6
7
8
9
12. Tempat Pelayanan 1. Demam Dengue dan DHF tanpa syok dirawat di bangsal biasa
2. DSS (DHF Grade III dan IV) dirawat di ruang Intermediet PICU
13. Penyulit 1. Ensefalopati Dengue
2. Gagal ginjal
3. Udem paru
14. Informed Consent Tertulis dan Lisan
15. Tenaga Standar 1. Peserta PPDS I
2. Dokter Spesialis Anak
3. Konsultan Infeksi dan Penyakit Tropis
4. Konsultan PGD
16. Lama Perawatan 2-3 hari
17. Masa Pemulihan 7 hari
18. Hasil -
19. Patologi -
20. Otopsi -
21. Prognosis 1. Demam dengue dan Demam berdarah dengue grade I dan II : dubius
ad bonam
2. Demam berdarah dengue grade III dan IV : dubius ad malam
22. Tindak Lanjut Kontrol poliklinik
23. Tingkat Evidens -
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan baik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit > 50.000/ul
7. Tidak dijumpai distres pernapasan
10
25. Edukasi 1. Minum banyak selama fase akut
2. Orang tua memahami petanda bahaya (warning sign)
26. Kepustakaan 1. Dengue Hemmorhagic fever. Diagnosis, treatment, prevention and
control, edisi ke 2. Geneva,WHO, 1997.
2. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Hemmorhagic fever. Revised and expanded
edition. Geneva,WHO, 2011.
3. Hadinegoro SRH, Satari HI. Demam berdarah Dengue: Naskah
lengkap pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter
penyakit dalam, dalam tata laksana DBD. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 1999.
4. Departemen Kesehatan. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue
Sarana Pelayanan Kesehatan. 2005.
5. Satari HI. Petunjuk Praktis Terapi Cairan Demam Berdarah Dengue.
Dalam: Gunardi H, Tehuteru E, Setyanto DB, Advani N, Kurniati N,
Wulandari HF, dkk, editors. Bunga Rampai Tips Pediatrik. Edisi
pertama. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. h.135-47.
6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRH, Satari HI. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI; 2008. h.155-82.
7. Halstead SB. Dengue and Dengue Hemorragic Fever. Dalam: Feigin
RD, Cherrys JD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, editors.
Textbook of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke enam.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. h. 2347-56.
8. Basuki PS. Dengue 2010: Apa Yang Baru?. Dalam: Workshop dan
Simposium Penatalaksanaan Mutakhir Kasus Demam pada Anak.
Jember: IDAI Jatim KOM Jember; 2010. h.80-110.
9. Soegijanto S. Patogenesa Infeksi Virus Dengue ”Recent Update”.
Dalam: Applied Management of Dengue Viral Infection in Children,
6-7 Nopember 2010. Kediri:IDAI Jatim Komisariat Jatim IV; 2010. h.11-45.
11
2. Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan
dahak purulen bahkan dapat berdarah bila batuknya hebat.
3. Beberapa hari kemudian pasien mengalami sesak napas
4. Pasien tampak lemah, dan nafsu makan berkurang
5. Bila terjadi berulang kemungkinan pasien mengalami keadaan
imuno-kompromais, terdapat kelainan anatomi, atau pasien dengan
penyakit kronik seperti asma atau penyakit jantung bawaan.
5. Pemeriksaan Fisik 1. Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan
kemampuan makan & minum
2. Tanda-tanda vital: suhu di atas normal, frekuensi napas meningkat
(takipnea) dan takikardi
3. Batuk, ronkhi basah halus dan kasar
4. Dapat dijumpai penurunan suara napas
5. Gejala distres napas terutama pada fase inspirasi (inspiratory effort),
dengan retraksi subkostal
6. Pada keadaan yang berat dapat dijumpai sianosis
7. Pada balita mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang
klasik. gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen.
8. Pada bayi muda, terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipopnea,
atau ditemukan head nodding / head bobbing.
6. Kriteria Diagnosis Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang
7. Diagnosis Banding 1. Bronkiolitis
2. Pneumonia aspirasi
3. Asma Bronkiale
4. Tuberkulosis
5. Asidosis metabolik
6. Aspirasi benda asing
8. Pemeriksaan 1. Saturasi oksigen.
Penunjang a. Hipoksemia suatu conditio sin qua non pada pneumonia dapat
diperiksa secara mudah menggunakan pulse oxymetri. Alat yang
sederhana dan tidak mahal ini bermanfaat untuk penilaian awal
dan juga dalam pemantauan pasien selama perawatan.
b. Jika tersedia fasilitasnya, pemeriksaan analisis gas darah
memberikan informasi yang lebih akurat, walau hanya informasi
sewaktu.
2. Radiologi toraks
a. Tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab.
b. Tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan
pneumonia ringan tanpa komplikasi
c. Direkomendasikan pada pasien pneumonia yang dirawat inap
atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan.
d. Pneumonia karena Staphylococcus auerus dicurigai bila
dijumpai gambaran pneumatocele, empyema, atau terbentuknya
abses.
e. Pemeriksaan radiologi follow up hanya dilakukan bila
didapatkan adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadinya
12
komplikasi, pneumonia berat, curiga pneumonia S. aureus,
gejala yang menetap atau memburuk, atau tidak respons
terhadap antibiotik.
3. Pemeriksaan Laboratorium.
a. Pemeriksaan darah lengkap perlu dilakukan untuk membantu
menentukan pemberian antibiotik.
b. Pemeriksaan prokalsitonin darah
c. Pemeriksaan pewarnaan Gram dan biakan sputum dengan
kualitas yang baik direkomendasikan dalam tata kelola anak
dengan pneumonia yang berat.
d. Biakan darah dan pewarnaan Gram tidak direkomendasikan
secara rutin pada pasien rawat jalan, tetapi direkomendasikan
pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan pada setiap
anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial.
e. Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk
mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa biakan virus jika
fasilitas tersedia
f. Jika ada efusi pleura tata laksana sesuai PNPK efusi pleura
g. Pemeriksaan uji tuberkulin perlu dilakukan pada anak yang
dirawat karena pneumonia, apalagi bila ada riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa.
9. Konsultasi Pediatri gawat darurat pada kasus sangat berat yang membutuhkan alat
bantu napas
10. Perawatan Bayi:
Rumah Sakit 1. Sianosis
2. Saturasi oksigen < 92%,
3. Frekuensi napas > 60 x/menit
4. Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
5. Penurunan kesadaran
6. Tidak mau minum / menetek
7. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak:
1. Saturasi oksigen < 92%, sianosis
2. Frekuensi napas > 50 x/menit
3. Distres pernapasan, retraksi epigastrium
4. Grunting
5. Terdapat tanda dehidrasi
6. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
11. Terapi / tindakan Umum
(ICD 9-CM) 1. Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan
udara kamar harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal,
head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >
92%
2. Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus dipantau setidaknya
setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen dengan
13
pulse oxymetri.
3. Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan pemantauan balans cairan ketat
4. Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga
kenyamanan pasien dan mengontrol batuk
5. Bila pasien mengalami gangguan airway clearance, nebulisasi
dengan β2- agonis dan / atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance.
6. Fisioterapi dada hanya dilakukan bila terdapat atelektasis dan sekret
jalan napas yang berlebihan
Pemberian Antibiotik
1. Semua anak dengan diagnosis klinis pneumonia yang jelas perlu
diberi antibiotik karena pneumonia bakterial tidak dapat dibedakan
dengan pneumonia viral.
2. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak balita karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan
murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
klaritromisin, dan azitromisin
3. M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak > 5 tahun
4. Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai
sebagai penyebab
5. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae
sangat mungkin sebagai penyebab.
6. Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, kloksasilin merupakan
obat pilihan, dapat juga diberikan makrolid atau kombinasi
flucloxacillin dengan amoksisilin
7. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat atau sangat berat
8. Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan
cefotaxime
9. Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena
10. Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
a. Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin. Bila tidak membaik
dalam 48 jam, ditambahkan makrolid
b. > 2 bulan: lini pertama Ampisilin + kloramfenikol. Lini kedua
Seftriakson atau cefotaksim. Bila tidak membaik dalam 48 jam,
ditambahkan makrolid
c. > 5 tahun : Makrolid. Bila tidak membaik dalam 48 jam,
14
ditambahkan ampisilin + kloramfenikol
d. Pada pneumonia sangat berat : pilihan pertama seftriakson atau
sefotaksim
e. Bila hasil biakan darah positif, antibiotika disesuaikan dengan
hasil biakan darah tersebut
11. Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral
dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya.
12. Untuk durasi pemberian antibiotik tidak ada data penunjang yang
jelas. Untuk pneumonia tanpa komplikasi pemberian selama 5 hari
mencukupi. Untuk pneumonia stafilokokus pemberian antibiotik
hingga 14-21 hari. Pneumonia karena mikoplasma perlu pemberian
makrolid hingga 10 hari.
Nutrisi
1. Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per
oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric
tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan
NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi / anak dengan
ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya
menggunakan ukuran yang terkecil.
2. Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi
peningkatan sekresi hormon antidiuretik.
12. Tempat Pelayanan IGD, ruang rawat inap anak, PICU
13. Penyulit Gagal napas, empiema
14. Informed Consent Tertulis pada tindakan invasif
15. Tenaga Standar Dokter residen tingkat madya – chief, DPJP
16. Lama Perawatan 5 hari
17. Masa Pemulihan 3 hari
18. Hasil Sembuh
19. Patologi Tidak diperlukan
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
22. Tindak Lanjut Kontrol ke poliklinik anak dalam 3 hari setelah keluar RS
23. Tingkat Evidens I/II/III/IV A/B/C
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Penjelasan tentang penyakit yang dialami
2. Penjelasan tentang rencana pemeriksaan diagnostik
3. Penjelasan tentang rencana pengobatan
4. Penjelasan tentang etika batuk dan higiene personal
25. Edukasi Kriteria pulang
1. Gejala dan tanda pneumonia menghilang
15
2. Asupan per oral adekuat
3. Pemberian antibiotik jika masih diperlukan dapat diteruskan di
rumah (per oral)
4. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol
5. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah
26. Kepustakaan 1. Adegbola, RA and Obaro, SK. Review diagnosis of childhood
pneumonia in the tropics. Annal of Trop Med Par. 2000;94:197-207.
2. British Thoracic Society guidelines for the management of
community acquired pneumonia in children: update 2011. Thorax
2011;66:ii1eii23. doi:10.1136/thoraxjnl-2011-200598.
3. Kartasasmita CB, Duddy HM, Sudigdo S, Agustian D, Setiowati I,
Ahmad TH, et al. Nasopharyngeal bacterial carriage and
antimicrobial resistance in under five children with community
acquired pneumonia. Paediatr Indones. 2001;41:292-5.
4. McIntosh K. Review article: community acquired pneumonia in
children. N Engl J Med. 2002;346:429-37.
5. Palafox M, Guiscafre H, Reyes H, Munoz O, Martinez H. Diagnostic
value of tachypnea in pneumonia defined radiologically. Arch Dis
Child. 2000:82:41-5.
6. Swingler GH and Zwarenstein M. Chest radiograph in acute
respiratory infections in children. The Cochrane Library. 2002 Issue
2.
7. Zar HJ, Jeena P, Argent A, Gie R, Madhi SA. Diagnosis and
management of community-acquired pneumonia in childhood –
South African Thoracic Society guidelines. South Afr J Epidemiol
Infect 2009;24(1):25-36
RSUP SANGLAH
16
DENPASAR
20
7. World Health Organization-Regional Office for South-East Asia.
HIV/AIDS facts and figures.
Diunduhdarihttp://www.who/searo/HIV-AIDS/FactsandFigure.htm
8. The working group on antiretroviral and medical management of
HIV-infected children. The national resources and services
administration, and the national institute of health. Guidelines for
the use of antiretroviral agents in pediatric HIV infection.
Diunduhdarihttp://www.aidsinfo.org
9. Fischer A, Lejczak C, Lambert C, Servais J, Makombe N, Rusine J,
dkk. Simple DNA extraction method for dried blood spots and
comparison of two PCR assays for diagnosis of vertical human
immunodeficiency virus type 1 transmission in Rwanda. J
ClinMicrobiol 2004; 42:16-20
10. Phutanakit T, Oberdorfer A, Akarathum N, Kanjanavanit S,
Wannarit P, Sirisanthana T, dll. Efficacy of highly active
antiretroviral therapy in HIV-infected children participating in
Thailand’s national access to antiretroviral program. Clin Infect Dis
2005;41:100-7
11. DepkesRI , Manual pelatihan CST untukAnak, Jakarta 2010
12. WHO pocket book of hospital care for children.WHO Geneva, 2005.
13. PPM FK UNUD
14. Global Update on HIV Treatment 2013: result,
impactandopportunuties.
21
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
MENINGITIS BAKTERIALIS
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
11. Terapi / tindakan Pemberian antibiotika diawali secara empiris (oleh karena terapi
(ICD 9-CM) antibiotika harus secepatnya diberikan), kemudian disesuaikan dengan
hasil pengecatan gram, biakan kuman, dan tes resistensi.
1. Terapi antibiotika empiris (sesuai dengan umur), lama pengobatan
10-14 hari.
a. Umur 1-3 bulan
a) Ampicilin 200-400 mg/kgbb/hr i.v dibagi 4 dosis dan
Cefotaxime 200 mg/kgbb/hr i.v dibagi 2-3 dosis.
b) Ceftriaxone 100 mg/kgbb/hr i.v dibagi 2 dosis.
b. Umur > 3 bulan
a) Cefotaxim 200 mg/kgbb/hr i.v, dibagi 3-4 dosis
b) Ceftriaxon 100 mg/kgbb/hr i.v, dibagi 2 dosis
c) Ampicilin 200-400 mg/kgbb/hr i.v, dibagi 4 dosis dan
kloramfenikol (apabila tidak ada kontraindikasi) 100
mg/kgbb/hr, i.v dibagi 4 dosis.
2. Pemberian deksametason (rekomendasi AAP)
Dosis 0,6 mg/kgbb/hr dibagi 4 dosis (2 hari pertama saja), sebelum
atau saat pemberian antibiotika.
3. Pemberian manitol 20%: atas indikasi
Dosis 0,5-1 gr/kg BB/x setiap 8 jam.
12. Tempat Pelayanan 1. PICU
2. Bangsal
13. Penyulit 1. Hidrosefalus obstruktif, subdural efusi, abses otak, SIADH.
2. Kejang, dapat berkembang menjadi epilepsi.
3. Hemiparese, tetraparese, mental retardasi, gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, atrofi otak, dll.
14. Informed Consent Untuk tindakan LP
15. Tenaga Standar Dokter Spesialis Anak, Dokter Spesialis Anak Konsultan, Dokter
Residen.
16. Lama Perawatan 14-21 hari
17. Masa Pemulihan 7 hari
23
18. Hasil 1. Hidup dengan / tanpa gejala sisa
2. Meninggal
19. Patologi Inflamasi pada meningen
20. Otopsi -
21. Prognosis 1. Angka kematian 10-30%
2. Prognosis kurang baik / dengan gejala sisa berat: bila terjadi kejang
yang sulit di atasi dalam 4 hari pertama.
3. Sekitar 6% kasus terjadi DIC dengan prognosis buruk
22. Tindak Lanjut 1. CT scan kepala bila ada indikasi.
2. Perlu operasi V-P shunt / external drainase bila ada komplikasi.
3. EEG bila ada menjadi epilepsi.
4. Test BERA
5. Konsul Mata
6. Fisioterapi / okupation terapi / speech terapi
23. Tingkat Evidens II A
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Klinis baik
2. Bebas demam 7 – 10 hari
3. Analisis LCS normal + kultur negatif
25. Edukasi 1. Kejang / epilepsi
2. Gejala sisa: gangguan pendengaran, penglihatan
3. Fisioterapi
26. Kepustakaan
24
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
26
4. Foto thorax
Dikerjakan untuk melihat kemungkinan adanya pnemonia
5. Kultur
Darah, cairan serebrospinal, urine dan feses
9. Konsultasi 1. Bila ada hipoglikemia / hiperglikemia persisten konsultasi ke
Subdivisi Endokrinologi
2. Bila terjadi gagal nafas rawat intensif di NICU
3. Bila ada gangguan penglihatan konsulkan ke Bagian Mata
4. Bila ada gangguan pendengaran konsulkan ke Bagian THT
5. Bila ada defisit neurologi konsulkan ke Neurologi anak dan Instalasi
Rehabilitasi Medis bila perlu rehabilitasi
10. Perawatan Semua pasien dengan meningitis dan sepsis
Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan Pemilihan antibiotika untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman
(ICD 9-CM) penyebab tersering dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat
kesehatan.
Sebagai initial terapi digunakan cefotaxime, dengan dosis:
1. < 7 hari 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
2. 7 hari 150 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
3. Untuk meningitis 200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
segera setelah didapatkan hasil kultur darah maka jenis antibiotika
disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya.
Lama pemberian antibiotika:
1. Sepsis adalah 10-14 hari
2. Meningitis adalah 21 hari
Untuk infeksi jamur dapat dipakai:
1. Amphotericin B ( Liposomal )
2. Dosis = 1 mg/kg/hari, dapat ditingkatkan 1 mg/kg perharinya sampai
dengan maksimal 3mg/kg/hari.
3. Bila no. 1 sulit didapat, dapat diganti amphotericin B dosis
0,25mg/kg/hari sampai dengan maksimal 1mg/kg/hari.
4. Pilihan lain adalah Fluconazole dosis inisial 6mg/kg; lalu 3mg/kg.
Usia < 1 minggu = setiap 72 jam
Usia 2 – 4 minggu = 48 jam
Usia > 4 minggu = 24 jam
Tatalaksana non-konvensional
1. Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena untuk profilaksis maupun terapi SNAD saat
ini belum bdianjurkan untuk diberikan secara rutin. Banyak
penelitian mengenai hal ini menggunakan jumlah sampel yang kecil,
dan belum ada sediaan imunoglobulin yang spesifik. Beberapa efek
samping dan komplikasi telah dilaporkan seperti infeksi, hemolisis
dan supresi kekebalan tubuh pada pemberian imunoglobulin
hiperimun. Pada kondisi-kondisi tertentu seperti sepsis yang berat
atau infeksi berulang pada neonatus kurang bulan, ada peneliti yang
27
menganjurkan pemberian imunoglobulin intravena dengan dosis
500-1000 mg/kg/kali setiap dua minggu.
2. Transfusi FFP ( Fresh Frozen Plasma )
FFP mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-
reactive protein dan fibronectin. Antibodi bayi baru lahir terbatas
pada spesifikasi yang dihasilkan oleh ibunya, tidak termasuk
antibodi protektif terhadap patogen tertentu. FFP mengandung
antibodi protektif, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah antibodi
tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada
pemberian secara kontinu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam) maka
kadar proteksi dapat tercapai.
3. Transfusi sel darah putih
Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan
infeksi neonatal umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum
dianjurkan penggunaannya. Hanya beberapa pusat kesehatan di
Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan
transfusi. Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi
seperti infeksi dan reaksi transfusi, disamping biaya tinggi dan
teknik pembuatan yang sulit.
4. Pemberian G-CSF dan GM-CSF
Akhir-akhir ini banyak peneliti mempelajari colony-stimulating
factor, yaitu suatu protein spesifik yang penting untuk proliferasi
dan differensiasi sel progenitor granulosit serta mempengaruhi
fungsi granulosit matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut
yang banyak diteliti berkaitan dengan infeksi pada neonatus, yakni
granulocyte stimulating factor (G-CSF) dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian
melaporkan peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit,
limfosit dan trombosit dengan pemberian GM-CSF rekombinan pada
neonatus yang sepsis. Namun demikian masih diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk menguji efektivitas terapi ini.
5. Transfusi tukar
Secara teoritis, transfusi tukar dengan menggunakan whole blood
segar pada sepsis neonatorum bertujuan (1) mengeluarkan /
mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator
penyebab sepsis (2) memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal
dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah dan (3)
memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan
berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor.
Transfusi tukar juga mempunyai beberapa kelemahan seperti
kesulitan teknik pelaksanaan, potensial infeksi dan reaksi transfusi.
Belum ada penelitian berskala besar untuk menguji efikasi dan
keamanannya sehingga transfusi tukar tidak dianjurkan sebagai
terapi sepsis secara umum maupun SNAD.
6. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid intravena terhadap sepsis masih kontroversial.
Walaupun kortikosteroid pernah digunakan untuk terapi sepsis tetapi
kemanjurannya masih diragukan, mungkin karena pemberiannya
terlambat yaitu setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.
28
12. Tempat Pelayanan NICU, Cempaka Barat
13. Penyulit 1. Syok septik
2. Meningitis
3. Kolestasis
4. Gagal nafas
5. DIC
6. Asidosis metabolik
Gejala sisa neurologis : gangguan pendengaran, gangguan penglihatan,
gangguan belajar, gangguan tingkah laku, retardasi mental
14. Informed Consent Pada saat dilakukan LP
15. Tenaga Standar 1. Dokter spesialis anak
2. Dokter umum
3. Perawat
16. Lama Perawatan 14 hari (bila tidak ada masalah prematuritas, BBLR dan komplikasi)
17. Masa Pemulihan Sangat tergantung pada prematuritas, BBLR, dan ada tidaknya
komplikasi
18. Hasil Bila tidak ada komplikasi dapat sembuh sempurna
19. Patologi Tidak perlu
20. Otopsi Tedak perlu
21. Prognosis
Dengan diagnosis dan pengobatan dini, bayi dapat terhindar dari sepsis
yang berkepanjangan; namun bila tanda klinis dan / atau adanya faktor
risiko yang berpotensial menimbulkan infeksi tidak terdeteksi, maka
angka kesakitan dan kematian dapat meningkat. Gejala sisa neurologis
timbul pada 15-30% neonatus dengan meningitis.
22. Tindak Lanjut 1. Setelah pulang kontrol secara teratur ke poliklinik.
2. Kasus dengan komplikasi defisit neurologis memerlukan perawatan
rehabilitasi medis, dan stimulasi tumbuh kembang.
23. Tingkat Evidens IA
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Klinis Stabil
2. Marker infeksi normal
3. Hasil kultur negatif
4. LCS normal
25. Edukasi Sepsis dan meningitis merupakan penyakit yang berat, sering
menyebabkan kematian dan komplikasi yang dihasilkan sangat beragam
sesuai dengan berat ringannya penyakit awal.
26. Kepustakaan 1 Gomella TL, Cunnigham MD, Eyal FG. Sepsis. Dalam: Gomella TL,
Cunnigham MD, Eyal FG. penyunting. Neonatology : Management,
procedures, on call problems, diseases, drugs. edisi ke-6. New York:
Lange Medical Book/McGraw-Hill, 2009. h. 665-672.
2 Paupulo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam : Cloherty JP,
Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6.
Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins,2008.h.274-300.
29
3 Pourcyrous M, Bada HS, Korones SB, Baselski V, Wong SP.
Significance of serial C-reactive protein responses in neonatal
infection and other disorders. Pediatrics 1993; 92:431-5.
4 Bone RC. The sepsis syndrome : definition and general approach to
management. Clin Chest Med 1996; 17:175-80.
5 Powell KR. Sepsis and shock. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia :
WB Saunders, 2000.h.747-51.
6 Smith JB. Bacterial and fungal infection of the neonate. Dalam :
Pomerance JJ, Richardson CJ, penyunting. Neonatology for the
clinician. Connecticut : Appleton & Lange, 1993.h.185-200.
7 Llorens XS, McCracken GH. Clinical pharmacology of antibacterial
agents. Dalam : Remington JS, Klein JO, penyunting. Infectious
disesase of the fetus and newborn infant. Philadelphia : WB
Saunders,1995.h. 1287-1326.
8 Wasserman RL. Nonconventional therapies for neonatal sepsis.
Journal of Infectious Disease; 1983: 421 – 423.
9 The Royal Women’s Hospital; Intensive and Spesial Care Nurseries.
Clinician’s Handbook. February 2003.h.166.
10 Aminullah A. Sepsis pada bayi baru kahir. Dalam: Kosim M, Yunanto
A, Dewi R, Saroso GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi.
Cetakan I. Jakarta: BP IDAI,2008.h.170-187.
11 Rohsiswanto R. Deteksi dan tatalaksana terkini sepsis neonatorum.
Dalam: Aditiawati, Alia RAM, penyunting. Deteksi dini dan
tatalaksana kegawatan pada bayi baru lahir. Naskah lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas KedokteranUniversitas Sriwijaya RSUP
DR. Moh. Hoesin Palembang; 2009 31 Oktober-1 Nopember;
Palembang: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI-RSMH,
2009.
30
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
ASFIKSIA NEONATORUM
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
31
12. Tempat Pelayanan Kamar bersalin, ruang operasi, NICU, neonatologi level II
13. Penyulit Pendarahan dan edema otak, Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE),
Necrotizing Enterocolitis (NEC), gagal ginjal akut, hiperbilirubinemia.
14. Informed Consent Tertulis untuk tindakan kedokteran: intubasi, pemasangan ventilator,
CPAP, perawatan NICU.
15. Tenaga Standar Dokter anak, perawat, dokter umum yang telah mendapat pelatihan
resusitasi neonatus.
16. Lama Perawatan 7 hari
17. Masa Pemulihan Sesuai penyulit
18. Hasil Perbaikan pola napas, saturasi oksigen
19. Patologi Tidak diperlukan
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Dapat menyebabkan retardasi mental, kelainan neurologis dan kematian
22. Tindak Lanjut Pemantauan rutin jangka panjang
23. Tingkat Evidens & IA
Rekomendasi
24. Indikator Medis Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP), pemantauan
pemakaian CPAP, angka mortalitas
25. Edukasi Komplikasi jangka panjang
26. Kepustakaan 1. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Bag/SMF IKA FK
32
UNUD / RSUP Sanglah, 2011
2. Panduan Resusitasi Neonatus edisi ke 6, Perinasia, 2012
33
5. Pemeriksaan Fisik Sianosis, perubahan pola napas (dispnoe, hiperpnoe), retraksi otot
pernapasan, terganggunya tingkat kesadaran dan adanya gruntung pada
saat ekspirasi, vasodilatasi respiratori
6. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis:
1. Onsetnya akut
2. Terjadi infiltrasi bilateral pada paru
3. Tekanan arteri pulmonal < 19 mmHg (tanpa ada tanda klinik CHF)
4. Kegagalan oksigenasi, yang ditunjukkan dengan:
a. PaO2/FiO2 < 300 (ALI)
b. PaO2/FiO2 < 200 (ARDS)
7. Diagnosis Banding Gagal napas akibat asidosis metabolik (apabila HCO3 menurun)
8. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
Penunjang
9. Konsultasi Divisi Pediatri Gawat Darurat
10. Perawatan Ruang Perawatan intensif
Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan 1. Pengobatan spesifik:
(ICD 9-CM) pengobatan ini ditujukan kepada etiologi, pengobatan yang diberikan
sesuai dengan etiologinya
2. Pengobatan non spesifik:
pengobatan ini harus segera dilakukan untuk mengatasi gejala-gejala
yang timbul agar tidak jatuh kedalam keadaan yang lebih buruk.
a. Terapi oksigen; cara pemberian oksigen dapat dipakai cara:
Alat Konsentrasi O2 (%)
Kateter nasal 30 – 40
Sungkup muka 35 – 65
Ventilator 21 – 100
Inkubator 30 - 40
b. Perbaikan jalan napas:
a) Obstruksi jalan napas bagian atas: hipereksensi kepala
(mencegah lidah jatuh ke posterior menutup jalan napas)
b) Pemasangan pipa naso-orofaringeal (Guedel)
c) Bantuan ventilasi: bantuan napas mulut ke mulut / hidung
d) Ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing):
pasien bernapas melalui sungkup yang dihubungkan dengan
ventilator
e) Tidak ada perbaikan: ventilasi kendali (ventilasi pasein
sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator
c. Fisioterapi dada:
untuk membersihkan jalan napas spontan, dengan melakukan
tepukan-tepukan pada dada dan punggung. Kadang-kadang
diperlukan obat-obatan seperti mukolitik.
34
12. Tempat Pelayanan RSUP Sanglah Denpasar
13. Penyulit Kematian
14. Informed Consent Tertulis
15. Tenaga Standar Dokter Konsultan Intensive Care, perawat terlatih
16. Lama Perawatan 5 – 7 hari
17. Masa Pemulihan 3 hari
18. Hasil Pemulihan kemampuan bernafas
19. Patologi Sesuai penyakit dasar
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Bergantung kepada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta
penanganan gagal napas
22. Tindak Lanjut Monitoring
23. Tingkat Evidens IA
& Rekomendasi
24. Indikator Medis Nafas spontan
25. Edukasi Perburukan kondisi
26. Kepustakaan 1. Muhardi, Tampubolon OE, gagal napas akut. Dalam. Muhardi,
penyunting. Penatalaksanaan pasien di Intensive Unit care, Jakarta,
FKUI, 1989.h,1-9.
2. Kal Marek RM, Stoller JK, Principle of Respiratory care. Dalam:
Ayres SM, Grenvik A, Holbraek PR, Shoemaker WC, penyunting.
Textbook of criticalmLare. WB Saunders, 1995.h.688-96.
3. Moore GC, Acute Respiratory Failure; dalam: Levin DZ, Mooris FC,
Moore GC, penyunting. A practical Guide to pediatric Intensive
Care. The CV Mosby, 1984.h.58,62.
4. Huges M, Upper airway emergencies. Dalam: Reisdorf Ej,
penyunting. Pediatric emergency medicine. WB Saunders,
1993.h.260-70.
36
d. Koreksi efek inotropik negatif
Hb < 5 g/dl PRC 10 ml/kgBB (Ht 40 – 50 vol%)
e. Obat inotropik
12. Tempat Pelayanan Ruang perawatan intensif atau ruang perawatan biasa yang memiliki
monitor
13. Penyulit Kematian
14. Informed Consent Tertulis
15. Tenaga Standar Dokter Konsultan Intensive Care, perawat terlatih
16. Lama Perawatan 3 – 5 hari
17. Masa Pemulihan 3 hari
18. Hasil Pemulihan syok
19. Patologi Kuman penyebab infeksi
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Bergantung kepada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta
penanganan gagal napas
22. Tindak Lanjut Monitoring
23. Tingkat Evidens 1. Tingkat evidens: II-1 (evidens yang didapat dari non-randomized
& Rekomendasi controlled trial).
2. Tingkat Rekomendasi: B (terdapat fakta yang cukup berkualitas
untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut dapat
diterapkan)
24. Indikator Medis Perbaikan hemodinamik
25. Edukasi Perburukan kondisi (syok berulang)
26. Kepustakaan 1. Franklin CM, Darovic GO dan BB. Monitoring the patient in Shock.
Dalam buku: Darovic GO, ed. Hemodynamic Monitoring: invasive
and Noninvasive Clinical Application. USA: EB. Saunders Co.
1995; 441-499.
2. Alexander RH, Proctor HJ Shock. Dalam buku: advance Trauma
Life Support Course for Physicians, USA, 1993; 75-94
3. Haupt MT, Carison RW. Anaphylactic and Anaphylactoid Reaction.
Dalam buku: Shoemaker WC, Ayres S, Grenvik A eds, Textbook of
Critical Care, Philadelphia, 1989; 993-1002.
4. Atkinson RS, Hamblin JJ, Wright JEC. Shock. Dalam buku:
handbook of Intensive Carre. London: Chapman and Hall, 1981: 18-
29.
5. Wilson RF, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:
1-42.
6. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: safe Anesthesia, 1996; 408-
413.
37
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
KEJANG DEMAM
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
39
kejang fokal, KDK frekuen, kejang demam plus.
5. CT scan kepala atau MRI kepala diindikasikan pada keadaan kejang
fokal / parsial, adanya defisit neurologis atau peningkatan tekanan
intrakranial.
9. Konsultasi Divisi PGD untuk perawatan PICU apabila terjadi status epileptikus
refrakter.
10. Perawatan 1. Kejang Demam Sederhana tidak memerlukan perawatan di rumah
Rumah Sakit sakit.
2. Perawatan di rumah sakit diindikasikan pada kasus kejang demam
kompleks
3. Perawatan di rumah sakit meliputi:
a. Mengatasi kejang fase akut:
a) Pemberian obat anti kejang dimulai dari diazepam intravena,
jika belum berhenti diberikan fenitoin / fenobarbital
b) Berikan oksigenasi pada saat pasien kejang
c) Posisi anak terlentang dengan kepala miring untuk
mencegah aspirasi
d) Bersihkan muntahan / lendir di mulut
e) Ukur suhu, observasi lama kejang, tipe kejang
b. Mengatasi demam, mencari dan mengatasi penyebab demam
a) Pemberian obat antipiretika untuk menurunkan suhu tubuh
dan memberikan kenyamanan pasien.
b) Mengatasi etiologi demam dengan pemberian antibiotika
jika ada indikasi.
11. Terapi / tindakan Mengatasi kejang fase akut (berdasarkan algoritme tatalaksana kejang
(ICD 9-CM) akut dan status epileptikus):
1. Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB intravena secara perlahan (kecepatan 1-
2 mg/menit, dosis maksimal 20 mg) dapat diulang 2 kali dengan
interval 5 menit.
a. Jika kejang berhenti dapat dilanjutkan dengan pemberian
pengobatan profilaksis intermitten dengan diazepam oral atau
rektal untuk mencegah berulangnya kejang.
b. Jika ada faktor risiko (kejang lama, kejang fokal / parsial, kejang
multiplel > 2 kali, kelainan neurologis nyata, riwayat epilepsi
keluarga) maka diberikan terapi lanjutan Phenobarbital loading
dose secara intramuskuler dengan dosis neonatus: 30 mg; bayi:
50 mg; diatas 1 tahun: 75 mg. Selanjutnya dapat diberikan
profilaksis kontinyu.
2. Jika kejang belum berhenti diberikan Phenobarbital 10-20
mg/kgBB/kali (dosis maksimal 1000 mg) diberikan secara intravena
habis dalam 20-30 menit. Jika kejang berhenti 12 jam kemudian
dilanjutkan dengan Phenobarbital dosis rumatan secara intravena 5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau per oral 8-10 mg/kgBB/hari dibagi
2 dosis (selama 2 hari).
40
3. Jika kejang belum berhenti dengan phenobarbital, maka selanjutnya
dapat diberikan Phenytoin loading dose dengan dosis 20
mg/kgBB/kali secara intravena diencerkan dengan 50 ml NS
diberikan selama 20 menit.
4. Jika kejang belum berhenti dapat diberikan tambahan Phenytoin 5-
10 mg/kgBB (dosis total maksimal 1000 mg).
5. Bila kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruangan
PICU sebagai refrakter status epileptikus. Terapi yang diberikan
dapat berupa:
a. Midazolam 0,2 mg/kg/i.v bolus dilanjutkan dengan per infus.
b. Phentotal-Tiopental 2-4 mg/kg/i.v
c. Propofol 3-5 mg/kg/infus
41
b. Profilaksis kontinyu (terus-menerus selama 1 tahun bebas
kejang):
a) Indikasi profilaksis kontinyu:
i. Kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang
ii. Kejang lama > 15 menit
iii. Kejang fokal
iv. Dapat dipertimbangkan apabila: Kejang berulang > 2
kali dalam 24 jam, bayi berusia < 12 bulan, kejang
demam kompleks berulang ≥ 4 kali
b) Obat yang digunakan unuk profilaksis kontinyu:
i. Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3
dosis
ii. Phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis.
4. Pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
23. Tingkat Evidens 1. Tingkat evidens: level II-1 (evidens yang didapat dari non-
& Rekomendasi randomized controlled trial).
2. Tingkat Rekomendasi: B (terdapat fakta yang cukup berkualitas
untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut dapat
diterapkan)
24. Indikator Medis Bebas kejang dan bebas demam 3 hari.
25. Edukasi Mengurangi kecemasan orang tua dengan memberikan informasi:
1. Kejang demam umumnya bersifat ringan
2. Kejang terjadi pada 2%-5% anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun
3. Memberikan cara penanganan kejang di rumah
4. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
5. Kemungkinan kejang berulang jika terdapat riwayat kejang pada
keluarga
6. Terapi rumatan tentang profilaksis intermitten atau kontinyu.
26. Kepustakaan 1. Hardiono DP, Widodo DP, Ismael S, editor. Konsensus Penanganan
Kejang Demam. UKK Neurologi Anak, IDAI. Badan Penerbit IDAI
2006.
2. AAP. Febrile Seizures: Guideline For The Neurodiagnostic
Evaluation Of The Child With A Simple Febrile Seizure. Pediatrics,
2011; 127; 389.
3. Hodgson ES, Glade CGB, Harbaugh NC, et al. Febrile Seizure:
Clinical Practice Guideline For Long-Term Management Of The
Child With Simple Febrile Seizure. Pediatric 2008, 121 (6):1281-6.
42
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
KETOASIDOSIS DIABETIK
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR
Fase akut
1. Resusitasi cairan:
a. Bila didapatkan tanda-tanda renjatan (hipotensi, perfusi perifer
yang menurun, oliguria), resusitasi cairan menggunakan NaCl
0,9% atau Ringer Laktat, dengan dosis 20 ml/kgBB yang
diberikan selama 1-2 jam.
b. Resusitasi dapat diulang bila tanda-tanda renjatan masih ada.
c. Apabila tidak ditemukan renjatan atau setelah renjatan teratasi
pemberian cairan diberikan secara bertahap dalam 48 jam untuk
menghindari komplikasi berupa edema otak yang bisa terjadi 5-
45 setelah terapi dimulai. Jumlah cairan yang diberikan dalam 48
44
jam adalah sisa defisit cairan ditambah kebutuhan cairan
rumatan untuk 48 jam kemudian. (Tabel 1 dan 2)
d. Penggunaan cairan koloid belum terbukti lebih baik daripada
cairan kristaloid. Pada penderita syok jangan lupa memberikan
oksigen. Bila kesadarannya menurun perlu pemasangan sonde
lambung.
e. Status cairan harus tiap kali dinilai untuk melihat apakah kita
cukup memberikan rehidrasi.
f. Bila poliuria masih terus berlangsung, mungkin balans cairan
masih negatif dan kita belum berhasil merehidrasi penderita
dengan baik.
g. Penderita harus puasa sampai keadaan stabil.
3. Penggantian Natrium
Penggantian Na harus individual, berdasar monitoring laboratorium.
Elektrolit mula-mula harus diukur 2-4 jam sekali. Perkiraan
corrected Na (Natrium sebenarnya) dapat diperhitungkan dengan
rumus:
100
4. Penggantian Kalium
Penggantian K harus dimulai setelah resusitasi, bersamaan waktunya
dengan dimulainya pemberian insulin. Dosis KCl 5
mmol/kgBB/hari, kemudian lakukan penilaian ulang dengan
pengukuran K pada 2 - 4 jam berikutnya (selanjutnya tiap 4 jam).
Bila penderita KAD pada saat datang dengan kadar K rendah atau
pada batas bawah normal harus hati-hati, karena berarti ada
kekurangan K yang berat. Untuk itu koreksi K bisa dilakukan
bersamaan dengan saat rehidrasi awal (konsentrasi rendah 20
mmol/l)
Untuk mudahnya diberikan beberapa pegangan praktis:
a. KCl 7,5 % 1 mmol = 1 ml
b. Biasanya tidak lebih dari 30 - 40 mmol KCl diberikan dalam
setiap 1000 ml cairan rehidrasi.
c. Kecepatan pemberian KCl 0,5 mmol/KgBB/jam.
5. Natrium Bikarbonat
46
Pada umumnya jarang diperlukan terapi Natrium Bikarbonat karena
asidosis pada KAD disebabkan oleh badan keton dan asam laktat
yang akan hilang dengan pemberian cairan dan insulin.
Indikasi pemberian Natrium Bikarbonat:
a. Penderita dengan renjatan berat
b. Penderita dengan asidosis berat ( pH< 6,9 dan/atau HCO 3< 5
mmol/l)
Monitoring jantung harus baik dan hati-hati akan terjadinya
hipokalemia akibat koreksi asidosis yang terlalu cepat.
Dosis 1-2 mmol/kg dan untuk pemberian berikutnya harus
dilihat terlebih dahulu respon terapi sebelumnya. Pemberian
dilakukan tiap kali secara intravenous selama 60 menit.
47
a) Insulin dibutuhkan untuk membersihkan ketonemia, untuk
ini harus diberikan insulin yang adekuat baik secara IV
drip atau short acting secara subkutan tiap 6 jam sampai
ketonuria negatip.
b) Bila penderita masih membutuhkan infus setelah 24 jam,
maka gunakan D5% in 0,45 atau 0,225 Salin.
7. Edema serebri
Herniasi karena edema otak merupakan komplikasi terapi pada
KAD, sifatnya akut dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama pengobatan.
Bila terjadi herniasi otak, waktu penanganan yang efektif sangatlah
pendek:
a. Posisikan kepala lebih tinggi.
b. Bila ragu-ragu segera berikan Mannitol 0,5-1 g/kgBB i.v drip
(20 menit), diulang bila tidak respons dalam 30 menit-2 jam.
c. Kecepatan cairan i.v dikurangi 1/3 nya.
d. Sebagai alternatif bisa diberikan NaCl 3% 5-10 mL/kg dalam 30
menit
e. Bila mungkin buat CT-scan otak.
Fase pemulihan
Setelah ketoasidosis teratasi, mulai dicoba minum bila keadaan penderita
stabil secara metabolik, yaitu: kadar gula darah < 250 mg/dl, pH > 7,30
dan HCO3> 15 mmol/l. Cairan rendah kalori (air putih) dapat diberikan.
1. Pengaturan insulin i.v drip pada saat makan
a. Untuk makanan kecil (snack) kecepatan insulin drip diberikan 2
kali jumlah sebelumnya dimulai saat penderita makan dan
dipertahankan sampai 1/2 jam setelah selesai makan, lalu
kembali ke dosis sebelumnya.
b. Untuk makan besar (breakfast, lunch, dinner) kecepatan insulin
drip diberikan 2 kali jumlah sebelumnya dimulai saat mulai
makan dan dipertahankan sampai 1 jam setelah makan. Setelah
itu kembalikan insulin ke dosis sebelumnya.
2. Penghentian drip insulin intravena
Kesadaran penderita baik, secara metabolik stabil, dan bila penderita
sudah dapat makan sedikitnya satu kali. Saat terbaik untuk
mengubah insulin drip ke subkutan adalah pada saat sebelum makan.
Insulin subkutan harus diberikan 30 menit sebelum makan dimulai.
Sedangkan insulin i.v drip dipertahankan selama makan sampai 90
menit setelah insulin subkutan diberikan.
48
hRegimen Short Acting Insulin
Kebutuhan total perhari biasanya 1 Unit/kgBB/hari.
Sebelum Sebelum Sebelum Tengah
makan pagi makan siang makan malam malam
49