Makalah Etika dan Budaya pada Bisnis dan Organisasi disusun guna memenuhi tugas
Dosen Dr. Henny saida,SH,M,Hum pada bidang mata kuliah Etika dan Hukum Bisnis
universitas Methodist Indonesia. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini
dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Etika dan Budaya.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
PENDAHULUAN
Menurut Robbins (1996) memberi pengertian budaya organisasi antara lain sebagai :
Nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi.
Falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan.
Cara pekerjaan dilakukan di tempat itu.
Asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi.
Dari sudut pandang karyawan, budaya memberi pedoman bagi karyawan akan segala sesuatu
yang penting untuk dilakukan. Sejumlah peran penting yang dimainkan oleh budaya
perusahaan adalah :
Membantu pengembangan rasa memiliki jati diri bagi karyawan.
Dipakai untuk mengembangkan keterkaitan pribadi dengan organisasi.
Membantu stabilitas organisasi sebagai suatu sistem sosial.
Menyajikan pedoman perilaku sebagai hasil dari norma perilaku yang sudah dibentuk.
Terdapat tiga asumsi yang mengarahkan pada teori budaya Perusahaan yaitu :
Realitas organisasi juga sebagiannya ditentukan oleh simbol-simbol, dan ini merupakan
asumsi kedua dari teori ini. Perspektif ini menggaris bawahi penggunaan simbol di dalam
organisasi. Simbol merupakan representasi untuk makna. Anggota-angota organisasi
menciptakan, menggunakan, dan mengintrepetasikan simbol setiap hari. Simbol-simbol ini
sangat penting bagi budaya perusahaan. Simbol-simbol mencakup komunikasi verbal dan
nonverbal di dalam organisasi. Seringkali, simbol-simbol ini mengkomunikasikan nilai-nilai
organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang memiliki makna. Sejauh mana simbol-simbol ini
efektif bergantung tidak hanya pada media tetapi bagaimana karyawan perusahaan
mempraktikannya.
Asumsi yang ketiga mengenai teori budaya organisasi berkaitan dengan keberagaman
budaya organisasi. Sederhana, budaya organisasi sangat bervariasi. Persepsi mengenai
tindakan dan aktivitas di dalam budaya-budaya ini juga seberagam budaya itu sendiri.
2.1.5 Dimensi Budaya Perusahaan
Terdapat banyak dimensi yang membedakan budaya. Dimensi ini mempengaruhi perilaku
yang dapat mengakibatkan kekeliruan pemahaman, ketidaksepakatan, atau bahkan konflik.
Konsep budaya pada awalnya berasal dari lapangan antropologi dan mendapat tempat pada
awal perkembangan ilmu perilaku organisasi. Dimensi-dimensi yang digunakan untuk
membedakan budaya.
Menurut Robbins (1996) ada tujuh karakteristik primer yang secara bersama-sama
menangkap hakikat budaya organisasi, yaitu:
1. Inovasi dan pengambilan resiko.
2. Perhatian ke hal yang rinci.
3. Orientasi hasil.
4. Orientasi Orang.
5. Orientasi Tim.
6. Keagresifan
7. Kemantapan
Menurut Luthan (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik yang penting dari budaya
organisasi, yang meliputi:
1. Aturan-aturan perilaku Yaitu bahasa, terminologi, dan ritual yang biasa dipergunakan oleh
anggota organisasi.
2. Norma adalah standar perilaku yang menjadi petunjuk bagaimana melakukan sesuatu.
Lebih jauh di masyarakat kita kenal adanya norma agama, norma susila, norma sosial,
norma adat.
3. Nilai-nilai dominan adalah nilai utama yang diharapkan dari organisasi untuk dikerjakan
oleh para anggota, misalnya tingginya kualitas produk, rendahnya tingkat absensi,
tingginya produktivitas dan efisiensi, serta tingginya disiplin kerja.
4. Filosofi adalah kebijakan yang dipercaya organisasi tentang hal-hal yang disukai para
karyawan dan pelanggannya, seperti “Kepuasan Anda adalah harapan Kami”.
5. Peraturan-peraturan adalah aturan yang tegas dari organisasi. Pegawai baru harus
mempelajari peraturan ini agar keberadaannya dapat diterima dalam organisasi.
6. Iklim Organisasi adalah keseluruhan “perasaan” yang meliputi hal-hal fisik, bagaimana
para anggota berinteraksi dan bagaimana para anggota organisasi mengendalikan diri
dalam berhubungan dengan pelanggan atau pihak luar organisasi.
Menurut Hofsede (dalam Gibson, 1996) mengemukakan empat dimensi budaya, yaitu:
1. Penghindaran atas ketidakpastian adalah tingkat dimana anggota masyarakat merasa tidak
nyaman dengan ketidakpastian. Perasaan ini mengarahkan mereka untuk mempercayai
kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara lembaga- lembaga yang melindungi
penyesuaian.
2. Maskulin vs feminim yaitu, Maskulin adalah kecenderungan dalam masyarakat akan
prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan keberhasilan materiil. Sedangkan, Feminitas berarti
kecenderungan akan kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan kualitas hidup.
3. Individu vs kebersamaan yaitu, Individu adalah kecenderungan dalam kerangka sosial
dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri sendiri dan keluarganya. Kebersamaan
berarti kecenderungan dimana individu dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok
lainnya melindungi mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak yang mereka berikan.
4. Jarak kekuasaan adalah ukuran dimana anggota suatu masyarakat menerima bahwa
kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara merata.
1. Artefak
Pada tingkat ini budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan, misalnya
lingkungan fisik organisasi, teknologi, dan cara berpakaian. Analisis pada tingkat ini cukup
rumit karena mudah diperoleh tetapi sulit ditafsirkan.
2. Nilai
Nilai memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artefak. Nilai ini sulit diamati
secara langsung sehingga untuk menyimpulkannya seringkali diperlukan wawancara dengan
anggota organisasi yang mempunyai posisi kunci atau dengan menganalisis kandungan
artefak seperti dokumen.
3. Asumsi dasar
Merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Pada tingkat ini budaya diterima begitu
saja, tidak kasat mata dan tidak disadari. Asumsi ini merupakan reaksi yang bermula dari
nilai-nilai yang didukung. Bila asumsi telah diterima maka kesadaran akan menjadi tersisih.
Dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai artefak terletak pada apakah nilai-nilai
tersebut masih diperdebatkan dan diterima apa adanya atau tidak.
1) Seorang (biasanya pendiri) datang dengan ide atau gagasan tentang sebuah usaha baru.
2) Pendiri membawa orang-orang kunci yang merupakan para pemikir, dan menciptakan
kelompok inti yang mempunyai visi yang sama dengan pendiri.
3) Kelompok inti memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan organisasi,
mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha dan lain-lain yang relevan.
4) Orang-orang lain dibawa ke dalam organisasi untuk berkarya bersama-sama dengan
pendiri dan kelompok inti, memulai sebuah sejarah bersama.
A. Cerita-cerita
B. Ritual / Upacara-upacara
Semua masyarakat memiliki corak ritual sendiri-sendiri. Di dalam perusahaan, tidak jarang
ditemui acara-acara ritual yang sudah mengakar dan menjadi bagian hidup perusahaan.
C. Simbol-simbol material
Simbol-simbol atau lambang-lambang material seperti pakaian seragam, ruang kantor dan
lain-lain, atribut fisik yang dapat diamati merupakan unsur penting budaya organisasi yang
harus diperhatikan sebab dengan simbol-simbol itulah dapat dengan cepat diidentifikasi
bagaimana nilai, keyakinan, norma, dan berbagai hal lain itu menjadi milik bersama dan
dipatuhi anggota organisasi.
D. Bahasa
Bahasa merupakan salah satu media terpenting di dalam mentransformasikan nilai. Dalam
suatu organisasi atau perusahaan, tiap bidang, divisi, strata atau semacamnya memiliki bahasa
atau jarigan yang khas, yang kadang-kadang hanya dipahami oleh kalangan itu sendiri. Hal ini
penting karena untuk dapat diterima di suatu lingkungan dan menjadi bagian dari lingkungan,
salah satu syaratnya adalah memahami bahasa yang berlaku di lingkungan itu. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa bahasa merupakan unsur penting dalam budaya perusahaan.
Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar atau salah, baik
atau buruk. Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat berbagai pengertian tentang etika
perusahaan, etika kerja, dan etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial
antar perusahaan, karyawan, dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan
perusahaan dengan karyawan yang sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya. Etika kerja
berkaitan dengan antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika perorangan mengukur
hubungan masyarakat.
Pelaku yang telah berkembang dalam perusahaan menimbulkan situasi saling percaya
antara perusahaan dan stakeholder, yang memungkinkan perusahaan meningkatkan
keuntungan jangka panjang. Perilaku akan mencegah pelanggan, pegawai, dan pemasok
bertindak oportunis, serta timbulnya saling percaya. Budaya perusahaan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku etis, karena budaya perusahaan
merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat
mendorong terciptanya perilaku yang etis, dan sebaliknya dapat pula mendorong perilaku
yang tidak etis. Kebijakan perusahaan untuk memberikan perhatian yang serius pada etika
perusahaan dan memberikan citra bahwa manajemen mendukung perilaku etis dalam
perusahaan.
Kebijakan perusahaan biasanya secara formal didokumentasikan dalam bentuk Kode Etik
(Code of Conduct). Ditengah iklim keterebukaan dan globalisasi yang membawa keragaman
budaya, kode etik memiliki peranan yang sangat penting sebagai penahan dalam interaksi
intensif beragam ras, pemikiran, pendidikan, dan agama. Sebagai persamaian untuk
menumbuhkan perilaku etis, perlu dibentuk iklim etika dalam perusahaan. Iklim etika tersebut
tercipta, jika dalam suatu perusahaan terdapat kumpulan pengertian tentang perilaku apa yang
dianggap benar dan tersedia mekanisme yang memungkinkan permasalahan mengenai etika
dapat diatasi.
Terdapat tiga faktor utama yang memungkinkan terciptanya iklim etika dalam perusahaan
yaitu :
1. Terciptanya budaya perusahaan secara baik.
2. Terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya.
3. Terbentuknya manajemen hubungan antar pegawai.
Iklim etika dalam perusahaan dipengaruhi oleh adanya interaksi beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor kepentingan sendiri.
2. Faktor keuntungan perusahaan.
3. Faktor pelaksanaan efisiensi.
4. Faktor kepentingan kelompok.
Penciptaan iklim etika mutlak diperlukan, meskipun memerlukan waktu, biaya, dan
ketekunan manajemen.
2.1.8 Fungsi Budaya Perusahaan
Jika etika menjadi nilai dan keyakinan yang terinternalisasi dalam budaya
perusahaan maka hal tersebut berpotensi menjadi dasar kekuatan perusahaan yang pada
gilirannya berpotensi menjadi sarana peningkatan kinerja
Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka akan adanya
masalah etika dalam profesinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, atau
masyarakat dimana profesi itu berada, lingkungan profesi, lingkungan organisasi atau
tempat ia bekerja, serta pengalaman pribadinya. Budaya perusahaan memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap prilaku etis. Perusahaan akan menjadi lebih baik
jika mereka membudayakan etika dalam lingkungan perusahaanya.
Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan
karena sifatnya tidak absolut dan mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung
budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral
sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan baik
apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial tersebut. Budaya
menuntut individu untuk berprilaku dan memberi petunjuk pada mereka mengenai apa saja
yang harus diikuti dan dipelajari.