Noviyanah
Evi. K
Raudatul jannah
PEDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah kitab suci al-Qur'an, Hadits Nabi saw telah
disepakati oleh mayoritas ulama dan Umat Islam. Berbeda dengan al-Qur'an yang semua
ayat-ayat-nya disampaikan oleh Nabi saw secara mutawatir dan telah ditulis serta
dikumpulkan sejak Nabi saw masih hidup, serta dibukukan secara resmi sejak zaman
khalifah Abu Baqar Shiddiq (w.13 H). Sementara Hadits Nabi saw tidaklah diriwayatkan
secara mutawtir, dan peng-kodifikasian-nya pun baru dilakukan pada masa khalifah
Umar bin Abdul Aziz (w.101 H),salah seorang khalifah bani ummayah Hal yang disebut
terakhir (penangguhan kodifikasi), didukung oleh beberapa faktor lainnya, oleh
sekelompok kecil Umat Islam dijadikan sebagai alasan untuk menolak otoritas Hadits
Nabi saw sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.
(Ismail, 1995: 4) Kelompok ini dalam wacana ilmu Hadits, dikenal dengan sebutan
Sementara itu, as-Sunnah sebagai wahyu pendamping al-Qur'an, tidak bisa
dikesampingkan kedudukan dan fungsinya sebagai sumber hukum Islam orisinil. Prinsip
demikian merupakan fakta yang tidak bisa diganggu gugat sepanjang sejarah Islam,
dimana as-Sunnah selain berfungsi untuk menjelaskan, menafsirkan dan merinci
muatan-muatan universalitas al-Qur'an, ia juga menjadi teladan paripurna (uswatun
hasanah) dalam praktek ajaran Islam sehari-hari.
Mengesampingkan, apalagi menafikan kedudukan Sunnah sebagai wahyu, berarti
memenggal pilar utama yang menyangga tegaknya ajaran Islam itu sendiri dan sekaligus
menolak fungsi ke-nabian muhamad saw. Dalam hal ini akan di bahas inkarussunah
mulai dari pengertian,tokoh,sejarahnya serta penyebab pengingkaran mereka terhadap
sunnah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan pembahasan
PEMBAHASAN
A. pengertian Ingkar Sunnah
a. Arti Bahasa
Kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan “Sunnah.” Kata “Ingkar” berasal
dari akar kata bahasa Arab: “Ankara yunkiru Inkaraa” yang mempunyai beberapa arti di
antaranya: “Tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak
mengetahui sesuatu (antonim kata al-‘ifran, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam
hati,” misalnya firman Allah:
Al-Askari membedakan antara makna Al-Inkar dan Al-Juhdu. Kata Al-Inkar terhadap
sesuatu yang tersembunyi dan tidak disertai pengetahuan, sedang Al-Juhdu terhadap sesuatu
yang nampak dan disertai dengan pengetahuan. Dengan demikian bisa jadi orang yang
mengingkari sunnah sebagai hujah di kalangan orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang
ulum hadis.
Dari beberapa arti kata “Ingkar” di atas dapat disimpulkan bahwa Ingkar secara
etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin
atau lisan dan hati yang di latar belakangi oleh faktor lain, misalnya karena gengsi,
kesombongan, keyakinan dan lain-lain. Sedang kata “sunnah” secara mendetail telah dijelaskan
pada uraian sebelumnya.
Orang yang menolak sunnah sebagai hujah dalam beragama oleh umumnya ahli hadis
disebut ahli bid’ah yang menuruti hawa nafsunya. Mereka ahli bid’ah yang mengikuti kemauan
hawa nafsu bukan kemauan hati dan akal pikirannya. Mereka itu, kaum Khawarij, Mu’tazilah
dan lain-lain, karena mereka itu umumnya menolak sunnah. Gelar ini diberikan kepada mereka
yang menempati sekte-sekte tersebut, karena mereka ber-istinbath, membela dan
mempertahankan untuk hawa nafsu. Sebagaimana Ahlu sunnah sebagai penolong sunnah dan
pembelanya, ber-istinbath sesuai dengan sunnah.
ingkar sunnah klasik terjadi pada masa imam Sya-Syafi’i yang menolak
kehujahansunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hokum islam baik mutawatir atau
ahad. Imam Sya-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir As-Sunnah (pembela sunnah)
pernah didatangi oleh seseorang yang disebut sebagai ahli tentang mazhab teman-
temannya yang menolak seluruh sunnah. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan
Sya-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang diajukan. Namun,
semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis oleh Sya-Syafi’I
dengan jawaban yang argumentative, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui
dan menerima sunnah Nabi.
Menurut penelitian Muhammad Al-Khudhari Beik bahwa seorang yang mengajak
berdebat dengan Sya-Syafi’I tersebut dari kelompok Mu’tazilah, karena dinyatakan oleh
Sya-Syafi’I bahwa ia datang dari Bashrah. Sementara Bashrah pada saat itu menjadi basis
pusat teologi Mu’tazilah dan munculnya para tokoh Mu’tazilah yang dikenal sebagai
oposisi Ahlu hadist. Sedang menurut keterangan Muhammad Abu Zahrah,
Abudurrahman bin Mahdi (salah seorang pembela Sya-Syafi’I dan hidup semasanya)
orang tersebut dari kalangan ekstrimis kaum khawarij dan Zindiq dengan alas an sebagian
golongan Khawarij tidak mengakui hokum rajam bagi pezina muhshan (telah nikah)
karena tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Komentar As-Siba’I, pendapat Al-Khudari Beik yang lebih kuat, karena dilihat
dari segi argumentasinya sama dengan yang diajukan oleh An-Nazhzham yang
mengingkari kepastian sunnah mutawatirah seperti bilangan rakaat shalat yang disepakati
oleh para ulama. Pendapat ini menurutnya juga didukung oleh Ibn Qutaibah dalam
bukunya Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits yang menyebut kedudukan tokoh-tokoh Mu’tazilah
terhadap sunnah. Muhammad abu Zahrah juga membenarkan bahwa pengingkar sunnah
tersebut dari kelompok Mu’tazilah. Namun, bisa jadi esensi mereka adalah dari kelompok
Zindiq dan ekstrimis Khawariz (sebagaimana kata Abdurrahman bin Mahdi) yang
berkedok Mu’tazilah untuk mencapai ttujuan tertentu.
Analisis oposisi Sya-Syafi’I di atas yang dinilai dari sekte Mu’tazilah, tidak pasti
kebenarannya karena penolakan sunnah secara keseluruhan bukan pendapat Mu’tazilah
bahkan bukan pendapat umat islam, bisa jadi sama dengan pendapat An-Nazhzham
secara perorangan dari sekte Mu’tazilah. Akan tetapi baju Mu’tazilah dari kelompok
kaum Zindiq atau ekstrimis Khawarij Al-Azariqah, karena merekalah yang menolak
sunnah secara keseluruhan.
Demikian oposisi Sya-Syafi’i yang secara rinci dan argumentasi berdebat dengan
Sya-Syafi’i. Namun, segala argumentasinya dapat dipatahkan oleh Sya-Syafi’i. Akhirnya
ia bertekuk lutut dan mengakui kehujahan sunnah. Penolakan sunnah bagi oposisi ini juga
merupakan pendapat perorangan bukan pendapat kolektif, sekalipun ia mengaku dari
sekte tertentu.
Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga
kelompok pengingkar sunnah yang berhadapan dengan Sya-Syafi’i, yaitu sebagai berikut:
1) menolak sunnah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al-Qur’an saja
yang dapat dijadikan hujah.
2) Tidak menerima sunnah kecuali yang semakna dengan Al-Qur’an.
3) Hanya menerima sunnah mutawatir saja dan menolak selain mutawatir yakni sunnah
ahad.
Kelompok pertama dan kedua sangat berbahaya, karena merobohkan paradigma sunnah
secara keseluruhan. Karena mereka tidak mungkin mampu memahami perintah shalat,
zakat, haji, dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara global
melainkan harus memahami penjelasannya secara terperinci sebagaimana yang dijelaskan
sunnah. Jika demikian terjadi adalah pemaknaan Al-Qur’an secara lughawi dan terjadi
minimalisasi makna shalat, zakat, haji, dan lain-lain. Seandainya mereka melaksanakan
shalat dua raka’at dalam sehari semalam dengan alas an tidak ada kewajiban yang lebih
dari itu dalam Al-Qur’an boleh-boleh saja dan gugurlah semua pelaksanaan shalat, zakat,
haji sebagaimana yang diajarkan Nabi dalam sunnahnya.
Demikian juga kelompok ketiga yang hanya menerima hadist mutawatir saja.
Semua kelompok di atas, ingin merobohkan islam dengan menolak penjelas Al-Qur’an
yakni sunnah dan memisahkan antara penjelas dan yang dijelaskan. Dengan demikian
mereka akan sangat mudah mendistorsi dan mempermainkan makna Al-Qur’an.
Kesimpulannya, ingkar sunnah klasik diawali akibat konflik internal umat islam
yang dikobarkan oleh sebagian kaum zindiq yang berkedok pada sekte-sekte dalam islam,
kemudian diikuti oleh para pendukungnya, dengan cara saling mencaci para sahabat dan
melemparkan hadist palsu. Penolakan sunnah secara keseluruhan bukan karakteristik
umat islam. Semua umat islam menerima kehujahan sunnah. Namun, mereka berbeda
dalam memberikan criteria persyaratan kualitas sunnah. Ingkar sunnah klasik hanya
terdapat di Bashrah Irak karena ketidaktahuannya tentang kedudukan sunnah dalam
syari’ah, tetapi setelah diberikan penjelasan akhirnya menerima kehujahan.
Sebagaimana pembahasan di atas, bahwa ingkar sunnah klasik lahir di Irak (kurang
lebih abad 2 H/7 M), kemudian menetes kembali pada abad modern di India (kurang
lebih abad 19 M/13 H), setelah hilang dari peredarannya kurang lebih 11 abad. Baru
muncul ingkar sunnah di Mesir (pada abad 20 M).
Al-Wadudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasy seorang Guru besar
Fak.Tarbiyah Jamiah Ummi Al-Qura Thaif, demikian juga dikutip beberapa ahli hadist
juga mengatakan, bahwa ingkar sunnah lahir kembali di India, setelah kelahirannya
pertama di Irak masa klasik tokoh-tokohnya ialah Sayyid Ahmad Khan, Ciragh Ali,
Maulevi Abdullah Jakralevi, Ahmad Ad-Din Amratserri, Aslam Cirachburri, Ghulam
Ahmad Parwez dan Abdul Khaliq Malwadah. Sayyid Ahmad khan sebagai penggagas
sedang Ciragh Ali dan lain-lainnya sebagai pelanjut ide-ide abu Al-Hudzali pemikiran
ingkar sunnah tersebut. Maka timbullah kelompok-kelompok sempalan Al-Qur’aniyyun
seperti Ahl Ad-Dzikr wa Al-Qur’an didirikan oleh Abdullah, Ummat Muslimah didirikan
oleh Ahmad Ad-Din, Thulu Al-Islam yang didirikan oleh parwez dan gerakan Ta’mir
Insaniyat yang didirikan oleh Abdul Khaliq Malwadah.
Sebab utama pada awal timbulnya ingkar sunnah modern ini ialah akibat pengaruh
kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal abad 19 M di dunia islam, terutama di
India setelah terjadi pemberontakan melawan colonial inggris 1857 M. bebagai usaha-
usaha yang dilakukan colonial untuk pendangkalan ilnu agama dan umum,
penyimpangan aqidah melalui pimpinan-pimpinan umat islam dan tergiurnya mereka
terhadap teori-teori Barat untuk memberikan interpretasi hakekat islam. Seperti yang
dilakukan oleh Ciragh Ali, Mizra Ghulam Ahmad Al-Qadiyani dan tokoh-tokoh lain yang
mengingkari hadist-hadist jihad dengan pedang.dengan cara mencela hadis tersebut.
Disamping ada usaha dari pihak umat islam menyatukan berbagai mazhab hukum islam,
Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki kedalam satu bendera yaitu islam, akan tetapi
pengetahuan keislaman mereka kurang mendalam.
Di Mesir diawali dari tulisan Dr. Taufiq Shidqi dengan beberapa artikelnya di
Majalah Al-Mannar di antaranya berjudul Al-Islam huw Al-Qur’an Wahdah (islam
hanyalah Al-Qur’an saja), kemudian diikuti oleh para sarjana lain diantaranya Ahmad
Amin dengan bukunya Fajr Al-Islam, Mahmud Abu Rayyah dengan bukunya Adhwa’ala
As-Sunnah Al-Muhammadiyyah, dan lain-lain. Mesir nampak lebih subur dinamika
kontroversi sunnah, karena di samping kondisi kebebasan berpikir sejak masa
pembaharuan Muhammad Abduh, buku-buku orientalis sangat berpengaruh dalam
perkembangan bacaan para pelajar dan sarjana.
Sedang di Malaysia, Kasim Ahmad dengan tulisannya Hadis Satu Penilaian Semula
dan di Indonesia diantaranya Abdul Rahman dan Achmad sutarto dengan diktatnya serta
pengikut-pengikutnya antara lain Nazwar Syamsu (di Padang Sumatra Barat), Dalimi
Lubis, dan H. Sanwani Pasar rumput Jakarta Selatan. Menurut hasil penelitian MUI
buku-buku tersebut menyesatkan umat islam dan akan mengganggu stabilitas nasional,
maka jaksa agung RI dengan surat keputusannya No. Kep-169/J.A/1983 melarang
beredarnya buku-buku yang ditulis mereka tanggal 30 September 1983.
Harian ibu kota yang terbit 3 Oktober 1985 yang dikutip Drs. Zufron Rahman
memaparkan buku-buku yang terlarang beredar oleh jaksa agung karena menyesatkan
umat islam dan mengingkari sunnah sebagai dasar hokum islam. Diantaranya buku
karangan Dalimi Lubis berjudul Alam Barzakh dan buku-buku karanga Nazwar Syamsu,
yaitu sebagai berikut:
1) Tauhid dan Logika Al-Qur’an Dasar Tanya Jawab Ilmiah
2) Pelengkap Al-Qur’an Dasar Tanya Jawab Ilmiah.
3) Kamus Al-Qur’an (Al-Qur’an-Indonesia-Inggris.
4) Koreksi Al-Qur’anul Karim Bacaan mulia.
5) Perbandingan Agama (Al-Qur’an dan Bibel).
6) Al-Qur’an tentang Mekah dan Ibadah Haji.
7) Al-Qur’an tentang Manusia dan Masyarakat.
8) Al-Qur’an tentang Al-Insan.
9) Al-Qur’an tentang Shalat, Puasa dan Waktu.
10) Al-Qur’an Dasar Tanya Jawab Hukum.
11) Al-Qur’an tentang Manusia dan Ekonomi.
12) Al-Qur’an tentang Isa dan Venus.
13) Al-Qur’an tentang Benda-Benda Angkasa I.
14) Al-Qur’an tentang Benda-Benda Angkasa II.
C. Pokok-pokok ingkar sunnah
Diantara ajaran-ajaran pokonya adalah sebagai beradalah sebagai berikut :
a. tidak percaya kepada semua hadist rasulullah SAW. Menurut mereka hadist utu karangan
yahudi untuk menghacurkan islam dari dalam.
b. Dasar hukum islam hanyalah Al-Qur’an saja.
c. Syahadat mereka
d. Shalat mereka ber macam-macam, ada shalatnya dua rakaat-dua rakaat dan ada yang
hanya eling saja (ingat).
e. Puasa wajib hanyai orang yang melihat bulan saja, kalau seorang saja yang melihat bulan,
maka dialah yang wajib berpuasa.
f. Haji boleh dilakukan selam 4 bulan haram yaitu Muharram, Rajab, Zulqa’idah, Zulhijjah.
g. Pakaian ihram adalah pakian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu, waktu
mengerjakan haji boleh memkai celana panjang dan baju biasa serta memakai jas/dasi.
h. Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
i. Nabi Muhammad tidak berhak menjelaskan tentang ajaran Al-Qur’an (kandungan isi Al-
qur’an)
Orang yang meninggal dunia tidak dishalati karena tidak ada perintah Al-Qur’an
ِم
َفَم ْن َش ِه َد ْنُك ُم الَّش ْه َر َفْلْيُصْم ُه
“ Siapa di antara kamu yang melihat bulan bulan kehendak berputusasa. (yang tidak melihat
tidak wajib berpuasa)…”
4. Tentang Zakat
Pada umumnya mareka tidak memunaikan zakat. Yang mereka akui adalah sedekah. Mareka
mengirimkan zakat itu dengan kecerdasan, seperti menafsirkan ayat:
a. Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna, bukan yang
diterangkan. Jadi, Al-Qur’an tidak perlu keterangan dari sunnah, jadi Al-Qur’an perlu
keterangan berarti tidak sempurna. Kesempatan Al-Qur’an itu telah diterangkan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an:
b. Penulis sunnah dilarang, seandainya sunnah dijadikan dasar hukum islam pasti Nabi
tidak melarang.
Memang penulisan sunnah pada masa Nabi dilarang untuk umum, tapi bagi orang-orang
khusus ada yang diperbolehkan atau dalam istilah lain catatan hadist untuk umum
terlarang, tetapi untuk catatan pribadi banyak sekali yang diizinkan Nabi seperti catatan
Abdullah bin Amr bin Al-Ash yang diberi nama Ash-Shahifah Ash-Shadiqoh, Abu Syah
seorang sahabat dari yaman dimana sahabat lain diizinkan Nabi untuk menuliskannya,
dan lain-lain. Larangan penulisan pada masa Nabi cukup beralasan sebagai alasan
religius dan social, antara lain sebagai berikut:
1. Penulisan hadist dikhawatirkan campur dengan penulisan Al-Qur’an, karena kondisi
yang belum memungkinkan dan kepandaian tulis menulis serta sarana prasarana yang
belum memadai.
2. Umat islam pada awal perkembangan islam bersifat ummi (tidak bisa membaca dan
tidak bisa menulis) kecuali hanya beberapa orang sahabat saja yang dapat dihitung
dengan jari, itupun diperuntukan penulisan Al-Qur’an.
3. Kondisi perkembangan teknologi yang sangat masih primitive, Al-Qur’an saja masih
ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, batu-batuan, dan lain sebagainya.
Pada waktu itu belum ada kertas, pulpen, tinta, spidol, dan apalagi foto kopi, jadi
tidak bisa dianalogikan dengan zaman modern sekarang.
4. Sekalipun orang-orang arab mayoritas ummi, namun mereka kuat-kuat, sehingga
Nabi cukup mengandalakan dengan hapalan mereka dalam mengingat hadist.
c. Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti absolute kebenarannya), sedang sunnah bersifat zhanni
(bersifat relative kebenarannya), maka jika terjadikontradisi antar keduanya, sunnah tidak
dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.
Hal ini didasarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang perintah menjadi zhann,
seperti: