Anda di halaman 1dari 49

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
KOLESTASIS
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 K 71.0


2. Diagnosis Kolestasis
3. Pengertian Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya
sekresi dan ekskresi empedu ke duodenum sehinga menyebabkan
tertahannya bahan-bahan atau substansi yang seharusnya dikeluarkan
bersama empedu tersebut di hepatosit.
4. Anamnesis 1. Warna kuning pada kulit, warna feses dan urin
2. Pelacakan etiologi: riwayat kehamilan dan kelahiran (ibu dengan
infeksi TORCH, berat badan lahir, infeksi intra partum, pemberian
nutrisi parenteral)
3. Riwayat keluarga : Ibu mengidap Hepatitis B, perkawinan antar
keluarga, adanya saudara kandung yang menderita penyakit yang
sama
4. Paparan terhadap toksin / obat-obatan hepatotoksik.
5. Pemeriksaan Fisik 1. Wajah : adakah fasies dismorfik
2. Mata : adakah katarak / korioretinitis (pada infeksi TORCH)
3. Kulit : ikterus dan tanda komplikasi sirosis seperti spider angiomata,
eritema palmaris, edema
4. Dada : bising jantung (pada sindrom alagiller, atresia bilier)
5. Abdomen :
a. Hepar : ukuran lebih besar atau lebih kecil daripada normal,
konsistensi hati normal, permukaan hati licin / berbenjol-benjol.
b. Lien : splenomegali
c. Vena kolateral, asites
6. Lain-lain: jari tabuh, foetor hepatikum, fimosis
6. Kriteria Diagnosis 1. Ikterus dengan feses berwarna pucat atau akolik dan urin berwarna
kuning tua
2. Kadar bilirubin direk > 1 mg/dL apabila bilirubin total < 5 mg/dL
atau bilirubin direk > 20% dari bilirubin total, apabila kadar bilirubin
total > 5mg/dL
7. Diagnosis Banding Breast milk jaundice
8. Pemeriksaan 1. Darah tepi lengkap, gambaran hapusan darah tepi .
Penunjang 2. Biokimia darah: bilirubin direk dan indirek, ALT (SGPT), AST
(SCOT), γGT, masa protrombin, albumin, globulin, kolesterol,
1
trigliserida, gula darah puasa, ureum, kreatinin
3. Urin: rutin (leukosit, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur
4. Tinja 3 porsi (dilihat warna tinja pada 3 periode dalam 24 jam)
5. Pemeriksaan etiologi infeksi: TORCH (toksoplasma, rubella, CMV,
herpes simpleks), hepatitis virus B/C
6. Pencitraan:
a. USG 2 fase (puasa 6-8 jam dan sesudah minum)
b. USG Doppler bila sudah sirosis
c. Untuk kasus tertentu mungkin diperlukan pemeriksaan
skintigrafi, CT scan, MRI atau kolangiografi
7. Biopsi hati: pada evaluasi tersangka atresia bilier dan untuk mencari
etiologi kolestasis intrahepatik yang tidak dapat ditentukan dengan
cara yang non-invasif
9. Konsultasi Bedah anak untuk kasus yang memerlukan kolangiografi
10. Perawatan MRS untuk semua kasus kolestasis yang datang pertama kali atau
Rumah Sakit kolestasis dengan penyulit
11. Terapi / tindakan 1. Terapi etiologik:
(ICD 9-CM) a. Terapi medikamentosa: untuk kolestasis intrahepatik yang dapat
diketahui penyebabnya
b. Operasi: untuk kolestasis ekstrahepatik
2. Terapi suportif:
a. Srimulasi aliran empedu: asam ursodeoksikolat 10-30 mg/kgBB
dalam 2-3 dosis
b. Nutrisi diberikan untuk menunjang pertumbuhan optimal
(kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150%
kebutuhan bayi normal) dan mengandung lemak rantai sedang
(Medium chain trigliseride –MCT)
c. Vitamin yang larut dalam lemak
a) A; 5000-25.000 IU
b) D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kgBB/hari
c) E: 15-25 lU/kgBB/hari
d) K1 :2,5-5mg:2-7x/minggu atau 0,3 mg/kgBB setiap bulan
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Fe
3. Terapi komplikasi lain: misalnya
a. Hiperlipidemia / xantelasma: obat HMG-coa reductase inhibitor
contohnya kolestipol, simvastatin
b. Pruritus: salah satu di bawah:
a) Antihistamin: difenhidrarnin 5-10 mg/kgBB/hari,
hidroksisin 2,5 mg/kgBB/hari dan Rifampisin 10
mg/kgBB/hari
b) Kolestiramin 0,25-0,5g/kgBB/hari
12. Tempat Pelayanan 1. Ruang rawat anak
2
2. Ruang terapi intesif untuk anak kolestasis karena atresia bilier
setelah menjalani operasi
13. Penyulit 1. Perdarahan saluran cerna
2. Intra cerebral bleeding
3. Malnutrisi
4. Malabsorbsi
5. Sirosis hati
14. Informed Consent Tertulis
15. Tenaga Standar Dokter spesialis anak dan residen setingkat chief
16. Lama Perawatan 3-7 hari
17. Masa Pemulihan 5-20 hari
18. Hasil 1. Sembuh apabila penyebab ditangani
2. Menjadi sirosis apabila penyebab tidak ditangani
19. Patologi Biopsi hati pada hepatitis neonatal menunjukkan perubahan arsitektur
lobolus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan
pseudoroset, giant cells dengan balloning pada sitoplasma.
20. Otopsi -
21. Prognosis Prognosis kolestasis intrahepatik tergantung dan penyakit penyebab dan
banyaknya kerusakan sel-sel hati. Kolestasis yang terjadi oleh karena
sepsis, prognosisnya baik. Pada kasus kolestasis ekstrahepatik seperti
atresia bilier, setelah dilakukan operasi Kasai (Post Kasai procedure) 30-
60% bisa bertahan sampai 5 tahun.
22. Tindak Lanjut 1. Kontrol teratur ke poliklinik untuk memantau perbaikan klinis dan
laboratorium
2. Pemantauan tumbuh kembang
23. Tingkat Evidens 2b
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Keluhan kuning pada kulit, urin berkurang
2. Warna feses tidak pucat
3. Parameter laboratorium membaik
4. Tidak didapatkan komplikasi perdarahan
25. Edukasi 1. Memberikan nutrisi yang sesuai dengan petunjuk
2. Memberikan obat sesuai dengan aturan
3. Mengenali tanda komplikasi dan perburukan
4. Kontrol teratur
26. Kepustakaan 1. Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children.
Clinics in Family Practice 2000; 2:1-36.
2. Suchy FJ. Neonatal cholestasis. Pediatrics in Rev 2004;25: 388-95.
3. Pudjiadi AH, dkk. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Pengurus Pusat Ikatan Anak Indonesia. Jakarta; 2010. h.
170-4.
4. Juffrie M, dkk. Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi. Badan
Penerbit IDAI. Jakarta; 2010. h. 365-83.
3
5. Kelly DA. Pediatric liver disease. Dalam : O Grady JG, Lake JR,
Howdle PD,penyunting, Comprehensive Clinical Hepatologi, edisi
ke11 London: Mosby; 2000. h.231-36.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 A90 : Dengue fever


A91 : Dengue Haemorrhagic fever
C.57.9 : Shock unspecified (Dengue Shock Syndrome - DHF grade III
and IV)
2. Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)
3. Pengertian DBD adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue tipe 1-4,
dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala
perdarahan dengan atau tanpa syok; disertai pemeriksaan laboratorium
menunjukkan trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan
peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari harga normal
4. Anamnesis 1. Demam merupakan tanda utama terjadi mendadak tinggi selama 2-7
hari
2. Disertai lesu, tidak mau makan dan muntah
3. Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri
perut
4. Diare kadang-kadang dapat ditemukan
5. Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan
mimisan
5. Pemeriksaan Fisik 1. Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush,
muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan
faring hiperemis, nyeri dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta
tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD
2. Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering
ditemukan pada DBD
3. Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma,
hipovolemia dan syok
4. Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam
rongga pleura dan rongga peritoneal selama 24 - 48 jam
4
5. Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada
saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada
infeksi ringan namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok
6. Perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, melena ataupun
hematuria
Tanda-tanda syok:
1. Anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis
2. Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
3. Tekanan darah turun tekanan nadi < 10 mmHg
4. Akral dingin, capillary refil menurun
5. Diuresis menurun sampai anuria
Apabila syok tidak dapat segera diatasi akan terjadi komplikasi berupa
asidosis metabolik dan perdarahan hebat
6. Kriteria Diagnosis

7. Diagnosis Banding 1. Demam Tifoid


2. Campak
3. Demam Cikungunya
4. Purpura Trombositopeni Idiopatik (PTI)
8. Pemeriksaan Laboratorium
Penunjang 1. Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit. Pada apusan darah perifer juga dapat dinilai
5
limfosit plasma biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD
2. Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan
fase konvalensens
a. Infeksi primer, serum akut < 1:20 serum konvalensens naik 4x
atau lebih namun tidak melebihi 1: 1280
b. Infeksi sekunder, serum akut < 1:20 serum konvalensens 1:2560;
atau serum akut 1:20, konvalensens naik 4x atau lebih
c. Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi : serum akut
1:1280, konvalensens yang lebih besar atau sama
Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)
1. Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi:
a. Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa
terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%
b. Pemantauan klinis sebagai pedoman pemberian cairan
2. Kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah
hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan kiri,
kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan dan efusi pleura
3. USG : efusi pleura, ascites, kelainan (penebalan ) dinding vesica
felea dan fesica urinaria
9. Konsultasi PGD untuk DSS
10. Perawatan 1. Demam Dengue dan DHF tanpa syok dirawat di bangsal biasa
Rumah Sakit 2. DSS (DHF Grade III dan IV) dirawat di ruang Intermediet PICU
11. Terapi / tindakan
(ICD 9-CM)

6
7
8
9
12. Tempat Pelayanan 1. Demam Dengue dan DHF tanpa syok dirawat di bangsal biasa
2. DSS (DHF Grade III dan IV) dirawat di ruang Intermediet PICU
13. Penyulit 1. Ensefalopati Dengue
2. Gagal ginjal
3. Udem paru
14. Informed Consent Tertulis dan Lisan
15. Tenaga Standar 1. Peserta PPDS I
2. Dokter Spesialis Anak
3. Konsultan Infeksi dan Penyakit Tropis
4. Konsultan PGD
16. Lama Perawatan 2-3 hari
17. Masa Pemulihan 7 hari
18. Hasil -
19. Patologi -
20. Otopsi -
21. Prognosis 1. Demam dengue dan Demam berdarah dengue grade I dan II : dubius
ad bonam
2. Demam berdarah dengue grade III dan IV : dubius ad malam
22. Tindak Lanjut Kontrol poliklinik
23. Tingkat Evidens -
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan baik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit > 50.000/ul
7. Tidak dijumpai distres pernapasan

10
25. Edukasi 1. Minum banyak selama fase akut
2. Orang tua memahami petanda bahaya (warning sign)
26. Kepustakaan 1. Dengue Hemmorhagic fever. Diagnosis, treatment, prevention and
control, edisi ke 2. Geneva,WHO, 1997.
2. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Hemmorhagic fever. Revised and expanded
edition. Geneva,WHO, 2011.
3. Hadinegoro SRH, Satari HI. Demam berdarah Dengue: Naskah
lengkap pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter
penyakit dalam, dalam tata laksana DBD. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 1999.
4. Departemen Kesehatan. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue
Sarana Pelayanan Kesehatan. 2005.
5. Satari HI. Petunjuk Praktis Terapi Cairan Demam Berdarah Dengue.
Dalam: Gunardi H, Tehuteru E, Setyanto DB, Advani N, Kurniati N,
Wulandari HF, dkk, editors. Bunga Rampai Tips Pediatrik. Edisi
pertama. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. h.135-47.
6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRH, Satari HI. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI; 2008. h.155-82.
7. Halstead SB. Dengue and Dengue Hemorragic Fever. Dalam: Feigin
RD, Cherrys JD, Demmler-Harrison GJ, Kaplan SL, editors.
Textbook of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke enam.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. h. 2347-56.
8. Basuki PS. Dengue 2010: Apa Yang Baru?. Dalam: Workshop dan
Simposium Penatalaksanaan Mutakhir Kasus Demam pada Anak.
Jember: IDAI Jatim KOM Jember; 2010. h.80-110.
9. Soegijanto S. Patogenesa Infeksi Virus Dengue ”Recent Update”.
Dalam: Applied Management of Dengue Viral Infection in Children,
6-7 Nopember 2010. Kediri:IDAI Jatim Komisariat Jatim IV; 2010. h.11-45.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
PNEUMONIA
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 J18.9


2. Diagnosis Pneumonia
3. Pengertian Pneumonia adalah inflamasi akut parenkim paru yang meliputi alveolus
dan jaringan interstitial.
4. Anamnesis 1. Didahului oleh infeksi respiratori atas akut berupa common cold
(rinofaringitis) dengan gejala batuk pilek disertai demam

11
2. Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan
dahak purulen bahkan dapat berdarah bila batuknya hebat.
3. Beberapa hari kemudian pasien mengalami sesak napas
4. Pasien tampak lemah, dan nafsu makan berkurang
5. Bila terjadi berulang kemungkinan pasien mengalami keadaan
imuno-kompromais, terdapat kelainan anatomi, atau pasien dengan
penyakit kronik seperti asma atau penyakit jantung bawaan.
5. Pemeriksaan Fisik 1. Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan
kemampuan makan & minum
2. Tanda-tanda vital: suhu di atas normal, frekuensi napas meningkat
(takipnea) dan takikardi
3. Batuk, ronkhi basah halus dan kasar
4. Dapat dijumpai penurunan suara napas
5. Gejala distres napas terutama pada fase inspirasi (inspiratory effort),
dengan retraksi subkostal
6. Pada keadaan yang berat dapat dijumpai sianosis
7. Pada balita mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang
klasik. gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen.
8. Pada bayi muda, terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipopnea,
atau ditemukan head nodding / head bobbing.
6. Kriteria Diagnosis Sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang
7. Diagnosis Banding 1. Bronkiolitis
2. Pneumonia aspirasi
3. Asma Bronkiale
4. Tuberkulosis
5. Asidosis metabolik
6. Aspirasi benda asing
8. Pemeriksaan 1. Saturasi oksigen.
Penunjang a. Hipoksemia suatu conditio sin qua non pada pneumonia dapat
diperiksa secara mudah menggunakan pulse oxymetri. Alat yang
sederhana dan tidak mahal ini bermanfaat untuk penilaian awal
dan juga dalam pemantauan pasien selama perawatan.
b. Jika tersedia fasilitasnya, pemeriksaan analisis gas darah
memberikan informasi yang lebih akurat, walau hanya informasi
sewaktu.
2. Radiologi toraks
a. Tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab.
b. Tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan
pneumonia ringan tanpa komplikasi
c. Direkomendasikan pada pasien pneumonia yang dirawat inap
atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan.
d. Pneumonia karena Staphylococcus auerus dicurigai bila
dijumpai gambaran pneumatocele, empyema, atau terbentuknya
abses.
e. Pemeriksaan radiologi follow up hanya dilakukan bila
didapatkan adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadinya
12
komplikasi, pneumonia berat, curiga pneumonia S. aureus,
gejala yang menetap atau memburuk, atau tidak respons
terhadap antibiotik.
3. Pemeriksaan Laboratorium.
a. Pemeriksaan darah lengkap perlu dilakukan untuk membantu
menentukan pemberian antibiotik.
b. Pemeriksaan prokalsitonin darah
c. Pemeriksaan pewarnaan Gram dan biakan sputum dengan
kualitas yang baik direkomendasikan dalam tata kelola anak
dengan pneumonia yang berat.
d. Biakan darah dan pewarnaan Gram tidak direkomendasikan
secara rutin pada pasien rawat jalan, tetapi direkomendasikan
pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan pada setiap
anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial.
e. Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk
mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa biakan virus jika
fasilitas tersedia
f. Jika ada efusi pleura tata laksana sesuai PNPK efusi pleura
g. Pemeriksaan uji tuberkulin perlu dilakukan pada anak yang
dirawat karena pneumonia, apalagi bila ada riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa.
9. Konsultasi Pediatri gawat darurat pada kasus sangat berat yang membutuhkan alat
bantu napas
10. Perawatan Bayi:
Rumah Sakit 1. Sianosis
2. Saturasi oksigen < 92%,
3. Frekuensi napas > 60 x/menit
4. Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
5. Penurunan kesadaran
6. Tidak mau minum / menetek
7. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak:
1. Saturasi oksigen < 92%, sianosis
2. Frekuensi napas > 50 x/menit
3. Distres pernapasan, retraksi epigastrium
4. Grunting
5. Terdapat tanda dehidrasi
6. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
11. Terapi / tindakan Umum
(ICD 9-CM) 1. Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan
udara kamar harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal,
head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >
92%
2. Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus dipantau setidaknya
setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen dengan
13
pulse oxymetri.
3. Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan pemantauan balans cairan ketat
4. Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga
kenyamanan pasien dan mengontrol batuk
5. Bila pasien mengalami gangguan airway clearance, nebulisasi
dengan β2- agonis dan / atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance.
6. Fisioterapi dada hanya dilakukan bila terdapat atelektasis dan sekret
jalan napas yang berlebihan
Pemberian Antibiotik
1. Semua anak dengan diagnosis klinis pneumonia yang jelas perlu
diberi antibiotik karena pneumonia bakterial tidak dapat dibedakan
dengan pneumonia viral.
2. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak balita karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan
murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
klaritromisin, dan azitromisin
3. M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak > 5 tahun
4. Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai
sebagai penyebab
5. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae
sangat mungkin sebagai penyebab.
6. Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, kloksasilin merupakan
obat pilihan, dapat juga diberikan makrolid atau kombinasi
flucloxacillin dengan amoksisilin
7. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat atau sangat berat
8. Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan
cefotaxime
9. Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena
10. Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
a. Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin. Bila tidak membaik
dalam 48 jam, ditambahkan makrolid
b. > 2 bulan: lini pertama Ampisilin + kloramfenikol. Lini kedua
Seftriakson atau cefotaksim. Bila tidak membaik dalam 48 jam,
ditambahkan makrolid
c. > 5 tahun : Makrolid. Bila tidak membaik dalam 48 jam,
14
ditambahkan ampisilin + kloramfenikol
d. Pada pneumonia sangat berat : pilihan pertama seftriakson atau
sefotaksim
e. Bila hasil biakan darah positif, antibiotika disesuaikan dengan
hasil biakan darah tersebut
11. Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral
dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya.
12. Untuk durasi pemberian antibiotik tidak ada data penunjang yang
jelas. Untuk pneumonia tanpa komplikasi pemberian selama 5 hari
mencukupi. Untuk pneumonia stafilokokus pemberian antibiotik
hingga 14-21 hari. Pneumonia karena mikoplasma perlu pemberian
makrolid hingga 10 hari.
Nutrisi
1. Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per
oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric
tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan
NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi / anak dengan
ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya
menggunakan ukuran yang terkecil.
2. Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi
peningkatan sekresi hormon antidiuretik.
12. Tempat Pelayanan IGD, ruang rawat inap anak, PICU
13. Penyulit Gagal napas, empiema
14. Informed Consent Tertulis pada tindakan invasif
15. Tenaga Standar Dokter residen tingkat madya – chief, DPJP
16. Lama Perawatan 5 hari
17. Masa Pemulihan 3 hari
18. Hasil Sembuh
19. Patologi Tidak diperlukan
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
22. Tindak Lanjut Kontrol ke poliklinik anak dalam 3 hari setelah keluar RS
23. Tingkat Evidens I/II/III/IV A/B/C
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Penjelasan tentang penyakit yang dialami
2. Penjelasan tentang rencana pemeriksaan diagnostik
3. Penjelasan tentang rencana pengobatan
4. Penjelasan tentang etika batuk dan higiene personal
25. Edukasi Kriteria pulang
1. Gejala dan tanda pneumonia menghilang

15
2. Asupan per oral adekuat
3. Pemberian antibiotik jika masih diperlukan dapat diteruskan di
rumah (per oral)
4. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol
5. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah
26. Kepustakaan 1. Adegbola, RA and Obaro, SK. Review diagnosis of childhood
pneumonia in the tropics. Annal of Trop Med Par. 2000;94:197-207.
2. British Thoracic Society guidelines for the management of
community acquired pneumonia in children: update 2011. Thorax
2011;66:ii1eii23. doi:10.1136/thoraxjnl-2011-200598.
3. Kartasasmita CB, Duddy HM, Sudigdo S, Agustian D, Setiowati I,
Ahmad TH, et al. Nasopharyngeal bacterial carriage and
antimicrobial resistance in under five children with community
acquired pneumonia. Paediatr Indones. 2001;41:292-5.
4. McIntosh K. Review article: community acquired pneumonia in
children. N Engl J Med. 2002;346:429-37.
5. Palafox M, Guiscafre H, Reyes H, Munoz O, Martinez H. Diagnostic
value of tachypnea in pneumonia defined radiologically. Arch Dis
Child. 2000:82:41-5.
6. Swingler GH and Zwarenstein M. Chest radiograph in acute
respiratory infections in children. The Cochrane Library. 2002 Issue
2.
7. Zar HJ, Jeena P, Argent A, Gie R, Madhi SA. Diagnosis and
management of community-acquired pneumonia in childhood –
South African Thoracic Society guidelines. South Afr J Epidemiol
Infect 2009;24(1):25-36

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
INFEKSI HIV
2014

RSUP SANGLAH

16
DENPASAR

1. No. ICD 10 B20 – B24 (Human Immunodeficiency Virus Disease)


2. Diagnosis Infeksi HIV
3. Pengertian Infeksi pada bayi atau anak oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus)
4. Anamnesis 1. Ibu atau ayah memiliki risiko untuk terinfeksi HIV (riwayat narkoba
suntik, promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah
mengalami operasi atau prosedur transfusi produk darah)
2. Memiliki morbiditas yang khas maupun yang sering ditemukan pada
penderita HIV
3. Riwayat kelahiran, ASI, pengobatan ibu dan kondisi neonatal
5. Pemeriksaan Fisik 1. Infeksi berulang: dalam 12 bulan terakhir didapatkan riwayat 3 atau
lebih infeksi bakteri berat. Termasuk infeksi bakteri berat:
Pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis
2. Oral thrush: sangat mungkin kandidiasis yang berhubungan dengan
infeksi HIV bila terjadi setelah masa neonatus, tanpa riwayat
pemberian antibiotika, obat imunosupresan lain dalam jangka lama,
meluas hingga ke belakang lidah / faring, berlangsung lebih dari 30
hari meskipun diobati dengan anti jamur.
3. Parotitis kronik: parotitis lebih dari 2 minggu
4. Limfadenopati generalisata: pembesaran kelenjar pada 2 atau lebih
ekstra inguinal tanpa kausa yang jelas.
5. Pembesaran hepar tanpa kausa yang jelas.
6. Demam lama / berulang
7. Disfungsi neurologis: gangguan neurologis progresif, perkembangan
terhambat, mikrosefali
8. Herpes zoster
9. Dermatitis HIV: rash papular eritema, termasuk disini: kandidiasis
kulit , kuku dan kulit kepala yang luas dan moluskum kontagiosum
yang luas
6. Kriteria Diagnosis 1. Anak > 18 bulan :
Confirmed diagnosis : klinis sesuai dan antibodi HIV positif
2. Anak < 18 bulan :
confirmed diagnosis : klinis sesuai dan virologi HIV positif.
Presumptive diagnosis : klinis sesuai dan antibodi HIV positif.
7. Diagnosis Banding Infeksi virus lain
8. Pemeriksaan 1. Penentuan diagnosis : Pemeriksaan antibodi anti HIV, sebaiknya
Penunjang dengan ELISA dan menggunakan 3 reagens yang berbeda. Bila ibu
atau ayah sudah diketahui mengidap HIV maka pada anaknya bila <
18 bulan dilakukan pemeriksaan antigen virus (PCR RNA atau DNA
HIV). Bila anak >18 bulan cukup dengan pemeriksaan antibodi HIV
saja
2. Pemeriksaan adanya infeksi-infeksi oportunistik seseuai dengan
gejala seperti pneumonia, TB, PCP, infeksi CMV, toxoplasma,
parasit tinja, ISK.
17
3. Pemeriksaan rutin untuk mengetahui berat penyakit : darah lengkap,
fungsi hati. Fungsi ginjal pada penggunaan obat-obat yang bisa
mempengaruhi ginjal.
9. Konsultasi Divisi terkait dan sumber lain dalam komunitas
10. Perawatan MRS
Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan 1. Terapi ARV belum dapat dimulai bila infeksi oportunistik seperti
(ICD 9-CM) kandidiasis, diare, pneumonia, TB, PCP, CMV, toxoplasma belum
selesai dieliminasi.
2. Simultan dengan eliminasi infeksi oportunistik, perbaikan nutrisi
juga diprogramkan.
3. Pasien dengan infeksi HIV perlu mendapat profilaksis PCP dengan
Kotrimoksazol 4-6 mg/kg 1 kali sehari hingga CD4 normal atau
hingga seumur hidup bagi yang pernah “confirmed” terinfeksi PCP.
4. Simultan dengan perbaikan nutrisi, persiapan ARV seperti
normalisasi fungsi hati dan anemia serta fungsi ginjal harus
diupayakan.
5. Regimen ART lini I harus merupakan kombinasi 3 ARV, seperti : 2
NRTI dan 1 NNRTI. Pada ART lini II ketiga obat ini diganti dengan
2 NRTI dan 1 PI.
Obat Anti Retro Viral
Dosis Signa-
Jenis Nama Obat Dosis maksima ture
l
Usia < 4 minggu:
4 mg/kg/dosis 300
mg/dosis setiap
Zidovudin Usia > 4 minggu - 13 tahun: 12 jam
(ZDV/AZT) 180-240 mg/LPT/dosis
Usia >13 tahun:
300 mg/dosis
Usia < 30 hari:
Lamivudin 2 mg/kg/dosis 150
mg/dosis setiap
(3TC) Usia > 30 hari atau BB < 60 12 jam
NRTI kg : 4 mg/kg/dosis
BB > 60 kg : 150 mg/dosis
Usia 0-13 hari : 0,5 mg /
Stavudin kgBB / dosis 30 setiap
(d4T) Usia >14 hari atau BB < 30 mg/dosis 12 jam
kg : 1 mg/kg/dosis
BB > 30 kg : 30 mg/dosis
Usia < 16 tahun atau BB <
Abacavir 37,5 kg : 8 mg/kg/dosis setiap
(ABC) Usia > 16 tahun atau BB > 12 jam
37,5 kg : 300 mg/dosis
Didanosin Usia <3 bulan:
18
200
50 mg/LPT/dosis mg/dosis
setiap
Usia 3 bulan - < 13 tahun: 12 jam
(dDI) 120 mg/LPT/dosis
Usia >13 tahun atau BB >
60 kg: 200 mg/dosis
escalating dose :

2 minggu I :160 200 setiap


Nevirapine mg/LPT/dosis mg/dosis 24 jam
(NVP) 2 minggu 200 setiap
II:160mg/LPT/dosis mg/dosis 12 jam
selanjutnya : setiap
200mg/LPT/dosis 12 jam
BB 10 - < 15 kg : 200mg

Efavirenz BB 15 - < 20 kg : 250mg


NNRT 600 setiap
I (EFV) BB 20 - < 25 kg : 300mg mg/dosis 24 jam

BB 25 - < 33 kg : 350mg (BB > 40


kg)
BB 33 - < 40 kg : 400mg
BB > 40 kg : 600mg
Usia > 6 bulan - 13 tahun :
225 mg/LPT LPV atau 57,5
mg/LPT Ritonavir
atau
Lopinavir /
BB 7-15 kg : 12 400 mg
PI Ritonavir LPV/100
mg/kg/dosis LPV atau 3
(LPV/r) mg/kg/dosis Ritonavir mg setiap
Ritonavir 12 jam
BB 15 - 40 kg : 10
mg/kg/dosis LPV atau 5
mg/kg/ dosis Ritonavir

BB > 40 kg : 400 mg/dosis


LPV atau 100 mg/dosis
Ritonavir

12. Tempat Pelayanan Jempiring, pudak, poliklinik


13. Penyulit Infeksi berulang
14. Informed Consent Diperlukan saat tes melalui VCT. Bila tes melalui PITC tidak diperlukan
informed consent khusus = prosedur non invasif
19
15. Tenaga Standar Dokter Divisi Alergi Imunologi, residen Madya, A2 dan Chief
16. Lama Perawatan Berkisar 1-3 bulan bila disertai diare berdarah dan atau malnutrisi.
17. Masa Pemulihan 3-6 bulan
18. Hasil Membaik
19. Patologi -
20. Otopsi -
21. Prognosis Dubia ad malam untuk stadium 4
22. Tindak Lanjut 1. Kontrol Poliklinik
2. Monitor compliance, efek samping obat, perbaikan / perburukan
klinis dan lab (rutin, imunologis, virologis), escalating dose
nevirapine, IRIS, profilaksis PCP, monitor kecukupan kalori dan
nutrisi makro / mikro, tumbuh kembang dan imunisasi (bila keadaan
umums udah baik), identifikasi masalah social dalam keluarga dan
masyarakat, serta beri dukungan, kemungkinan gagal terapi.
3. Menilai kesiapan disclosure
23. Tingkat Evidens 1A
& Rekomendasi
24. Indikator Medis Tanda infeksi hilang, aktifitas hidup baik dan interaksi sosial baik
25. Edukasi 1. Kontrol teratur (sebelum obat habis)
2. Rutin minum ARV
3. Jaga kebersihan
4. Cegah penularan infeksi dengan menutup luka
5. Penghindaran kontak dengan duh tubuh orang sakit
6. Disclosure oleh orang tua
26. Kepustakaan 1. World Health Organization-Regional Office for South-East Asia.
HIV/AIDS facts and figures.
Diunduhdarihttp://www.who/searo/HIV-AIDS/FactsandFigure.htm
2. The working group on antiretroviral and medical management of
HIV-infected children. The national resources and services
administration, and the national institute of health. Guidelines for
the use of antiretroviral agents in pediatric HIV infection.
Diunduhdarihttp://www.aidsinfo.org
3. Fischer A, Lejczak C, Lambert C, Servais J, Makombe N, Rusine J,
dkk. Simple DNA extraction method for dried blood spots and
comparison of two PCR assays for diagnosis of vertical human
immunodeficiency virus type 1 transmission in Rwanda. J
ClinMicrobiol 2004; 42:16-20
4. Phutanakit T, Oberdorfer A, Akarathum N, Kanjanavanit S,
Wannarit P, Sirisanthana T, dll. Efficacy of highly active
antiretroviral therapy in HIV-infected children participating in
Thailand’s national access to antiretroviral program. Clin Infect Dis
2005;41:100-7
5. DepkesRI , Manual pelatihan CST untukAnak, Jakarta 2010
6. WHO pocket book of hospital care for children.WHO Geneva, 2005.

20
7. World Health Organization-Regional Office for South-East Asia.
HIV/AIDS facts and figures.
Diunduhdarihttp://www.who/searo/HIV-AIDS/FactsandFigure.htm
8. The working group on antiretroviral and medical management of
HIV-infected children. The national resources and services
administration, and the national institute of health. Guidelines for
the use of antiretroviral agents in pediatric HIV infection.
Diunduhdarihttp://www.aidsinfo.org
9. Fischer A, Lejczak C, Lambert C, Servais J, Makombe N, Rusine J,
dkk. Simple DNA extraction method for dried blood spots and
comparison of two PCR assays for diagnosis of vertical human
immunodeficiency virus type 1 transmission in Rwanda. J
ClinMicrobiol 2004; 42:16-20
10. Phutanakit T, Oberdorfer A, Akarathum N, Kanjanavanit S,
Wannarit P, Sirisanthana T, dll. Efficacy of highly active
antiretroviral therapy in HIV-infected children participating in
Thailand’s national access to antiretroviral program. Clin Infect Dis
2005;41:100-7
11. DepkesRI , Manual pelatihan CST untukAnak, Jakarta 2010
12. WHO pocket book of hospital care for children.WHO Geneva, 2005.
13. PPM FK UNUD
14. Global Update on HIV Treatment 2013: result,
impactandopportunuties.

21
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
MENINGITIS BAKTERIALIS
2014

RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 G01


2. Diagnosis Meningitis Bakterialis
3. Pengertian Meningitis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh berbagai bakteri pathogen.
4. Anamnesis 1. Perjalanan klinis sering didahului oleh infeksi saluran napas atas
atau saluran cerna (demam, batuk, pilek, mencret serta muntah-
muntah.
2. Gejala: demam, sakit kepala dan kaku kuduk dengan atau tanpa
penurunan kesadaran.
5. Pemeriksaan Fisik 1. Penurunan kesadaran dapat bermanifestasi iritabel saja atau
penurunan kesadaran yang lebih dalam sampai koma.
2. Ubun-ubun besar tegang atau menonjol (kalau ubun-ubun besar
masih terbuka)
3. Tanda rangsang meningen (kaku kuduk, tanda Brudzinsky I & II,
tanda Kernig).
4. Tanda rangsang meningen sulit ditemukan pada anak < 1 tahun.
5. Kejang fokal atau umum dan defisit neurologis lainnya.
6. Kriteria Diagnosis 1. Gejala klinis
a. Penurunan kesadaran iritabel sampai koma.
b. Ubun-ubun besar tegang atau membonjol (kalau ubun-ubun
besar masih terbuka)
c. Tanda rangsang meningen (kaku kuduk, tanda Brudzinsky I &
II, tanda Kernig). Tanda rangsang meningen sulit ditemukan
pada anak < 1 tahun
d. Kejang fokal atau umum dan defisit neurologis lainnya.
2. Penunjang lab: Pungsi lumbal (lumbal puncture / LP)
a. Jumlah sel leukosit: 100-10.000/uL (dominan PMN)
b. Protein tinggi 200-500/dL,
c. Glukosa CSS rendah < 40 mg/dL
d. Pengecatan gram ditemukan bakteri / agent penyebab
e. Kultur CSS positif
f. Serologis (latex agglutination)
7. Diagnosis Banding 1. Meningitis Aseptik
2. Meningitis TB
3. Ensefalitis
4. Ensefalopati
22
8. Pemeriksaan 1. Darah lengkap, kadar gula darah, elektrolit serum, kultur darah
Penunjang 2. Pungsi lumbal (lumbal puncture/LP)
3. CT scan / MRI kepala dikerjakan bila ada indikasi.
4. Elektroensefalografi (EEG) bila ada kejang.
9. Konsultasi 1. URM
2. Bedah Saraf
3. THT
4. Mata
10. Perawatan Semua pasien meningitis bakterialis dirawat di rumah sakit selama 14-
Rumah Sakit 21 hari

11. Terapi / tindakan Pemberian antibiotika diawali secara empiris (oleh karena terapi
(ICD 9-CM) antibiotika harus secepatnya diberikan), kemudian disesuaikan dengan
hasil pengecatan gram, biakan kuman, dan tes resistensi.
1. Terapi antibiotika empiris (sesuai dengan umur), lama pengobatan
10-14 hari.
a. Umur 1-3 bulan
a) Ampicilin 200-400 mg/kgbb/hr i.v dibagi 4 dosis dan
Cefotaxime 200 mg/kgbb/hr i.v dibagi 2-3 dosis.
b) Ceftriaxone 100 mg/kgbb/hr i.v dibagi 2 dosis.
b. Umur > 3 bulan
a) Cefotaxim 200 mg/kgbb/hr i.v, dibagi 3-4 dosis
b) Ceftriaxon 100 mg/kgbb/hr i.v, dibagi 2 dosis
c) Ampicilin 200-400 mg/kgbb/hr i.v, dibagi 4 dosis dan
kloramfenikol (apabila tidak ada kontraindikasi) 100
mg/kgbb/hr, i.v dibagi 4 dosis.
2. Pemberian deksametason (rekomendasi AAP)
Dosis 0,6 mg/kgbb/hr dibagi 4 dosis (2 hari pertama saja), sebelum
atau saat pemberian antibiotika.
3. Pemberian manitol 20%: atas indikasi
Dosis 0,5-1 gr/kg BB/x setiap 8 jam.
12. Tempat Pelayanan 1. PICU
2. Bangsal
13. Penyulit 1. Hidrosefalus obstruktif, subdural efusi, abses otak, SIADH.
2. Kejang, dapat berkembang menjadi epilepsi.
3. Hemiparese, tetraparese, mental retardasi, gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, atrofi otak, dll.
14. Informed Consent Untuk tindakan LP
15. Tenaga Standar Dokter Spesialis Anak, Dokter Spesialis Anak Konsultan, Dokter
Residen.
16. Lama Perawatan 14-21 hari
17. Masa Pemulihan 7 hari

23
18. Hasil 1. Hidup dengan / tanpa gejala sisa
2. Meninggal
19. Patologi Inflamasi pada meningen
20. Otopsi -
21. Prognosis 1. Angka kematian 10-30%
2. Prognosis kurang baik / dengan gejala sisa berat: bila terjadi kejang
yang sulit di atasi dalam 4 hari pertama.
3. Sekitar 6% kasus terjadi DIC dengan prognosis buruk
22. Tindak Lanjut 1. CT scan kepala bila ada indikasi.
2. Perlu operasi V-P shunt / external drainase bila ada komplikasi.
3. EEG bila ada menjadi epilepsi.
4. Test BERA
5. Konsul Mata
6. Fisioterapi / okupation terapi / speech terapi
23. Tingkat Evidens II A
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Klinis baik
2. Bebas demam 7 – 10 hari
3. Analisis LCS normal + kultur negatif
25. Edukasi 1. Kejang / epilepsi
2. Gejala sisa: gangguan pendengaran, penglihatan
3. Fisioterapi
26. Kepustakaan

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
SEPSIS DAN MENINGITIS NEONATORUM

24
2014

RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 A41


2. Diagnosis Sepsis dan Meningitis Neonatorum
3. Pengertian Sepsis Neonatorum adalah sindrom klinis yang timbul akibat respon
inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Respons Syndrome-SIRS)
yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit
yang timbul pada 1 bulan pertama kehidupan.
4. Anamnesis Faktor risiko mayor
1. Ketuban pecah > 24 jam
2. Ibu demam saat intrapartum suhu > 380C
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin menetap > 160x/menit
5. Ketuban berbau
Faktor risiko minor
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam saat intrapartum suhu > 37,0C
3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7 )
4. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) < 1500 gram
5. Usia gestasi < 37 minggu
6. Kehamilan ganda
7. Keputihan yang tidak diobati
8. Infeksi Saluran Kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati
5. Pemeriksaan Fisik Tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik dan berhubungan dengan
karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya
kuman, seperti:
1. Iregularitas temperatur: hipertermi, hipotermi,
2. Perubahan prilaku: letargi, iritabel
3. Perubahan tonus
4. Kelainan pada kulit: perfusi perifir buruk, sianosis, mottling, pucat,
petikie, rash, ikterus, sklerema
5. Masalah minum: intoleransi minum
6. Masalah saluran cerna: muntah, diare, kembung
7. Masalah kardiopulmoner: takipnea, takikardia, hipotensi, distres
pernafasan (sesak, retraksi, grunting, sianosis sentral)
8. Masalah metabolik: hipoglikemia, hiperglikemia, metabolik asidosis
6. Kriteria Diagnosis Pendekatan diagnosis:
1. Faktor risiko sepsis neonatorum
2. Faktor risiko mayor
a. Ketuban pecah > 24 jam
b. Ibu demam saat intrapartum suhu > 380C
c. Korioamnionitis
d. Denyut jantung janin menetap > 160x/menit
25
e. Ketuban berbau
3. Faktor risiko minor
a. Ketuban pecah > 12 jam
b. Ibu demam saat intrapartum suhu > 37,50C
c. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7 )
d. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram
e. Usia gestasi < 37 minggu
f. Kehamilan ganda
g. Keputihan yang tidak diobati
h. Infeksi Saluran Kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan (SEPTIC MARKER)


1. Hitung leukosit ( N 5000/uL - 30.000/uL)
2. Hitung trombosit ( N > 150.000/uL)
3. IT rasio (rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total): (N < 0,2)
Usia 1 hari 3 hari 7 hari 14 hari 1 bulan
IT Ratio 0,16 0,12 0,12 0,12 0,12
4. CRP ( N 1,0 mg/dL atau 10 mg/L)
5. Kultur darah
7. Diagnosis Banding Ensefalitis
8. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan penunjang
Penunjang Beberapa tahun terakhir para peneliti banyak mempelajari
interleukin-6 sebagai petanda awal pada sepsis neonatorum.
Interleukin-6 adalah sitokin yang diproduksi oleh berbagai sel dalam
tubuh dan berperan dalam respons imunologik terhadap infeksi. Satu
penelitian menunjukkan pada SNAD kadar interleukin-6 meningkat
> 100 pg/mL bila diperiksa pada usia 0-12 jam pertama, dengan
sensitivitas 100% dan spesifisitas 89%. Namun demikian teknik
pemeriksaan sulit dan perlu biaya tinggi sehingga masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Saat ini telah dikembangkan metode Latex Particle Agglutination
(LPA) dan Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE) untuk
pemeriksaan terhadap Streptococcus grup B dan E. coli.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bila hasil kultur negatif atau
dikhawatirkan negatif karena pemberian antibiotika maternal
intrapartum.
2. Urine
Urine dikumpulkan secara pungsi buli-buli. Dicurigai adanya infeksi
bila:
a. Didapatkan > 2 leukosit pada LPK
b. Didapatkan > 1 bakteri pada pemeriksaan dengan oil emersion
3. Cairan serebrospinal
Diduga adanya meningitis bila terdapat:
a. Sel darah putih > 10/mm3
b. Kadar glukosa < 20 mg%
c. Adanya kuman pada pengecatan gram

26
4. Foto thorax
Dikerjakan untuk melihat kemungkinan adanya pnemonia
5. Kultur
Darah, cairan serebrospinal, urine dan feses
9. Konsultasi 1. Bila ada hipoglikemia / hiperglikemia persisten konsultasi ke
Subdivisi Endokrinologi
2. Bila terjadi gagal nafas rawat intensif di NICU
3. Bila ada gangguan penglihatan konsulkan ke Bagian Mata
4. Bila ada gangguan pendengaran konsulkan ke Bagian THT
5. Bila ada defisit neurologi konsulkan ke Neurologi anak dan Instalasi
Rehabilitasi Medis bila perlu rehabilitasi
10. Perawatan Semua pasien dengan meningitis dan sepsis
Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan Pemilihan antibiotika untuk terapi inisial mengacu pada jenis kuman
(ICD 9-CM) penyebab tersering dan pola resistensi kuman di masing-masing pusat
kesehatan.
Sebagai initial terapi digunakan cefotaxime, dengan dosis:
1. < 7 hari 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
2. 7 hari 150 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
3. Untuk meningitis 200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
segera setelah didapatkan hasil kultur darah maka jenis antibiotika
disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya.
Lama pemberian antibiotika:
1. Sepsis adalah 10-14 hari
2. Meningitis adalah 21 hari
Untuk infeksi jamur dapat dipakai:
1. Amphotericin B ( Liposomal )
2. Dosis = 1 mg/kg/hari, dapat ditingkatkan 1 mg/kg perharinya sampai
dengan maksimal 3mg/kg/hari.
3. Bila no. 1 sulit didapat, dapat diganti amphotericin B dosis
0,25mg/kg/hari sampai dengan maksimal 1mg/kg/hari.
4. Pilihan lain adalah Fluconazole dosis inisial 6mg/kg; lalu 3mg/kg.
Usia < 1 minggu = setiap 72 jam
Usia 2 – 4 minggu = 48 jam
Usia > 4 minggu = 24 jam

Tatalaksana non-konvensional
1. Imunoglobulin intravena
Imunoglobulin intravena untuk profilaksis maupun terapi SNAD saat
ini belum bdianjurkan untuk diberikan secara rutin. Banyak
penelitian mengenai hal ini menggunakan jumlah sampel yang kecil,
dan belum ada sediaan imunoglobulin yang spesifik. Beberapa efek
samping dan komplikasi telah dilaporkan seperti infeksi, hemolisis
dan supresi kekebalan tubuh pada pemberian imunoglobulin
hiperimun. Pada kondisi-kondisi tertentu seperti sepsis yang berat
atau infeksi berulang pada neonatus kurang bulan, ada peneliti yang
27
menganjurkan pemberian imunoglobulin intravena dengan dosis
500-1000 mg/kg/kali setiap dua minggu.
2. Transfusi FFP ( Fresh Frozen Plasma )
FFP mengandung antibodi, komplemen, dan protein lain seperti C-
reactive protein dan fibronectin. Antibodi bayi baru lahir terbatas
pada spesifikasi yang dihasilkan oleh ibunya, tidak termasuk
antibodi protektif terhadap patogen tertentu. FFP mengandung
antibodi protektif, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah antibodi
tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada
pemberian secara kontinu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam) maka
kadar proteksi dapat tercapai.
3. Transfusi sel darah putih
Transfusi sel darah putih sebagai terapi ajuvan pada SNAD dan
infeksi neonatal umumnya masih dalam tahap uji coba dan belum
dianjurkan penggunaannya. Hanya beberapa pusat kesehatan di
Amerika Serikat yang mampu mengisolasi granulosit untuk sediaan
transfusi. Transfusi granulosit juga potensial mempunyai komplikasi
seperti infeksi dan reaksi transfusi, disamping biaya tinggi dan
teknik pembuatan yang sulit.
4. Pemberian G-CSF dan GM-CSF
Akhir-akhir ini banyak peneliti mempelajari colony-stimulating
factor, yaitu suatu protein spesifik yang penting untuk proliferasi
dan differensiasi sel progenitor granulosit serta mempengaruhi
fungsi granulosit matang. Saat ini terdapat 2 jenis protein tersebut
yang banyak diteliti berkaitan dengan infeksi pada neonatus, yakni
granulocyte stimulating factor (G-CSF) dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Suatu penelitian
melaporkan peningkatan jumlah neutrofil absolut, eosinofil, monosit,
limfosit dan trombosit dengan pemberian GM-CSF rekombinan pada
neonatus yang sepsis. Namun demikian masih diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk menguji efektivitas terapi ini.
5. Transfusi tukar
Secara teoritis, transfusi tukar dengan menggunakan whole blood
segar pada sepsis neonatorum bertujuan (1) mengeluarkan /
mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediator-mediator
penyebab sepsis (2) memperbaiki perfusi perifer dan pulmonal
dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah dan (3)
memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan
berbagai antibodi yang mungkin terkandung dalam darah donor.
Transfusi tukar juga mempunyai beberapa kelemahan seperti
kesulitan teknik pelaksanaan, potensial infeksi dan reaksi transfusi.
Belum ada penelitian berskala besar untuk menguji efikasi dan
keamanannya sehingga transfusi tukar tidak dianjurkan sebagai
terapi sepsis secara umum maupun SNAD.
6. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid intravena terhadap sepsis masih kontroversial.
Walaupun kortikosteroid pernah digunakan untuk terapi sepsis tetapi
kemanjurannya masih diragukan, mungkin karena pemberiannya
terlambat yaitu setelah kaskade mediator inflamasi dimulai.

28
12. Tempat Pelayanan NICU, Cempaka Barat
13. Penyulit 1. Syok septik
2. Meningitis
3. Kolestasis
4. Gagal nafas
5. DIC
6. Asidosis metabolik
Gejala sisa neurologis : gangguan pendengaran, gangguan penglihatan,
gangguan belajar, gangguan tingkah laku, retardasi mental
14. Informed Consent Pada saat dilakukan LP
15. Tenaga Standar 1. Dokter spesialis anak
2. Dokter umum
3. Perawat
16. Lama Perawatan 14 hari (bila tidak ada masalah prematuritas, BBLR dan komplikasi)
17. Masa Pemulihan Sangat tergantung pada prematuritas, BBLR, dan ada tidaknya
komplikasi
18. Hasil Bila tidak ada komplikasi dapat sembuh sempurna
19. Patologi Tidak perlu
20. Otopsi Tedak perlu
21. Prognosis
Dengan diagnosis dan pengobatan dini, bayi dapat terhindar dari sepsis
yang berkepanjangan; namun bila tanda klinis dan / atau adanya faktor
risiko yang berpotensial menimbulkan infeksi tidak terdeteksi, maka
angka kesakitan dan kematian dapat meningkat. Gejala sisa neurologis
timbul pada 15-30% neonatus dengan meningitis.
22. Tindak Lanjut 1. Setelah pulang kontrol secara teratur ke poliklinik.
2. Kasus dengan komplikasi defisit neurologis memerlukan perawatan
rehabilitasi medis, dan stimulasi tumbuh kembang.
23. Tingkat Evidens IA
& Rekomendasi
24. Indikator Medis 1. Klinis Stabil
2. Marker infeksi normal
3. Hasil kultur negatif
4. LCS normal
25. Edukasi Sepsis dan meningitis merupakan penyakit yang berat, sering
menyebabkan kematian dan komplikasi yang dihasilkan sangat beragam
sesuai dengan berat ringannya penyakit awal.
26. Kepustakaan 1 Gomella TL, Cunnigham MD, Eyal FG. Sepsis. Dalam: Gomella TL,
Cunnigham MD, Eyal FG. penyunting. Neonatology : Management,
procedures, on call problems, diseases, drugs. edisi ke-6. New York:
Lange Medical Book/McGraw-Hill, 2009. h. 665-672.
2 Paupulo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam : Cloherty JP,
Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6.
Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins,2008.h.274-300.

29
3 Pourcyrous M, Bada HS, Korones SB, Baselski V, Wong SP.
Significance of serial C-reactive protein responses in neonatal
infection and other disorders. Pediatrics 1993; 92:431-5.
4 Bone RC. The sepsis syndrome : definition and general approach to
management. Clin Chest Med 1996; 17:175-80.
5 Powell KR. Sepsis and shock. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia :
WB Saunders, 2000.h.747-51.
6 Smith JB. Bacterial and fungal infection of the neonate. Dalam :
Pomerance JJ, Richardson CJ, penyunting. Neonatology for the
clinician. Connecticut : Appleton & Lange, 1993.h.185-200.
7 Llorens XS, McCracken GH. Clinical pharmacology of antibacterial
agents. Dalam : Remington JS, Klein JO, penyunting. Infectious
disesase of the fetus and newborn infant. Philadelphia : WB
Saunders,1995.h. 1287-1326.
8 Wasserman RL. Nonconventional therapies for neonatal sepsis.
Journal of Infectious Disease; 1983: 421 – 423.
9 The Royal Women’s Hospital; Intensive and Spesial Care Nurseries.
Clinician’s Handbook. February 2003.h.166.
10 Aminullah A. Sepsis pada bayi baru kahir. Dalam: Kosim M, Yunanto
A, Dewi R, Saroso GI, Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi.
Cetakan I. Jakarta: BP IDAI,2008.h.170-187.
11 Rohsiswanto R. Deteksi dan tatalaksana terkini sepsis neonatorum.
Dalam: Aditiawati, Alia RAM, penyunting. Deteksi dini dan
tatalaksana kegawatan pada bayi baru lahir. Naskah lengkap
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan III Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas KedokteranUniversitas Sriwijaya RSUP
DR. Moh. Hoesin Palembang; 2009 31 Oktober-1 Nopember;
Palembang: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI-RSMH,
2009.

30
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
ASFIKSIA NEONATORUM
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 R 09.01


2. Diagnosis Asfiksia Berat
3. Pengertian Suatu keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak bernapas secara
spontan, teratur dan adekuat
4. Anamnesis Bayi lahir tidak langsung menangis
5. Pemeriksaan Fisik Distres napas, bradikardia, refleks lemah, tonus otot menurun, warna
kulit biru atau pucat
6. Kriteria Diagnosis Dengan menentukan nilai APGAR menit ke 1, 5, 10 dan 15.
Nilai APGAR menit ke 1 = 0-3
7. Diagnosis Banding Tidak ada
8. Pemeriksaan Bila ada indikasi, dapat dilakukan: analisa gas darah, foto thorax, CT
Penunjang Scan kepala
9. Konsultasi Neonatologi intensif
10. Perawatan Rumah NICU, ruang neonatologi level II
Sakit
11. Terapi / tindakan Prinsip tatalaksana:
(ICD 9-CM) 1. Segera dilakukan setelah bayi lahir
2. Intervensi harus cepat, tepat, jangan sampai terlambat
3. Pada dasarnya harus melakukan penilaian terhadap 3 hal: cukup
bulan, bernapas atau menangis, tonus otot baik

31
12. Tempat Pelayanan Kamar bersalin, ruang operasi, NICU, neonatologi level II
13. Penyulit Pendarahan dan edema otak, Hipoksik Iskemik Ensefalopati (HIE),
Necrotizing Enterocolitis (NEC), gagal ginjal akut, hiperbilirubinemia.
14. Informed Consent Tertulis untuk tindakan kedokteran: intubasi, pemasangan ventilator,
CPAP, perawatan NICU.
15. Tenaga Standar Dokter anak, perawat, dokter umum yang telah mendapat pelatihan
resusitasi neonatus.
16. Lama Perawatan 7 hari
17. Masa Pemulihan Sesuai penyulit
18. Hasil Perbaikan pola napas, saturasi oksigen
19. Patologi Tidak diperlukan
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Dapat menyebabkan retardasi mental, kelainan neurologis dan kematian
22. Tindak Lanjut Pemantauan rutin jangka panjang
23. Tingkat Evidens & IA
Rekomendasi
24. Indikator Medis Kejadian Ventilator Associated Pneumonia (VAP), pemantauan
pemakaian CPAP, angka mortalitas
25. Edukasi Komplikasi jangka panjang
26. Kepustakaan 1. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Bag/SMF IKA FK
32
UNUD / RSUP Sanglah, 2011
2. Panduan Resusitasi Neonatus edisi ke 6, Perinasia, 2012

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
GAGAL NAPAS
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 J96.9


2. Diagnosis Gagal Napas
3. Pengertian Gagal napas adalah suatu keadaan dimana terjadi kegagalan pertukaran
gas dalam paru, ditandai dengan turunnya kadar oksigen (hipoksemia)
atau naiknya kadar karbonmonoksida (hiperkarbia) atau kombinasi
keduanya dalam darah.
4. Anamnesis Dispnoe, depresi pernapasan, sakit kepala.

33
5. Pemeriksaan Fisik Sianosis, perubahan pola napas (dispnoe, hiperpnoe), retraksi otot
pernapasan, terganggunya tingkat kesadaran dan adanya gruntung pada
saat ekspirasi, vasodilatasi respiratori
6. Kriteria Diagnosis Kriteria diagnosis:
1. Onsetnya akut
2. Terjadi infiltrasi bilateral pada paru
3. Tekanan arteri pulmonal < 19 mmHg (tanpa ada tanda klinik CHF)
4. Kegagalan oksigenasi, yang ditunjukkan dengan:
a. PaO2/FiO2 < 300 (ALI)
b. PaO2/FiO2 < 200 (ARDS)
7. Diagnosis Banding Gagal napas akibat asidosis metabolik (apabila HCO3 menurun)
8. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
Penunjang
9. Konsultasi Divisi Pediatri Gawat Darurat
10. Perawatan Ruang Perawatan intensif
Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan 1. Pengobatan spesifik:
(ICD 9-CM) pengobatan ini ditujukan kepada etiologi, pengobatan yang diberikan
sesuai dengan etiologinya
2. Pengobatan non spesifik:
pengobatan ini harus segera dilakukan untuk mengatasi gejala-gejala
yang timbul agar tidak jatuh kedalam keadaan yang lebih buruk.
a. Terapi oksigen; cara pemberian oksigen dapat dipakai cara:
Alat Konsentrasi O2 (%)
Kateter nasal 30 – 40
Sungkup muka 35 – 65
Ventilator 21 – 100
Inkubator 30 - 40
b. Perbaikan jalan napas:
a) Obstruksi jalan napas bagian atas: hipereksensi kepala
(mencegah lidah jatuh ke posterior menutup jalan napas)
b) Pemasangan pipa naso-orofaringeal (Guedel)
c) Bantuan ventilasi: bantuan napas mulut ke mulut / hidung
d) Ventilasi IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing):
pasien bernapas melalui sungkup yang dihubungkan dengan
ventilator
e) Tidak ada perbaikan: ventilasi kendali (ventilasi pasein
sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator
c. Fisioterapi dada:
untuk membersihkan jalan napas spontan, dengan melakukan
tepukan-tepukan pada dada dan punggung. Kadang-kadang
diperlukan obat-obatan seperti mukolitik.
34
12. Tempat Pelayanan RSUP Sanglah Denpasar
13. Penyulit Kematian
14. Informed Consent Tertulis
15. Tenaga Standar Dokter Konsultan Intensive Care, perawat terlatih
16. Lama Perawatan 5 – 7 hari
17. Masa Pemulihan 3 hari
18. Hasil Pemulihan kemampuan bernafas
19. Patologi Sesuai penyakit dasar
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Bergantung kepada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta
penanganan gagal napas
22. Tindak Lanjut Monitoring
23. Tingkat Evidens IA
& Rekomendasi
24. Indikator Medis Nafas spontan
25. Edukasi Perburukan kondisi
26. Kepustakaan 1. Muhardi, Tampubolon OE, gagal napas akut. Dalam. Muhardi,
penyunting. Penatalaksanaan pasien di Intensive Unit care, Jakarta,
FKUI, 1989.h,1-9.
2. Kal Marek RM, Stoller JK, Principle of Respiratory care. Dalam:
Ayres SM, Grenvik A, Holbraek PR, Shoemaker WC, penyunting.
Textbook of criticalmLare. WB Saunders, 1995.h.688-96.
3. Moore GC, Acute Respiratory Failure; dalam: Levin DZ, Mooris FC,
Moore GC, penyunting. A practical Guide to pediatric Intensive
Care. The CV Mosby, 1984.h.58,62.
4. Huges M, Upper airway emergencies. Dalam: Reisdorf Ej,
penyunting. Pediatric emergency medicine. WB Saunders,
1993.h.260-70.

PANDUAN PRAKTEK KLINIS


SMF ILMU KESEHATAN ANAK
SYOK
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 R57.9


2. Diagnosis Syok
3. Pengertian Sindrom klinis akibat kegagalan sistemik sirkulasi dengan akibat
ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan
serta kegagalan pembuangan sisa metabolism.
4. Anamnesis Apatis, lemah, membran mukosa pucat, kualitas pulsus jelek, takipneu,
temperatur tubuh rendah, gaduh gelisah, pengisian kapiler melambat.
35
5. Pemeriksaan Fisik Tekanan darah rendah, tekanan arteri rendah, capilarry refill time
lambat, takikardia atau bradikardia, oligouria, hemokonsentrasi.
6. Kriteria Diagnosis 1. Fase I: kompensasi
a. Kompensasi temporer
b. Peningkatan simpatis, peningkatan SVR dan penurunan tekanan
nadi
c. Distribusi selektif aliran darah
d. Peningkatan retensi natrium dan air
2. Fase Dekompensasi
a. Kompensasi mulai gagal
b. Hipoperfusi sehingga terjadi hipoksia jaringan terjadi
metabolisme anaerob
c. Pelepasan mediator sehingga terjadi peningkatan vasodilatasi,
permeabilitas meningkat, depresi miokard meningkat dan terjadi
gangguan koagulasi
3. Fase Ireversibel
a. Kompensasi gagal
b. Cadangan energi tubuh sangat menurun
c. Terjadi kerusakan / kematian sel sehingga terjadi disfungsi organ
multipel
7. Diagnosis Banding Sesuai penyebab dasar
8. Pemeriksaan Analisa gas Darah, Darah Lengkap, Kultur Darah, Faal Hemostasis,
Penunjang Fungsi Hati, Fungsi Ginjal dan Gula Darah
9. Konsultasi Dokter Konsultan Gawat Darurat dan Infeksi
10. Perawatan Diperlukan
Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan 1. Resusitasi awal
(ICD 9-CM) a. Oksigen 100% + ventilatory support
b. Pasang akses vaskuler
c. Fluid challenge (20 ml/kgBB)
d. Secepatnya < 10 menit
e. Dapat diulang 2-3 kali
f. Kristaloid atau koloid
2. Pemantauan awal
a. Respon terhadap fluid challenge
b. Pantau produksi urine
c. Pemeriksaan penunjang
3. Resusitasi Lanjut
a. Bila fluid challenge non responsive
b. Intubasi dan ventilasi mekanik
c. Pasang CVC dan loading hati-hati

36
d. Koreksi efek inotropik negatif
Hb < 5 g/dl  PRC 10 ml/kgBB (Ht 40 – 50 vol%)
e. Obat inotropik
12. Tempat Pelayanan Ruang perawatan intensif atau ruang perawatan biasa yang memiliki
monitor
13. Penyulit Kematian
14. Informed Consent Tertulis
15. Tenaga Standar Dokter Konsultan Intensive Care, perawat terlatih
16. Lama Perawatan 3 – 5 hari
17. Masa Pemulihan 3 hari
18. Hasil Pemulihan syok
19. Patologi Kuman penyebab infeksi
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Bergantung kepada etiologi, diagnosis dini, dan kecepatan serta
penanganan gagal napas
22. Tindak Lanjut Monitoring
23. Tingkat Evidens 1. Tingkat evidens: II-1 (evidens yang didapat dari non-randomized
& Rekomendasi controlled trial).
2. Tingkat Rekomendasi: B (terdapat fakta yang cukup berkualitas
untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut dapat
diterapkan)
24. Indikator Medis Perbaikan hemodinamik
25. Edukasi Perburukan kondisi (syok berulang)
26. Kepustakaan 1. Franklin CM, Darovic GO dan BB. Monitoring the patient in Shock.
Dalam buku: Darovic GO, ed. Hemodynamic Monitoring: invasive
and Noninvasive Clinical Application. USA: EB. Saunders Co.
1995; 441-499.
2. Alexander RH, Proctor HJ Shock. Dalam buku: advance Trauma
Life Support Course for Physicians, USA, 1993; 75-94
3. Haupt MT, Carison RW. Anaphylactic and Anaphylactoid Reaction.
Dalam buku: Shoemaker WC, Ayres S, Grenvik A eds, Textbook of
Critical Care, Philadelphia, 1989; 993-1002.
4. Atkinson RS, Hamblin JJ, Wright JEC. Shock. Dalam buku:
handbook of Intensive Carre. London: Chapman and Hall, 1981: 18-
29.
5. Wilson RF, ed. Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. 1981; c:
1-42.
6. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: safe Anesthesia, 1996; 408-
413.

37
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
KEJANG DEMAM
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 R56.01


2. Diagnosis Kejang Demam Sederhana (KDS)
Kejang Demam Komplek (KDK)
Kejang Lama
Status Epileptikus
Refrakter Status Epileptikus
3. Pengertian Kejang demam adalah bangkitan kejang pada bayi dan anak yang terjadi
pada peningkatan suhu tubuh (≥38°C rektal) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranial. Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-5 tahun
dan tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam dan bayi umur <1
tahun tidak termasuk.
4. Anamnesis 1. Identifikasi adanya kejang atau bukan kejang.
2. Identifikasi durasi / lama kejang, frekuensi kejang, interval waktu
antar kejang. Suhu sebelum dan pada saat kejang
38
3. Identifikasi penyebab demam diluar SSP
4. Riwayat episode serangan kejang demam sebelumnya.
5. Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
6. Riwayat kelahiran, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat tumbuh
kembang, riwayat keluarga dengan kejang demam atau epilepsi.
7. Menyingkirkan penyebab kejang yang lain.
5. Pemeriksaan Fisik 1. Ditemukan kejang dan demam.
2. Pemeriksaan status present: keadaan umum, kesadaran paska kejang,
tensi, nadi, frekuensi nafas, suhu.
3. Pemeriksaan fisik general
4. Pemeriksaan fisik neurologis (harus dilakukan).
a. Tanda rangsang meningeal.
b. Tanda-tanda peningkatan TIK
c. Lesi nervus kranialis.
d. Defisit neurologis fokal: paresis, paralisis, dll
5. Tanda infeksi diluar SSP
6. Kriteria Diagnosis 1. Kejang demam sederhana:
a. Lama kejang ≤ 15 menit
b. Kejang bersifat umum
c. Frekuensi kejang satu kali dalam 24 jam
2. Kejang demam kompleks:
a. Lama kejang > 15 menit
b. Kejang bersifat fokal / parsial
c. Frekuensi kejang > 1 kali dalam 24 jam (kejang multipel atau
kejang serial)
3. Kejang dengan demam (oleh karena proses intrakranial): bila
ditemukan tanda infeksi intrakranial maka diagnosis bukan kejang
demam.
7. Diagnosis Banding 1. Meningitis bakterial
2. Ensefalitis
3. Ensefalopati metabolik (dehidrasi berat / hipoglikemia)
4. Ensefalopati akibat gangguan elektrolit.
8. Pemeriksaan 1. Dilakukan atas indikasi: darah lengkap, gula darah, elektrolit serum
Penunjang (natrium, kalium, kalsium, magnesium).
2. Khusus: Lumbal Pungsi (LP) untuk menegakkan atau
menyingkirkan meningitis.
3. Indikasi lumbal pungsi:
a. Umur kurang dari 12 bulan: sangat dianjurkan
b. Umur 12-18 bulan: dianjurkan
c. Umur lebih dari 18 bulan: atas indikasi
4. EEG tidak direkomendasikan kecuali kejang tidak khas seperti

39
kejang fokal, KDK frekuen, kejang demam plus.
5. CT scan kepala atau MRI kepala diindikasikan pada keadaan kejang
fokal / parsial, adanya defisit neurologis atau peningkatan tekanan
intrakranial.
9. Konsultasi Divisi PGD untuk perawatan PICU apabila terjadi status epileptikus
refrakter.
10. Perawatan 1. Kejang Demam Sederhana tidak memerlukan perawatan di rumah
Rumah Sakit sakit.
2. Perawatan di rumah sakit diindikasikan pada kasus kejang demam
kompleks
3. Perawatan di rumah sakit meliputi:
a. Mengatasi kejang fase akut:
a) Pemberian obat anti kejang dimulai dari diazepam intravena,
jika belum berhenti diberikan fenitoin / fenobarbital
b) Berikan oksigenasi pada saat pasien kejang
c) Posisi anak terlentang dengan kepala miring untuk
mencegah aspirasi
d) Bersihkan muntahan / lendir di mulut
e) Ukur suhu, observasi lama kejang, tipe kejang
b. Mengatasi demam, mencari dan mengatasi penyebab demam
a) Pemberian obat antipiretika untuk menurunkan suhu tubuh
dan memberikan kenyamanan pasien.
b) Mengatasi etiologi demam dengan pemberian antibiotika
jika ada indikasi.
11. Terapi / tindakan Mengatasi kejang fase akut (berdasarkan algoritme tatalaksana kejang
(ICD 9-CM) akut dan status epileptikus):
1. Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB intravena secara perlahan (kecepatan 1-
2 mg/menit, dosis maksimal 20 mg) dapat diulang 2 kali dengan
interval 5 menit.
a. Jika kejang berhenti dapat dilanjutkan dengan pemberian
pengobatan profilaksis intermitten dengan diazepam oral atau
rektal untuk mencegah berulangnya kejang.
b. Jika ada faktor risiko (kejang lama, kejang fokal / parsial, kejang
multiplel > 2 kali, kelainan neurologis nyata, riwayat epilepsi
keluarga) maka diberikan terapi lanjutan Phenobarbital loading
dose secara intramuskuler dengan dosis neonatus: 30 mg; bayi:
50 mg; diatas 1 tahun: 75 mg. Selanjutnya dapat diberikan
profilaksis kontinyu.
2. Jika kejang belum berhenti diberikan Phenobarbital 10-20
mg/kgBB/kali (dosis maksimal 1000 mg) diberikan secara intravena
habis dalam 20-30 menit. Jika kejang berhenti 12 jam kemudian
dilanjutkan dengan Phenobarbital dosis rumatan secara intravena 5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau per oral 8-10 mg/kgBB/hari dibagi
2 dosis (selama 2 hari).
40
3. Jika kejang belum berhenti dengan phenobarbital, maka selanjutnya
dapat diberikan Phenytoin loading dose dengan dosis 20
mg/kgBB/kali secara intravena diencerkan dengan 50 ml NS
diberikan selama 20 menit.
4. Jika kejang belum berhenti dapat diberikan tambahan Phenytoin 5-
10 mg/kgBB (dosis total maksimal 1000 mg).
5. Bila kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruangan
PICU sebagai refrakter status epileptikus. Terapi yang diberikan
dapat berupa:
a. Midazolam 0,2 mg/kg/i.v bolus dilanjutkan dengan per infus.
b. Phentotal-Tiopental 2-4 mg/kg/i.v
c. Propofol 3-5 mg/kg/infus

Mengatasi demam dan mengatasi penyebab demam:


Paracetamol 10-15 mg/kg/kali diberikan 4-5 kali sehari atau
ibuprofen 5-10 mg/kg/kali diberikan 3-4 kali sehari.
12. Tempat Pelayanan IGD RSUP Sanglah Denpasar
13. Penyulit 1. Kejang lama / Status epileptikus / Refrakter status epileptikus
2. Edema serebri akibat kejang lama
3. Hidrosefalus.
4. Todd’s paresis, hemiplegia, monoplegia, paresis atau paralisis.
14. Informed Consent Tertulis, informasi kepada orang tua / wali saat melakukan tindakan
invasif berupa lumbal punksi.
15. Tenaga Standar 1. Dokter Umum
2. Dokter Spesialis Anak
16. Lama Perawatan 3 -5 hari
17. Masa Pemulihan 3 -5 hari
18. Hasil Sembuh dengan atau tanpa gejala sisa neurologis
19. Patologi Tidak diperlukan
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis 1. Kejang demam sederhana: baik
2. Kejang demam komplek: bervariasi (kejang demam dengan status
konvulsi prognosisnya jelek)
22. Tindak Lanjut 1. Pemantauan terhadap berulangnya kejang
2. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang baik profilaksis
intermittent maupun kontinyu.
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang:
a. Profilaksis intermiten saat demam: antipiretik dan
antikonvulsan.
Obat antikonvulsan yang digunakan: Diazepam oral 0,3 mg/kg
setiap 8 jam atau Diazepam rektal 0,5 mg/kg atau 5 mg untuk
BB < 10 kg, 10 mg untuk BB > 10 kg setiap 8 jam.

41
b. Profilaksis kontinyu (terus-menerus selama 1 tahun bebas
kejang):
a) Indikasi profilaksis kontinyu:
i. Kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang
ii. Kejang lama > 15 menit
iii. Kejang fokal
iv. Dapat dipertimbangkan apabila: Kejang berulang > 2
kali dalam 24 jam, bayi berusia < 12 bulan, kejang
demam kompleks berulang ≥ 4 kali
b) Obat yang digunakan unuk profilaksis kontinyu:
i. Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3
dosis
ii. Phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis.
4. Pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
23. Tingkat Evidens 1. Tingkat evidens: level II-1 (evidens yang didapat dari non-
& Rekomendasi randomized controlled trial).
2. Tingkat Rekomendasi: B (terdapat fakta yang cukup berkualitas
untuk mendukung rekomendasi bahwa intervensi tersebut dapat
diterapkan)
24. Indikator Medis Bebas kejang dan bebas demam 3 hari.
25. Edukasi Mengurangi kecemasan orang tua dengan memberikan informasi:
1. Kejang demam umumnya bersifat ringan
2. Kejang terjadi pada 2%-5% anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun
3. Memberikan cara penanganan kejang di rumah
4. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
5. Kemungkinan kejang berulang jika terdapat riwayat kejang pada
keluarga
6. Terapi rumatan tentang profilaksis intermitten atau kontinyu.
26. Kepustakaan 1. Hardiono DP, Widodo DP, Ismael S, editor. Konsensus Penanganan
Kejang Demam. UKK Neurologi Anak, IDAI. Badan Penerbit IDAI
2006.
2. AAP. Febrile Seizures: Guideline For The Neurodiagnostic
Evaluation Of The Child With A Simple Febrile Seizure. Pediatrics,
2011; 127; 389.
3. Hodgson ES, Glade CGB, Harbaugh NC, et al. Febrile Seizure:
Clinical Practice Guideline For Long-Term Management Of The
Child With Simple Febrile Seizure. Pediatric 2008, 121 (6):1281-6.

42
PANDUAN PRAKTEK KLINIS
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
KETOASIDOSIS DIABETIK
2014
RSUP SANGLAH
DENPASAR

1. No. ICD 10 E08. 1 (without coma E08/with coma E08.11)


2. Diagnosis Ketoasidosis Diabetik
3. Pengertian Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan darurat akibat
kurangnya insulin absolut maupun relatif disertai peningkatan hormon-
hormon counter-regulatory (katekolamin, glukagon, kortisol dan growth
hormone).
4. Anamnesis 1. Poliuria, polidipsia dan polifagia disertai dengan berat badan
menurun, sesak napas dengan / tanpa kesadaran menurun.
2. Penderita DM lama dengan riwayat kepatuhan berobat yang kurang
atau riwayat muntah-muntah disertai nyeri perut atau sesak disertai
kesadaran menurun.
5. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum dan tanda vital. Assessment ada tidaknya
kedaruratan (syok, penurunan kesadaran) dan derajat dehidrasi perlu
dicari. Ketoasidosis secara klinis dapat berupa pernapasan Kussmaul
dan pernapasan berbau keton.
43
2. Tanda-tanda infeksi, nyeri perut / distensi abdomen perlu dievaluasi
secara cermat.
6. Kriteria Diagnosis KAD adalah keadaan klinis yang ditandai dengan:
1. Hiperglikemia, bila kadar gula darah > 11 mmol/l (1 mmol/l = 18
mg/dl)
2. pH darah vena < 7,3 atau bikarbonat < 15 mmol/l.
3. Ketonemia dan ketonuria
7. Diagnosis Banding 1. Gastroentereitis
2. Akut Abdomen
3. Keracunan
4. Gangguan SSP
5. Sindrom Uremik
8. Pemeriksaan 1. Darah lengkap, gula darah dan keton darah
Penunjang 2. Elektrolit darah dan osmolalitas serum
3. Analisa gas darah
4. BUN, serum kreatinin (catatan: pemeriksaan serum kreatinin
mungkin meningkat karena keton yang positif)
5. Urinalisis dan pemeriksaan keton dalam urine (all urine until
negative)
6. Kultur darah bila ada indikasi
7. EKG
8. X - foto thoraks dan CT-scan kepala bila ada indikasi
9. Throat swab bila ada indikasi
9. Konsultasi 1. Pediatri Gawat Darurat
2. Pediatri Neurologi
10. Perawatan Tidak diperlukan
Rumah Sakit
11. Terapi / tindakan Sebaiknya setiap penderita KAD berat, penderita KAD dengan
(ICD 9-CM) penurunan kesadaran, penderita KAD berusia kurang dari 5 tahun, dan
penderita KAD dengan kecurigaan edema serebri dirawat di ICU.

Fase akut
1. Resusitasi cairan:
a. Bila didapatkan tanda-tanda renjatan (hipotensi, perfusi perifer
yang menurun, oliguria), resusitasi cairan menggunakan NaCl
0,9% atau Ringer Laktat, dengan dosis 20 ml/kgBB yang
diberikan selama 1-2 jam.
b. Resusitasi dapat diulang bila tanda-tanda renjatan masih ada.
c. Apabila tidak ditemukan renjatan atau setelah renjatan teratasi
pemberian cairan diberikan secara bertahap dalam 48 jam untuk
menghindari komplikasi berupa edema otak yang bisa terjadi 5-
45 setelah terapi dimulai. Jumlah cairan yang diberikan dalam 48
44
jam adalah sisa defisit cairan ditambah kebutuhan cairan
rumatan untuk 48 jam kemudian. (Tabel 1 dan 2)
d. Penggunaan cairan koloid belum terbukti lebih baik daripada
cairan kristaloid. Pada penderita syok jangan lupa memberikan
oksigen. Bila kesadarannya menurun perlu pemasangan sonde
lambung.
e. Status cairan harus tiap kali dinilai untuk melihat apakah kita
cukup memberikan rehidrasi.
f. Bila poliuria masih terus berlangsung, mungkin balans cairan
masih negatif dan kita belum berhasil merehidrasi penderita
dengan baik.
g. Penderita harus puasa sampai keadaan stabil.

Perkiraan derajat dehidrasi:


a. Ringan: Turgor menurun, mukosa mulut kering, takikardi,
takipnea
b. Sedang: Kelopak mata cekung, ubun-ubun cekung, turgor
menurun lebih berat.
c. Berat: Renjatan, nadi tak teraba atau sangat lemah, hipotensi,
oligouria.

Tabel 1. Dehidrasi pada bayi dan anak


Usia Ringan Sedang Berat
Bayi 5%: 50 ml/kgBB 10%: 100 ml/kgBB 15%: 150 ml/kgBB
Anak 3%: 30 ml/kgBB 6%: 60 ml/kgBB 9%: 90 ml/kgBB
Pada umumnya kehilangan cairan ekstraseluler 5-10%
Jarang melebihi 10%

Tabel 2. Cairan rumatan untuk 48 jam kemudian


Berat Badan Jumlah cairan (ml/kg)
10 kg pertama 200
10 kg berikutnya 100
Penambahan BB selanjutnya 40

2. Monitoring klinik secara reguler:


a. Nadi, pernapasan, dan tekanan darah tiap jam
b. Observasi neurologis tiap jam, dengan memperhatikan tanda-
tanda kemungkinan terjadinya edema otak.
c. Sakit kepala, bradikardi, muntah terus menerus.
d. Perubahan status neurologis.
e. Peningkatan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen.
f. Gula darah tiap jam pada saat pemberian insulin.
45
g. Pengukuran balans cairan yang cermat (kalau perlu pasang
kateter urin)
h. Suhu tubuh tiap 2 - 4 jam.
i. Pemeriksaan keton darah atau keton urine sampai negatif
EKG untuk membantu melihat adanya hiperkalemia atau
hipokalemia.

3. Penggantian Natrium
Penggantian Na harus individual, berdasar monitoring laboratorium.
Elektrolit mula-mula harus diukur 2-4 jam sekali. Perkiraan
corrected Na (Natrium sebenarnya) dapat diperhitungkan dengan
rumus:

Corrected Na = Kadar Na+(terukur) + 1,6 (kadar gula darah – 100mg/dl)

100

Natrium: 1 mmol/l = 1 mEq/dl


Jadi tambahkan 1,6 mmol/l atau 1,6 mEq/dl Na untuk setiap 100
mg/dl glukosa diatas 100 mg/dl
Bila nilai kadar Natrium yang dikoreksi > 150 mmol/l berarti ada
hipernatremia, selain itu berarti ada keadaan hiperosmolar karena
glukosa yang tinggi. Dalam keadaan ini penanganan harus tepat agar
tidak terjadi edema otak. Dianjurkan koreksi cairan dan elektrolit
dilakukan tidak tergesa-gesa yaitu dalam waktu 48 - 72 jam.

4. Penggantian Kalium
Penggantian K harus dimulai setelah resusitasi, bersamaan waktunya
dengan dimulainya pemberian insulin. Dosis KCl 5
mmol/kgBB/hari, kemudian lakukan penilaian ulang dengan
pengukuran K pada 2 - 4 jam berikutnya (selanjutnya tiap 4 jam).
Bila penderita KAD pada saat datang dengan kadar K rendah atau
pada batas bawah normal harus hati-hati, karena berarti ada
kekurangan K yang berat. Untuk itu koreksi K bisa dilakukan
bersamaan dengan saat rehidrasi awal (konsentrasi rendah 20
mmol/l)
Untuk mudahnya diberikan beberapa pegangan praktis:
a. KCl 7,5 %  1 mmol = 1 ml
b. Biasanya tidak lebih dari 30 - 40 mmol KCl diberikan dalam
setiap 1000 ml cairan rehidrasi.
c. Kecepatan pemberian KCl 0,5 mmol/KgBB/jam.

5. Natrium Bikarbonat
46
Pada umumnya jarang diperlukan terapi Natrium Bikarbonat karena
asidosis pada KAD disebabkan oleh badan keton dan asam laktat
yang akan hilang dengan pemberian cairan dan insulin.
Indikasi pemberian Natrium Bikarbonat:
a. Penderita dengan renjatan berat
b. Penderita dengan asidosis berat ( pH< 6,9 dan/atau HCO 3< 5
mmol/l)
Monitoring jantung harus baik dan hati-hati akan terjadinya
hipokalemia akibat koreksi asidosis yang terlalu cepat.
Dosis 1-2 mmol/kg dan untuk pemberian berikutnya harus
dilihat terlebih dahulu respon terapi sebelumnya. Pemberian
dilakukan tiap kali secara intravenous selama 60 menit.

6. Memulai pemberian insulin


Insulin diberikan secara intravenous dengan insulin pump, hanya
boleh menggunakan Short Acting/Regular Insulin (Actrapid ™,
Humulin R™).
Setelah resusitasi selesai sedangkan rehidrasi serta penggantian KCl
dalam proses, terapi insulin dapat dimulai dengan pengamatan klinis
dan laboratoris yang ketat.
Untuk keseragaman, buatlah larutan insulin dengan kekuatan 0,1
Unit/ml. Pemberian insulin harus terpisah dari cairan rehidrasi, jadi
gunakan syringe pump atau pasang 2 infus.
a. Cara membuat larutan sediaan insulin:
a) Larutan insulin dibuat dengan menambahkan 1 Unit RI ke
dalam 10 ml Normal Saline.
b) Bila dengan syringe pump yang menggunakan syringe/spuit
20 ml maka dibutuhkan 2 Unit RI untuk setiap 20 ml (NaCl
0,9 %).
c) Sedangkan bila dengan tetesan infus biasa: 50 Unit RI
untuk setiap 500 ml Normal Saline
b. Pemberian insulin
a) Pada umumnya insulin drip dimulai dengan dosis 0,05 - 0,1
units/kgBB/jam dan tidak diperlukan pemberian insulin
bolus.
b) Target kecepatan penurunan gula darah: 75 - 100 mg/dl per
jam.
c) Waktu penurunan gula darah mencapai 250 mg/dl, infus
diganti dengan D5% NaCl 0,45% Salin atau D5% NaCl
0,225% Salin. Kalau perlu koreksi Natrium diberikan.
d) Laju kecepatan insulin dan pemberian dekstrose diatur
sehingga kadar gula darah berkisar antara 90 - 180 mg/dl.
c. Ketonemia

47
a) Insulin dibutuhkan untuk membersihkan ketonemia, untuk
ini harus diberikan insulin yang adekuat baik secara IV
drip atau short acting secara subkutan tiap 6 jam sampai
ketonuria negatip.
b) Bila penderita masih membutuhkan infus setelah 24 jam,
maka gunakan D5% in 0,45 atau 0,225 Salin.

7. Edema serebri
Herniasi karena edema otak merupakan komplikasi terapi pada
KAD, sifatnya akut dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama pengobatan.
Bila terjadi herniasi otak, waktu penanganan yang efektif sangatlah
pendek:
a. Posisikan kepala lebih tinggi.
b. Bila ragu-ragu segera berikan Mannitol 0,5-1 g/kgBB i.v drip
(20 menit), diulang bila tidak respons dalam 30 menit-2 jam.
c. Kecepatan cairan i.v dikurangi 1/3 nya.
d. Sebagai alternatif bisa diberikan NaCl 3% 5-10 mL/kg dalam 30
menit
e. Bila mungkin buat CT-scan otak.

Fase pemulihan
Setelah ketoasidosis teratasi, mulai dicoba minum bila keadaan penderita
stabil secara metabolik, yaitu: kadar gula darah < 250 mg/dl, pH > 7,30
dan HCO3> 15 mmol/l. Cairan rendah kalori (air putih) dapat diberikan.
1. Pengaturan insulin i.v drip pada saat makan
a. Untuk makanan kecil (snack) kecepatan insulin drip diberikan 2
kali jumlah sebelumnya dimulai saat penderita makan dan
dipertahankan sampai 1/2 jam setelah selesai makan, lalu
kembali ke dosis sebelumnya.
b. Untuk makan besar (breakfast, lunch, dinner) kecepatan insulin
drip diberikan 2 kali jumlah sebelumnya dimulai saat mulai
makan dan dipertahankan sampai 1 jam setelah makan. Setelah
itu kembalikan insulin ke dosis sebelumnya.
2. Penghentian drip insulin intravena
Kesadaran penderita baik, secara metabolik stabil, dan bila penderita
sudah dapat makan sedikitnya satu kali. Saat terbaik untuk
mengubah insulin drip ke subkutan adalah pada saat sebelum makan.
Insulin subkutan harus diberikan 30 menit sebelum makan dimulai.
Sedangkan insulin i.v drip dipertahankan selama makan sampai 90
menit setelah insulin subkutan diberikan.

48
hRegimen Short Acting Insulin
Kebutuhan total perhari biasanya 1 Unit/kgBB/hari.
Sebelum Sebelum Sebelum Tengah
makan pagi makan siang makan malam malam

2/7 bagian 2/7 bagian 2/7 bagian 1/7 bagian


12. Tempat Pelayanan 1. Pediatric Intensive Care Unit
2. Intermediate
13. Penyulit 1. Edema Serebri
2. Hipokalemia
14. Informed Consent Tertulis
15. Tenaga Standar Paramedis yang terlatih dalam menangani DM tipe 1 (sudah mendapat
pelatihan DM pada anak)
16. Lama Perawatan 4 hari
17. Masa Pemulihan 2 hari
18. Hasil Penderita sadar, asidosis terkoreksi dan gula darah stabil
19. Patologi Tidak diperlukan
20. Otopsi Tidak diperlukan
21. Prognosis Tergantung saat diagnosis dan ada tidaknya komplikasi
22. Tindak Lanjut 1. Untuk penderita DM tipe 1 baru: latihan cara injeksi insulin dan
pemeriksaan gula darah
2. Monitoring gula darah harian.
23. Tingkat Evidens IA
& Rekomendasi
24. Indikator Medis Lama perawatan, mortalitas
25. Edukasi Perburukan kondisi / perkembangan penyakit
26. Kepustakaan 1. Dunger DM, Sperling MA, Acerini CL, et al. European Society for
PediatricEndocrinology / Lawson Wilkins Pediatric Endocrine
Society Consensus Statement On Diabetic Ketoacidosis In Children
And Adolescents. Pediatrics 2004; 113:e133-40.
2. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee WRW,
et al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2009, Diabetic
Ketoacidosis. Pediatric Diabetes 2009; 8: 118-33.

49

Anda mungkin juga menyukai