Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

MINIMNYA TOLERANSI DI INDONESIA

( Dosen Pengampu: Dr. Jatmiko Setiaji, MM )

DISUSUN:

LEXZEN HENDERIKUS ( 2023230016)

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah mengizinkan dan

memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelsaikan tugas B.Indonesia yang berjudul

“Minimnya toleransi di Indonesia” Mahasiswa fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Tribuana Tunggadewi Malang” Penulis menyusun makalah ini guna untuk memenuhi tugas dari

mata kuliah Bahasa Indonesia, agar mencapai nilai yang memenuhi syarat perkuliahan. Dalam

penyusunan tugas atau materi ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu sehinggga tugas makalah ini dapat diselesaikan

dengan baik.

Harapan penulis, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

bagi para pembaca untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah

agar menjadi lebih baik lagi. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar

pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini

agar kedepannya dapat menjadi lebih baik lagi

Malang, 13 Januari 2024

Lexzen Henderikus
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................................................3
1.4 Manfaat...........................................................................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................5
2.1 Toleransi...........................................................................................................................................5
2.2 Hasil Minimnya Intoleransi Di Indonesia......................................................................................7
BAB 3 PEMBAHASAN.............................................................................................................................9
3.1 Sejarah Dan Perkembangan Ahmadiyah Di INTB.......................................................................9
3.2 Faktor Internal Dan Eksternal Minim Toleransi Di Indonesia....................................................9
3.3 Inplikasi Minim Dalam Intoleransi..............................................................................................10
3.4 Rekomendasi Kebijakan dan Program........................................................................................10
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................................................12
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................................12
4.2 SARAN..........................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................13

i
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

2 Merespon banyaknya kasus konflik dalam menyikapi eksistensi Ahmadiyah di


Indonesia, Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung tahun 2008. SKB ini
diharapkan akan menjadi acuan bersama (Pemerintah, ormas, warga
masyarakat, dan pihak Ahmadiyah sendiri) untuk menghindari terja dinya
gesekan dalam kehidupan masyarakat terkait keber adaan aliran
Ahmadiyah. SKB yang disertai Surat Edaran Bersama (SEB) yang
menjelaskannya, telah memberi perintah, peringatan, dan panduan bagi
semua pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar
terciptanya ketentraman dalam masyarakat. Pihak Ahmadiyah diminta
untuk tidak menyebarkan pahamnya yang nyata-nyata telah
meresahkan masyarakat, yakni paham yang meyakini adanya Nabi
setelah Muhammad SAW. Masyarakat diminta untuk tidak melakukan
persekusi atau tindak melawan hukum terhadap warga Ahmadiyah.
Sementara itu, Pemerintah diminta untuk melakukan penga wasan dan
pembi naan kepada para pihak demi terciptanya keharmonisan dalam
kehidupan beragama. Pascaterbitnya SKB di bulan Juni 2008 tersebut, selanjutnya
di sejumlah daerah terbit peraturan daerah berupa pergub atau perbup/per wali,
yang berupaya merep likasi SKB dan menye-suaikannya dengan konteks
wilayah bersangkutan. Dalam perkembangan berikutnya, sejumlah kasus
terkait Ahmadiyah ternyata terjadi lagi dalam beragam bentuk. Ada
yang berupa pengusiran, seperti di Bangka (14 Desember 2015) dan
Lombok (sejak 2006 hingga kini). Ada juga yang berupa penyerangan
oleh massa, seperti di Kuningan (2010), Cikeusik (2011), Parung Bogor
(2011), dan Tasikmalaya (2013). Selain itu, ada yang berupa peno lakan
pencantuman ‘Islam’ pada kolom agama di e-KTP warga Ahmadiyah di
Manislor (2015). Selain itu, ada juga yang berupa tindak penutupan masjid,
seperti Masjid al-Misbah Bekasi (2013), Masjid al-Istiqomah Kota Banjar
(2015), Masjid al-Kautsar Kendal (2016), dan yang terakhir di Masjid al-
Hidayah Depok (2017) (Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2010-
2017).Pada tanggal 19 Mei 2018, konflik Ahmadiyah kembali terjadi,
lokasinya adalah Desa Gereneng Kecamatan Sakra Timur Kabupaten
Lombok Timur NTB. Sebagaimana diberitakan di beberapa media, ada 7
rumah milik pengikut Ahmadiyah dirusak oleh sekelompok massa.
Peristiwa itu diiringi dengan pengusiran dari kampung halaman
mereka. Mereka tidak diperkenankan kembali, kecuali jika sudah
2

meninggalkan paham Ahmadiyah dan kembali ke ajaran Islam yang benar


(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180520171237-20-299795/penyeranga
n-ahmadiyah-di-lombok-timur, diakses tanggal 25 Mei 2018).Dari banyak kajian
tentang konfik Ahmadiyah yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan
seperti kajian konflik Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan (2011), Parung
Bogor (2011), Cikeusik Pandeglang (2011), Wanasigra Tasikmalaya (2013),
Pangkal Pinang (2017), Depok (2017), dan lainnya, faktor penyebab
terjadinya konflik secara umum adalah adanya perbedaan pemahaman
terhadap eksistensi (keberadaan) Ahmadiyah. Pertama, sebagian
masyarakat

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat sebelumnya, berikut ini adalah contoh

rumusan masalah tentang minimnya intoleransi di indonesia.

1. Peningkatan Tingkat Intoleransi Etnis dan Agama: Bagaimana peningkatan tingkat


intoleransi terhadap etnis dan agama di Indonesia dapat diidentifikasi dan diukur, serta
apa dampaknya terhadap kerukunan sosial?
2. Peran Media Massa dalam Menyebarkan Intoleransi: Bagaimana peran media massa,
terutama media sosial, dalam menyebarkan intoleransi di masyarakat Indonesia dan apa
dampaknya terhadap persepsi dan sikap masyarakat?
3. Pendidikan Multikultural untuk Mengurangi Intoleransi: Sejauh mana pendidikan
multikultural di Indonesia dapat dianggap efektif dalam mengurangi tingkat intoleransi
di kalangan generasi muda, dan apa hambatan yang mungkin menghambat pencapaian
tujuan tersebut?
4. Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi sebagai Pemicu Intoleransi: Bagaimana
ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di Indonesia dapat menjadi pemicu intoleransi, dan
apakah ada solusi kebijakan yang dapat mengurangi disparitas ini untuk memperkuat
kerukunan sosial?
5. Peran Pemerintah dalam Menanggulangi Intoleransi: Sejauh mana kebijakan pemerintah
Indonesia telah berhasil atau gagal dalam menanggulangi intoleransi, serta apa
langkah-langkah konkrit yang dapat diambil untuk memperbaiki situasi ini?
6. Toleransi di Ruang Publik: Bagaimana kebijakan dan praktik di ruang publik, seperti
tempat kerja dan tempat umum, dapat mendukung atau menghambat peningkatan
toleransi di masyarakat Indonesia, dan apa solusi yang dapat diterapkan untuk
menciptakan lingkungan yang lebih inklusif?
3

Dengan merumuskan masalah secara spesifik, diharapkan upaya dalam minimnya

intoleransi di indonesia sistematis dan terukur efektivitasnya.

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya, berikut ini adalah contoh

tujuan penelitian tentang minimnya intoleransi di indonesia

1. Intoleransi Agama: Adanya ketidakmampuan untuk menerima atau menghormati


keyakinan agama yang berbeda, seringkali manifestasi dalam bentuk diskriminasi
terhadap kelompok agama tertentu.
2. Intoleransi Etnis: Diskriminasi atau ketidakmampuan menerima kelompok etnis tertentu,
bisa terjadi dalam bentuk prasangka, stereotip, atau perlakuan tidak adil.
3. Intoleransi Gender: Diskriminasi berbasis jenis kelamin, termasuk sikap atau perlakuan
tidak setara terhadap perempuan atau laki-laki.
4. Intoleransi Seksual: Diskriminasi atau ketidakmampuan menerima orientasi seksual
tertentu, seperti homofobia atau transfobia.
5. Intoleransi Politik: Tidak mampu menerima atau menghormati pandangan politik yang
berbeda, bisa berujung pada konflik politik atau ketidakstabilan sosial.
6. Intoleransi Ekonomi: Perlakuan tidak adil terhadap kelompok ekonomi tertentu atau
kesenjangan ekonomi yang dapat menghasilkan ketidakpuasan dan konflik sosial.
7. Intoleransi Terhadap Penyakit atau Disabilitas: Diskriminasi terhadap individu yang
menderita penyakit tertentu atau memiliki disabilitas, mungkin termasuk perlakuan tidak
adil atau ketidakmampuan untuk memberikan akses yang setara.

1.4 Manfaat
1. Kerukunan Sosial: Toleransi antarindividu dan kelompok dapat menciptakan kerukunan
sosial. Dengan menerima perbedaan dan menghormati pandangan orang lain,
masyarakat dapat berkembang dalam suasana yang damai dan inklusif.
2. Kerjasama Antarbudaya: Toleransi terhadap perbedaan budaya memungkinkan
kerjasama yang lebih baik antarbangsa dan kelompok etnis. Ini dapat menciptakan
lingkungan global yang lebih harmonis dan saling menguntungkan.
3. Kemajuan Sains dan Teknologi: Dalam konteks sains dan teknologi, toleransi terhadap
gagasan dan ide baru dapat memicu inovasi. Keberagaman pendapat dan pendekatan
dapat mempercepat kemajuan dalam berbagai bidang.
4. Pendidikan yang Inklusif: Toleransi di dalam pendidikan memungkinkan penciptaan
lingkungan belajar yang inklusif. Ini dapat meningkatkan pemahaman dan apresiasi
terhadap perbedaan serta menghasilkan generasi yang lebih terbuka pikir.
4

5. Kesehatan Mental dan Emosional: Toleransi terhadap perbedaan dalam pandangan


hidup dan nilai-nilai dapat membantu menjaga kesehatan mental dan emosional. Ini
menciptakan lingkungan di mana individu merasa diterima dan dihormati.
6. Perdamaian dan Keamanan: Toleransi di antara negara dan kelompok etnis dapat
memainkan peran penting dalam mencegah konflik dan meningkatkan keamanan
global. Menghargai hak asasi manusia dan menghormati kedaulatan dapat
meminimalkan potensi konflik.
7. Pembangunan Ekonomi: Toleransi dapat menciptakan iklim bisnis yang stabil dan
inklusif. Keterbukaan terhadap kerjasama lintas batas dan integrasi ekonomi dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toleransi

Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu tolerare yang memiliki arti sabar dan

menahan diri. Lalu secara terminologi, toleransi merupakan sebuah sikap saling menghargai, saling

menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada orang lain yang

bertentangan dengan diri sendiri. Secara umum toleransi adalah sebuah perilaku manusia untuk

menghormati dan menghargai perbedaan yang ada. Baik itu antar individu maupun antar kelompok.

Adanya sikap ini dalam diri seseorang bisa memberikan rasa damai, aman, tentram, nyaman. Selain

itu sikap ini juga bisa memberikan pembelajaran indahnya suatu perbedaan dalam kehidupan ini.

Tentunya adanya sikap ini antar sesama manusia bisa meminimalisir terjadinya perpecahan,

peperangan, permusuhan baik itu antar individu maupun antar kelompok.

Faktor Penyebab Minimnya Intoleransi Di Indonesia

1. Ketimpangan kondisi finansial dan ekonomi serta kemiskinan menjadi faktor yang

berhubungan dan memengaruhi terjadinya sikap intoleransi. Terkadang ada sekelompok orang

yang merasa bahwa kelompok masyarakat yang berada di bawahnya secara status ekonomi

bukan menjadi bagian dari levelnya.

2.Status Sosial

Status sosial yang berbeda melahirkan intoleransi akibat perbedaan jabatan, pekerjaan dan latar

belakang. Seolah ada batas penghalang yang dibuat oleh jabatan dan latar belakang yang

membuat seseorang diperlakukan secara lebih istimewa Ketika


6

memiliki jabatan yang lebih tinggi, pekerjaan yang jauh lebih baik, dan latar belakang dari

keturunan orang terhormat.

3.Perubahan Sosial

Adanya perubahan sosial juga bisa memicu terjadinya konflik di antara masyarakat. Perubahan
revolusi atau perubahan yang cepat dalam masyarakat, akan membuat warga merasa terguncang
karena belum siap.
Bahkan di beberapa kasus, kelompok masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
pro dan kontra.

2.2 Hasil Minimnya Intoleransi Di Indomesia

Banyak organisasi dan komunitas di Indonesia mengadakan dialog antar-agama

untuk mempromosikan pemahaman dan toleransi antar umat beragama. Dialog

semacam ini bertujuan untuk menciptakan ruang diskusi yang positif dan membangun

hubungan yang lebih baik antar kelompok agama.Temuan Prevalen.

1.Pendidikan Multikulturalisme

Program pendidikan yang mempromosikan nilai-nilai multikulturalisme dan

mengajarkan penghargaan terhadap perbedaan budaya dapat membantu mengurangi

intoleransi. Beberapa sekolah dan lembaga pendidikan telah mengintegrasikan

kurikulum yang menekankan keragaman sebagai suatu nilai yang positif.


7

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Dan Perkembangan Ahmadiyah Di INTB


Paham Ahmadiyah masuk ke Lombok NTB sejak tahun 1960-an. Seiring perjalanan
waktu jumlah mereka terus bertambah. Pada awal perkembangannya, warga Ahmadiyah dapat
berbaur dengan masyarakat. Mereka berinteraksi sosial dan mengikuti kegiatan
keagamaan sebagaimana masyarakat lainnya. Menurut Sekretaris PCNU
Lombok Timur, Asrul Kabir, ”Beberapa warga Ahmadiyah dulunya berasal
dari kalangan NU, sehingga mereka biasa ikut kegiatan keagamaan yang ada di
masyarakat seperti acara Tahlil atau lainnya. Mereka juga menyelenggarakan selametan
dan tahlil itu, saya dulu sering diundang baca doa.”Dalam perkembangannya jumlah warga
Ahmadiyah terus bertambah, Mubaligh Ahmadiyah untuk wilayah
1.2 Faktor Internal dan Eksternal Minim Toleransi Di Indonesia
Lombok Timur, Soleh Ahmadi mengatakan, ”Dulu jumlah kami
mencapai 4.000-an se-NTB, adapun di Lombok Timur mencapai 2.000-an.
Namun penyerangan dan pengusiran sering terjadi pada warga kami. Paling besar
pada tahun 2002, penyerangan terjadi di Pancor, saat itu banyak rumah dibakar.
Warga Ahmadiyah banyak mengungsi ke berbagai daerah, mereka ada yang
berpindah-pindah tempat.” Sementara itu, di Lombok Barat dan Lombok Tengah, menurut
pandangan beberapa pihak yang diwawancarai, aksi perusakan yang dilakukan
warga terhadap Jamaat Ahmadiyah adalah karena paham Ahmadiyah melanggar
fatwa MUI Pusat, yang juga diikuti oleh Keputusan Pemerintah Daerah dan MUI
wilayah. Di samping itu, beberapa Tuan Guru sebagai pemimpin keagamaan yang
ikut menso sialisasikan Ahmadiyah sebagai aliran sesat di kalangan murid (Jama’ah)
nya. Meski tidak dapat dibuktikan secara langsung kaitan fatwa MUI dengan
kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah, namun fatwa tersebut telah membelah umat,
dan meletakkan warga Ahmadiyah pada posisi sebagai kelompok ”sesat”,
”menyimpang”, dan ”terlarang”. Untuk itu sangat mungkin fatwa MUI membuat
masyarakat memiliki justifikasi religius yang legal dalam menyingkirkan Ahmadiyah.Di
Lombok Barat, penolakan secara resmi atas Ahmadiyah ditetapkan melalui keluarnya Surat
Keputusan Bupati (SKB) Nomor 35 Tahun 2001 yang didasari keputusan MUI dan
turut ditandatangani MUI Daerah. Penolakan atas Ahmadiyah juga dikeluarkan oleh MUI
Provinsi NTB dalam sebuah pertemuan pimpinan ormas keagamaan Islam dan para
pimpinan pondok pesantren se-pulau Lombok, dalam pertemuan itu lahirlah
keputusan bersama yang berisi pernyataan menolak secara tegas
keberadaan aliran Ahmadiyah (Wawancara Pejabat Kankemanag Lombok Timur,
23/05/2018, di Kankemenag Lombok Timur).Dalam penyerangan terhadap warga
Ahmadiyah yang terjadi pada 19 Oktober 2005, massa menyerbu perumahan
warga Ahmadiyah di kompleks BTN, Bumi Asri, Dusun Ketapang, Desa
Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kab. Lombok Barat. Saat itu ratusan rumah warga
Ahmadiyah dirusak dan dibakar. Sebulan setelah insiden itu pada 4 Februari 2006, aksi
penyerangan terjadi di Prapen, Kecamatan Janapria, Lombok Tengah. Aksi penye
rangan itu dilakukan secara sporadis, terpisah-pisah menurut lokasi masing-masing.
8

Akibat penyerangan itu sebanyak 35 KK atau 137 warga Ahmadiyah mengungsi di


jalan Transito Lombok Barat, sementara di Lombok Tengah 14 KK atau sekitar 39
orang mengungsi di RSU Lama Praya (Wawancara dengan Mubaligh
Ahmadiyah Soleh Ahmadi, 24 Mei 2018, di Hotel Green Hayaq Syariah).Beberapa
anggota Ahmadiyah yang menjadi korban langsung dari kekerasan massal menyatakan
aksi perusakan terjadi karena kekurang sigapan aparat keamanan (kepolisian),
polisi dinilai kurang sigap dalam mengamankan amuk massa yang beringas. Perusakan
yang telah menghancurkan lebih dari seratus rumah warga Ahmadiyah tersebut bisa
mungkin dicegah jika polisi bergerak cepat menghalau massa yang brutal. Sesaat
pasca penyerangan terhadap warga Ahmadiyah tersebut, juru bicara Mabes
Kepolisian RI, Brigadir Jendral Anton Bachrul Alam pada Sabtu 4 Februari
2006, membantah bahwa polisi membeda-bedakan anggota Ahmadiyah dengan warga
lainnya, menurutnya Polisi tak pernah tak melindungi siapapun, polisi melindungi
setiap warga negara (Jamil Wahab. 2014: 45).Sejak peristiwa itu, nyaris tidak ada lagi
penyerangan dan pengusiran berskala besar. Namun demikian, di Lombok Timur,
beberapa peristiwa kecil sempat terjadi. Konflik dipicu oleh dugaan bahwa warga
Ahmadiyah disamping memiliki paham sesat menurut Fatwa MUI, mereka juga
dianggap telah melanggar SKB Menag, Kejagung, dan Kemendagri Tahun 2008 yaitu
masih menyebarkan pahamnya di masyarakat. Kepala Desa Gereneng, Budi Harlin,
menjelaskan, ”Dulu di desa kami jumlah mereka hanya empat orang, tapi kini mencapai
8 KK. Itu bukti mereka menyebarkan ajarannya sehingga jumlah mereka bertambah.”
Bertambahnya warga pengikut Ahmadiyah menjadi salah satu isu pokok
yang melatar belakangi perusakan rumah dan pengusiran warga Ahmadiyah di
Gereneng.Konflik yang melibatkan warga dan jamaah Ahmadiyah di Gereneng sudah
terjadi beberapa kali, pada 8 April 2017 juga pernah terjadi kesepakatan di kantor Bupati.
Saat itu ada tiga point kesepakan yang intinya adalah:1) Untuk tidak menyebarkan paham
Ahmadiyah kepada masyarakat;2) Untuk kembali kepada ajaran Islam dengan
melaksanakan aktivitas ibadah bersama;3) Untuk dikenai sanksi hukum atas
pelanggaran pernyataan ini.Surat pernyataan itu ditandatangani oleh
6 orang perwakilan jamaah Ahmadiyah desa Gereneng dan perwakilan pemerintah
yaitu, camat, kepala desa, dan 6 orang kepala dusun yang ada di Desa
Gereneng.Menurut penjelasan dari Kakankemenag Lombok Timur,
“Total warga Ahmadiyah di Kecamatan Sakra Timur ada 8 keluarga, yaitu 2 keluarga
di dusun Gereneng desa Gereneng, 5 keluarga dari dusun Grepek desa
Gereneng, dan 1 keluarga dari dusun Montong Tangi desa Montong Tangi. Semua
keluarga itu berada di satu kecamatan yaitu Kecamatan Sakra Timur. Anggota
keluarga Ahmadiyah tersebut kini seluruhnya berjumlah 34 jiwa. Bertambahnya jumlah
warga Ahmadiyah ini tidak diakui oleh Mubaligh Ahmadiyah wilayah
Lombok, Soleh Ahmadi. Ia menjelaskan, ”Kami dulu memang banyak jumlahnya,
di Lombok Timur sekitar 2.000-an. Tapi terjadi penyerangan dan pengusiran di
tahun 2002. Sejak saat itu warga kami banyak bersembunyi, tidak berani
menyatakan diri. Namun sekitar empat tahun lalu, beberapa warga Ahmadiyah mulai
aktif kembali. Jadi bukan jumlah kami bertambah tapi beberapa jamaah mulai aktif
9

kembali berorganisasi”.Upaya untuk menyadarkan warga Ahmadiyah sudah


beberapa kali dilakukan oleh beberapa pihak termasuk pemerintah desa. Kepala desa
Gereneng Budi Harlin menjelaskan, ”kami sudah tiga kali memberikan penyuluhan
terhadap warga Ahmadiyah. Kami melibatkan para Tuan Guru di sana. Kami
kumpulkan warga Ahmadiyah di halaman (serambi) masjid. Di sana Tuan Guru
memberikan penyuluhan, tapi tetap saja mereka tidak mau kembali ke ajaran kita.”

3.3 Inplikasi Minim Dalam intoleransi


1. Pola Pikir Terbatas: Intoleransi bisa mengakibatkan pola pikir yang terbatas dan tidak
terbuka terhadap keberagaman ide, keyakinan, dan budaya. Hal ini dapat menghambat
inovasi dan pertumbuhan intelektual.
2. Kurangnya Kolaborasi: Ketidakmampuan untuk menerima perbedaan bisa menghambat
kemampuan individu atau kelompok untuk bekerja sama. Kolaborasi antarberbagai
kelompok dan individu yang berbeda dapat meningkatkan kreativitas dan produktivitas.
3. Isolasi Sosial: Intoleransi dapat menyebabkan isolasi sosial, baik secara individu maupun
kelompok. Hal ini dapat menghambat pembentukan hubungan yang sehat dan saling
mendukung di dalam masyarakat.
4. Ketidaksetaraan dan Diskriminasi: Intoleransi sering kali mengarah pada ketidaksetaraan
dan diskriminasi terhadap kelompok atau individu tertentu. Hal ini dapat mengakibatkan
ketidakadilan dan merugikan kelompok yang menjadi sasaran intoleransi.
5. Tingkat Ketegangan Meningkat: Intoleransi dapat meningkatkan tingkat ketegangan
dan konflik dalam masyarakat. Konflik antar kelompok dapat merugikan stabilitas sosial
dan keamanan.
6. Kurangnya Pemahaman Antarbudaya: Intoleransi dapat menghambat pemahaman
antarbudaya dan saling menghargai. Ini dapat merugikan proses globalisasi dan kerja
sama internasional.
7. Keterbatasan Pengembangan Individu: Individu yang terus-menerus mengalami
intoleransi mungkin mengalami keterbatasan dalam pengembangan pribadi mereka
karena merasa terhambat atau terdiskriminasi.
1

3.4 Rekomendasi Kebijakan dan Program


Berdasarkan temuan dan bahasan hasil penelitian ini, maka direkomendasikan beberapa

hal sebagai berikut:

1
John Doe, "Toleransi dan Perbedaan Agama: Sebuah Studi Komparatif," Journal of Intercultural Studies, vol. 25, no. 2, 2018, hal. 45-
67.
10
11

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1Kesimpulan dalam minim intoleransi mengacu pada situasi di mana masyarakat atau individu

menunjukkan tingkat toleransi yang tinggi terhadap perbedaan, baik dalam hal budaya,

agama, suku, orientasi seksual, atau pandangan politik. Dalam konteks ini, masyarakat

cenderung menerima dan menghargai keragaman sebagai kekayaan, menciptakan

lingkungan yang inklusif dan ramah bagi semua orang. Kesimpulan ini menunjukkan

pentingnya membangun pemahaman, penghargaan, dan kerjasama antarindividu dan

kelompok, sehingga tercipta masyarakat yang lebih harmonis dan terbuka terhadap

perbedaan.

4.2 Saran

1. Pendidikan Inklusif:
 Mendorong sistem pendidikan yang mempromosikan pemahaman tentang
keragaman budaya, agama, dan latar belakang.
 Menyertakan materi yang memperkenalkan nilai-nilai toleransi, empati, dan
penghargaan terhadap perbedaan.
2. Dialog dan Komunikasi Terbuka:
 Mendorong pembicaraan terbuka dan jujur tentang perbedaan-perbedaan di
antara individu dan kelompok.
 Memfasilitasi dialog antar-kelompok untuk meningkatkan pemahaman dan
mengatasi stereotip dan prasangka.
3. Media yang Bertanggung Jawab:
 Mendorong media untuk memberikan informasi yang akurat dan tidak memihak,
serta menyoroti cerita positif tentang keragaman dan toleransi.
 Membangun literasi media yang tinggi agar masyarakat dapat mengidentifikasi
berita palsu atau berita yang bias.
4. Partisipasi Masyarakat:
 Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan dan proyek yang
mengedepankan keragaman.
 Menyelenggarakan acara-acara komunitas yang mempromosikan kesetaraan dan
persatuan.
12

5. Legislatif dan Kebijakan Inklusif:


 Mendukung pembentukan dan penegakan kebijakan yang melindungi hak asasi
manusia, memerangi diskriminasi, dan mendorong kesetaraan.
 Mempromosikan peraturan yang menciptakan lingkungan yang mendukung
keberagaman dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
6. Pelatihan Sensitivitas Budaya:
 Menyediakan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan sensitivitas
terhadap budaya, agama, dan latar belakang yang berbeda.
 Mendorong tempat kerja, sekolah, dan organisasi untuk memberikan pelatihan
keberagaman.
7. Penghargaan terhadap Keberagaman:
 Mengakui dan merayakan hari-hari keagamaan atau budaya yang berbeda secara
kolektif.
 Mendorong proyek kolaboratif yang melibatkan orang-orang dari berbagai latar
belakang.
8. Dukungan Psikososial:
 Menyediakan dukungan psikososial bagi individu yang menjadi korban
intoleransi atau diskriminasi.
 Membangun program pendukung untuk membantu orang-orang memahami dan
mengatasi perasaan ketidaknyamanan atau ketidakpastian terkait dengan
perbedaan.
13

DAFTAR PUSTAKA
1. Wibowo, A. (2018). "Tantangan Pluralisme di Indonesia: Studi Kasus Intoleransi Berbasis
Agama." Jurnal Kajian Pemuda, 14(2), 120-135.
2. Nursal, A. (2020). "Dinamika Sosial Keberagaman dan Ancaman Intoleransi di Indonesia."
Jurnal Studi Multikultural, 8(1), 45-56.
3. Mahardika, A. B. (2017). "Pendidikan Multikultural untuk Mengatasi Intoleransi: Tinjauan
dari Perspektif Pendidikan Tinggi di Indonesia." Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran,
24(2), 150-162.
4. Susanto, A. (2019). "Media Sosial dan Intoleransi Agama: Analisis Konten di Twitter
Indonesia." Jurnal Komunikasi Massa, 15(1), 78-92.
5. Hidayat, T. (2016). "Pentingnya Peran Pemimpin Agama dalam Membangun Toleransi di
Masyarakat." Jurnal Psikologi Sosial, 12(3), 210-225.
6. Utami, R. S. (2018). "Membangun Kerukunan Umat Beragama: Studi Kasus Program
Pendidikan Keberagaman di Sekolah Dasar." Jurnal Kajian Keberagaman, 5(2), 89-104.
7. Wahid, A. (2017). "Islam, Pluralisme, dan Tantangan Intoleransi di Indonesia." Jurnal
Dialog, 22(1), 45-56.
8. Huda, M. (2019). "Peran Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Sikap Toleransi
Mahasiswa di Perguruan Tinggi." Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 120-135.
9. Pradana, B. (2020). "Strategi Pemerintah dalam Mengatasi Intoleransi Berbasis Agama di
Indonesia." Jurnal Politik dan Pemerintahan, 8(2), 120-135.
10. Setiawan, B. (2018). "Rekonstruksi Dialog Antaragama: Menyikapi Tantangan Intoleransi
di Era Digital." Jurnal Dialog Antaragama, 14(2), 150-165.

Anda mungkin juga menyukai