mengetahui setiap aktivitas guru selama 24 jam. Pembinaan
mental siswa secara khusus mudah dilaksanakan, ucapan, perilaku dan sikap
siswa akan senantiasa terpantau, tradisi positif para siswa dapat terseleksi
secara wajar, terciptanya nilai-nilai kebersamaan dalam komunitas siswa,
komitmen komunitas siswa terhadap tradisi yang positif dapat tumbuh secara
leluasa, para siswa dan guru-gurunya dapat saling berwasiat mengenai
kesabaran, kebenaran, kasih sayang, dan penanaman nilai-nilai kejujuran,
toleransi, tanggungjawab, kepatuhan dan kemandirian.

h. Pesantren Modern

Secara etimologis, “pesantren” berasal dari pe-santri-an yang berarti


tempat santri; asrama tempat santri belajar agama, atau pondok Pesantren
berasal dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, dengan
demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar
agama Islam (Dhofier dalam Maksum 2015:85).

Sementara itu, secara terminologis, pondok pesantren merupakan


institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam
yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Pondok pesantren dalam
terminologi keagamaan merupakan institusi pendidikan Islam, namun
demikian pesantren mempunyai icon sosial yang memiliki pranata sosial di
masyarakat. Hal ini karena pondok pesantren memiliki modalitas sosial yang
khas, yaitu: 1) ketokohan kyai, 2) santri, 3) independen dan mandiri, dan 4)
jaringan sosial yang kuat antar alumni pondok pesantren (Mun’im dalam
Maksum 2015: 85)

Kegiatan utama yang dilakukan dalam pesantren adalah pengajaran


dan pendidikan Islam. Hal ini menuntut kualitas seorang kyai tidak sekedar
sebagai seorang ahli tentang pengetahuan keislaman yang mumpuni, tetapi
juga sebagai seorang tokoh panutan untuk diteladani dan diikuti. Melalui
kegiatan ajar-belajar, seorang kyai mengajarkan pengetahuan keislaman
tradisional kepada para santrinya yang akan meneruskan proses penyebaran
Islam tradidional. Pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan
modernitas pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran di
dalam kelas) dan kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian tertentu.
Dikotomi ilmu agama dan umum juga dieleminasi. Kedua bidang ilmu ini
sama-sama diajarkan, namun dengan proporsi pendidikan agama lebih
mendominasi. Sistem pendidikan yang digunakan di pondok modern
dinamakan sistem Mu’allimin (Tolib, 2015: 62).

Pada sisi pengajarannya, pondok pesantren modern mempunyai


kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem
yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di
pesantren modern adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern,
lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan
kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi
sebagai pusat pengembangan masyarakat. (Hasbullah dalam Tolib 2015: 64)

Metode pembelajaran modern (tajdid), yakni metode pembelajaran


hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode
yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak diikuti dengan
menerapkan sistem modern, seperti sistem sekolah atau madrasah. Secara
garis besar, ciri khas pesantren modern adalah memprioritaskan pendidikan
pada sistem sekolah formal dan penekanan bahasa Arab modern (lebih
spesifik pada speaking/muhawarah). Sistem pengajian kitab kuning, baik
pengajian sorogan, wetonan maupun madrasah diniyah, ditinggalkan sama
sekali. Atau minimal kalau ada, tidak wajib diikuti.

1) Sistem Pendidikan Pesantren

Defenisi secara umum Pondok Pesantren adalah sebagai lembaga


pendidikan yang memiliki lima elemen pokok; (1) Pondok/Asrama: adalah
tempat tinggal bagi para santri. Pondok inilah yang menjadi ciri khas dan
tradisi pondok pesantren dan membedakannya dengan sistem pendidikan lain
yang berkembang di Indonesia, (2) Masjid: Merupakan tempat untuk
mendidik para santri terutama dalam praktik seperti shalat, pengajian kitab
klasik, pengkaderan kyai, dan lain-lain, (3) Pengajaran kitab-kitab klasik:
Merupakan tujuan utama pendidikan di pondok pesantren, (4) Santri:
Merupakan sebutan untuk siswa/murid yang belajar di pondok pesantren, dan
(5) Kyai: merupakan pimpinan pondok pesantren. Kata kyai sendiri adalah
gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang
menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik (ibid dalam
maksum: 2015)
i. Pendidikan Inklusi

Setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan


pengajaran yang layak, tak terkecuali bagi mereka anak berkebutuhan khusus
(ABK). Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak
dijamin pemerintah Indonesia dalam UUD 1945. Konsekuensi logis dari
penjabaran UUD 1945 ini adalah setiap orang tanpa memandang fisik, agama,
suku, dan lain-lain berhak mendapat pendidikan dan pengajaran untuk
pengembangan dirinya. Salah satu pihak yang berhak mendapat pengajaran
dan pendidikan adalah anak- anak berkebutuhan khusus (ABK). Pemerataan
kesempatan belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tidak hanya berlaku bagi anak normal, tetapi juga mencakup
anak dengan keistimewaaan keistimewaan yang dimilikinya termasuk anak
dengan kebutuhan khusus. Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua atau sekedar
memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak, tetapi lebih penting lagi
demi kesejahteraan anak dan kehidupannya di masa datang.

Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak


diselenggarakan secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Taman
Kanak-Kanak Luar Biasa (TK-LB). Sementara itu jumlah dan lokasi SLB dan
TK-LB masih terbatas, padahal anak-anak berkebutuhan khusus banyak
tersebar hampir di seluruh daerah. Hal ini yang mendorong munculnya
fenomena pendidikan inklusi. Pendidikan Inklusif merujuk pada kebutuhan
pendidikan untuk semua anak (Education for All) dengan fokus spesifik pada
mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. Pendidikan
inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang
kondisi fisik, intelektual, sosial-emosional, linguistik atau kondisi lainnya
(Tarmansyah dalam Ariastuti dan Dyah, 2016).

Tujuan pendidikan inklusif mengacu kepada Undang-Undang (UU)


No. 20, tahun 2003, Sisdiknas Pasal 1, ayat 1: Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sementara tujuan pendidikan bagi peserta
didik berkebutuhan khusus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah tahun
2003, tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (RPP-PK
dan PLK) Bab II, pasal 2 yang menyatakan “Pendidikan bagi peserta didik
berkelainan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional dan atau sosial agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cekap, kratif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
bertanggungjawab”. Sekolah Inklusi dengan menyediakan layanan
pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sesuai dengan amanat
UU, sekolah dasar harus bersedia menerima siswa berkebutuhan khusus dan
menjadi sekolah inklusi.

3. Implikasi Pendidikan Klasik dan Pemikiran Baru dalam Pendidikan


a) Pengaruh aliran klasik terhadap pemikiran dan praktek pendidikan
di Indonesia.

Aliran pendidikan klasik mulai dikenal di Indonesia melalui


pendidikan, utamanya persekolahan dari penguasa penjajah Belanda dan
disusul oleh orang Indonesia yang belajar di Negeri Belanda pada masa
penjajahan. Setelah kemerdekaan Indonesia, gagasan dalam aliran pendidikan
itu masuk ke Indonesia. Sebelum masa itu, pendidikan di Indonesia terutama
oleh keluarga dan masyarakat (kelompok belajar/padepokan, lebaga
keagamaan/pesantren dan lain-lain). Meskipun dalam hal-hal tertentu sangat
diutamakan bakat dan potensi lainnya dari anak (umpama pada bidang
kesenia, keterampilan tetentu dan sebagainya), namun upaya penciptaan
lingkungan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan itu diusahakan
pula secara optimal. Dengan kata lain, meskipun peranan pandangan
empirimsme dan nativisme tidak sepenuhnya ditolak, tetapi penerimaan itu
dilakukan dengan pendekatan elektis fungsional yakni diterima sesuai dengan
kebutuhan, namun ditempatkan dalam latar pandangan yang konvergensi.
Khusus dalam latar pesekolahan kini terdapat sejumlah pendapat yang
lebih menginginkan agar peserta didik lebih ditempatkan pada posisi yang
seharusnya, yakni sebagai manusia yang dapat dididik tetapi juga dapat
mendidik dirinya sendiri. Hubungan pendidik dan peserta didik seyogianya
adalah hubungan yang setara antara dua pribadi, meskipun yang satu lebih
berkembang dari yang lain. Hubungan kesetaraan dalam interaksi edukatif
tersebut seyogianya diarahkan menjadi suatu hubungan yang transaksional,
suatu hubungan antar pribadi yang memberi peluang baik peserta didik yang
belajar, meskipun pendidikan yang ikut belajar (co-learner). Dengan
demikian, cita-cita pendidikan seumur hidup diwujudkan melalui belajar
seumur hidup. Hubungan tersebut sesuai dengan asa Ing Ngarso Sung
Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani, serta
pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif adalam kegiatan belajar mengajar.
Dalam UU-RI nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, peran peserta
didik dalam mengembangkan bakat, minat, dan kemapuannya itu telah diakui
dan dilindungi.
b) Pengaruh gerakan baru dalam pendidikan terhadap penyelengaraan
pendidikan di Indonesia

Telah dikemukakan bahwa gerakan baru dalam pendidikan tersebut


terutama berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Namun
dasar pemikirannya tentulah menjangkau semua segi dari pendidikan, bagi
konseptual maupun operasional. Sebab itu, mungkin saja gerakan itu tidak
dapat diadopsi seutuhnya di suatu masyarakat atau negara tertentu, namun
atas pokknya menjiwai kebijakan-kebijakan pendidikan dalam masyarakat
atau negara itu. Sebagai contoh yang telah dikemukakan pada setiap gerakan
itu, untuk Indonesia, seperti muatan lokal dan kurikulum untuk mendekatkan
peserta didik dengan lingkungannya, berkembangnya sekolah kejuruan.
Pemupukan semangat kerjasama multidisiplin dalam menghadapi maslah, dan
sebagainya. Kajian tentang pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu akan
sangat bermanfaat untuk memperluas pemahaman tentang seluk beluk
pendidikan, serta memupuk wawasan historis dari setiap keputusan dan
tindakan di bidang pendidikan, termasuk di bidang pembelajaran, akan
membawa dampak bukan hanya pada masa kini tetapi juga masa sekarang.
Oleh karena itu, setiap keputusan dan tindakan itu harus dapat
dipertanggungjawabkan secara profesional. Sebagai contoh, beberapa tahun
terakhir ini telah terjadi polemik tentang peranan pokok pendidikan
(utamanya jalur sekolah) yakni tentang masalah relevansi tentang dunia yang
menyadari harkat dan martabatnya ataukah memberi bekal keterampilan
untuk memasuki dunia kerja. Kedua hal itu tentulah sama pentingnya dalam
membangun sumber daya manusia yang bermutu.
E. Aktivitas Pembelajaran
Untuk menunjang keberhasilan pembelajaran daring dan luring, maka
mahasiswa dapat mengikuti aktifitas pembelajaran sebagai berikut :
Menu Aktifitas Keterangan
Informasi, Kehadiran dan Tatap Maya
1. Informasi Mahasiswa melihat
Perkuliahan informasi terbaru terkait
perkuliahan melalui menu
Announcement
2. Presensi Mahasiswa melakukan
Online pengisian presensi online

3. Tatap Mahasiswa melakukan


Maya tatap maya (web
conference) sesuai dengan
jadwal yang ditetapkan
oleh dosen (opsional)
Sumber Belajar
3. Modul Ajar Mahasiswa mempelajari
materi kuliah melalui
Modul Ajar
4. Slide Mahasiswa mempelajari
intisari materi melalui slide
presentasi

5. Video Mahasiswa menyaksikan


Pendukung tayangan video pendukung
dan mencatat poin-poin
utama yang disajikan
Aktifitas Belajar

6. Forum Mahasiswa mengikuti dan


Diskusi berpartisipasi dalam forum
diskusi yang dibuat oleh
dosen Pembina Mata
Kuliah

7. Tugas Mahasiswa menjawab dan


menyelesaikan tugas yang
diberikah oleh Dosen

8. Tes Online Mahasiswa mengikuti Tes


yang dilakukan pada akhir
topik bahasan materi
(Opsional)

F. Rangkuman
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan tentang aliran-
aliran pendidikan yaitu sebagai berikut.
Aliran pendidikan klasik terdiri dari,

Aliran empirisme merupakan aliran yang mementingkan stimulasi eksternal


dalam perkembangan manusia. Aliran ini mengatakan bahwa perkembangan anak
tergantung pada lingkungan, sedangkan pembawaan anak yang dibawa semenjak
lahir tidak dianggap penting.

Aliran nativisme percaya bahwa lingkungan pendidikan maupun lingkungan


sekitar yang telah direkayasa oleh orang dewasa tidak akan berpengaruh terhadap
tumbuh kembang pengetahuan manusia.

Aliran naturalisme berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan


pertumbuhan anak pada alam (manusia dan lingkungan). sehingga kebaikan anak-
anak yang diperoleh secara alamiah sejak saat kelahirannya itu dapat tampak
secara spontan dan bebas.

Aliran konvergensi menyatakan bahwa pembawaan tanpa dipengaruhi oleh


faktor lingkungan tidak akan bisa berkembang, demikian juga sebaliknya. Potensi
yang ada pada pembawaan dari seorang anak akan berkembang ketika mendapat
pendidikan dan pengalaman dari lingkungan.

Pemikiran Baru tentang Pendidikan

Pendidikan alam sekitar mempercayai bahwa pemahaman, apresiasi,


pemanfaatan lingkungan alami dan sumber-sumber pengetahuan di luar sekolah
yang semuanya penting bagi perkembangan peserta didik sehingga peserta didik
akan mendapatkan kecakapan dan kesanggupan baru dalam menghadapi dunia
nyata.

Pengajaran pusat perhatian mendorong berbagai upaya agar dalam kegiatan


belajar mengajar diadakan berbagai variasi (cara mengajar dan lain-lain) agar
perhatian siswa tetap terpusat pada bahan ajaran.

Sekolah kerja menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang didapat dari
buku atau orang lain, dan yang didapat dari pengalaman sendiri, sehingga anak
dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu dan agar siswa dapat memiliki
pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi Negara.

Pengajaran Projek adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang


inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang
kompleks.

Home schooling merupakan pendidikan yang dilakukan secara mandiri oleh


keluarga, dimana materi-materinya dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan
anak. Homeschooling berasumsi bahwa setiap keluarga memiliki hak untuk
bersikap kritis terhadap definisi dan sistem eksternal yang ditawarkan kepada
keluarga.

Sekolah alam adalah sekolah non formal dengan konsep utamanya adalah
ditujukan agar para peserta didik dapat belajar sambil bermain.Dilingkungan alam
terbuka

Boarding school efektif untuk mendidik kecerdasan, keterampilan, pembangunan


karakter, dan penanaman nilai-nilai morla peserta didik. Sehingga anak lebih
memiliki kepribadian yang utuh, baik dalam kegiatan kurikuler, kokulrikuler,
ekstrakurikuler di sekolah, asrama, lingkungan masyarakat yng dipantau oleh guru
selama 24 jam.

Pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas


pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran di dalam kelas) dan
kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian tertentu.

Sekolah Inklusi dengan menyediakan layanan pendidikan bagi Anak


Berkebutuhan Khusus (ABK). Sesuai dengan amanat UU, sekolah dasar harus
bersedia menerima siswa berkebutuhan khusus dan menjadi sekolah inklusi.

G. Latihan/Kasus/Tugas
1. Sebutkan dan jelaskan aliran-aliran pendidikan klasik berdasarkan apa
yang telah kamu pelajari !
2. Jelaskan perbedaan aliran empirisme dengan aliran nativisme !
3. Bagaimana pendapat aliran konvergensi terhadap perkembangan anak ?
4. Jelaskan dampak dari aliran progresivisme dalam pendidikan !
5. Buatlah suatu laporan analisis penerapan pemikiran pengajaran alam
sekitar,pengajaran pusat perhatian,sekolah kerja,pengajaran proyek pada
mata pelajaran di sekolah menengah.

Anda mungkin juga menyukai