Disusun Oleh:
1. Ellysa Kurnia Fitriana, S.Ked (H1AP12046)
2. Selli Efrida Siahaan, S.Ked (H1AP13042)
3. Rawahyudi Herdizal, S. Ked (H1AP15053)
4. Vidya Alvionita, S. Ked (H1AP15042)
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas SMF Bagian
Forensik, RS Bhayangkara Tk III, Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu,
Bengkulu.
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan referat ini.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Bagian Forensik, RS Bhayangkara Tk III, Fakultas Kedokteran
Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Marlis Tarmizi, Sp.FM sebagai pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual
kepada Kami dalam menyusun laporan kasus ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Kami sangat
berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………..2
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….3
DAFTAR ISI………………………………………………………………………4
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………5
1.2 Tujuan……………………………………………………………………...6
2.1 Definisi…………………………………………………………………….7
2.4 Patomekanisme…………………………………………………………..10
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
1.2. Tujuan
1.2.1. TujuanUmum
Mengetahui dan mampu menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan
trauma kimia akibat basa
1.2.2. TujuanKhusus
1. Mengetahui dan mengerti mengenai definisi, epidemiologi dan gambaran klinis
trauma kimia akibat basa
2. Mengetahui pemeriksaan forensik pada kasus trauma kimia akibat basa
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungan-hubungannya berbagai kekerasa sedangkan yang dimaksud dengan luka
adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan
yang bersifat mekanik misalnya kekerasan oleh benda tajam, benda tumpul atau
tembakan senjata api, kekerasan yag bersifat fisika misalnya suhu, petir, listrik,
akustik dan radiasi dan kekerasan yang bersifat kimia seperti asam atau basa
kuat.6
Trauma kimia bisa disebabkan oleh asam atau basa yang kontak langsung
dengan jaringan. Asam didefinisikan sebagai donor proton (H+ ), dan basa
didefinisikan sebagai akseptor proton (OH- ). Basa juga dikenal sebagai alkali.
Kedua asam dan basa dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang signifikan
pada suatu kontak dengan anggota tubuh. Kekuatan asam didefinisikan oleh
seberapa kuat ia mengikat proton. Kekuatan asam dan basa didefinisikan dengan
menggunakan skala pH kurang dari 2, sedangkan basa membutuhkan pH 11,5
atau lebih untuk dapat melukai jaringan.
Trauma kimia sebenarnya hanya merupakan efek korosi dari asam kuat
dan basa kuat. Asam kuat sifatnya mengkoagulasikan protein sehingga
menimbulkan luka korosi yang kering, keras seperti kertas perkamen, sedangkan
basa kuat bersifat membentuk reaksi penyabunan intra sel sehingga menimbulkan
luka yang basah, licin dan kerusakan akan terus berlanjut sampai dalam. Karena
biasanya bahan kimia asam atau basa terdapat dalam bentuk cair (larutan pekat),
maka bentuk luka biasanya sesuai dengan mengalirnya bahan cair tersebut.7
Trauma zat kimia (luka bakar) korosif asam dan basa konsentrasi kuat
dapat terjadi karena kesengajaan maupun ketidak sengajaan misalnya kelalain
kerja, kecelakaan, anak-anak yang menelan zat korosif secara tidak sengaja.8
7
2.2 Klasifikasi Bahan Kimia
Klasifikasi bahan kimia dapat dibagi menjadi empat berdasarkan reaksi
kimia yang ditimbulkan dari bahan kimia tersebut :
a. Asam : asam adalah donor proton yang melepaskan ion hydrogen dan
mengurangi pH menjadi nilai serendah nol. Ion hydrogen bebas
memfasilitasi hidrolisis ikatan amida yang menyebabkan denaturasi
struktur protein. Contoh dari zat asam yaitu : asam hidroklorida (HCl),
asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3)
b. Basa : basa merupakan akseptor proton. Zat basa akan membuang ion
hydrogen dari gugus amina terprotonasi dan gugus karboksilat. Basa
dengan pH lebih dari 11,5 akan menghasilkan cedera jaingan yang parah
dengan nekrosis liquefaktif. Contohnya amoniak (NH4OH), kalium
hidroksida (KOH), natrium hidroksida (NaOH)
c. Organik : bahan organic dapat melarutkan selaput membrane lemak sel
dan mengganggu struktur protein
d. Anorganik : bahan anorganik merusak dengan pembentukan garam
(contoh: zinc, klorida, kalium klorida, kalium oksalat). Reaksi dari larutan
anorganik dapat bersifat eksetermik, yang berkontribysi pada cedera
jaringan. Lesi biasanya kering dan putih.
8
Sumber keracunan dari industri, rumah tangga dan laboratorium. Pada
rumah tangga sering kali digunakan sebagai pembersih. Ammoniak
memiliki sifat alkali kuat yang iritatif. Gas ammoniak yang digunakan di
lemari es adakalanya lolos melalui kebocoran pada pipa. Jika gas tersebut
tehirup, maka inflamasi yang hebat pada saluran pernafasan akan terjadi,
yang akan mengakibatkan laringitis pseudomembranosa, purulen dan
berwarna kekuningan,trakitisbronkitis dan bronkopneumoni.
b. Kalium hidroksida
Kalium hidroksida memiliki sifat fisik berupa zat padat berwarna putih
keabuan, larut dalam air, perabaan licin dan rasanya pahit. Zat ini memiliki
sifat korosif yang kuat dan akan memberikan efek terbakar pada kulit
sebagaimana pada saluran gastrointestinal. Sumber keracunan dari
laboratorium, industri teutama pabrik sabun. Pada sebagian besar kasus
adalah suicidal dan kecelakaan dengan cara menelan zat tersebut. Pada
kasus yang jarang adalah homicidal pada anak yang dipaksa menelan zat
tesebut.
c. Natrium hidroksida
Sodium hidroksida, NaOH dan soda kaustik adalah nama lain dari natrium
hidroksida. Cairan konsentrat yang terdiri dari natrium hidroksida
ditambah dengan sodium hidroksida dan sodium karbonat jika ditelan pada
kasus bunuh diri atau tertelan oleh anak-anak, dapat menyebabkan
kematian oleh karena kerusakan yang parah pada saluran gastrointestinal.
Dalam beberapa hal, cairan tesebut dapat dilempar kearah wajah atau
tubuh individu untuk menimbulkan luka seperti luka bakar dan juga
menimbulkan perlukaan pada kornea.
9
Gambar 1. Luka akibat soda kaustik
2.4 Patomekanisme
Zat korosif adalah unsur yang menyebabkan kerusakan pada bagian tubuh
yang terkena zat tersebut, akibat koagulasi protoplasma, pengendapan dan
penguraian protein serta penyerapan air.6,8 Basa kuat bersifat membentuk reaksi
penyabunan intrasel sehingga menimbulkan luka yang basah, licin dan kerusakan
akan berlanjut sampai dalam. Karena bahan kimia asam atau basa terdapat dalam
bentuk cair ( larutan pekat), maka bentuk luka sesuai dengan mengalirnya bahan
cair tersebut.4,5
Satu fakta penting yang harus diingat bahwa penampakan post mortal
tidak serta merta memberikan gambaran akan waktu kematian, mengingat asam
atau basa kuat akan terus merusak jaringan sehingga perforasi akan sering didapat
pada penampakan post mortal. Penelanan zat korosif seringkali menghasilkan efek
yang merugikan pada esofagus dan/atau lambung. Zat basa umumnya
menyebabkan perlukaan esofagus, sedangkan zat asam seringkali menyebabkan
kerusakan lambung. Barisan epitel skuamosa esofagus sensitif terharap zat basa;
namun, dalam perjalanannya menuju lambung, zat basa akan dinetralisir dengan
cepat oleh keasaman lambung. Zat korosif baik asam maupun basa dapat merusak
esofagus dan lambung serta usus secara cepat. Jarang sekali ditemukan nekrosis
dari seluruh usus akibat penelanan zat korosif .
Basa mempunyai sifat korosif dalam konsentrasi yang pekat dan bersifat
iritan pada konsentrasi yang lebih encer. Cara kerja zat kimia korosif dari
golongan basa sehingga menimbulkan luka ialah:10
10
• Mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkalin
dan sabun, sehingga terlihat basah dan edematus dengan perabaan lunak
dan licin.
• Mengubah hemoglobin menjadi alkalin hematin, sehingga terlihat
berwarna merah kecoklatan.
Paparan zat korosif alkali seperti sodium hidroksida (NaOH), berakibat
penetrasi jaringan yang disebabkan oleh disosiasi OH - yang menimbulkan
nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif berakibat disolusi protein, destruksi
kolagen, saponifikasi lemak, emulsifikasi membran sel, trombosis transmural dan
kematian sel.10,11 Paparan zat alkali pada mata menyebabkan defek pada epitel
kornea mata dan menembus kedalam mata secara cepat. Gambaran post mortem
luka akibat basa meliputi:10
• Tanda-tanda korosi tidak begitu jelas seperti yang disebabkan oleh asam.
• Apabila tertelan akan timbul tanda-tanda korosif pada saluran cerna
dengan gejala berupa nyeri pada mulut, esofagus dan epigastrium.
Hipersalivasi, muntah disertai bagian mukosa lambung dan darah.
Seringkali suara serak karena edema glotis.
• Sistem pencernaan menunjukkan bercak-bercak yang mengalami
inflamasi dan nekrosis.
• Bila terhirup akan mengakibatkan peradangan berat pada saluran
pernapasan. Saluran pernapasan berwarna kekuningan, purulen dan terjadi
laringitispseudomembran, trakeitis, bronkitis dan bronkopneumonia.
Gejalanya adalah nyeri dada, batuk berat, spasme glotis dan tanda-tanda
infeksi paru-paru. Terdapat bentuk basa kuat dalam bentuk gas yang
mengakibatkan iritasi kornea dan konjungtiva jika kontak dengan mata.
• Perforasi jarang sekali terjadi.
• Traktus respiratorius bagian atas mungkin mengalami kongesti.
11
a. mata
pada mata dapat dilakukan pemeriksaan pH dan ketajaman visual. Setelah
irigasi, pemeriksaan oftalmologi perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk
mengungkapkan adanya robekan, injeksi konjungtiva, injeksi scleral, kerusakan
kornea, opasifikasi kornea, uveitis, glaucoma atau perforasi. Kemudian pencatatan
penurunan ketajaman visual. Evaluasi fluorescein diperlukan untuk menentukan
tingkat cedera.
b. kulit
Trauma kimia mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada kulit.
Pada pemeriksaan luar, luka yang terlihat basah, edema, berwarna merah
kecoklatan dengan perabaan lunak dan licin mengambarkan paparan zat kimia
basa.
Pada kulit dapat terjadi luka bakar, olah karena itu, pada pemeriksaan luar
perlu ditentukan: keadaan luka, luas luka, dan dalamnya luka. Pada pemeriksaan
luka ini perlu dicari adanya tanda-tanda reaksi vital berupa daerah yang berwarna
merah pada perbatasan pada daerah yang terbakar.12 Derajat luka bakar pada kulit
terdiri dari:
Jenis Lapisan yang Gambaran tekstur Sensasi
terlibat
Derajat I Epidermis Merah tanpa kering Nyeri
(superficial) lepuh
Derajat II ( Meluas ke Merah dengan lembab Sangat nyeri
superficial lapisan dermis lepuh yang
partial- (papilare) jelas. Pucat
thickness dengan tekanan
burns)
Derajat II (deep Meluas ke Kuning atau Sedikit kering Tekanan dan
partial- lapisan dermis putih. Terdapat tidak nyaman
thickness dalam lepuhan
burns) (retikuler)
Derajat III Meluas ke Kaku dan kasar Tidak nyerit
(Full-thickness seluruh lapisan putih/coklat
burns) dermis
Derajat IV Meluas ke Hitam kering Tidak nyeri
12
seluruh lapisan
kulit, ke dalam
lapisan lemak,
otot dan tulang
dibawahnya.
c. Paru
Jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi harus diperiksa pada korban trauma
kimia. Pada pemeriksaan paru didapatkan peningkatan laju napas, bunyi mengi,
atau suara berdetak atau suara ronki kasar di paru-paru yang berhubungan dengan
edema. Tanda-tanda tersebut menunjukan individu mengalami kesulitan
pernapasan.
2. Pada pemeriksaan dalam didapatkan: Membran mukosa lembut, bengkak,
edema dan merah dengan sedikit bintik coklat.10
3. Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
a. Pemeriksaan dengan menggunakan kertas lakmus yang akan menunjukkan
perubahan warna.10 Pemeriksaan pada mata dilakukan secara berkala. Irigasi pada
mata tetap dilakukan sampai mencapai pH yang normal.13
13
Gambar 3. Jaringan histopatologis yang terpapar zat basa
14
2. Infeksi
Belakangan ini penyebab kematian akibat luka bakar adalah infeksi.
Infeksi yang paling sering menyebabkan kematian adalah pneumonia. Pneumonia
biasanya disebabkan karena penularan melalui udara dan hematogen dari focus
infeksi.
Septikemia adalah penyebab lain yang dapat menyebabkan kematian pada
luka bakar dan memiliki angka kematian yang tinggi pada kasus luka bakar.
Septikemia biasanya merupakan infeksi sekunder dari luka bakar, namun juga
dapat terjadi karena infeksi sekunder dari pneumonia atau infeksi hematogen lain.
Kolonisasi bakteri biasanya terjadi dalam beberapa hari setelah terjadinya luka
bakar derajat III (seluruh lapisan dermis) dengan mikroorganisme gram positif
yang masih jarang pada minggu pertama dan mikroorganisme yang padat pada
minggu kedua. Kebanyakan septikemia terjadi antara 6-10 hari setelah terjadinya
luka bakar.
Infeksi pada luka bakar yang disebabkan organisme spesifik seperti
Streptococcus pyogenes atau Pseudomonas aeuginosa memiliki predisposisi
untuk terjadinya sepsis dengan penyebaran mikroorganisme ke jaringan yang
sehat disekitar luka bakar. Toxic shock syndrome dapat terjadi akibat infeksi
Staphylococus aureus.
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Satyo AC. 2006. Aspek Medikolegal Luka Pada Forensik Klinik. Majalah
Kedokteran Nusantara Vol. 39 (4) p.430-2.
2. Susiyanthi A dan Alit IBP. 2013. Peran Radiologi Forensik Dalam
Mengidentifikasi Luka Tembak. Bali: Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
3. Tim Roman. 2009. Roman’s Forensik. Banjarbaru: Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat.
4. Dahlan, S. 2002. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
5. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Budiyanto Arif, Widiatmaka Wibisana, et all 1994. Ilmu Kedokteran
Forensik Ed 1. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Indonesia..
7. Akhtar M. Sohaib, A. Imran, Kanguno Srikanta. 2015. Epidemiology and
Outcome of Chemical Burn Patients Admitted in Burn Unit of JNMC
Hospital, Aligarh Muslim University, Aligarh, Uttar Pradesh, India : A 5-
year Experimence. J Family Med Prim Care.. Jan-Mar; 4 (1). Pp.106-109.
8. Trisdani Setyo. 2016. A Death of A Man Due to Strong Acid Trauma at A
Rice Field, Homicide or Suicide ?. Sains Medika, Vol. 7 No. 1, January-
June pp.35-39
9. Chadha, P.V. 1997. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi.
Jakarta : Binarupa Aksara.
10. Gonzale T.A., Vance M, Helpern, U,berger CJ. 1954. Legal Medicine
Pathology and Toxicology 2nd Edition. New Tork : Appleton Century
Crofts, Inc.
11. Snepherd R, Simpsons. 2003. Forensik Medicine 12th Edition. USA :
Oxford University Press.
12. Dinis RJ, Calvalho F, Moreira R, et al. 2014. Clinical and Forensic Signs
Related to Chemical Burns : A Mechanistic Approach. JBUR. Vol 30. Pp.
1-22
13. Venkatesh R, Trivedi L. 2009. Ocular Trauma- Chemical Injuries.
Bombay Hospital Journal. Vol.51 No.2
14. Palao R, Monge L, Ruiz M. Barret JP. 2010. Chemical Burns :
Pathophysiology and Treatment. BURNS. Vol. 36. Pp.295-304
17
15. Cooper PN. Essentials of Autopsy Practice : Burn Injury. Available at :
http://eknygos.Ismuni.It/springer/143/215-232.pdf.p215
18