Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BP.

SU
DENGAN PROKTITIS POST EKSISI MASSA RECTUM
RIWAYAT POST COLOSTOMI ETCAUSA CA RECTI
DI RUANG ELISABETH GRUYTERS 1 RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
YOGYAKARTA

Disusun oleh:
WULAN MEI MUSTIKA DEWI
202254066

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANTI RAPIH
YOGYAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BP.SU


DENGAN PROKTITIS POST EKSISI MASSA RECTUM
RIWAYAT POST COLOSTOMI ETCAUSA CA RECTI
DI RUANG ELISABETH GRUYTERS 1 RUMAH SAKIT PANTI RAPIH
YOGYAKARTA

Disusun Oleh :

Wulan Mei Mustika Dewi

202254066

Laporan Asuhan Keperawatan ini telah diperiksa dan disetujui

pada tanggal Maret 2023

Perseptor akademik Perseptor klinik

Paulus Subiyanto, M.Kep.,Sp.K.M.B Yos Subono S.Kep., Ns


.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh peningkatan dan
pertumbuhan sel dalam tubuh secara tidak normal. Pertumbuhan dan
pertambahan sel kanker ini dapat bersifat destruktif atau merusak sel-sel
sehat dengan cara menginfiltrasi ke jaringan lain melalui pembuluh limfe
atau pembuluh darah. Kanker kolorektal atau usus besar adalah suatu
keganasan dari sel epitel kolon atau rektum (Rahdi, Wibowo, & Rosida,
2016).

Kanker rektum merupakan tumor ganas yang berupa massa polipoid besar
pada rektum. Kanker rektum disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya
polip di usus (Colorectal Polyps), peradangan pada usus yang kronik (Colitis
Ulcerativa), riwayat kanker sebelumnya, riwayat kanker colorectal pada
keluarga, merokok, pola makan yang tinggi lemak, pola makan rendah serat
dan kurangnya olahraga (RSUP Dr. Sardjito, 2019).

Gejala yang sering dialami penderita kanker ini meliputi diare, konstipasi,
darah pada tinja, sering merasa mual dan kembung, hingga penurunan berat
badan tanpa sebab yang jelas. Selain karena faktor keturunan, kanker
kolorektal juga bisa terjadi karena gaya hidup yang buruk terutama soal
asupan makanan yang tidak seimbang. Dari merasa sakit biasa hingga
menjadi kanker usus besar bermula dari pola makan yang kurang serat,
tinggi lemak ditambah gaya hidup lainnya yang buruk, seperti kurang
istirahat, kurang olahraga, dan obesitas (Primasiwi, 2019).

Pada pasein dengan kanker rectum akan dilakukan tindakan operasi atau
pembedahan. Operasi atau pembedahan merupakan semua tindakan
pengobatan yang menggunakan cara invasif .Pembedahan dapat
menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien karena tindakan tersebut dapat
menyebabkan trauma pada jaringan yang dapat menimbulkan nyeri (Rahdi
et al., 2016). Di Indonesia kanker kolorektal menempati urutan ke 3
penyebab kematian akibat kanker (Kemenkes RI, 2017). Jumlah penderita
kanker kolorektaldi Indonesia menurut Kemenkes RI (2018) yaitu sebanyak
15.985 kasus pada laki-laki dan sebanyak 11.787 kasus pada perempuan.
Prevalensi kejadian kanker kolorektal ini didukung oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa, jumlah
kematian akibat kanker kolorektal yang terjadi di Indonesia adalah sebesar
731.000 kasus (A. Agung et al., 2021) Faktor terjadinya kanker kolorektal
yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, ras, genetik, riwayat keluarga,
riwayat tumor, dan kolitis ulseratif. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
meliputi pola hidup seperti penggunaan rokok, aktifitas fisik yang rendah,
konsumsi alkohol jangka lama, dan pola diet yang buruk (Rahmadania,
Wibowo, & Rosida, 2016).

Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin. Pilihan dan


rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor. Terapi bedah
merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan kuratif
(Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2014). Pada pasca pembedahan
dilakukan tindakan rehabilitative yang dijukan untuk mengembalikan pasien
ke kehidupannya yang normal atau meningkatkan kualitas hidup dengan
menggunakan stoma, artinya mulut atau pembukaan adalah lubang terbuka
dari suatu saluran berongga yang menghubungkan saluran tersebut dengan
permukaan kulit. Ostomy adalah operasi pembuatan stoma yang bertujuan
untuk mengalihkan feses atau urin ke luar tubuh melalui perut. Stoma dibuat
dengan memotong bagian usus yang kemudian dijahit ke perut (Brackley,
2014).

Seseorang yang baru saja menempuh operasi pembuatan stoma (lubang


buatan baru di perut untuk BAB) dan operasi usus besar memiliki risiko
lebih tinggi mengalami proktitis. Radang lebih mudah menyerang area
rektum yang justru tidak pernah makanan lewati. Proktitis paling kerap
ditandai dengan beberapa keluhan, yaitu rasa sakit di dubur, perut mulas, diare,
perdarahan dari rektum, terasa penuh di area rektum, hingga BAB berlendir
atau berdarah.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan


keperawatan pada Pasien dengan Proktitis Post Eksisi Massa Rectum
Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca Recti Di Ruang Elisabeth Gruyters 1
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Dapat melakukan asuhan keperawatan pada Pasien dengan Proktitis Post
Eksisi Massa Rectum Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca Recti Di Ruang
Elisabeth Gruyters 1 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
1.2.2 Tujuan khusus
1.2.2.1 Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada Pasien dengan Proktitis
Post Eksisi Massa Rectum Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca Recti Di
Ruang Elisabeth Gruyters 1 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
1.2.2.2 Dapat melakukan penegakan diagnose keperawatan Pasien dengan
Proktitis Post Eksisi Massa Rectum Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca
Recti Di Ruang Elisabeth Gruyters 1 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
1.2.2.3 Dapat melakukan penyusunan rencana keperawatan pada Pasien dengan
Proktitis Post Eksisi Massa Rectum Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca
Recti Di Ruang Elisabeth Gruyters 1 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
1.2.2.4 Dapat melaksanakan tindakan keperawatan keperawatan pada Pasien
dengan Proktitis Post Eksisi Massa Rectum Riwayat Post Colostomi
Etcausa Ca Recti Di Ruang Elisabeth Gruyters 1 Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta
1.2.2.5 Dapat melakukan evaluasi keperawatan pada pasien Pasien dengan
Proktitis Post Eksisi Massa Rectum Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca
Recti Di Ruang Elisabeth Gruyters 1 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
1.2.2.6 Dapat melakukan dokumentasi keperawatan pada Pasien dengan Proktitis
Post Eksisi Massa Rectum Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca Recti Di
Ruang Elisabeth Gruyters 1 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

BAB 2
KONSEP PENYAKIT

2.1 Konsep Penyakit Kanker Rectum


2.1.1 Pengertian
Kanker kolorektal merupakan suatu tumor malignant yang muncul pada
jaringan ephitelial dari colon/rectum. Umumnya tumor kolorektal adalah
adenokarsinoma yang berkembang dari polip adenoma (Wijaya dan Putri,
2013). Kanker rektum adalah salah satu dari keganasan rektum yang
khusus menyerang bagian rektum yang terjadi akibat gangguan proliferasi
sel epitel yang tidak terkendali (Wilkinso, Jutith, 2016). Karsinoma rektum
merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan rektum yang khusus
menyerang bagian recti yang terjadi akibat timbulnya di mukosa/epitel
dimana lama kelamaan timbul nekrose dan ulkus (Taufan Nugroho, 2011).
Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau rektum
(bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus). Menurut American
Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah kanker ketiga terbanyak
dan merupakan kanker penyebab kematian kedua terbanyak pada pria dan
wanita di Amerika Serikat. Telah diprediksi bahwa pada tahun 2014 ada
96.830 kasus baru kanker kolon dan 40.000 kasus baru kanker rektum
(Wasim Aktar et al., 2018).
Kanker kolorectal didominasi oleh adenokarsinoma (95%) dengan
penderita kanker kolon berjumlah lebih dari dua kali lipat dari jumlah
penderita kanker rektum. Awalnya kanker kolorektal dapat muncul sebagai
polip jinak tetapi dapat berubah menjadi ganas, menginvasi dan
menghancurkan jaringan dan meluas hingga ke jaringan dan struktur
sekitarnya. Sel-sel kanker dapat bermigrasi dari tumor primer dan
menyebar ke organ lain didalam tubuh. . Jika penyakit dideteksi dan
diterapi pada stadium dini sebelum menyebar, angka kesintasan (survival
rate ) 5 tahun adalah 90% namun, hanya 39% kanker kolorektal yang
dideteksi di stadium dini. Angka keberlangsungan hidup setelah diagnosis
akir sangat rendah (Brunner & Suddarth, 2018).
2.1.2 Anatomi fisiologi
2.1.3.1 Usus Besar/ Colon
Setelah materi dalam saluran pencernaan masuk ke usus besar, sebagian
besar nutrien telah dicerna dan diabsorpsi dan hanya menyisakan zat-zat
yang tidak tercerna. Makanan biasa memerlukan waktu 2 sampai 5 hari
untuk 11 menempuh ujung saluran pencernaan yang satu ke ujung
lainnya: 2 sampai 6 jam di lambung, 6 sampai 8 jam di usus halus, dan
sisa waktunya berada di usus besar.

Bagian-bagian usus besar antara lain :


1. Cecum adalah kantong tertutup yang menggantung di bawah area
katup ileosekal. Apendiks vermiform, suatu tabung buntu yang
sempit berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum
2. Kolon asenden merentang darisekum sampai ke tepi bawah hati di
sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura
hepatica
3. Kolon transvesum merentang menyilang abdomen di bawah hati
dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar
ke bawah pada fleksura splenik. Kolon desenden merentang ke
bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid
berbentuk S yang bermuara di rectum
2.1.3.2 Rektum Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan
panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan
membuka ke eksterior di anus
a. Mukosa saluran anal tersusun dari kolumna rektal (anal), yaitu
lipatan lipatan vertikal yang masing-masing berisi arteri dan vena
b. Sfingter anal internal otot polos (involunter) dan sfingter anal
eksternal otot rangka (volunter) mengitari anus
2.1.3 Etiologi
Penyebab Karisinoma Recti masih belum diketahui pasti,namun telah
dikenali beberapa faktor predisposisi.Faktor predisposisi lain mungkin
berkaitan dengan kebiasaan makan.Hal ini karena Karsinoma Recti terjadi
serkitar sepuluh kali lebih banyak pada penduduk wilayah barat yang
mengkonsumsi lebih banyak makanan mengandung karbohidrat murni dan
rendah serat,dibandingkan produk primitif (Misalnya,di Afrika) yang
mengkonsumsi makanan tinggi serat (Lorraine M.Wilson,2016). Menurut
Brunner & Suddarth, penyebab Karisinoma Recti adalah :
2.1.3.1 Polip di usus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan pada dinding dalam kolon atau rectum,dan
sering trjadi pada orang berusia 50 tahun keatas.sebagian besar polips
bersifat jinak (bukan kanker),tapi beberapa polip (adenoma) dapat
menjadi kanker.
2.1.3.2 Colitis ulcerativa atau penyakit crohn Orang dengan kondisi yang
menyebabkan peradangan pada kolon (misalnya Colitis ulcerativa atau
penyakit crohn) selama bertahuntahun memiliki resiko yang lebih besar.
3.
2.1.3.3 Riwayat kanker pribadi Orang sudah pernah terkena kanker kolorectal
dapat terkena kanker kolorectal untuk kedua kalinya.selain itu,wanita
dengan riwayat kanker diindung telur,uterus (endometrium) atau
payudara mempunyai tingkay resiko yang lebih tinggi untuk terkena
kanker kolorektal.
2.1.3.4 Riwayat kanker kolorektal pada keluarga Jika anda mempunyai riwayat
kanker kolorektal pada keluarga,maka kemungkinan nada terkena
penyakit ini lebih besar,khususnya jika saudara anda terkena kanker pada
usia muda.
2.1.3.5 Faktor gaya hidup Orang yang merokok,atau menjalani pola makan yang
tinggi lemak dan sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat resiko
yang lebih besar terkena kanker kolorektal pada mereka yang berusia
lebih tua.lebih dari 90% orang yang menderita penyakit ini didiagnosis
setelah usia 50 tahun keatas.
2.1.4 Patofisiologi
Kanker kolon dan rektum (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan
menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas kedalam struktur
sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar
kebagian tubuh yang lain (paling sering ke hati) Japaries, 2013.
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan
lumen usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta
perdarahan. Penetrasi kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses,
serta timbulnya metastase pada jaringan lain. Prognosis relativ baik bila
lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseks dilakukan, dan
jauh lebih jelek telah terjadi mestatase ke kelenjr limfe (Japaries, 2013).
Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker usus yang dapat tumbuh
secara lokal dan bermetastase luas. Adapun cara penyebaran ini melalui
beberapa cara. Penyebaran secara lokal biasanya masuk kedalam lapisan
dinding usus sampai keserosa dan lemak mesentrik, lalu sel kanker
tersebut akanmengenai organ disekitarnya. Adapun penyebaran yang lebih
luas lagi didalam lumen usus yaitu melalui limfatik dan sistem sirkulasi.
Bila sel tersebut masuk melalui sistem sirkulasi, maka sel kanker tersebut
dapat terus masuk ke organ hati, kemudian metastase ke orgab paru-paru.
Penyebaran lain dapat ke adrenal, ginjal, kuli, tulang, dan otak. Sel kanker
pu dapat menyebar ke daerah peritoneal pada saat akan dilakukan reseksi
tumor (Diyono, 2013). Hampir semua kanker kolorektal ini berkembang
dari polip adenoma jenis villous, tubular, dan viloutubular. Namun dari
ketiga jenis adenoma ini, hanya jenis villous dan tubular yang diperkirakan
akan menjadi premaligna. Jenis tubular berstruktur seperti bola dan
bertangkai, sedangkan jenis villous berstuktur tonjolan seperti jari-jari
tangan dan tidak bertangkai. Kedua jenis ini tumbuh menyerupai bunga
kol didalam kolon sehingga massa tesebut akan menekan dinding mukosa
kolon. Penekanan yang terus-menerus ini akan mengalami lesi-lesi ulserasi
yang akhirnya akan menjadi perdarahan kolon. Selain perdarahan, maka
obstruksi pun kadang dapat terjadi. Hanya saja lokasi tumbuhnya adenoma
tersebut sebagai acuan. Bila adenoma tumbuh di dalam lumen luas
(ascendens dan transversum), maka obstruksi jarang terjadi. Hal ini
dikarenakan isi ( feses masih mempunyai konsentrasi air cukup) masih
dapat melewati lumen tersebut dengan mengubah bentuk (disesuaikan
dengan lekukan lumen karena tonjolan massa). Tetapi bila adenoma
tersebut tumbuh dan berkembang di daerah lumen yang sempit
(descendens atau bagian bawah), maka obstruksi akan terjadi karena tidak
dapat melewati lumen yang telah terdesak oleh massa. Namun kejadian
obstruksi tersebut dapat menjadi total atau parsial (Diyono, 2013). Secara
genetik, kanker kolon merupakan penyakit yang kompleks. Perubahan
genetik sering dikaitkan dengan perkembangan dari lesi permalignan
(adenoma) untuk adenokarsinoma invasif. Rangkain peristiwa molekuler
dan genetik yang menyebabkan transformsi dari keganasan polip
adenomatosa. Proses awal adalah mutasi APC (adenomatosa Poliposis
Gen) yang pertama kali ditemukan pada individu dengan keluarga
adenomatosa poliposis (FAP= familial adenomatous polyposis). Protein
yang dikodekan oleh APC penting dalam aktivasi pnkogen c-myc dan
siklinD1, yang mendorong pengembangan menjadi fenotipe ganas
(Muttaqin, 2013)
2.1.5 Klasifikasi
Menurut Diyono (2013), tingakatan kanker kolorektal dari duke sebagai
berikut : 1. Stadium 1 : terbatas hanya pada mukosa kolon (dinding rektum
dan kolon).
2. Stadium 2 : menembus dinding otot, belum metastase.
3. Stadium 3 : melibatkan kelenjar limfe.
4. Stadium 4 : metastase ke kelenjar limfe yang berjauhan dan ke organ
lain.
Menurut Japaries (2013) Kanker usus besar dibagi menajadi dua stadium
yaitu :
1. Stadium dini
a. Tanda iritasi usus dan perubahan kebiasaan defekasi : sering buang
air besar, diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih
berganti, tenesmus, anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar
abdomen. Pasien lansia bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka
nyeri, kadang kala setelah terjadi perforasi tumor, peritonitis baru
merasakan nyeri dan berobat.
b. Hematokezia : tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah
segar atau merah gelap, biasanya tidak banyak, intermitan. Jika
posisi tumor agak tinggi, darah dan feses becampur menjadikan
feses mirip selai. Kadang kala keluar lendir berdarah.
c. Ileus : ileus merupakan tanda lanjut kanker kolon. Ileus kolon sisi
kiri sering ditemukan . kanker kolon tipe ulseratif atau hiperplstik
menginvasi kesekitar dinding usus membuat lumen usus
menyempit hingga ileus, sering berupa ileus mekanik nontotal
kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tak enak perut
intermiten, borborigmi, obstipasi atau feses menjadi kecil (seperti
pensil atau tahi kambing) bahkan tak dapat buang angin atau feses.
Sedangkan ileus akut umumnya disebabkan karsinoma kolon tipe
infiltratif. Tidak jarang terjadi intususepsi dan ileus karena tumor
pada pasien lansia, maka pada lansia dengan intususepsi harus
memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada ileus akut
maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat
muntah, mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi
tumor.
d. Massa abdominal. Ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu
didaerah abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan
pada koon belahan kanan. Pasien lansia umumnya mengurus,
dinding abdomen relatif longgar, massa mudah diraba. Pada
awalnya massa bersifat mobil, setelah menginvasi sekitar menjadi
infeksi.
e. Anemia, pengurusan, demam, astenia dan gejala toksik sistemik
lain. Karena pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh,
perdarahan kronis jangka panjang menyebabkan anemia; infeksi
sekunder tumor menyebabkan demam dan gejala toksik.
2. Stadium lanjut
Selain gejala lokal tersebut diatas, dokter harus memperhatikan tumor
adalah penyakit sistemik, pada fase akhir progresi kanker usus besar
timbul grjala stadium lanjut yang sesuai. Misal, invasi luas tumor dalam
kavum pelvis menimbulkan nyeri daerah lumbosakra, iskialgia dan
neuralgia obturatoria; ke anterior menginvasi mukosa vagina dan vesika
urinaria menimbulkan perdarhan pervaginam atau hematuria, bila parah
dapat timbul fistel rektovaginal, fistel rektovesikel; obstruksi ureter
bilateral menimbulkan anuria, uremia; tekanan pada retra menimbulkan
retensi urin; asites, hambatan saluran limfatik atau tekanan pada vena
iliaka menimbulkan udem tungkai, skrotal, labial; perforasi
menimbulkan peritonitis akut, abses abdomen; metastasis ke paru
menimbulkan batuk, nafas memburu, hemoptisis; metastasis ke otak
menyebabkan koma; metastasis tulang menimbulkan nyeri tulang,
pincang dll. Akhirnya dapat timbul kakeksia, kegagalan sistemk
(Japaries, 2013).
2.1.6 Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Keluhan utama pasien pasien dengan kanker kolorektal berhubungan
dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan,
dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga lanjut
sekali sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus
lebih besar dari feses masih encer. Gejala klinis sering brupa rasa penuh,
nyeri abdomen, perdarahan dan symptomatik anemia (menyebabkan
kelemahan, pusing dan penurunan berat badan). Tumor yang berada pada
kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai
akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses,
dan komplikasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi. Tumor pada rektum atau sigmoid bersifat lebih
infiltratif pada waktu diagnosis dari leksi proksimal, maka prognosisnya
lebih jelek (Kumar dkk, 2010).
Gejala – gejala yang ada pada penderita kanker usus besar, antara lain :
2.1.6.1 Perdarahan rektal merupakan keluhan utama pada 20-50% kasus
kanker kolorektal. Pasien yang mengalami perdarahan dengan satu
atau lebih gejala berikut harus segera dirujuk untuk pemeriksaan
lebih lanjut. Sekitar 39-85% pasien dengan ca colon sering
menemukan perubahan tipe usus.
2.1.6.2 Perubahan pola usus, terutama pada pasien usia lanjut. Perubahan
pola BAB terutamanya pada pasien lanjut usia. Riwayat diare
darah atau lendir harus meminta pendapat ahli. Riwayat diare baru-
baru ini, konsistensi sering dan berair. Nyeri pada perut pasien
kanker kolorektal kemungkinan tanda dari obstruksi yang terjadi .
Nyeri kolik perut dengan gejala obstruksi lain seperti mual, muntah
2.1.6.3 Gejala yang lain yaitu kehilangan darah kronis; anemia defiensi
besi, kelelahan, lesu ; sering dijumpai pada tumor sisi kanan.
(Menon, J. and Mustafa, 2016).
2.1.7 Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan kanker rektum, antara lain
(Suratun & Lusianah, 2014) :
2.1.7.1 Endoskopi Endoskopi merupakan prosedur dignostik utama dan dapat
dilakukan dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid)
atau dengan kolonoskopi total.
2.1.7.2 Enema barium dengan kontras ganda Pemeriksaan enema barium yang
dipilih adalah dengan kontras ganda karena memberikan keuntungan
seperti tingkat kberhasilanya sangat tinggi.
2.1.7.3 CT colonography (pneumocolon CT) Keunggulan CT colonography
adalah:memiliki sensifitas tinggi di dalam mendiagnosis kanker kolorektal
dan dapat memberikan informasi keadaan diluar kolon, termasuk untuk
menentukan stadium melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan
kelenjar getah bening
2.1.8 Penatalaksanaan
Dalam tatalaksana kanker rektum, radioterapi memiliki peran yang penting
di berbagai tahapan. Pemberian radiasi baik sebelum atau sesudah
pembedahan pada tumor yang resektabel, diharapkan dapat meningkatkan
kontrol lokal dan kesintasan dengan cara mengeradikasi sel-sel tumor
subklinis yang tidak dapat disingkirkan pada pembedahan. Sementara,
radiasi preoperatif pada tumor yang non-resektabel, yang diberikan sendiri
atau konkuren dengan kemoterapi, bertujuan untuk meningkatkan
resektabilitas tumor. Peran radiasi pada tumor letak rendah dapat
meningkatkan preservasi sfingter. Pilihan dan rekomendasi terapi
tergantung pada beberapa faktor, terapi bedah merupakan modalitas utama
untuk kanker stadium dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi adalah
pilihan pertama pada kanker stadium lanjut dengan tujuan paliatif.
Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama terapi kanker rektum.
Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan antibodi monoklonal
telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam berbagai situasi klinis,
baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan modalitas terapi
lainnya. (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2014)
2.1.8.1 Pembedahan
Pembedahan merupakan modalitas utama dalam manajemen kanker
rektum. Pemilihan teknik pembedahan tergantung pada stadium dan lokasi
tumor pada rektum. Prinsip utama dari pembedahan pada 20 kanker
rektum adalah pengangkatan seluruh tumor gross dan tumor yang
mikroskopik, dengan margin negatif pada bagian proksimal, distal dan
sirkumferensial. Bila dari pemeriksaan rectal touché/colok dubur ahli
bedah memutuskan bahwa sulit untuk mendapatkan margin negatif karena
fiksasi atau ekstensi tumor yang luas, maka tumor dikatakan tidak
resektabel. Untuk meningkatkan resektabilitas, dapat dilakukan radiasi
atau kemoterapi neoadjuvan sebelum reseksi. Secara umum, dikenal
beberapa teknik reseksi pada kanker rektum yang lazim digunakan, yaitu
eksisi transanal untuk kanker rektum stadium dini, yaitu tumor yang
berukuran kecil
2.1.8.2 Kolostomi
Kolostomi adalah pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus
besar melalui dinding perut dengan tindakan bedah bila jalan ke anus tidak
bisa berfungsi, dengan cara pengalihan aliran feses dari kolon karena
gangguan fungsi anus. Tujuan kolostomi adalah untuk mengatasi proses
patologis pada kolon dista dan untuk proses dekompresi karena sumbatan
usus besar distal dan selalu dibuat pada dinding depan abdomen. Indikasi
kolostomi pada klien Ca rektum meliputi sumbatan di lumen rektum, anus
karena infeksi berat lama, fibrosis pasca infeksi, sumbatan diluar lumen
(proses infeksi pada pelvis), trauma anus-rektum. Kolostomi dibuat
berdasarkan indikasi dan tujuan tertentu, sehingga jenisnya ada beberapa
macam tergantung dari kebutuhan klien. Kolostomi dapat dibuat secara
permanen maupun sementara (Suratun & Lusianah, 2014). Berikut jenis-
jenis kolostomi (Suratun & Lusianah, 2014):
a. Kolostomi permanen Pembuatan kolostomi permanen biasanya
dilakukan apabila klien sudah tidak memungkinkan untuk defekasi
secara normal karena adanya keganasan, perlengketan (adhesi), atau
pengangkatan kolon 22 sigmoid atau rektum sehingga tidak
memungkinkan feses melalui anus. Kolostomi permanen biasanya
berupa kolostomi single barrel (dengan satu ujung lubang).
b. Kolostomi temporer/sementara Pembuatan kolostomi temporer
biasanya untuk tujuan dekompresi kolon atau untuk mengalirkan feses
sementara dan kemudian kolon akan dikembalikan seperti semula dan
abdomen ditutup kembali. Kolostomi temporer ini mempunyai dua
ujung lubang yang dikeluarkan melalui abdomen yang disebut
kolostomi double barel.
2.1.8.3 Kemoterapi
Kemoterapi Peran kemoterapi dalam tatalaksana kanker rektum adalah
sebagai terapi neoadjuvan pre-operatif, konkuren sebagai radiosensitizer
dan adjuvan pasca operatif. Pada tahap paliatif, kemoterapi merupakan
pilihan utama terapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan secara
bersamaan/konkuren dengan radioterapi merupakan rekomendasi pilihan
terapi bagi kanker rektum stadium lanjut lokal.
2.1.9 Komplikasi
2.1.9.1 Infeksi intraperitonial
2.1.9.2 Obstruksi usus besar komplet
2.1.9.3 Perdarahan dan hemoragi gastrointestinal
2.1.9.4 Perforasi usus
2.1.9.5 Peritonitis, abses, sepsis (Brunner & Suddarth, 2018)

2.1.10 Konsep kolostomy


2.1.10.1 Definisi
Kolostomi adalah pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus
besar melalui dinding perut dengan tindakan bedah bila jalan ke anus
tidak bisa berfungsi, dengan cara mengalihkan aliran fese dari kolon
karena gangguan fungsi anus. Tujuan kolostomi adalah untuk mengatasi
proses patologispada kolon dista dan untuk proses dekompresi karena
sumbatan usus besar distal dan selalu dibuat pada dinding depan
abdomen. Kolostomi buat berdasarkan indikasi tertentu, sehingga
jenisnya ada beberapa macam tergantung dari kebutuhan klien (Suratun
dan Lusianah, 2014).
2.1.10.2 Indikasi Menurut (Wian, 2012) Pembedahan kolostomi yang dilakukan
pada penderita, antara lain:
a. Penyakit peradangan usus akut : terjadi karena kotoran
menumpuk dan menyumbat usus di bagian bawah yang
membuat tidak bisa BAB. Penumpukan kotoran di usus besar ini
akan membuat pembusukan yang akhirnya menjadi radang usus.
b. Atresia ani (tidak mempunyai anus): kelainan ini biasanya
diketahui sejaklahir. Diduga karena terjadi infeksi saat ibu hamil
yang membuat konstruksi usus ke anus tidak lengkap atau bisa
juga karena kelainan genetik.
c. Hirscprung: kelainan kongenital yang menyebabkan gangguan
pergerakan usus akibat permasalahan pada persyarafan usus
besar paling bawah, mulai anus hingga usus diatasnya. Penyakit
hirscprung lebih sering terjadi pada neonatus. Kondisi ini
membuat penderitanya terutama bayi tidak bisa BAB selama
berminggu-minggu dan kotoran akan menumpuk di usus bawah
yangakhirnya timbul radang usus.
2.1.10.3 Jenis-jenis Kolostomi Menurut (Dini Komalasari, 2015):
a. Loop stoma atau transversal Merupakan jenis kolostomi yang dibuat
dengan membuat mengangkat usus ke permukaan abdomen,
kemudian membuka dinding usus bagian anterior untuk
memungkinkan jalan keluarnya feses. Biasanya pada loop stoma
selama 7 hari hingga 10 hari pasca pembedahan disangga oleh
semacam tangkai plastik agar mencegah stoma masuk kembali ke
dalam rongga abdomen.
b. End Stoma Merupakan jenis kolostomi yang dibuat dengan
memotong usus dan mengeluarkan ujung usus proksimal ke
permukaan abdomen sebagai stoma tunggal. Usus bagian distal akan
diangkat atau dijahit dan ditinggalkan dalam rongga abdomen.
c. Fistula mucus Merupakan bagian usus distal yang dikeluarkan ke
permukaan abdomensebagai stoma non fungsi. Biasanya fistula
mukus terdapat pada jenis stoma double barrel dimana segmen
proksimal dan distal usus dikeluarkan ke dinding abdomen sebagai
dua stoma yang terpisah.
d. Tube Caecostomies Stoma pada Tube Caecostomies bukan
merupakan stoma dari kolon, karena kolon tidak dikeluarkan hingga
ke permukaan abdomen. Tipe kolostomi ini menggunakan kateter
foley yang masuk ke dalam sekum hingga ujung apendiks pasca
operasi apendiktomi melalui dinding abdomen. Kateter ini
membutuhkan irigasi secara teratur untuk mencegah sumbatan.
2.1.10.4 Komplikasi pemasangan kolostomy
Menurut (Manggarsari, 2013) komplikasi kolostomi, antara lain:
a. Nekrosis
Komplikasi akut dini akibat vaskularisasi yang tidak memadai pada
stoma sehingga jaringan disekitar stoma tidak mendapatkan
vaskularisasi yang baik. Biasanya stoma akan tampak hitam atau
ungu gelap.
b. Stenosis
Penyempitan stoma atau orifisium kutan biasanya akibat defek kecil
pada kulit atau iskemia kronis stoma.
c. Retraksi
Berkurang/hilangnya tangkai atau masuknya stoma ke dalam dinding
abdomen, biasanya akibat tegangan pada usus yang digunakan.
d. Prolaps
Panjang tangkai berlebihan, akibat defek kulit yang longgar atau efek
kronis peristaltik usus. Lebih sering terjadi pada stoma loop,
khususnya kolostomi loop.
e. Herniasi
Terdapatnya usus pada jaringan subkutan. Biasanya akibat lubang
terbuka yang terlalu besar pada dinding otot abdomen.
1) Herniasi merupakan komplikasi stoma jangka panjang yang
paling sering terjadi. Herniasi sering menyebabkan masalah
dengan perlekatan alat stoma. b. Dermatitis peristoma Terjadi
akibat tumpahnya isi stoma ke kulit di sekitarnya atau trauma
pada penggantian alat.
2) Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit Biasanya hanya
menjadi masalah pada ileostomi (terutama segera setelah
pembentukan stoma, bila letaknya tinggi pada usus halus atau
terjadi gastroenteritis).
f. Proktitis/ colitis
Proktitis merupakan kondisi peradangan yang menyerang dinding rektum
yang biasanya ditandai dengan perut mulas dan rasa sakit khususnya di area

duburRadang lebihmudah menyerang area rektum yang


justru tidak pernah makanan lewati. Bentuk khusus proktitis
adalah proktitis pengalihan. Jika terdapat stoma di depan rektum, hal
ini menyebabkan peradangan, yang dapat menyebabkan keluarnya
lendir dan darah. Kurangnya asam lemak rantai pendek atau
ketidakseimbangan dalam kolonisasi bakteri dibahas sebagai
penyebabnya. Terapi pilihan adalah pemulihan kontinuitas usus. Jika
ini tidak memungkinkan, pengobatan dengan supositoria mesalazine
atau butirat dapat dicoba jika gejalanya parah. Pasca operasi,
terutama dengan anastomosis stapler yang terletak di distal, mis. B.
setelah operasi ambeien stapler atau reseksi dubur dalam, perubahan
inflamasi dapat terjadi di area staple line.
Gejala yang dialami tidak spesifik dan berhubungan dengan
perdarahan transanal, sering buang air besar, lendir di tinja, nyeri,
tinja, gatal dan, dalam kasus gambaran klinis yang jelas, demam ,
perut terasa mulas, diare, nyeri dibagian rectum (Krammer &
Schmidth, 2019)
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan menurut wijaya dan putri (2013),
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Data Demografi
1) Kanker klorektal sering ditemukan terjadi pada usia lebih dari 40
tahun.
2) Pada wanita sering ditemukan kanker kolon dan kanker rekti lebih
sering terjadi pada laki-laki.
b. Riwayat kesehatan dahulu
1) Kemungkinan pernah menderita polip kolon, radang kronik kolon
dan kolitis ulseratif yang tidak teratasi.
2) Adanya infeksi dan obstruksi pada usus besar.
3) Diare atau konsumsi diet yang tidak baik, tinggi protein, tinggi
lemak dan rendah serat.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat kanker pada keluarga, diidentifikasi kanker yang
menyerang tubuh atau organ termasuk kanker kolorektal adalah
diturunkan sebagai sifat dominan.
d. Riwayat kesehatan sekarang
1) Klien mengeluh lemah, nyeri abdomen dan kembung.
2) Klien mengeluh perubahan pada defekasi : Buang Air Besar (BAB)
seperti pita, diare yang bercampur darah dan lendir dan rasa tidak
puas setelah buang air besar.
3) Klien megalami anoreksia, mual, muntah dan penurunn berat badan.
e. Pemeriksaan fisik
4) Mata : konjungtiva subanemis / anemis.
5) Leher : distensi vena jugularis (JVP).
6) Mulut : mukosa mulut kering dan pucat, lidah pecah – pecah dan bau
yang tidak enak.
7) Abdomen : distensi abdomen, adanya teraba massa, penurunn bising
usus dan kembung.
8) Kulit : turgor kulit buruk, kering (dehidrasi / malnutrisi.
f. Pengkajian Fungsional Gordon
1) Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah, merasa gelisah
dan ansietas, tidak tidur semalaman karena diare, pembatasan
aktivitas / kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.
2) Pernafasan : nafas pendek, dispnea (respon terhadap nyeri yang
dirasakan) yang ditandai dengan takipnea dan frekuensi menurun.
3) Sirkulasi Tanda : Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi,
proses inflamasi dan nyeri), hopotensi, kulit/membran : turgor buruk,
kering, lidah pecah-pecah, (dehidrasi/malnutrisi).
4) Integritas Ego Gejala : ansietas, ketakutan, emosi kesal, misal :
perasaan tak berdaya/tak ada harapan. Faktor stress akut/kronis :
misal hubungan dengan keluarga / pekerjaan, pengobatan yang
mahal. Tanda : menolak, perhatian yang menyempit, depresi.
5) Eliminasi Gejala : tekstur feses bervariasi dan bentuk lunak sampai
bau. Episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul,
sering tak dapat dikontrol (sebanyak 20-30 kali/hari), perasaan tidak
nyaman/tidak puas, deteksi berdarah/ mukosa dengan atau tanpa
keluar feses. Tanda : menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik
atau adanya peristaltik yang dapat dilihat, oliguria.
6) Makan / Cairan Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat
badan, tidak toleran terhadap diit/sensitif (misal : buah segar/massa
otot, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buru, membran mukosa
pucat, luka, inflamasi rongga mulut.
7) Hygine Tanda : ketidakmampuan melakukan perawatan diri,
stomatitis, menunjukan kekurangan vitamin.
8) Nyeri / Kenyamanan Gejala : nyeri/nyeri tekan pada kuadran kiri
bawah.
9) Keamanan Gejala : adanya riwayat polip, radang kronik viseratif.
10) Muskuloskeletal : penurunan kekuatan otot, kelemahan dan malaise
(diare, dehidrasi, dan malnutrisi).
11) Seksualitas Gejala : tidak bisa melakukan hubungan seksual/
frekuensi menurun.
12) Interaksi Sosial Gejala : masalah hubungan / peran sehubungan
dengan kondisi ketidakmampuan aktif dalam sosial
2.2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(TIM POKJA SDKI PPNI, 2016). Ada lima tipe diagnosa, yaitu aktual,
risiko, kemungkinan, sehat dan sindrom. Diagnosa keperawatan aktual
menyajikan keadaan yang secara klinis telah divalidasi melalui batasan
karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi. Diagnosa keperawatan risiko
menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak
dilakukan intervensi. Diagnosa keperawatan Wellness (Sejahtera) atau
sehat adalah keputusan klinik tentang keadaan individu, keluarga, dan atau
masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ke tingkat
sejahtera yang lebih tinggi yang menunjukkan terjadinya peningkatan
fungsi kesehatan menjadi fungsi yang positif. Diagnosa keperawatan
sindrom adalah diagnosa yang terdiri dari kelompok diagnosa aktual dan
risiko tinggi yang diperkirakan akan muncul karena suatu kejadian atau
situasi tertentu (Yeni & Ukur, 2019). Masalah keperawatan pada Post
operatif :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
b. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur infasif
c. Risiko jatuh berhubungan dengan kondisi pasca operasi
d. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis.

2.2.3 Intervensi keperawatan


Perencanaan Keperawatan adalah sebuah proses penyusunan berbagai
intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan,
serta mengurangi masalah-masalah klien (Syafridayani, 2019). Intervensi
Keperawatan yang biasa muncul pada klien post dilakukan pembedahan
dengan menggunakan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (TIM
POKJA SIKI DPP PPNI, 2018) :
Intervensi keperawatan pada post operasi yaitu:
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Prosedur
operasi) D.0077
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri I. 08238
asuhan keperawatan Observasi :
selama ...Diharapkan nyeri a.Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pasien berkurang atau menurun. frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
Kriteria hasil : c.Identifikasi respons nyeri non verbal
Tingkat nyeri L.08066 d. Identifikasi faktor yang memperberat
a. Keluhan nyeri menurun dan memperingan nyeri
b. Meringis menurun e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
c. Sikap protektif menurun tentang nyeri
d. Gelisah menurun f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
e. Kesulitan tidur menurun respon nyeri
f. Frekuensi nadi membaik g. Identifikasi pengaruh nyeri pada
g. Pola nafas membaik kualitas hidup
h. Tekanan darah membaik h. Monitor keberhasilan terapi
b. i. Pola tidur membaik komplementer yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik :
a.Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing,)
b. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
c.Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi :
a. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicunyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
b. Risiko infeksi
Resiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invasif D.0142
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi I. 14539
asuhan keperawatan selama ... Observasi :
Diharapkan tingkat infeksi Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
menurun. sistemik
Kriteria hasil : Terapeutik :
Tingkat infeksi L.14137 a. Batasi jumlah pengunjung
a.Kebersihan tangan b. Cuci tangan sebelum dan sesudah
meningkat kontak dengan pasien dan lingkungan
b. Kebersihan pasien
badanmeningkat c. Pertahankan teknik aseptik pada pasien
c.Kemerahan menurun berisiko tinggi
d. Nyeri menurun Edukasi :
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Ajarkan cara mencuci tangan dengan
benar
b. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
c. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
dan cairan
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika
perlu

c. Nausea
Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis.
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan diharapkan a. Identifikasi pengalaman mual
nausea menurun Kriteria b. Identifikasi isyarat non verbal
Hasil : ketidaknyamanan
a. Keluhan mual menurun c. Identifikasi faktor penyebab mual misal
b.Nafsu makan pasien pengobatan dan prosedur
meningkat d. Identifikasi antiemetik guna mencegah mual
c. Pasien tidak memiliki e. Monitor mual, monitor asupan nutrisi dan
perasaan ingin muntah kalori
d.Pasien tidak pucat e. Terapeutik
Nadi pasien dalam batas a. Mengendalikan faktor lingkungan penyebab
normal 80-100x/menit mual
b. Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab
mual
c. Berikan makanan dingin, cairan bening dan
tidak berbau serta tidak berwarna
Edukasi
a. Anjurkan istirahat tidur yang cukup
b. Anjurkan sering membersihkan mulut
c. Anjurkan makanan yang tingi karbohidrat dan
rendah lemak
d. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis
guna mencegah mual
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian anti emetik

d. Risiko jatuh
Risiko jatuh berhubungan dengan kondisi pasca operasi (D.0143)
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan tindakan Pencegahan jatuh (I.14540)
asuhan keperawatan selama ... Observasi
Diharapkan Derajat jatuh a. Identifikasi faktor risiko jatuh (mis. usia
berdasarkan observasi atau > 65 tahun, penurunan tingkat kesadaran,
sumber informasi menurun defisit kognitif, hipotensi ortostatik,
Kriteria hasil : gangguan keseimbangan, gangguan
Tingkat jatuh (L.14138) penglihatan, neuropati)
a. Jatuh dari tempat tidur b. Identifikasi risiko jatuh setidaknya sekali
menurun setiap shift atau sesuai dengan kebijakan
b. Jatuh saat berdiri menurun institusi
c. Jatuh saat duduk menurun c. Identifikasi faktor lingkungan yang
d. Jatuh saat berjalan menurun meningkatkan resiko jatuh (mis. lantai
e. Jatuh saat dipindahkan licin, penerangan kurang)
menurun d. Hitung risiko jatuh dengan menggunakan
f. Jatuh saat dikamar mandi skala (mis. Fall Morse Scale, Humpty
menurun Dumpty Scale), jika perlu
e. Monitor kemampuan berpindah dari
tempat tidur ke kursi roda dan sebaliknya
Terapeutik
a. Orientasikan ruangan pada pasien dan
keluarga
b. Pastikan roda tempat tidur dan kursi roda
selalu dalam kondisi terkunci
c. Pasang handrall tempat tidur
d. Atur tempat tidur mekanis pada posisi
terendah
e. Tempatkan pasien berisiko tinggi jatuh
dekat dengan pantauan perawat dari
nurse station
f. Gunakan alat bantu berjalan (mis. kursi
roda, walker)
g. Dekatkan bel pemanggil dalam
jangkauan pasien
Edukasi
a. Anjurkan memanggil perawat jika
membutuhkan bantuan untuk berpindah
b. Anjurkan menggunakan alas kaki yang
tidak licin
c. Anjurkan berkonsentrasi untuk menjaga
keseimbangan tubuh
d. Anjurkan melebarkan jarak kedua kaki
untuk meningkatkan keseimbangan saat
berdiri
e. Ajarkan cara menggunakan bel
pemanggil untuk memanggil perawat

2.2.4 Implementasi keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan salah satu tahap pelaksanaan dalam
proses keperawatan. Dalam implementasi terdapat susunan dan tatanan
pelaksanaan yang akan mengatur kegiatan pelaksanaan sesuai dengan
diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan yang sudah ditetapkan.
Implementasi keperawatan ini juga mengacu pada kemampuan perawat
baik secara praktik maupun intelektual (Lingga, 2019).
2.2.5 Evaluasi keperawatan
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien,
keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk
melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan
dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Harahap, 2019). Menurut
(Nanda, 2020) terdapat dua jenis evaluasi :
a.Evaluasi Formatif (Proses) Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas
proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi
formatif ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif,
objektif, analisis data dan perencanaan.
1) S (subjektif) : Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali
pada klien yang afasia
2) O (objektif) : Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan
oleh perawat.
3) A (analisis) : Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang
dianalisis atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.
4) P (perencanaan): Perencanaan kembali tentang pengembangan
tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan
datang dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.
b. Evaluasi Sumatif (Hasil) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang
dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesi
dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor
kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3
kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan
keperawatan, yaitu:
a. Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan
perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
b. Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau
klien masih dalam proses pencapaian tujuan jika klien
menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang telah
ditetapkan.
c. Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika klien hanya
menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama
sekali. Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosis
keperawatan, rencana tindakan dan implementasinya sudah
berhasil di capai. Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan
klien dalam mencapai tujuan.Hal ini bisa di laksanakan dengan
mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang di berikan, sehingga
perawat dapat mengambil keputusan.
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada BAB 4 penulis membahas masalah hasil analisa kasus mengenai asuhan
keperawatan pada Bp. Su dengan Pasien dengan Proktitis Post Eksisi Massa
Rectum Riwayat Post Colostomi Etcausa Ca Recti Di Ruang Elisabeth Gruyters 1
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
5.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan cara autoanamnese dan alloanamnese,
karena pasien masih kooperatif . keluhan pasien yaitu mengeluh nyeri di
pinggang kiri bekas luka operasi, pasien terpasang selang drain dan
tampak balutan luka operasi pada pinggang kiri. Nyeri merupakan
pengalaman sensori yang timbul pada individu akibat perasaan tidak
nyaman. Secara psikologis pasien terganggu dengan munculnya gelisah
oleh gangguan rasa nyaman akibat gejala yang ditimbulkan (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI. 2016).

Mekanisme terjadinya stenosis pada pasien ini dimungkinkan karena


adanya batu yang melewati ureter namun sudah keluar dengan sendirinya,
Menurut Hadibrata, dkk (2019) Striktur ureter didapat non iatrogenic
disebabkan diantaranya trauma akibat impaksi batu, atau inflamasi kronik
yang melibatkan ureter seperti pada tuberculosis dan schistosomiasis.
Roberts dan Colleagues, 1998 telah mengevaluasi 21 pasien dengan
riwayat impaksi batu pada ureter dan menemukan bahwa impaksi batu
dengan durasi lebih dari 2 bulan akan meningkatkan insidensi terjadinya
striktur sebesar 24%.
Terjadinya stenosis ini berdampak pada penyempitan ureter yang
mengakibatkan terjadinya hidronefrosis pada ginjal. Hal ini dibuktikan
dalam hasil pemeriksaan CT Urologi sebelum pasien menjalani
pembedahan dimana hasil MSCT urologi menyatakan ginjal kiri tampak
lesi cairan mengelilingi ginjal kiri, tebal 4 cm densitas SHU pelvis renis
kiri melebar ringan tak tampak batu, kesan cairan subcapsuler ginjal kiri,
tebal 4 cm, densitas SHU pelviectasis ginjal kiri, ginjal kanan normal. Hal
ini juga disebutkan dalam Hidronefrosis terjadi ketika aliran urin
tersumbat atau ketika urin telah mengalir kembali ke kandung kemih
(dikenal sebagai refluks) dan dapat menyebabkan pembesaran panggul
ginjal. (National Kidney Foundation, 2015). Menurut (Thotakura, et al.,
2021), salah satu penyebab hidronefrosis ialah obstruksi saluran kemih,
termasuk batu ginjal, keganasan, ureteropelvic junction stenosis, striktur
ureter dari peradangan sebelumnya, kista ginjal, katup uretra posterior,
hiperplasia prostat jinak, dan kandung kemih neurogenik, dll. Kondisi ini
tidak menimbulkan gejala atau kadang pasien tidak menyadarinya, seperti
dalam hasil pengkajian ini pasien mengatakan selama ini tidak merasakan
keluhan apapun terkait ginjalnya. Namun setelah terjadi komplikasi baru
muncul gejala dan pasien mulai untuk memeriksakannya.

Pada kasus ini pasien telah dilakukan tindakan operasi dan dijumpai
adanya abses pada perirenal. Pada hasil laporan operasi dijelaskan tampak
stenosis multipel pada ureter sinistra, distal dan proksimal. Kemudian
dilakukan insisi lumbotomi subcostal sampai gerota, gerota dibuka tampak
abses, dibuka tampak urine keruh 400 cc, selanjutnya dilakukan drainase
dan debridemen. Sejalan dengan R.Bass.MD, (2022) dimana
penatalaksanaan pada pasien dengan abses perirenal adalah Secara umum
drainase perkutan ditambah antibiotik parenteral diindikasikan sebagai
pengobatan awal selain itu tindakan debridement juga diperlukan untuk
menghilangkan jaringan-jaringan mati pada bagian yang mengalami abses.

Pasien telah dilakukan post operasi URS dan pemasangan DJ Stent


sinistra. Hasil BNO ( Blass Nier Overzicht) post operasi tak tampak batu
pada proyeksi traktus urinarius, terpasang DJ Stent dengan ujung
proximal melingkar di proyeksi renal sisnistra dan ujung distal melingkar
di proyeksi cavum pelvis. Tujuan dari pemasangan DJ Stent ini yaitu
untuk mengatasi adanya stenosis atau penyempitan ureter yang terjadi
pada psien. DJ Stent ini berfungsi agar setelah dipasang, ureter menjadi
lebih longgar dan urin dapat mengalir dengan lancar (Supriyanti, 2022).

5.2 Diagnosa keperawatan


Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(TIM POKJA SDKI PPNI, 2016). Pada pasien Ny.A, diagnosa post
operatif yang ditegakkan adalah nyeri akut b.d agen pencedera fisik
(prosedur operasi), resiko infeksi d.d efek prosedur invasif dan risiko
jatuh d.d kondisi pasca operasi . Diagnosa keperawatan Pada kasus ini,
yang penulis tegakkan terdapat 3 diagnosa. Hal inib sudah sesuai dengan
teori, namun terdapat 1 diagnosa yang tidak penulis angkat yaitu
hambatan mobilitias fisik. Hal ini dikarenakan tidak terdapat faktor yang
berhubungan dengan kondisi pasien.

4.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Prosedur


Pembedahan) dibuktikan dengan nyeri pinggang kiri perih, skala 4,
ekspresi kurang rileks, tampak memegangi pinggang kiri, tampak
menyeringai. Seperti yang diindikasikan oleh SDKI (2017) nyeri akut
adalah pengalaman sensorik yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual dengan onset mendadak atau yang bertahan kurang dari 3 bulan.
4.3.2 Risiko infeksi dibuktikan dengan tindakan invasif
Pasien post dilakukan tindakan URS + Pemasangan DJ Stent dan
drainase abses, tampak balutan luka operasi dan drain pada pinggang
kiri, hal ini bila tidak dilakukan perawatan dengan tepat maka luka
berisiko mengalami infeksi

4.3.3 Risiko jatuh dibuktikan dengan kondisi pasca operasi


Pasien post dilakukan operasi hari pertama, pasien tampak bedrest dan
hari tersebut pasien diprogramkan untuk berlatih mobilisasi duduk
sampai dengan jalan. Keadaan ini meningkatkan risiko terjadinya jatuh
pada pasien saat belajar dari duduk ke berdiri, berdiri sampai dengan
jalan.

5.3 Rencana keperawatan


Tahap ketiga dari proses keperawatan adalah perencanaan, perencanaan
tindakan keperawatan pada pasien 1 dan pasien 2 disusun setelah semua
data yang terkumpul selesai dianalisis dan diprioritaskan.
4.3.1 Pada diagnose keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen
pencedera fisik penulis mencantumkan tujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 jam rasa nyeri pada pasien menurun dengan
kriteria hasil pasien tidak mengeluh nyeri, mampu mengenali nyeri,
melaporkan bahwa nyeri berkurang, mampu mengontrol nyeri. Yaitu
dengan Monitor TTV, Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi , karakteristik , durasi, frekuensi, kualitas nyeri,
identifikasi skala nyeri, ajarkan tentang teknik non farmakologis,
kolaborasi dalam pemberian analgetic
4.3.2 Pada diagnose resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive
pada pasien Ny.A Penulis mencantumkan tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama waktu yang ditentukan diharapkan pasien
terhindar dari infeksi dengan kriteria hasil : Nyeri menurun, tidak demam,
kemerahan menurun, drainase purulent menurun, bengkak menurun, cairan
berbau busuk menurun. Intervensi tindakan resiko infeksi yang telah
disusun pada pasien Ny.A yaitu Monitor tanda dan gejala infeksi sitemik
dan local, batasi jumlah pengunjung, cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan lingkungan, lakukan perawatan luka, kolaborasi
pemberian terapi antibiotic. Menurut peneliti pencegahan infeksi penting
untuk pasien yang beresiko terjadinya infeksi. Diperkuat dengan teori
(Marcelina, 2020) hal yang perlu diperhatikan pasca operasi antara lain :
nutrisi, personal hygiene, luka operasi tidak terkena air, ganti perban
penutup luka secara berkala, gunakan teknik aseptik, minum obat yang
diresepkan dokter secara teratur hal yang perlu diperhatikan pasca operasi
antara lain : nutrisi, personal hygiene, luka operasi tidak terkena air, ganti
perban penutup luka secara berkala, gunakan teknik aseptik, minum obat
yang diresepkan dokter secara teratur
4.3.3 Pada diagnose resiko jatuh dibuktikan dengan kondisi pasca operatif
pada pasien Ny.A. Penulis mencantumkan tujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama waktu yang ditentukan diharapkan pasien
tidak terjadi jatuh selama dirumah sakit dengan kriteria hasil : Jatuh dari
tempat tidur menurun, jatuh saat berdiri, duduk, dan ke kamar mandi
menurun. Rencana tindakan yang akan dilakukan yaitu melalui tindakan
observasi, terapeutik, edukasi dan kolaborasi Intervensi tindakan resiko
jatuh yang telah disusun pada pasien 2 : Identifikasi faktor resiko jatuh,
hitung resiko jatuh dengan menggunakan skala morse, monitor
kemampuan berpindah dari tempat tidur ke kursi, gunakan alat bantu
berjalan, anjurkan klien berkonsentrasi untuk menjaga keseimbangan
tubuh. Penulis berasumsi tingkat resiko jatuh harus diperhatikan. Sesuai
dengan teori (Barindo, 2018) tentang pencegahan resiko jatuh yaitu :
memberikan pengawasan lebih pada pasien, menunjukkan alat bantu
panggilan darurat, pastikan posisi tempat tidur tidak terlalu tinggi dan
pagar tempat tidur terpasang, gunakan kursi roda, penggunakan klip resiko
jatuh.

5.4 Implementasi
Tahap implementasi di mulai setelah rencana tindakan di susun dan di
tujukan pada rencana strategi untuk membantu mencapai tujuan yang di
harapkan. Oleh sebab itu, rencana tindakan yang spesifik di laksanakan
untuk memodifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi masalah kesehatan.
Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan yang
telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping
4.4.1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
Tindakan keperawatan dilakukan untuk mengatasi nyeri yang dialami
pasien akibat prosedur operasi. Tindakan yang dilakukan diantaranya
mengidentifikasi faktor pencetus dan pereda nyeri dan memonitor skala
nyeri. Kemudian mengukur tanda vital dan memantau efektifitas
penggunaan analgetik. Kemudian mengajarkan pula terapi non
farmakologi yaitu dengan teknik nafas dalam dan distraksi. Menurut
(Nisa, 2020) nyeri post operasi adalah suatu reaksi tubuh terhadap
kerusakan jaringan (mulai dari sayatan kulit hingga kerusakan yang
ditimbulkan saat proses operasi), tarikan atau regangan pada organ
dalam tubuh maupun penyakitnya. Sehingga penulis berasumsi bahwa
jika pasien post operasi mengeluh nyeri itu hal wajar dikarenakan nyeri
dapat menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan. Sehingga
pasien mendapatkan terapi analgetik berupa dexketoprofen 25 mg IV
Drip, diharapkan pemberian terapi ini menolong pasien dalam
mengatasi nyeri yang dialami. Terapi non farmakologi tetap dapat
diberikan dan diajarkan kepada pasien, harapannya nyeri yang dialami
dapat berkurang dan tidak bergantung pada obat-obatan.
4.4.2 Risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif
Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah risiko
infeksi yang disebabkan karena prosedur operasi yaitu dengan
memonitor tanda gejala infeksi hal ini dikarenakan pasien
menggunakan drain dan tampak balutan luka operasi di pinggang kiri,
selain itu pasien menggunakan alat-alat kesehatan berupa infus dan
kateter yang juga merupakan media-media sebagai port de entry kuman
jika tidak dilakukan pencegahan infeksi. Pada hari pertama pelaksanaan
asuhan keperawatan area insersi infus tampak bengkak dan tetesan infus
tidak lancar, sehingga dilakukan pemasangan infus baru di tangan yang
berbeda, dengan satu kali insersi. Pemilihan vena pada area yang
berbeda mencegah untuk terjadinya infeksi dan bertujuan
mengistirahatkan area tangan yang bengkak. Selain itu program dokter
pada saat itu adalah aff kateter. Hal ini bertujuan agar memudahkan
pasien untuk melakukan aktifitas, dan untuk menilai fungsi sistem
perkemihan pasien apakah sudah dapat bekerja secara normal.
Selanjutnya dilakukan pula pemeriksaan di area insisi terhadap adanya
kemerahan, bengkak/ dehisense. Mengidentifikasi karakteristik
drainase, mengganti balutan luka, memberi salep antiseptik, memotivasi
mobilisasi bertahap dan nutrisi TKTP, melepas kateter sesuai instruksi,
melakukan perawatan luka dan berkolaborasi dengan dokter untuk
pemberian antibiotik ceftiraxone 1 gram. Pada hari ke 2 pelaksanaan
asuhan keperawatan pasien di programkan untuk rawat luka dan aff
drain. Perawatan luka yang optimal merupakan hal yang penting dalam
proses penyembuhan luka (Wintoko, Dwi, & Yadika, 2020) selain itu
dengan memberikan edukasi terhadap pasien dapat meningkatkan
pengetahuan yang dapat mempengaruhi perilaku pasien dan keluarga.
4.4.3 Risiko Jatuh dibuktikan dengan kondisi pasca operasi
Tindakan keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah
keperawatan risiko jatuh. Implementasi yang dilakukan penulis
diantaranya dengan mengidentifikasi i faktor resiko jatuh, menghitung
resiko jatuh dengan menggunakan skala morse, memonitor kemampuan
pasien dalam aktivitas fisik dan mobilisasi dari duduk ke berdiri, berdiri
lalu jalan disekitar tempat tidur dan jalan ke depan teras. Penulis
berasumsi tingkat resiko jatuh harus diperhatikan. Sesuai dengan teori
(Barindo, 2018) tentang pencegahan resiko jatuh yaitu : memberikan
pengawasan lebih pada pasien, menunjukkan alat bantu panggilan
darurat, pastikan posisi tempat tidur tidak terlalu tinggi dan pagar
tempat tidur terpasang, gunakan kursi roda, penggunakan klip resiko
jatuh.

5.5 Evaluasi keperawatan


5.2.1 Evaluasi Formatif (Proses) Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas
proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif
ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana
keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen
yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif, objektif, analisis data
dan perencanaan. Berikut hasil evaluasi proses pada ketiga diagnose

4.5.1.1 Nyeri akut pada hari pertama pasien masih mengatakan nyeri saat
untuk aktifitas, ekspresi kurang rileks, siang hari saat dilakukan
evaluasi proses nyeri sudah mulai berkurang, mampu mobilisasi
disekitar tempat tidur dan mampu menerapkan relaksasi nafas dalam
saat nyeri muncul. Evaluasi proses nyeri masih terjadi, lanjutkan
rencana. Kemudian dilanjutkan pada hari kedua. Pada hari kedua
pasien tampak lebih rileks, sudah mobilisasi sampai di teras kamar,
sudah mulai terapi oral. pasien mengatakan nyeri sudah menurun skala
1, Tekanan darah : 115/76 mmhg, Nadi : 73x/ menit.
4.5.1.2 Risiko infeksi pada hari pertama pasien sudah mulai dilepas kateter,
tampak bengkak pada area insersi infus, kemudian dilakukan
pemasangan pada akses yang berbeda di tangan kiri. Pasien masih
terpasang drain di pinggang kiri dan produk warna kemerahan
sepanjang selang, tak tampak tanda infeksi, balutan luka bersih, pasien
mengerti dan memahami terkait diet TKTP dan cara mengenal tanda
gejala infeksi. Hasil evaluasi proses pada hari pertama, risiko infeksi,
lanjutkan rencana. Pada hari kedua pasien direncanakan rawat luka dan
aff drain, pada saat diganti balutan luka tak tampak tanda infeksi
disekitar luka, tak tampak kemerahan, tak tampak eksudat, jahitan rapi
tampak bersih tidak tampak perdarahan. Drain sudah di aff luka
ditutup kassa dan sufratul.
4.5.1.3 Risiko jatuh pada hari pertama pasien baru akan belajar mobilisasi,
pasien didampingi perawat dalam melakukan mobilisasi dari duduk ke
berdiri, berdiri sampai jalan. Pasien mengerti bagaimana cara agar
menjaga keseimbangan saat berjalan agar tidak jatuh. Pengaman
tempat tidur terpasang, roda bed terkunci dan bel perawat berada di
dekat pasien. Hasil evaluasi proses pada hari pertama yaitu risiko jatuh
lanjutkan rencana. Pada hari kedua pasien sudah mulai mobilisasi
aktif, jalan mandiri dan tidak terjadi jatuh selama di rawat di rumah
sakit.
5.2.2 Evaluasi Sumatif (Hasil) Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang
dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesesai
dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor
kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3 kemungkinan
evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan, yaitu:
Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika klien menunjukan perubahan
sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Tujuan tercapai sebagian
atau masalah teratasi sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian
tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang
telah ditetapkan. Tujuan evaluasi adalah melihat kemampuan klien
dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa di laksanakan dengan mengadakan
hubungan dengan klien berdasarkan respon klien. Berikut hasil evaluasi
proses pada ke 3 diagnosa:
4.5.2.1 Nyeri akut
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam pasien
melaporkan nyeri terkontrol yaitu pasien mengatakan nyeri
berkurang menjadi skala 1. Pasien mampu mengenal onset nyeri.
Pasien mampu menggunakan Teknik non farmakologi nafas dalam,
penggunaan analgetik mulai dikurangi dan terapi sudah oral,
ekpresi pasien sudah rileks dan tampak aktif mobilisasi
Kesimpulan evaluasi : Tujuan tercapai penuh,

4.5.2.2 Risiko infeksi


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam pasien
tidak mengalami infeksi yaitu pasien tidak terjadi demam selama di
rawat di rumah sakit, pasien tidak mengalami kemerahan pada area
luka operasi, tidak ada bengkak, drainase normal tidak purulent,
tidak ada cairan berbau busuk dan tidak ada tanda infeksi lain pada
pasien
Kesimpulan : Tujuan tercapai penuh
4.5.2.3 Risiko jatuh
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam pasien
tidak mengalami jatuh selama dirawat di rumah sakit. Hal ini
dibuktikan pasien tidak terjatuh dari tempat tidur, pasien tidak
jatuh saat berdiri, duduk, dan berjalan. Pasien tidak jatuh saat di
kamar mandi
Kesimpulan : Tujuan Tercapai penuh
.

BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
5.1.1 Pengkajian
Dari hasil pengkajian pasien mengeluh nyeri pinggang kiri skala 3-4.
Pasien post dilakukan URS + DJ Stent sinistra hari 1. Ekspresi kurang
rileks, mobilisasi masih di tempat tidur, tampak terpasang drain di
pinggang kiri, produk drain kemerahan sepanjang selang. Pasien
direncanakan latihan mobilisasi pada hari 1 pasca operasi.
5.1.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus ini adalah nyeri akut
berhubungan dengan agens pencedera fisik (prosedur operasi), risiko
infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif dan risiko jatuh
dibuktikan dengan kondisi pasca operasi
5.1.3 Rencana keperawatan
Rencana mengacu pada diagnosa yaitu berfokus pada penurunan nyeri,
pencegahan infeksi dan pencegahan risiko jatuh
5.1.4 Implementasi keperawatan
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana yang disusun yaitu
berfokus mengatasi nyeri dengan analgetik dan terapi non farmakologis,
mencegah infeksi dengan melakukan prosedur secara aseptik,
melakukan perawatan luka, memberikan edukasi pencegahan infeksi
dan menganjurkan diet TKTP, dan memberikan terapi antibiotik sesuai
program dokter
5.1.5 Evaluasi keperawatan
Berdasarkan hasil asuhan keperawatan yang dilakukan selama 2 hari.
Diagnosa nyeri akut tercapai penuh, diagnosa risiko infeksi tercapai
penuh dan diagnosa risiko jatuh tercapai penuh.

5.2 Saran
5.2.1 Bagi institusi pendidikan
Diharapkan dengan adanya pengelolaan asuhan keperawtan selama hari
ini dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan menambah ilmu
pengetahuan bagi mahasiswa di Stikes Panti Rapih
5.2.2 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat memberikan gambaran dan dapat melakukan
pengelolaan asuhan keperawatan secara komprehensif sehingga
kebutuhan pasien terpenuhi untuk mencapai peningkatan derajat
kesehatan dan kemandirian pasien
5.2.3 Bagi penulis
Menjadikan pengetahuan dan memperkaya ilmu yang dimiliki melalui
proses asuhan keperawatan ini. Melakukan asuhan keperawatan pada
kasus ini merupakan kasus yang jarang terjadi sehingga dapat menjadi
pembelajaran dan pengalaman serta referensi bagi yang membaca dan
bagi penulis sendiri

Krammer, H., & Schmidt-Lauber, M. (2019). 14. Proktitis. In Band 1 Manual der
Koloproktologie (pp. 221-230). De Gruyter.
Brunner & Suddarth. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Vol. 2, Ed.
Nanda, D. (2020). Asuhan Keperawatan Aplikasi Nanda (Vol. 6).
Harahap. (2019). Melaksanakan Evaluasi Asuhan Keperawatn Untuk Melengkapi
Proses Keperawatan.
Lingga, B. Y. (2019). Pelaksanaan Perencanaan Terstruktur Melalui Implementasi
Keperawatan. 1.
Syafridayani, F. (2019). Pentingnya Perencanaan Asuhan Keperawatan.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.DPP
PPNI : Edisi 1
TIM POKJA SDKI PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
TIM POKJA SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Wintoko, R., Dwi, A., & Yadika, N. (2020). Manajemen Terkini Perawatan Luka
Update Wound Care Management. JK Unila, 4, 183–189.
Yasmara, D., Nursiswati & Arafat, R. (2016). Rencana Asuhan Keperawatan
Medikal-Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil
NOC. Jakarta: EGC
Tran H, Arsovska O, Paterson RF, Chew BH. Evaluation of risk factors and
treatment options in patients with ureteral stricture disease at a single
institution. Can Urol Assoc J. 2015 Nov-Dec;9(11-12):E921-4. doi:
10.5489/cuaj.3057. Epub 2015 Dec 14. PMID: 26788241; PMCID:
PMC4707921
Ariani, S. (2015). Stop!Kanker. Yogyakarta: Istana Media. Controversies, B., &
Obstetrics, I. N. (2013). Prinsip Dasar Kemoterapi.
Dinar, dr. A. (2017). Telapak tangan dan kaki kebas setelah kemoterapi.
DOLIJON, Y. (2018). Asuhan Keperawatan dengan Kanker Rectal.
Guangzhou, M. C. H. (2012). Intevensi Kemoterapi. Diambil dari
https://www.moderncancerhospital.co.id
Indarti, A. F. (2015). Profil Pasien Kanker Rektum Yang Menjalani Radiasi Di
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. (2014). Panduan Penatalaksanaa
Kanker Kolorektal. 1.
Potter, & Perry. (2011). Implementasi keperawatan.
Primasiwi, A. (2019). Perbaiki Pola Makan dan Gaya Hidup Demi Cegah Kanker
Kolorektal.

Anda mungkin juga menyukai