Anda di halaman 1dari 18

MA`RIFAH AL MA`AD

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah : Tauhid
Dosen Pengampu :
Imam Rinaldi, S.Pd.I, M.Pd
Disusun Oleh:
Dimas Rizky ( 0704232041 )
Fahtur Rahman ( 0704232037 )
Taufiq Hariri Tulung ( 0704232039 )
Ahmad Rizky Ritonga ( 0704232045 )
Kelas : Biologi 9 b
Semester I

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


PROGRAM STUDI BIOLOGI
UIN SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGATAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt Tuhan


Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Ma’rifah al-Ma’ad” walaupun masih
banyak kekurangan didalamnya. Dan kami juga berterimakasih kepada Bapak
Imam Rinaldi S.Pd.I, M.Pd Selaku Dosen matakuliah Ilmu Tauhid yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Ma’rifah al-Ma’ad”. kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan oleh
sebab itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapa saja yang
membacanya dan sekiranya makalah yang kami buat ini berguna bagi diri kami
sendiri. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami menerima kritik dan saran guna perbaikan yang lebih
baik lagi kedepan.

Medan, 5 November 2023

Penulis,

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar belakang.........................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................2

C. Kerangka Teori...................................................................................... 2

C. Batasan Masalah.................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3

A. Definisi Ma’rifah al-Ma’ad.....................................................................3

1. Pengertian al-Ma’ad & al-Mabda .......................................................3

B. Pembagian Ma’rifah al-Ma’ad ...............................................................4

1. Ma’ad Ahl al-Shari’ah........................................................................4

2. Ma’ad Ahl al-Tariqah..........................................................................7

a. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-


Ma’nawiyyah………………………….9

b. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-


Ma’nawiyyah………………………..10

c. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah……………………….10

3. Ma’ad Ahl al-Haqiqah.......................................................................11

BAB III PENUTUP.............................................................................................13

A. Kesimpulan............................................................................................13

B. Saran......................................................................................................13

ii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Allâh SWT menegaskan bahwa Dia adalah Maha Pencipta dan akan akan
mengembalikan semua ciptaan kepada-Nya. Manusia seyogianya tidak meragukan
hari kebangkitan karena Dialah yang menghidupkan kembali tulang-tulang yang
hancur dan Dia telah menciptakan manusia secara berproses: dari tanah, dari
setetes mani, kemudian menjadi segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging
yang sempurna dan segumpal daging yang tidak sempurna, selanjutnya ditetapkan
di dalam rahim, setelah itu dikeluarkan dari rahim sebagai bayi, lalu menjadi
dewasa, dan seterusnya. Proses tersebut dalam Al-Qurân dikenal dengan kejadian
lain (al-Nashah al- Ukhrâ).

Sesungguhnya diskursus mengenai al-ma’âd sudah ada sejak lama. Orang


Arab pra-Islam, jika seseorang di antara mereka meninggal dunia, maka unta
tunggangannya diikat di kuburnya, lalu mata unta tersebut dicongkel, tulang
keringnya diikat dengan kaki atasnya, lalu ditinggalkan tanpa makan dan minum
hingga mati. Itu dilakukan karena mereka percaya unta yang mati itu akan
bertemu tuannya di kubur dan akan ditunggangi kembali oleh tuannya menuju
tempat perkumpulan (mahsyar) pada hari kiamat. Unta yang dikenal dengan
sebutan baliyyah itu merupakan petunjuk tentang eksistensi jahiliyyah dalam
mempercayai hari kebangkitan.

Para rasul mengimani proses al-ma’âd yang di dalamnya makhluk


dibangkitkan setelah kematian sehingga pelaku kebaikan dilimpahkan pahala dan
pelaku maksiat ditimpahkan siksa. Sebagai zat Yang Mahakuasa pasti Allah SWT
kuasa mengembalikan seperti semula jasad yang mati walaupun anggota tubuhnya
berencaran sebagian di bawah tanah, sebagian di atas gunung, sebagian di dalam
laut, dan semisalnya. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala
makhluk”.

1
2

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Ma’rifah al-Ma’ad ?
2. pembagian Ma’rifah al-Ma’ad?
1.3 Kerangka Teori
Ma`rifah al-Ma`ad

DEFINISI PEMBAGIAN

Al-Ma`ad 1. Ma’ad Ahl al-Shari’ah


Al-Mabda 2. Ma’ad Ahl al-Tariqah
3. Ma’ad Ahl al-Haqiqah

1.4 Batasan Masalah

1. Tentang Ma’rifah al-Ma’ad ?


2. Tentang pembagian Ma’rifah al-Ma’ad?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ma`rifah al-Ma`ad

1. Pengertian al-Ma`ad & al-Mabda

Secara leksikal kata “al-ma’âd” berasal dari kata kerja Bahasa Arab bentuk
lampau “’âda” yang berarti “kembali” Jika diucapkan‘âdahu maka berarti “irtadda
ilaihi ba’da mâ ‘arada ‘anhu” (seorang yang berpaling dari dia sudah kembali
kepadanya.) Al-ma’âd adalah kata benda yang menerangkan tempat yang dalam
bahasa Arab dikenal dengan sebutan Ism al-Makân.Al-ma’âd sebagai Ism al-
Makân berarti “tempat kembali”, “surga”, “akhirat”.1

Secara Bahasa al-ma’âd berasal dari kata ‘âda-ya’ûdu-‘awdan yang berarti


“kembali” sehingga al-ma’âd berarti “tempat kembali”. Dinamakan demikian
karena semua sesuatu akan kembali kepada Allah SWT .Al-Ma’âd adalah
perumpamaan kembalinya alam dan segala isinya kepada sumbernya melalui
beragam peristiwa secara visual ataupun abstrak yang masing-masing terjadi
melauli tiga fase; kecil, menengah, dan besar.

Memahami al-ma’âd erat kaitannya dengan memahami al-mabda


mengingat adanya al-ma’âd disebabkan adanya al-mabda. Berdasarkan hal
tersebut maka diperlukan penjelasan tentang keduanya:al-mabda dan al- ma’âd.
Secara etimologis,al-mabda/mabda berasal dari bahasa Arab yang berarti sumber,
pertama, asal, dasar, landasan, pokok, dan prinsip.2 Mabda didefiniskan sebagai
titik pusat yang menjadi sumber awal terjadi atau terbentuknya sesuatu yang lain.
Dalam kajian ontologis,mabda dipahami sebagai sebab dari segala sebab (sabâb
al- asbâb) atau sebab yang pertama (ilâh ûlâ). Contohnya, jika atom adalah mabda
maka materi atau sesuatu selain atom bersumber dari atom tersebut.

B. PEMBAGIAN MA`RIFAH AL MA`AD

1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 156
2
Mabda’ dalam Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), cet. ke-2, h. 20

3
4

1. Ma’ad Ahl al-Shari’ah

Dalam bahasa Arab, frasa “ahl al-sharîah” dikenal dengan susunan idâfî
yang terdiri dari kata “ahl” dan “al-Sharîah”. “Ahl” dapat bermakna “famili,
keluarga, atau kerabat” Jika kata “Ahl” digandengkan dengan kata “ al-madar”
maka bermakna “orang yang telah menetap” jika digandengakan dengan kata “al-
dâr” maka bermakna “penghuni rumah” Dari sini, kata “ahl” bisa dipahami
sebagai manusia yang sudah sangat dekat dengan sesuatu sehingga sebab
kedekatan itu ia dianggap seperti kerabat, bahkan keluarga.3

Kata “sharîah” diambil dari kata Arab shara’a-yashra’u-shar’an wa


shurû’an yang berarti “memperoleh air” atau “masuk ke dalam air”. Kata
bendanya adalah sharî’ah, shirâ’, atau mashra’ah yang berarti tempat yang
digunakan untuk meluncurkan sesuatu ke dalam air atau daerah di tepi laut tempat
hewan-hewan meminum air. Sesuatu yang disyariatkan oleh Allah SWT seperti
puasa, salat, haji, nikah, dan lainnya disebut dengan syariat karena semuanya
diturunkan dari “tempat” tersebut.

Berdasarkan pengertian tersebut, kata sharîah pada mulanya diartikan


sebagai “sumber mata air yang darinya semua orang meminum. Sharîah, yang
dalam bahasa Indonesia disebut syariat, didefinisikan sebagai segala yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berbentuk wahyu yang
terdapat dalam Al- Quran dan sunah.

Syariat berbeda dengan fikih. Fikih merupakan hasil rekayasa nalar


manusia. Menurut imam Syafi’i, fikih adalah suatu ilmu tentang hukum-hukum
syariat yang berisfat amaliah yang diperoleh dari satu persatu dalinya. Dengan
demikian fikih adalah apa yang dapat dipahami manusia dari Al-Quran dan sunah
melalui ijtihad untuk menangkap makna, sebab, dan tujuan yang hendak dicapai
oleh teks suci tersebut.4

3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, h. 50
4
Syariat dalam Ensiklopedi Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), cet. ke-2, h. 345
5

Syariat yang mencakup pengertian fikih adalah pengertian syariat dalam


arti luas. Syariat dalam pengertian sempit adalah hukum-hukum yang berdalil
pasti dan tegas yang tertera dalam Al-Quran, hadis sahih, atau ditetapkan dalam
ijmak. Adanya pengertian syariat dalam arti luas berkaitan dengan pelaksanaan
syariat itu sendiri. Di Arab Saudi misalnya, secara utuh menerapkan hukum-
hukum yang sesuai dengan pengertian syariat dalam arti sempit, yakni hukum
bersumber dari Al-Quran, sunah, dan ijmak. Fikih tidak dilaksanakan di Arab
Saudi secara utuh karena kekhawatiran negara akan terikat pada satu mazhab.
Padahal dalam satu mazhab masih terjadi pebedaan pendapat.5

Jika diteliti dari perjalanan sejarah sejak zaman Nabi Muhammad SAW,
maka syariat disimpulkan sebagai tuntunan yang diberikan Allah SWT dan Rasul-
Nya melalui perkataan, perbuatan, dan ketetapan. Tuntunan itu mencakup akidah,
hukum perseorangan, hubungan manusia dengan pencipta, hubungan manusia
dengan manusia, atau hubungan yang berkaitan dengan etika pergaulan dan sikap.
Syariat identik dengan agama. Maka jika disebut al-sharîah al- islâmiyah maka
maksudnya adalah setiap yang datang dari Rasulullah Muhammad SAW yang
berasal dari Allah SWT baik bekenaan dengan akidah, pengaturan kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, atau akhlak.

Dari uraian di atas maka bisa dipahami bahwa maksud dari ahl al-Sharîah
seseorang yang sudah sangat memahami dan mengaplikasikan tuntunan Allah
SWT dan rasul-Nya sebagaiman mestinya.

Al-Ma’âd menurut ahl al-sharî’ah adalah berkumpulnya seluruh anggota


tubuh mayat dan mengembalikan seluruh anggota tubuh dan rohnya seperti awal.
Kiamat ini dikenal dengan sebutan kebangkitan jasad. Kebangkitan semacam itu
sangat mungkin terjadi karena sifat jasad tidak menolak sifat pembentukan ulang.
Lebih dari itu, Allah SWT Maha Kuasa sehingga tidak ada yang tidak mungkin
bagi- Nya. Allah SWT menciptakan manusia lalu memberikan manusia
kemampuan, keinginan, dan kekuatan yang berbeda-beda, menjadikan kuasa

5
Syariat dalam Ensiklopedi Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), cet. ke-2, h. 346
6

dalam mengendalikan pilihannya, memberikan beban berat, dan memberikanya


sifat-sifat lembut baik yang terlihat atau yang tidak terlihat. Manusia hidup di
dunia dengan waktu cukup panjang sehingga bisa melaksanakan syariat setelah itu
manusia pindah menuju tempat pembalasan yang disebut akhirat yang di
dalamnya terdapat pembangikitan jasad sebagaimana telah diberitahukan oleh
para nabi.6

Banyak yang meyakini kebangkitan jasad tidak mungki dengan alasan


seandainya kebangkitan jasad benar ada maka tentulah seluruh bagian tubuh dan
roh tidak lenyap, melainkan bertransformasi alam bentuk baru. Semua yang sudah
lenyap dan menyerap menjadi satu, pada hakikatnya yang satu itu adalah dua.
Manusia bukan esensi. Seandainya manusia esensi maka ia butuh tempat yang
memiliki sifat yang juga bukan esensi. Faktanya, manusia memiliki sifat seperti
sifat esensi sehingga disebut sebagai esensi. Jika esensi itu dipahami sebagai
badan atau seluruh organ maka tentulah kesemua itu bukan objek yang
mengidentifikasi sesuatu. Namun faktanya semua itu berfungsi mengidentifikasi
sesuatu sehingga disebut sebagai esensi identifikator.

Dalam ajaran syariat, tubuh dan seluruh organ adalah sarana berbuat yang
disebut sebagai roh. Kelompok Dahriyyah mengingkari kebangkitan jasad karena
jasad akan punah dan menjadi tidak ada setelah kematian sehingga tidak ada
istilah wujud manusia Kembali lagi. Pendapat lain meyakini bahwa ketidakadaan
yang disebabkan kematian adalah sesuatu juga yang saat itu dalam kondisi
terkasihi atau tersiksa. Dalam Al-Qurân terdapat sejumlah penjelasan adanya
sesuatu dalam kondisi terkasihi atau tersiksa. Ahl al-sharî’ah memahami maksud
binasa dan hancur adalah hancur dan lenyapnya seluruh anggota badan dan
bagian-bagian tubuh yang hancur dan lenyap akan dikembalikan dan dibaharukan.
Para nabi juga menerangkan surga dan neraka yang memiliki sifat dapat menjadi
punah. Kebangkitan jasad secara global mengandung manfaat untuk manusia,
seperti mencegah mereka dari perbuatan dusta.

6
Haydar al-Âmuli, Asrâr al-Sharî’ah wa Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr al- Haqîqah,
(Muassasah Mutâla’ât wa Tahqîqât Farbankâ, t. t.), h. 3
7

2. Ma’ad Ahl al-Tariqah

Kata tarîqah berasal dari kata kerja taraqa yang berarti memukul atau
memukul dengan kerikil seperti yang biasa dilakukan oleh kebanyakan
perempuan. Alat pemukul yang digunkan pandai besi disebut mitraqah. Taraqa
juga berarti menulis di tanah atau di pasir dengan kedua jari lalu dengan satu jari.
Kata benda Tunggal dari taraqa adalah tarîq yang berarti jalan. Bentuk jamaknya
adalahatriqah, turuq, atriqâu, tarâiq, dan turuqât. Tarîqah adalah bentuk muannats
dari kata tarîq. Tarîqah juga berarti: cara, metode/sistem, aliran, keadaan, pohon
kurma yang tinggi, tiang payung/tiang tempat berteduh, yang mulia dari suatu
kaum, atau tulisan pada sesuatu.7

Dalam tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang pengikut tarekat (sâlik)


menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh
oleh seseorang untuk dapat mendekati diri sedekat mungkin kepada-Nya. Seorang
sâlik tidak dibenarkan meninggalkan syariat sebab pelaksanaan tarekat merupakan
pelaksanaan agama. Sâlik harus dibimbing oleh mursyid atau syeikh (guru
tarekat). Mursyid bertanggung jawab terhadap murid-muridnya. Ia mengawasi
murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah, rohaniyah, pergaualan sehari-hari,
bahkan perantaa anatarmurid dan Tuhan dalam beribadah. Oleh sebab itu, seorang
mursyid harus sempurna suluknya dalam ilmu syariat dan hakikat sesuai Al-
Quran, sunah, dan ijmak.

Guru tarekat haruslah alim, ahli dalam memberikan tuntunan kepada


muridnya, mengenali segala sifat kesempurnaan hati, memiliki rasa belas kasih
terhadap muridnya dan kaum muslimin, pandai menyimpan rahasia muridnya,
tidak menyalah gunakan amanat muridnya, hanya menyuruh muridnya melakukan
sesuatu yang layak dikerjakan, tidak banyak bergaul dan bercengkerama dengan
muridnya, senantiasa berusaha bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan, lapang
dada, ikhlas, memerintakan berkhalwat kepada murid yang memperlihatkan
kebesaran dan ketinggian hati, memelihara kehormatan diri dan kepercayaan
7
Tarekat dalam Ensiklopedi Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994), cet. ke-2, h. 66
8

murid, memberikan petunjuk untuk memperbaiki keadaan murid, memperhatikan


terjadinya kebanggan rohani yang timbul pada murid, melarang murid banyak
bicara dengan teman kecuali sangat penting, menyediakan tempat berkhalwat,
menjaga diri agar murid tidak melihat keadaannya dan sikap hidupnya yang dapat
mengurangi rasa hormat mereka, mencegah murid banyak makan, melarang murid
berhubungan dengan guru tarekat lain jika membahayakan, melarang murid
berhubungan dengan para pejabat yang dapat membangkitkan nafsu duniawi,
menggunakan kata-kata lembut dan memikat dalam khotbahnya, memenuhi
undangan dengan penuh perhatian, bersikap tenang dan sabar saat bersama murid,
memperlihatkan akhlak mulia ketika murid datang atau bertau, dan
memperhatikan keadaan murid dengan menyanyakan keadaan murid lain yang
tidak hadir pertemuan.

Untuk melaksanakan tarekat dengan baik seorang murid harus


memperbanyak wirid, zikir, doa, dan mendalami syariat. Dalam pelaksanaan
aktifitas tarekat, murid dimasukkan ke sebuah tempat belajar khusus (ribât) atau
tempat ibadah khusus (zawiyat/khanqah).Di tempa itulah dilakukan zikir,
pembacaan wirid-wirid, lantunan syair-syair yang diiringin bunyi-bunyian seperti
rebana, gerakan-gerakan menari mengiringi wirid, dan pengaturan nafas yang
beris izikir tertentu.8

Menurut ahl al-tarîqah, hari kebangkitan ibarat penampakan sebagian sifat-


sifat Tuhan Penampakan semua sifat-sifat itu adalah bukti kebenaran nama- nama-
Nya yang tidak terbatas. Penampakan-Nya melalui nama- nama-Nya ada pada
ciptaan-Nya sesuai dengan ucapan-Nya:” Aku adalah tempat menimbut yang
tersembunyi. Aku senang jika dikenal. Oleh karena itu Aku ciptakan makhluk.
Ahli makrifat menetapkan bahwa nama-nama Allah SWT menjadi terbatas jika
dipahamai secara parsial dan menjadi tidak terbatas jika dipahami secara holistik.
Nama-nama Allah harus dipahami sebagai manifestasi-Nya di dunia dan akhirat
yang merupakan dua tempat penamapakan-Nya dari sejumlah tempat penampakan
lainnya. Tempat-tempat tersebut terus berlangsung tanpa batasan waktu.

8
Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, (Dâr al-Ma’ârif, t.t.), jilid ke-4, h. 2663.
9

Maksud demikian itu adalah kiamat merupakan perumpamaan perubahan,


pergantian, dan pengembalian alam nyata menuju alam tersembunyi sebagaimana
dunia sebagai penampakan Yang Maha Tersembunyi melalui segala sesuatu yang
nampak. Walaupun terdapat banyak nama namun pasti substansinya hanya pada
empat nama; Yang Maha Awal, Yang Maha Akhir, Yang Maha Nyata, dan Yang
Maha Tersembunyi. Yang Maha Awal, Yang Maha Nyata, dan sejumlah nama
yang berdekatan dengan dua nama tersebut merupakan menifsetasi-Nya di dunia
yang merupakan tahapan awal. Sedangkan Yang Maha Akhir, Yang Maha
Tesembunyi, dan sejumlah nama yang berdekatan dengan dua nama tersebut
merupakan manifestasi-Nya di akhirat yang merupakan tahapan akhir. Pandangan
seperti ini terkadang diterima pada satu sisi namun tidak diterima pada sisi lain.

a. Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah

Al-Qiyâmah al-Sugrâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Kecil) adalah


kewaspadaan terhadap keadaan setelah kematian.9 Kematian seperti ini terbagi
menjadi empat jenis; merah, putih, hijau, dan hitam. Kematian merah yang
merupakan satu totalitas kematian menuju seluruh kematian. erdapat dua
penjelasan mengapa yang demikian itu dinamakan kematian merah. Pertama,
merah adalah warna darah yang sering menetes dalam peperangan sehingga
kematian seperti itu dinamakan kematian merah. Kedua, merah adalah warna
wajah yang kemerahan sebab cahaya ilahi saat mati dalam peperangan. Kematian
putih adalah ungkapan rasa lapar yang menyinari batin dan memutihkan hati.
Selama seorang sâlik tidak kenyang selama itu pula ia mati putih yang kemudian
menghidupkan ketajaman firasatnya. Seseorang yang kenyang perutnya maka
mati ketajaman firasatnya. Kematian hijau diumpamakan dengan memakai
pakaian lusuh yang tidak ternilai harganya. Seseorang yang dalam berpakaian
tidak mempertimbangkan pakaian mewah melainkan mempertimbangkan pakaian
itu bisa menutup aurat agar salatnya sah, maka ia telah mati hijau karena hidupnya
sudah nyaman dengan kesegaran wajahnya yang menatap keindahan zat.

9
Haydar al-Âmuli, Asrâr al-Sharî’ah wa Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr al- Haqîqah,
(Muassasah Mutâla’ât wa Tahqîqât Farbankâ, t. t.), h. 114
10

Kematian hitam adalah kematian hati. Seseorang yang tidak menemukan dosa
dalam hatinya maka ia bukan termasuk pecinta sejati. Sebaliknya, itu dapat
membuatnya senang dengan dosa karena yang dilihat hanyalah sesuatu yang
menyenangkannya tanpa memikirkan apakah itu sesuatu yang baik atau buruk.

b. Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah

Al-Qiyâmah al-Wustâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Menengah)


adalah perupamaan matinya seseorang dari akhlak tercela dan dari sifat-sifat
buruk kemudian hidup dengan akhlak terpuji dan berperangai mulia yang
merupakan tujuan pengutusan rasul. Berbudi pekerti luhur dengan meneladani
sifat-sifat-Nya adalah keharusan untuk sampai kepada kebahagiaan abadi dan
sampai kepada-Nya yang semua itu tidak mungkin tercapai kecuali melalui budi
pekerti luhur. Itulah mengapa kita diperintahkan bersifat denga sifat-sifat-Nya dan
berakhlak dengan akhlak-Nya. jika sesorang kosong dari perangai buruk tetapi
penuh dengan akhlak Allah maka ia sesungguhnya sedang mengalami ma’âd.
Pencapaian akhlak Allah semacam itu hanya hanya bisa dilakukan orang mumin.10

c. Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah

Al-Qiyâmah al-Kubrâ al-Ma’nawiyyah (Kiamat Abstrak Besar)


diumpamakan dengan fanâ tauhid seorang hamba Bersama Al-Haq 11. Kiamat yang
dihasilkan dari fanâ tauhid ini menghasilkan surga meteril yang bisa disaksikan
dan merupakan surga yang lebih tinggi dari surga wâritsah dan surga nafsiyyah.
Pembagian surga semacam itu telah disinggung oleh Ibn ‘Arabî. Menurutnya,
surga ada tiga: pertama Jannah Ikhtisâs Ilâhî. surga ini untuk orang-orang tertentu.
Mereka adalah bayi mulai saat lahir hingga enam tahun, orang-orang yang tidak
waras/gila, penganuttawhîd al-‘ilmi, dan mereka yang belum tersentuh ajakan
dakwah nabi. Kedua Jannah Mîrâts. Surga ini untuk semua kriteria yang ada pada

Haydar al-Âmuli, Asrâr al-Sharî’ah wa Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr al- Haqîqah,


10

(Muassasah Mutâla’ât wa Tahqîqât Farbankâ, t. t.), h. 116

Haydar al-Âmuli, Asrâr al-Sharî’ah wa Atwâr al-Tarîqah wa Anwâr al- Haqîqah,


11

(Muassasah Mutâla’ât wa Tahqîqât Farbankâ, t. t.), h.117


11

penghuni surga pertama bisa masuk pada surga ke dua, orang- orang mumin, dan
orang-orang yang sebelumnya memasuki neraka. Ketiga Jannah al-A’mâl. Surga
ini adalah untuk orang-orang yang masuk surga karena amal perbuatannya. Di sini
mereka merasakan tingkatan kenikmatan yang berbeda. Mereka yang lebih utama
amal perbuatannya memperoleh kenikmatan surga lebih banyak.

3. Ma’ad Ahl al-Haqiqah

Secara etimologis haqîqah adalah antonym al-bâtil. Bentuk jamaknya


adalah huqûq atau hiqâq.12 Haqîqah dalam Bahasa Indonesia disebut hakikat
adalah sesuatu yang penggunaannya sesuai dengan ketentuannya. Hakikat juga
bermakna fana atau beratnya perjalanan. Dalam tasawuf, hakikat identik dengan
aspek kerohanian dari ajaran Islam. Kajian tentang hakikat dimulai dengan aspek
moral yang dibarengi aspek ibadah. Bila kedua aspek ini diamalkan penuh
kesungguhan dan keikhlasan, maka meningkatlah kondisi mental seseorang dari
satu tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika kondisi mental
sampai pada tingkat tertinggi, Tuhan akan menerangi hati sanubari orang tersebut
dengan nur-Nya, sehingga pada waktu itu ia betul-betul dekat dengan-Nya, dapat
mengenal-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatinya. Orang yang telah
sampai ke tingkat ini di kalangan sufi dinamai ahli hakikat.

Jika kata hakikat dipergunakan untuk Tuhan, maka artinya adalah sifat-
sifat Tuhan. Zat Allah sendiri disebut al-Haqq. Antara manusia dan Tuhan
terdapat jarak sehingga masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Tetapi
antara dua hakikat itu terdapat kesamaan dan jika kesamaan itu semakin mendekat
maka pudarlah garis pemisah antar keduanya. Ketika itulah terjadi persatuan
antara al-Haqq dengan manusia. Sesungguhnya sesuatu yang ada berasal dari
Tuhan. Jika wujud Tuhan tidak ada, maka segala yang ada ( mawjûd) ini tidak
pula akan ada. Segala yang ada ini sebenarnya tidak mempunyai wujud tersendiri.
Ia berwujud setelah ada wujud lain yang menyebabkannya ada. Dengan demikian,
wujud sebenarnya ialah wujud yang ada dengan sendirinya, tanpa bergantung

Hakikat dalam Ensiklopedi Islam, jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
12

1994), cet. ke-2, h. 69


12

pada wujud lain; Itulah wujud Tuhan. Wujud Tuhan inilah wujud yang hakiki atau
hakikat dari segala-galanya yang disebut dengan Haqq al- Haqa’iq.
BAB III

PENUTUP

C. KESIMPULAN

Ma`rifah al-ma’âd sudah dikenal sejak lama, Para rasul mengimani proses
al-ma’âd yang di dalamnya makhluk dibangkitkan setelah kematian sehingga
pelaku kebaikan dilimpahkan pahala dan pelaku maksiat ditimpahkan siksa.
Secara Bahasa al-ma’âd berasal dari kata ‘âda-ya’ûdu-‘awdan yang berarti
“kembali” sehingga al-ma’âd berarti “tempat kembali”. Dinamakan demikian
karena semua sesuatu akan kembali kepada Allah SWT.Al-Ma’âd adalah
perumpamaan kembalinya alam dan segala isinya kepada sumbernya melalui
beragam peristiwa secara visual ataupun abstrak yang masing-masing terjadi
melauli tiga fase; kecil, menengah, dan besar. Ma`rifah al-ma’âd terbagi menjadi
Ma’ad Ahl al-Shari’ah, Ma’ad Ahl al-Tariqah, Ma’ad Ahl al-Haqiqah.

B. Saran

Dengan penulisan makalah ini di harapkan pembaca :

- Memperoleh pengetahuan yang lebih luas tentang Ma`rifah al-ma’âd .


- Lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.
- Memberikan kritik dan saran.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Âmuli, Haydar, Jâmi’ al-Asrâr wa Manba’ al-Anwâr, Injaman Ibrânsyanâsî


Farânsah, t.t..

Al-Munawwir , Warson ,Ahmad: Kamus Arab-Indonesia, h. 156

Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

Manzûr, Ibn, Lisân al-‘Arab, Dâr al-Ma’ârif, t.t..

14

Anda mungkin juga menyukai