Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN ISOLASI SOSIAL

Dosen Pengajar : Nuche Marlianto, SKM., MKM

Disusun oleh : Kelompok 2

1. A. Hafiz (23230068P) 8. Ravian Ademin (23230120P)


2. Anggi Nadia (23230160P) 9. Soska Dwi Putra (23230180P)
3. Desna Aprilia (23230150P) 10. Tamara Anelva (23230067P)
4. Eva Susanti (23230182P) 11. Vreciosa Nopitabela (23230109P)
5. Florance Lestari S (23230172P) 12. Wulan Dari Agustin (23230104P)
6. Nurul Afni (23230136P) 13. Yulia Adeva W (23230247P)
7. Qurratul A’yuni (23230081P)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Isolasi Sosial”.
Penulis mengucapan terima kasih kepada Bapak Nuche Marlianto, SKM.,
MKM. selaku dosen pengajar mata kuliah Keperawatan Psikiatri.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bengkulu, 10 Desember 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Isolasi Sosial
2.1.1 Definisi .............................................................................................................. 4
2.1.2 Etiologi .............................................................................................................. 4
2.1.3 Rentang Respon ................................................................................................ 7
2.1.4 Proses Terjadinya Isolasi Sosial...................................................................... 10
2.1.5 Manifestasi Klinis ........................................................................................... 11
2.1.6 Komplikasi ..................................................................................................... 12
2.1.7 Penatalaksanaan ............................................................................................. 12
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan dengan Isolasi Sosial ................................................ 13
2.2.1 Pengkajian ....................................................................................................... 13
2.2.2 Pohon Masalah ............................................................................................... 15
2.2.3 Diagnosa ......................................................................................................... 16
2.2.4 Intervensi ......................................................................................................... 16
2.2.5 Implementasi ................................................................................................... 23
2.2.6 Evaluasi ........................................................................................................... 24
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 25
3.2 Saran .......................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan jiwa menurut American Phychiatric Association (APA)


merupakan sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting
secara klinis yang terjadi pada individu dan sindrom itu dihubungkan
dengan adanya distress (misalnya gejala nyeri, menyakitkan) atau disabilitas
(ketidakmampuan pada salah satu bagian dan beberapa fungsi yang penting)
atau disertai dengan peningkatan resiko yang sera bermakna untuk mati,
sakit, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan (APA dalam Prabowo,
2014).
Menurut WHO (2009) memperkirakan terdapat 450 juta jiwa
diseluruh dunia yang mengalami gangguan jiwa diseluruh dunia yang
mengalami gangguan mental, sebagian besar dialami oleh orang dewasa
muda natara usia 18-21 tahun, ha ini dikarenakan pada usia tersebut tingkat
emosional masih belum terkontrol di Indonesia sendiri prevalensi
penduduk yang mengalami gangguan jiwa cukup tinggi, data WHO (2006)
mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16%
mengalami gangguan jiwa. Di Indonesia jumlah isolasi sosial 31 orang
(6,7%).
Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan
gangguan utama pada proses pikir serta disharmoni antara proses pikir,
emosi dan kemauan, salah satunya pada kasus jiwa dengan isolasi sosial.
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya (Dermawan dan Rusdi, 2013). Fenomena lapangan yang muncul
dan dapat dilihat dengan nyata pada penderita isolasi sosial dan menarik diri
adalah kurangnya hubungan sosial dengan orang lain, merasa harga diri
rendah, dan menarik diri dari orang lain yang berhubungan dengan stigma
(Stuart 2013). Pada kejadian ini pasien dengan isolasi sosial yang berada di
rumah sangat membutuhkan bantuan keluarga untuk sembuh. Akan tetapi,
ada beberapa keluarga yang belum mampu bahkan belum mengerti tentang

1
2

penyakit gangguan jiwa isolasi sosial. Keluarga hanya akan membantu


pasien secara harfiahnya manusia seperti kebutuhan sandang dan pangan.

Klien Isolasi Sosial ditandai dengan menganggap dirinya tidak


mampu untuk melakukan apa yang dimiliki orang lain, merasa dirinya tidak
mempunyai kelebihan apapun sehingga menyebabkan dirinya menjadi
minder dan mengisolasi diri. Dampak yang ditimbulkan dari Isolasi Sosial
meliputi: Gangguan sensori persepsi: Halusinasi, Resiko Perilaku Kekerasan
(pada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal), Defisit Perawatan Diri
(Damaiyanti & Iskandar 2014).
Strategi Pelaksanaan untuk Skizofrenia dengan Isolasi Sosial
dilakukan rencana asuhan keperawatan yang terdiri dari 5 strategi
pelaksanaan. Dengan tindakan pertama melakukan pendekatan dengan
prinsip Bina Hubungan Saling Percaya untuk memberikan rasa saling
percaya antara pasien dengan perawat. Perawat akan lebih mudah
melakukan asuhan keperawatan jika rasa saling percayasatu sama lain sudah
terbentuk. Tindakan selanjutnya membantu pasien mengenal penyebab dari
Isolasi Sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berinteraksi serta
kerugian tidak melakukan interaksi dengan orang lain, mengajarkan pasien
berkenalan, mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan
dengan orang pertama), melatih pasien berinteraksi secara bertahap yaitu
berkenalan dengan dua orang atau berkelompok.
Pada SP keluarga membantu identifikasi tentang masalah Isolasi
Sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien isolasi sosial,
melatih serta mempraktekan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
kepada keluarga langsung dihadapan pasien (Dermawan & Rusdi, 2013).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi isolasi sosial?


2. Apa saja etiologi isolasi sosial?
3. Bagiaman rentang respon isolasi sosial?
4. Bagaimana proses terjadinya isolasi sosial?
3

5. Apa saja manifestasi klinis isolasi sosial?


6. Apa saja komplikasi isolasi sosial?
7. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan isolasi sosial
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dengan isolasi sosial?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi isolasi sosial.


2. Untuk mengetahui etiologi isolasi sosial.
3. Untuk mengetahui rentang respon isolasi sosial.
4. Untuk mengetahui proses terjadinya isolasi sosial.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis isolasi sosial.
6. Untuk mengetahui komplikasi isolasi sosial.
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan isolasi sosial.
8. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan dengan isolasi sosial.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Isolasi Sosial

2.1.1 Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah keadaan ketika individu mengalami


penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain dan sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak,dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. (
Keliat,dkk.2009)
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang
terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang
menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang
dalam hubungan sosial (Depkes, 2000 dalam Dermawan dan Rusdi,
2014).
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien dengan isolasi sosial
mengalami gangguan dalam berinteraksi dan mengalami perilaku tidak
ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri,
dan menghindar dari orang lain. (Yosep,Sutini, 2014).

2.1.2 Etiologi Isolasi Sosial

Menurut Direja (2011) Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung

terjadinya perilaku isolasi sosial :

1. Faktor Predisposisi

a. Faktor Perkembangan
5

Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa

bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang

sehingga mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem

keluarga yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya

menarik diri. Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan

tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih

tepat tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stress keluarga,

pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial

menarik diri.

b. Faktor Genetik

Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial

maladaprif. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung

gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran

ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan

limbic diduga dapat menyebabkan skizofrenia (Direja, 2011).

c. Faktor Sosial Budaya

Isolasi social atau mengasingkan diri dari dari lingkungan


social merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan
dalam hubungan sosial. Hal ini di sebabkan oleh norma-norma
yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota yang
tidak produktif seperti usia lanjut, penyakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.

d. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
6

pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam


teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seorang
anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan
dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam
keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan
lingkungan di luar keluarga.

2. Faktor Presipitasi

Menurut Aziza (2011) stressor presipitasi adalah stimulus


yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman atau
tuntutan dan memerlukan energi ekstra untuk mengatasinya (faktor
yang memperberat atau memperparah terjadinya gangguan jiwa).
Ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang
menarik diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari berbagai
stressor antara lain :
a. Stressor Sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain,
misalnya menurunnya stabilitas unit keluarga, berpisah dari
orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena
dirawat dirumah sakit.

b. Stressor Psikologik

Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan


keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain
untuk memenuhi kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi bahkan dapat menimbulkan sesorang
7

mengalami gangguan hubungan menarik diri.

c. Stressor Intelektual

- Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk


berbagai pikiran dan perasaan yang menggangu
pengembangan hubungan dengan orang lain.
- Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulitt
berkomunikasi dengan orang lain.
- Ketidakmampuan seseorang mambangun kepercayaan
dengan orang lain akan persepsi yang menyimpang dan akan
berakibat pada gangguan berhubungan dengan orang lain.

d. Stressor Fisik

- Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau


malu sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang lain.
- Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan
seseorang menarik diri dari orang lain.

2.1.3 Rentang Respon

Berdasarkan buku keperawatan jiwa dari Stuart (2006)


menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, untuk mencapai
kepuasan dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan
interpersonal yang positif. Individu juga harus membina saling
tergantung yang merupakan keseimbangan antara ketergantungan dan
kemandiriandalam suatu hubungan.
Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayan yang berlaku dimana invidu tersebut
8

mneyelesaikan masalahnya masih dalam batas normal. Sedangkan


respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalahnya yang sudah menyamping dari norma-
norma sosial dan kebudayaan suatu tempat perilaku yang berhubungan
dengan respon sosial maladaptif, adalah manipulasi, impulsive, dan
narkisme.

Gambar 2.1 Rentang Respon Isolasi Sosial (Stuart, 2006)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Implusif
Kebersamaan Ketergantungan Narkisisme
Saling Ketergantungan

1. Menyendiri (Solitude)

Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa


yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya. Solitude
umumnya dilakukan setelah melakukan kegiatan.
2. Otonomi

Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan


ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan (Mutualisme)
Mutualisme adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana
individu tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.

4. Saling Ketergantungan (Intedependen)


9

Intendependen adalah kondisi saling ketergantungan antara individu


dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
5. Kesepian
Merupakan kondisi diman individu merasa sendiri dan teransing dari
lingkungannya.
6. Isolasi Sosial
Merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
7. Ketergantungan
Dependen terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya
diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses. Pada gangguan
hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan sebagai objek,
hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang
lain.

8. Manipulasi

Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu


yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak
dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
9. Impulsif
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, dan penilaian yang
buruk.
10. Narkisisme
Pada invididu narsisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus
menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap
egosentrik, pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.

2.1.4 Proses Terjadinya Isolasi Sosial


10

Pattern of Parenting Ineffective Coping Lack of Stressor


(Koping Development Task Internaland
(Pola Asuh Keluarga) IndividuTidak (Gangguan Tugas External (Stress
Efektif) Perkembangan) Internal dan
Eksternal)
Misal: pada anak yang Misal: saat individu Misal: kegagalan Misal: stress
kelahirannya tidak menghadap kegagalan menjalin hubungan terjadi akibat
dikehendaki (unwanted menyalahkan orang intim dengan sesama ansietas yang
child)akibat kegagalan lain, ketidakberdayaan, jenis atau lawan berkepanjangan
KB, hamil di luar menyangkal tidak jenis, tidak mampu dan terjadi
nikah, jenis kelamin mampu menghadapi mandiri dan bersamaan dengan
yang tidak diinginkan, kenyataan dan menyelesaikan tugas, keterbatasan
bentuk fisik kurang menarik diri dari bekerja, bergaul, kemampuan
menawan lingkungan, terlalu sekolah menyebabkan individu untuk
menyebabkan tingginya self ideal dan ketergantungan pada mengatasinya.
keluarga mengeluarkan tidak mampu orang tua, rendahnya Ansietas terjadi
komentar-komentar menerima realitas ketahanan terhadap akibat berpisah
negative, merendahkan dengan rasa syukur. berbagai kegagalan. dengan orang
dan menyalahkan anak terdekat, hilangnya
pekerjaan atau
orang yang
dicintai.

Harga Diri Rendah Kronis

Isolasi Sosial

Gambar 2.2 Proses Terjadinya Masalah Isolasi Sosial Sumber : Rusdi &Dermawan
2014
11

2.1.5 Manifestasi Klinis

Menurut buku SDKI (2017) tanda dan gejala isolasi sosial ada dua, yaitu
mayor dan minor :
 Gejala dan tanda mayor
Subjektif :
1. Merasa ingin sendirian
2. Merasa tidak aman di tempat umum
Objektif :
1. Menarik diri
2. Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau
lingkungan.

 Gejala dan tanda minor


Subjektif :
1. Merasa berbeda dengan orang lain
2. Merasa asyik dengan pikiran sendiri
3. Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas

Objektif :

1. Afek datar

2. Afek sedih

3. Menunjukkan permusuhan

4. Tidak mampu memenuhi harapan orang lain

5. Tindakan tidak berarti

6. Tidak ada kontak mata

7. Perkembangan terlambat

8. Tidak bergairah/lesu
12

2.1.6 Komplikasi Isolasi Sosial

Pasien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan


dantingkah laku masa lalu primitive antara lain pembicaraan yang autistic
dan tingkah laku yan tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat
lanjut menjadi resiko gangguan sensori persepsi: halusinasi, mencederai
diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktivitas sehingga
dapat menyebabkan deficit perawatan diri (Dalami, 2009 dalam
Dermawan dan Rusdi, 2014).

2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan isolasi sosial menurut
Dermawan dan Rusdi (2013) adalah:
1. Terapi farmakologi : Chlorpromazine, Haloperidol, Triflouperazine
2. Electri Convulsive Therapi

Electri Convulsive Therapi (ECT) atau yang dikenal dengan


electroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy
shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan
untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat
psikiatri pada dosis terapinya.
3. Terapi Kelompok
Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama – sama dengan jalan berdiskusi satu
sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang terapis atau
petugas kesehatan jiwa. Terapi ini bertujuan memberi stimulus bagi
klien dengan gangguan interpersonal.
4. Terapi lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitannya
untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan
13

berkaitan erat dengan stimulus psikologi seseorang yang akan


berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan
memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi
psikologiseseorang.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan dengan Isolasi Sosial


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan
menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien
tersebut (Yosep & Sutini, 2014). Pengelompokan data pada pengkajian
kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian stressor, sumber
koping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengajian, tulis
tempatklien dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
1. Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan,
agama, tanggal pengkajian dll.
2. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain)
komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak
interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan kegiatan sehari ± hari ,
dependen.
3. Faktor Predisposisi
Meliputi Kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan
orang tua yang tidak realistis ,kegagalan / frustasi berulang ,
tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial. Terjadi
trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan, dicerai
suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang
terjadi ( korban perkosaan, dipenjara tiba ± tiba) perlakuan orang
lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri
sendiri yang berlangsung lama.
14

4. Aspek Fisik / Biologis


Meliputi hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan ,
TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.
5. Aspek Psikososial meliputi :
a. Genogram yang menggambarkan tiga generasi.
b. Konsep diri:
1) Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau
yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh,
persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian
tubuh yang hilang, mengungkapkan keputusasaan,
mengungkapkan ketakutan.
2) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan
dan tidak mampu mengambil keputusan.
3) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
4) Ideal diri
Mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya :
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
5) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap
diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan
martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri. Klien
mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga
social dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok
yang diikuti dalam masyarakat.
6) Status Mental
15

Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak


mata, kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka
menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan perawat.
7) Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau
menceritakan nya pada orang orang lain (lebih sering
menggunakan koping menarik diri).
8) Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi
ECT, Psikomotor, therapy okupasional, TAK , dan rehabilitas.

2.2.2 Pohon Masalah

Gangguan persepsi sensori: Halusinasi


Pendengaran/penciuman/pengecapan/perabaan.

Isolasi sosial

Harga Diri Rendah

Ketidakberdayaan

Koping Individu
Tidak Efektif

Defisit Perawatan diri

Kurang Motivasi

Gambar 2.3 Pohon Masalah Isolasi Sosial (Yosep & Sutini, 2014)
16

2.2.3 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan interprestasi ilmiah dari data
pengkajian yang digunakan untuk mengarahkan perencanaan,
implementasi, dan evaluasi keperawatan. (Damaiyanti & Iskandar,
2012).
Ada beberapa diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan
isolasi sosial (Damaiyanti & Iskandar, 2012) yaitu :
1. Isolasi sosial
2. Harga Diri Rendah Kronik
3. Resiko Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

2.2.4 Intervensi
Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran danpenentuan secara
matang. Hal-hal ini yang akan dikerjakan dimasa mendatang dalam
rangka pencapaian tujuan yang telahditetapkan, perencanaan juga dapat
diartikan sebagai suatu rencana kegiatan tentang apa yang harus
dilakukan, bagaimana kegiatan itu dilakukan. Perencanaan yang
matang akan memberi petunjuk dan mempermudah pelaksanaan suatu
kegiatan. Dalam suatu organisasi, perencanaan merupakan pola fikir
yang dapat menentukan keberhasilan suatu kegiatan selanjutnya dan
perencanaan keperawatan mencakup perumusan diagnosis, tujuan
umum, tujuan khusus sertarencana tindakan (Keliat & Akemat, 2009).
Menurut Damiyanti & Iskandar (2012) setelah dibuat perumusan
masalah dan diagnosis keperawatan ditegakkan dapat melakukan
rencana keperawatan untuk diagnosa keperawatan :

1. Diagnosa : Isolasi Sosial


Tujuan :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
2) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
3) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan
17

orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain


4) Klien dapat membina hubungan saling percaya
5) Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
6) Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan
orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
7) Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secarabertahap
8) Klien dapat mengungkapkan perasannya setelah berhubungan
dengan orang lain
9) Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
mampu mengembangkan kemampuan klien untuk
berhubungan dengan orang lain.
Intervensi:

1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan


prinsip komunikasi terapeutik.
2) Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan
tanda-tandanya.
3) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
penyebab menarik diri atau tidak mau bergaul.
4) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri
tanda-tanda serta penyebab yang muncul
5) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan
berhubungan dengan orang lain.
6) Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain.
7) Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan.
8) Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat
berhubungan dengan orang lain.
9) Dorong anggota keluarga untuk memberikan dukungan
kepada klien untuk berkomunikasi dengan orang lain.
18

Strategi Pelaksanaan :

1.) Sp 1P :

a) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien.


b) Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi
dengan orang lain.
c) Berdiskusi dengan klien tentang kerugian beriteraksi
dengan orang lain.
d) Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang.
e) Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan
berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan
harian.

2.) Sp 2P :

a.) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

b.) Memberikan kesempatan kepada klien mempratikkan cara


berkenalan dengan satu orang.
c.) Membantu klien memasukkan kegiatan latihan
berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu
kegiatan harian.

3.) Sp 3P :

a.) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.


b.) Memberikan kesempatan kepada klien mempratikkan
cara berkenalan dengan dua orang atau lebih.
c.) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
19
4.) Sp 1 K :

Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat


pasien. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial
yang dialami klien beserta proses terjadinya. Menjelaskan cara-
cara merawat klien dengan isolasi sosial.
5.) Sp 2 K :
Melatih keluarga mempratikkan cara merawat klien dengan
isolasi sosial. Melatih keluarga mempratikkan cara merawat
langsung kepada klien isolasi sosial.

6.) Sp 3 K :
Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas jadwal aktivitas
dirumah termasuk minum obat (discharge planning).
Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

2. Diagnosa: Harga Diri Rendah Kronik

Tujuan:
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4) Klien dapat (menetapkan) kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki.
5) Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit.
6) Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip


komunikasi terapeutik.
2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimilikiklien.
3) Utamakan memberi pujian yang realistik.
4) Rencanakan bersama klien aktifitas yang dapat dilakukan setiap
20
hari.
5) Tingkatkan kegiatan yang sesuai dengan toleransikondisi klien.
6) Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
7) Beri kesempatan kepada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan
8) Beri pujian atas keberhasilan klien
9) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien dengan harga diri rendah kronik
10) Bantu keluarga memberikan dukungan selama kliendirawat.
11) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan dirumah.

Strategi Pelaksanaan :
1.) Sp 1 P:
a.) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
klien.
b.) Membantu klien menilai kemampuan klien yang masih
dapat digunakan.
c.) Membantu klien memilih atau menetapkan kegiatan yang
akan dilatih sesuai dengan kemampuan klien.
d.) Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dipilih.
e.) Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien.
f.) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
2.) Sp 2 P:
a.) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b.) Melatih klien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan
kemampuan klien.
c.) Menganjurkan klien masukkan dalam jadwal kegiatanharian.
3.) Sp 1 K:
a.) Mandiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien dirumah.
b.) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah
yang dialami klien beserta proses terjadinya.
21
c.) Menjelaskan cara-cara merawat klien dengan harga diri
rendah.
d.) Mendemonstrasikan cara merawat klien dengan harga diri
rendah.
4.) Sp 2 K :
Melatih keluarga mempratikkan cara merawat langsung kepada
klien harga diri rendah.
5.) Sp 3 K :
a.) Membuat perencanaan pulang bersama keluarga dan
membuat jadwal aktifitas dirumah termasuk minum obat
(discharge planning).
b.) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

3. Diagnosa : Resiko Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi


Tujuan :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya .
2) Klien dapat mengenali halusinasinya.
3) Klien dapat mengontrol halusinasinya.
4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip


komunikasi terapeutik.
2) Adakah kontak sering dan singkat secara bertahap.
3) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya; bicara dan
tertawa tanpa stimulus, memandang kekiri atau ke kanan atau kedepan
seolah- olah ada teman bicara.
4) Bantu klien mengenali halusinasinya.
5) Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi
(marah atau takut, sedih, senang) beri kesempatan mengungkapkan
perasaannya.
22
6) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi (tidur, marah, menyibukkan diri, dll).
7) Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrolhalusinasi.
8) Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara
bertahap.
9) Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jikamengalami halusinasi.
10) Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi manfaat
obat.
11) Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip benar.

Strategi Pelaksanaan :
1.) Sp 1 P :
a.) Mengidentifikasi jenis halusinasi klien.
b.) Mengidentifikasi isi halusinnasi klien.
c.) Mengidentifikasi waktu halusinasi klien.
d.) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien.
e.) Mengidentifikasi situasi yang dapat menimbulkan halusinasi
klien.
f.) Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi klien.
g.) Mengajarkan klien menghardik halusinasi.
h.) Menganjurkan ke dalam kegiatan harian.

2.) Sp 2 P:

a.) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.


b.) Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-
cakap dengan orang lain.
c.) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam jadwal harian klien.

3.) Sp 3 P :

a.) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.


b.) Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara melakukan
kegiatan.
23
c.) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam jadwal harian klien.

4.) Sp 4 P :

a.) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.


b.) Memberikan penkes tentang penggunaan obat secarateratur.
c.) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam jadwal harian klien.
5.) Sp 1 K :

a.) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat


klien.
b.) Memberikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi,
jenis halusinasi yang dialami klien, tanda dan gejala halusinasi,
serta proses terjadinyahalusinasi.
c.) Menjelaskan cara merawat klien dengan halusinasi.

6.) Sp 2 K :
a.) Melatih keluarga mempratikkan cara merawat kliendengan
halusinasi.
b.) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsungkepada
klien halusinasi.
7.) Sp 3 K :

a.) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk


minum obat (discharge planning).
b.) Menjelaskan pollow up klien setelah pulang.

2.2.5 Implementasi
Tindakan keperawatan merupakan standar dari asuhan keperawatan yang
berhubungan dengan aktivitas keperawatan profesional yang dilakukan oleh
perawat, dimana implementasi dilakukan ada pasien, keluarga dan komunitas
berdasarkan rencana keperawatan yang dibuat.
Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa
menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah penyakit
meningkat, mempertahankan, dan memulihkan kesehaatan fisik dan mental.
Kebutuhan pasien terhadap pelayanan keperawatan dan dirancang pemenuhan
24
kebutuhannya. Melalui standar pelayanan dan asuhan keperawatan. Pedoman
yang dibuat untuk tindakan pada pasien baik secara individual, kelompok
maupun terkait dengan ADL (Activity Daily Living). Dengan adanya perincian
kebutuhan waktu, diharapkan setiap perawat memiliki jadwal harian masing-
masing pasien sehingga waktu kerja perawat menjadi lebih efektif dan efisien
(Keliat & Akemat, 2009).

2.2.6 Evaluasi
Evaluasi adalah pengukuran keefektifan pengkajian, diagnosis, perencanaan,
dan implementasi (Rasdal & Mary, 2014). Evaluasi adalah proses yang
berkelanjutan untuk menilai afek dari tindakan pada pasien. Evaluasi
dilakukan secara terus-menerus pada respon pasien terhadap keperawatan yang
telah dilaksanakan, evaluasi dibagi menjadi dua, evaluasi proses atau
formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil
atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon pasien
dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan (Keliat, 2006). Evaluasi
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan :

S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatanyang telah


dilakukan.
O : Respon objektif pasien terhadap keperawatan yang telahdilakukan

A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalah baru
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon pasien
yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak lanjut oleh perawat.
Didalam evaluasi ada terdapat dua menurut Damaiyanti (2014), sebagai
berikut :
a.) Planning perawat adalah apa tindakan selanjutnya yang akan
dilakukan.
b.) Planning klien adalah memotivasi klien agar klien mampu
melaksanakan kegiatan hariannya.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang lain karena
merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi
rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara
spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada
perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman.
Prinsip Keperawatan pada isolasi social yang harus diperhatikan diantaranya :
Psikoterapeutik, Berkomunikasi dengan pasien secara jelas dan terbuka, Kenal dan
dukung kelebihan klien, Bantuklien mengurangi ansietasnya ketika hubungan
interpersonal, Kegiatan hidup sehari-hari.
3.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan untuk perbaikan dalam hal
meningkatkan mutu dan kualitas asuhan keperawatan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Institusi Pendidikan


Diharapkan agar dapat memberikan dan menambah referensi yang terbaru didalam
perpustakan sehingga penyusun karya tulis ilmiah ini mahasiswa dalam mencari
literatur. Dan diharapakan agar memberikan pembekalan/pengarahan pada
mahasiswa sebelum terjun kerumah sakit jiwa.
2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Dalam rangka meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan kepada pasien dengan
tepat, benar, dan sesuai dengan prosedur hendaknya rumah sakit terus
meningkatkan sumber daya manusia dengan melaksanakan pelatihan/seminar untuk
perawat dan juga menyediakan fasilitas yang sesuai dengan standar prosedur
tindakan keperawatan.
3. Bagi Perawat
Bagi perawat hendaknya selalu meningkatkan kerjasama yang harmonis terhadap
seluruh tim kesehatan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan skill tindakan,
sehingga asuhan keperawatan dapat dilaksanakan tanpa adanya hambatan
khususnya dikeperawatan jiwa.
26
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Bagi pasien dan keluarga hendaknya lebih memperhatikan pola kehidupan sehari-
hari supaya terciptanya suasana yang nyaman didalam keluarga. Sehingga resiko
terkena gangguan jiwa dapat diminimalkan.
27

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Nasir, Abdul Muhith, I. (2011) Metodologi Penelitian Kesehatan.


Yogyakarta:Mulia Medika.
Apriliani, F. (2020). Program Studi Diploma III Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Bhakti Kencana.
Azizah, Lilik Ma’rifatul, dkk. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Dermawan, D., & R. (2013) Keperawatan Jiwa; Konsep dan
KerangkaKerjaAsuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishin.
Direja, A. H. S. (2011) Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Fillat, M. T. (2018). Penerapan Aktivitas Terjadwal Pada Pasien Skizofrenia
Dalam Pemenuhan Kebutuhan Aktifitas
Fitria, N. (2012) Prinsip Dasar dan Amplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan. jakarta: Salemba Medika.
Fitria. (2018). Konsep Dasar Komunikasi Terapeutik. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Hafifah, A., Puspitasari, I. M., & Sinuraya, R. K. (2018). Review Artikel :
Farmakoterapi dan Rehabilitasi Psikososial pada Skizofrenia. Farmaka,
16(2), 210–232
Iskandar, D. dan (2014) Asuhan Keperawatan Jiwa. bandung: Refika Aditama.
Keliat, B. A., D. (2019) Keliat, B. A., dkk. jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Keliat, B.A., & Pawirowiyono, A. (2015) Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas
Kedokteran EGC.
Keliat B, dkk. (2019) Proses Keperawatan Jiwa Edisi II. jakarta: ECG.
Keliat, Budi, Anna., Akemat., Helena, Novy.,Nurhaeni, Heni. 2007. Keperawatan
kesehatan jiwa komunitas: CMHN (Intermediate Course). Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Keliat, Budi, Anna., Helena, Novy., Farida . 2013. Manajemen keperawatan
psikososial dan kader kesehatan jiwa: CMHN (Intermediate Course).
Jakarta: Penerbit Buku
Kelliat B.A (2012) Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. jakarta: ECG.
28

Kusumawati F & Hartono, Y, 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa,


Jakarta :
Muhith, A. (2015) Pendidikan Keperawatan Jiwa( Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta:
Mukhipah, Damayanti., Iskadar. 2012. Asuhan keperawatan jiwa. Bandung: PT
Refika Aditama.
Nadirawati (2018) Buku Ajar Asuhan Keperawatan Keluarga. 1st edn. Edited by
Anna. Bandung: PT Refika Aditama
Nanda Internasional Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020 (Edisi 11). Jakarta: EGC Nuha Medika.
Sarfika, N. R., Maisa, E. A., & Windy Freska. (2018). Komunikasi Terapeutik
Dalam Keperawatan. In Buku Ajar Keperawatan 2.
Stuart, G. W. (2013) Buku Saku Keperawatan Jiwa. jakarta: ECG.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Yosep, 2011. Keperawatan Jiwa, Cetakan Kedua. Bandung : PT Refika Aditama.


Yosep & Sutini (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama.

Anda mungkin juga menyukai