Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TUGAS

FAQIR DAN SYUKUR

Mata Kuliah : Hadist-hadist Sufistik

Dosen Pengampu : Ulin Ni’am Masruri, MA

Disusun oleh :

1. Dyah Ayu Islamyanti 2104046028


2. Syifa Suci Meilani 2104046029
3. Elsa Nuraprilia 2104046036

PRODI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UIN WALISONGO SEMARANG

2022/1443
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 1

BAB I .................................................................................................................... 2

PENDAHULUAN ................................................................................................. 2

A. Latar belakang ............................................................................................. 2


B. Rumusan masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan penulisan ......................................................................................... 3

BAB II ................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Pengertian Faqir .......................................................................................... 3


B. Pengertian Syukur ....................................................................................... 4
C. Hadist-hadist Faqir ...................................................................................... 5
D. Hadist-hadist Syukur ................................................................................... 6
E. Pandangan sufi terhadap Faqir dan Syukur................................................... 7

BAB III.................................................................................................................. 9

PENUTUP ............................................................................................................. 9

KESIMPULAN ................................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 9

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Faqir dan syukur memiliki keterkaitan satu sama lainnya, yang mana dalam
keadaan faqir diajarkan pada kita makna inti dari bersyukur. Sesungguhnya Allah Maha
Pemberi, sehingga manusia merasa harus bersyukur terhadap pemberian tersebut serta
meyakini bahwa Allah akan memberikan segala kemudahan dalam hidup
manusia.Penelitian membuktikan bahwa bersyukur menghasilkan emosi positif yang
dapat membuat individu merasa bahagia, damai, dan mau berpendapat. Begitu pula
disebutkan dalam riset yang menyatakan bahwa syukur mampu membuat seseorang
mengalami lebih sedikit dan lebih teratur dalam berbagai gangguan fisik. Mereka merasa
hidupnya lebih baik secara keseluruhan, dan lebih optimis dalam menghadapi situasi yang
akan datang.

Orang faqir yang bersyukur lebih utama daripada orang faqir yang sabar dan orang
kaya yang bersyukur. Seperti dalam kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam
kitab Nurul Burhani, bab ke-5 disebutkan, mana yang lebih baik antara orang faqir yang
sabar dengan orang kaya yang bersyukur. Syekh Abdul Qadir al-Jailani menyatakan
bahwa,

‫صابِ ُر‬ َ ‫اك ِر َواْلفَ ِقي ُْر ال َّشا ِك ُر أ َ ْف‬


َّ ‫ض ُل ِم ْن ُه َما َواْلفَ ِقي ُْر ال‬ ِ ‫ش‬ ِّ ِ ِ‫ض ُل ِمنَ اْلغَن‬
َّ ‫ى ال‬ َ ‫صابِ ُر أ َ ْف‬
َّ ‫اْلفَ ِقي ُْر ال‬
‫ض ُل ِمنَ اْلكُ ِِّل‬ َ ‫شا ِك ُر أ َ ْف‬
َّ ‫ال‬

“Seorang fakir yang mau sabar lebih utama dari orang kaya yang bersyukur, dan
orang fakir yang bersyukur, lebih utama dari keduanya dan orang fakir yang mau bersabar
dan bersyukur lebih utama dari semuanya.”

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan faqir dan syukur ?
2. Apa saja hadist-hadist yang mencangkup keduanya ?
3. Bagaimana pandangan sufi terhadap faqir dan syukur ?

2
C. Tujuan

Mengetahui makna faqir dan syukur serta hadist-hadistnya dan pandangan sufi
terhadap keduanya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Faqir

Kata al-faqr (faqir) yang merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab telah lazim
digunakan dalam Bahasa Indonesia yang bermakna ke-an. Kata ini sering digandengkan
dengan kata miskin, menjadi fakir miskin. Dua kata tersebut diartikan sebagai orang yang
sangat kekurangan. Dua kata: “fakir dan miskin” menurut kamus Bahasa Indonesia
sebenarnya mempunyai arti yang berbeda, fakir mempunyai dua pengertian; yaitu 1)
orang yang sangat kekurangan; orang yang terlalu miskin. 2) orang yang sengaja
membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Sedangkan
miskin juga mempunyai pengertian; 1) tidak berharta benda, serba kekurangan,
berpenghasilan rendah.

Dalam bahasa Arab kata al-faqr diartikan pada sesuatu yang terlepas dari anggota
tubuh atau selainnya, karena itu kata al-faqqar juga diartikan tulang punggung. Faqir
adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya
sedemikian berat sehingga "mematahkan" tulang punggungnya.

Dalam kitab al-Qamus al-Muhith telah dijelaskan bahwa kata al-faqr merupakan
kebalikan dari kata ganiy (kaya), menurutnya faqr ukurannya adalah mereka yang
memiliki materi terbatas tapi cukup bagi anak-anaknya atau sekurang-kurangnya cukup
untuk makanan pokok, sedangkan miskin diistilahkan bagi mereka yang tidak memiliki
harta sama sekali, jadi miskin berada di bawah standar hidup orang fakir. Dia juga
menukil pendapat ulama Sufi yang menyatakan bahwa al-fuqara untuk saat itu
diistilahkan bagi mereka yang tidak memiliki keahlian untuk memenuhi kebutuhan hidup.

3
Istilah al-faqr (faqir) juga sering didapatkan pada istilah-istilah sufi sebagai bagian
dari sarana untuk menjalankan praktek kesufiannya untuk bisa mendapatkan
kesempurnaan jiwa dan batin. Dalam prakteknya para sufi harus berperilaku sebagai
seorang yang berkekurangan secara materi agar mampu menjalani godaan-godaan
kehidupan. Term faqr sendiri selanjutnya mendapatkan posisi yang lebih dominan saat
praktek-praktek kesufian bertemu dengan agama-agama lokal yang ada di India yang
memang cenderung mengakomodasi praktek keagamaan yang seperti dijalankan oleh
kelompok sufi.

B. Pengertian Syukur

Syukur dalam Islam dapat dipahami sebagai bentuk terimakasih kepada Allah Swt
atas segala nikmat dan anugerah yang telah diterima oleh hamba-Nya. Syukur bagi umat
muslim merupakan ketentuan yang telah digariskan dalam teks suci, baik al-Qur’an
maupun hadis. Secara etimologi (bahasa), kata syukur terambil dari kosa kata bahasa
Arab, yaitu al-syukur atau al-syukru. Kata al-syukur merupakan isim mashdar (kata benda)
yang berasal dari kata syakara-yaskuru-syukran artinya berterima kasih atau pernyataan
terima kasih. Secara terminologi (istilah), syukur adalah gambaran dalam fikiran tentang
suatu nikmat, kemudian memperlihatkan nikmat tersebut ke permukaan.

Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang
dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kufur. Hakikat syukur adalah
menampakkan nikmat, sedangkan hakikat ke-kufur-an adalah menyembunyikannya.
Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai
dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan
pemberinya dengan lidah. Menurut istilah syara’, syukur adalah pengakuan terhadap
nikmat yang diberikan oleh Allah swt dengan disertai ketundukan kepada-Nya dan
mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Menurut sebagian ulama, Syukur berasal dari kata “syakara”, yang artinya
membuka atau menampakkan. Jadi, hakikat syukur adalah menampakkan nikmat Allah
swt yang dikaruniakan padanya, baik dengan cara menyebut nikmat tersebut atau dengan
cara mempergunakannya di jalan yang dikehendaki oleh Alah SWT.

4
C. Hadist-hadist Faqir

َ‫ أَال‬: ‫َ يَقُ ْو ُل‬،‫سلَّم‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫ّٰللا‬‫صلَّى ه‬ َ ‫ّٰللا‬ ِ ‫س ِم ْعتُ َرسُ ْو َل ه‬ َ : ‫ُ قَا َل‬،‫ع ْنه‬ َ ُ‫ّٰللا‬
‫ي ه‬ َ ‫ض‬ِ ‫ب َر‬ٍ ‫ارثَة ب ِْن َو ْه‬ ِ ‫ع ْن َح‬ َ ‫َو‬
‫ار؟ كُ ُّل عُت ُ ٍِّل‬ِ َّ‫ أَالَ أ ُ ْخبِ ُركُ ْم بِأ َ ْه ِل الن‬،ُ‫ّٰللا ََلَبَ َّره‬
ِ ‫علَى ه‬ َ ‫ضعِِّفٍ لَ ْو أ َ ْق‬
َ ‫س َم‬ َ َ ‫ض ِعيْفٍ ُمت‬ َ ‫أ ُ ْخبِ ُركُ ْم بِأ َ ْه ِل الجنَّ ِة ؟ كُ ُّل‬
ٌ
‫متفق عليه‬ .‫َج َّواظٍ ُم ْست َ ْكبِ ٍر‬

،ُ‫ َوهُو ال َج ُموعُ ال َمنُوع‬:‫الظاء المعجمة‬


ِ ‫ بفتح الجيم وتشدِي ِد الواو و ِب‬: ُ‫والجواظ‬ َّ .‫ ْالغَ ِليظُ الجافِي‬: ‫ْالعُت ُ ُّل‬
ُ‫ير ْالبَ ِطين‬
ُ ‫ص‬ِ َ‫ ْالق‬: ‫ وقي َل‬،‫ الض َّْخ ُم ال ُم ْخت َا ُل فِي ِم ْشيَتِ ِه‬: ‫َوقِي َل‬

Dari Haritsah bin Wahab ra. Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW
Bersabda : ” Maukah kamu aku beritahu tentang penghuni Surga? Yaitu orang yang lemah
dan diremehkan, tetapi kalau dia minta sesuatu kepada Allah, tentu dikabulkan. Dan
maukah kamu aku beritahu tentang penghuni Neraka? Yaitu setiap orang yang kasar,
keras lagi sombong.” ( HR. Bukhari dan Muslim)

Al’utul ialah orang yang keras kepala lagi kasar dalam pergaulan.

Aljawwazh, dengan fathah jim dan syaddahnya wawu dan dengan zha’ mu’jamah
yaitu orang yang gemar mengumpulkan harta, tetapi kikir kalau dimintai sesuatu kebaikan.
Ada yang mengatakan artinya ialah orang yang gemuk lagi sombong ketika berjalan. Ada
pula yang mengatakan artinya ialah orang yang pendek lagi suka makan.

ٍ‫ث أ َ ْغبَ َر َمدْفُ ْوع‬


َ َ‫ ُربَّ أ َ ْشع‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫ص َّلى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫س ُو ُل ه‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ُ‫ّٰللا‬
‫ي ه‬ ِ ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫َو‬
‫ رواه مسلم‬.ُ‫ّٰللاِ ََلَبَ َّره‬
‫علَى ه‬َ ‫س َم‬َ ‫ب لَ ْو أ َ ْق‬
ِ ‫بِاَلَب َْوا‬

Dari adanya (Dari Abu Hurairah ra.) Ia berkata: Nabi SAW Bersabda : “Banyak
orang yang kusut dan berdebu, bahkan tertolak dari semua pintu, tetapi apabila ia
bersungguh-sungguh minta kepada Allah, niscaya Dia akan menerimanya.” (H.R Muslim)

َ‫ فَ َكان‬،‫ب ْال َجنَّ ِة‬ِ ‫علَى َبا‬ َ ُ‫ قُ ْمت‬: ‫َ َقا َل‬،‫س َّلم‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ،ُ‫ع ْنه‬
َ ‫ع ِن النَّ ِبي‬ َ ُ‫ّٰللا‬
‫ي ه‬ َ ‫ض‬ِ ‫سا َمة َر‬ َ ُ ‫ع ْن أ‬
َ ‫َو‬
ِ َّ‫ار قَدْ أ ُ ِم َر ِب ِه ْم ِإلَى الن‬
. ‫ار‬ ِ َّ‫اب الن‬
َ ‫ص َح‬ ْ َ ‫غي َْر أ َ َّن أ‬
َ ، َ‫س ْون‬ ُ ‫اب ال َج ِدِّ َمحْ ب ُْو‬
ُ ‫ص َح‬ْ َ ‫ َوأ‬، ُ‫سا ِكيْن‬َ ‫ع ْن دَ َخلَ َها ال َم‬َ ُ‫عا َّمة‬َ
ٌ
‫متفق عليه‬ َ ِّ‫ار فَإِذَا عا َّمةُ َم ْن دَ َخلَ َها ال ِن‬
.‫سا ُء‬ ِ َّ‫ب الن‬ َ ُ‫َوقُ ْمت‬
ِ ‫علَى َبا‬

5
Dari Usamah ra., Nabi SAW Beliau bersabda : ”Aku berdiri di pintu surga,
sedangkan yang aku lihat masuk ke dalamnya kebanyakan orang-orang miskin,
sedangkan orang-orang kaya itu masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya. Orang-
orang yang ahli neraka telah diperintah masuk neraka. Dan berdiri dipintu neraka,
ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah perempuan. (Muttafaq’Alaih)

D. Hadist-hadist Syukur

َ ‫ي لَ ْيلَةَ أُس ِْر‬


‫ي بِ ِه بِقَدَ َحي ِْن ِم ْن‬ ُ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫سلَّ َم أت‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َّ ِ‫ع ْنهُ أ َ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬ َ ُ‫ّٰللا‬
‫ي ه‬ ِ ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫َو‬
ْ ‫ ال َح ْمد ُ هللِ الَّذِي َهدَاكَ ِلل ِف‬: ‫ فَقَا َل ِجبريل‬. َ‫ظ َر إِلَيْه َما فَأ َ َخذَ اللَّبَن‬
‫ط َرةِ لَ ْو أ َخذْتَ الخ َْم َر‬ َ َ‫ فَن‬،‫خ َْم ٍر َولَبَ ٍن‬
‫ رواه مسلم‬. َ‫ت أ ُ َّمتُك‬ ْ ‫غ ََو‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam


bersabda: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat peristiwa Isra’ dan Mi’raj,
beliau pada malam itu diberikan dua gelas, 1 gelas berisi khamr (arak) dan satu lagi berisi
susu. Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melihat dua gelas ini,
kemudian beliau mengambil susu. Maka Jibril mengatakan, “Alhamdulillah (segala puji
bagi Allah) yang telah memberi engkau petunjuk kepada fitrah. Jika engkau mengambil
khamr / arak, maka niscaya umatmu akan tersesat.” (H.R. Muslim)

ِ ‫ كُ ُّل أ َ ْم ٍر ذِي بَا ٍل الَ يُ ْبدَأ ُ فِ ْي ِه ِب ْال َح ْمد ُ ِ ه‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬
‫ّلِل فَ ُه َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ُ،‫ع ْنه‬
ِ ‫ع ْن َرسُ ْو ِل ه‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ‫َو‬
‫ رواه أَبُو داود وغيره‬،‫ حديث حسن‬.‫ط ُع‬ َ ‫أ َ ْق‬

Dari Abu Hurairah r.a. pula dari Rasulullah s.a.w., sabdanya: "Segala perkara yang
mempunyai kepentingan -menurut syara'- yang tidak dimulai melakukannya dengan
ucapan Alhamdulillah, maka perkara itu menjadi kurang keberkahannya." hadits hasan
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan lain-lainnya.

‫ع ِن‬
َ ‫ضى‬ َ ‫ إِ َّن ه‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫ّٰللا لَيَ ْر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ِ ‫ قَا َل َرسُ ْو ُل ه‬: ‫ قَا َل‬،ُ‫ع ْنه‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ُ‫ّٰللا‬
‫ي ه‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَن ٍَس َر‬ َ ‫َو‬
‫ رواه مسلم‬.‫علَ ْي َها‬ َ ُ‫ َفيَحْ َمدُه‬،َ‫ش ْربَة‬
َّ ‫ب ال‬ َ ُ‫َ َفيَحْ َمدُه‬،‫العَ ْب ِد يَأْكُ ُل اَل َ ْكلَة‬
ُ ‫ َويَ ْش َر‬،‫علَ ْي َها‬

Dari Anas r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu ridha
kepada seorang hamba yang makan sekali makanan lalu ia memuji kepada Allah atas

6
makanan itu serta ia minum sekali minuman lalu memuji kepada Allah atas minuman itu."
(H.R. Muslim)

E. Pandangan Sufi Terhadap Faqir Dan Syukur

Menurut Al-Ghazali, syukur mencakup ilmu, hal dan amal. Ilmu yang dimaksud
ialah pengetahuan tentang nikmat yang dianugerahkan oleh sang pemberi nikmat (al-
mun'im), serta meyakini bahwa semua nikmat berasal dari Allah swt dan yang lain hanya
sebagai perantara untuk sampainya nikmat, sehingga akan selalu memuji Allah swt dan
tidak akan muncul keinginan memuji yang lain. Hal adalah rasa (kondisi spiritual)
gembira yang terjadi akibat pemberian nikmat karena pengetahuan dan keyakinannya
melahirkan jiwa yang tentram, membuatnya senantiasa senang dan mencintai yang
memberi nikmat, dalam bentuk ketundukan, kepatuhan. Sedangkan amal perbuatan
adalah melakukan apa yang menjadi tujuan dan yang disukai oleh sang pemberi nikmat.
Amal di sini terkait dengan tiga hal, yakni hati, lisan dan anggota-anggota tubuh. Hati
yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan, lisan yang menampakkan rasa syukur
dengan pujian kepada Allah swt dan anggota badan yang menggunakan nikmat-nikmat
Allah swt dengan melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya.

Sedangkan faqir menurut Imam Al-Ghazali merupakan sikap Nabi Muhammad saw.
Karena pada saat itu Nabi saw memang seorang yang faqir (tidak punya apa-apa dan
hanya butuh untuk taqarrub ilallah). Pada masa Nabi saw emas belum diharamkan dan
masih diperbolehkan untuk digunakan oleh kaum laki-laki. Saat Nabi saw berkhutbah dan
ditengah-tengah khotbahnya, beliau berhenti serta melepaskan cincin yang digunakan.
Ketika beliau ditanya perihal tersebut ternyata cincin tersebut menggangu kekhusyu’an
dalam beribadah, termasuk berkhutbah. Jadi faqir sangat diperlukan untuk seorang sufi
dalam mencapai ma’rifatullah. Karena hanya orang-orang yang khusyu’ dan tenang saja
yang bisa dekat dengan-Nya. Sedangkan adanya harta itu bisa mengganggu kekhusyu’an
suatu ibadah.

Menurut al-Ghazali, macam-macam keadaan faqir manusia itu terbagi ke dalam


lima keadaan yakni :

7
1) Kondisi manakala seseorang beroleh harta, ia justru tak senang, merasa tak nyaman,
menghindar untuk tidak mengambil sembari membenci dan menghindar dari
keburukan dan disibukkan oleh harta. Keadaan demikianlah yang disebut zuhud.
Pelakukanya disebut zahid. Al-Ghazali menambahkan, keadaan ini secara hierarkis
lebih agung ketimbang empat keadaan yang lain.
2) Keadaan di mana rasa senang seseorang pada harta tidak sampai membuatnya
gembira ketika mendapatkan harta itu. Tetapi ia juga tidak membencinya secara
berlebihan sehingga berakibat atau menimbulkan rasa tak nyaman. Kalau harta itu
datang padanya, ia ambil secukupnya. Kondisi inilah yang disebut dengan rela (ridla).
3) Kondisi di mana seseorang lebih menyukai adanya harta daripada tiadanya. Sebab
sejatinya ia masih cinta terhadap harta, kendati rasa cintanya itu tidak sampai
mendorongnya untuk bangkit dan bergegas mencari harta itu. Akan tetapi, jika harta
itu datang atau didapat tanpa harus bersusah payah, ia akan mengambilnya dengan
senang hati. Sebaliknya, jika ia harus bersusah payah untuk memperoleh harta, ia
lebih memilih untuk tidak melakukannya. Inilah qana’ah (puas dengan apa yang telah
ditakarkan baginya). Orangnya disebut al-qaani’.
4) Dia tidak berupaya untuk mencari harta bukan karena tak menginginkannya,
melainkan karena ia tak mampu/lemah secara fisik (li ‘ajzih). Andaikan ia mampu,
niscaya ia akan bergelut dengan kesibukan mencari harta, meskipun harus dengan
bersusah payah. Al-Ghazali menyebut orang yang berada dalam keadaan dengan al-
harish (orang yang sangat berhasrat, bisa juga berarti tamak atau serakah).
5) Kondisi di mana sesuatu atau harta yang ia butuhkan itu membuat seseorang berada
dalam kondisi terdesak. Misalnya, orang yang lapar yang tidak menemukan makanan,
atau orang yang telanjang yang tak menemukan pakaian. Orang yang berada dalam
keadaan ini disebut al-mutthar, atau dalam bahasa kita orang kepepet atau terdesak.

8
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Faqir memiliki dua arti yakni orang yang sangat kekurangan dan orang yang sengaja
membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Sedangkan
syukur memiliki arti sebagai bentuk terimakasih kepada Allah Swt atas segala nikmat dan
anugerah yang telah diterima oleh hamba-Nya.

Di antara hadist-hadist yang berkaitan dengan faqir dan syukur dapat di ambil
hikmah bahwasanya kefaqiran dapat memudahkan seseorang menuju jalannya ke syurga.
Sedangkan dengan bersyukur Allah akan senantiasa melimpahkan nikmat dan
keberkahannya.

Menurut Al-Ghazali, syukur mencakup ilmu, hal dan amal. Sedangkan faqir
menurut Imam Al-Ghazali merupakan sikap Nabi Muhammad saw. Karena pada saat itu
Nabi saw memang seorang yang faqir (tidak punya apa-apa dan hanya butuh untuk
taqarrub ilallah).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi. Riyadhus Shalihin. Kitab Ma’murat -
Hamdalah dan Syukur kepada-Nya. Bab 32-242

Abu Hamid Al-Ghazali. Ihya ‘Ulumuddin. Juz 4. Rubu’ Munjiyat pada Kitab al-Faqr wa
al-Zuhd

Hafid Erwin. 2011. Al-Faqr Dalam Perspektif Hadis. Jurnal Al-Hikmah Vol. XII No. 1

Nisa Zahrotun. 2022. Hadis tentang Syukur Bermakna Produktivitas. Gunung Djati
Conference Series. Volume 8

Julianto Very. 2019. Pelatihan Syukur Al-Ghazali Untuk Menurunkan Tingkat Stress
Pada Pembina Asrama Mahasiswi Yogyakarta. An – Nafs: Jurnal Fakultas
Psikologi. Vol. 13 No. 2

Jazari Ibnu. 2019. Pemikiran Sufistik Imam Al-Ghazali (Studi Analisis dalam Kitab Al-
Munqidh min Adh-Dhalal). Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 4 No. 3

Anda mungkin juga menyukai