Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU USAHA ATAS


PENJUALAN OBAT-OBATAN GOLONGAN OBAT KERAS
(OBAT G) SECARA ONLINE

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : HUKUM PELAYANAN KESEHATAN
Dosen Pengampu : Dr Yeni Triana , SH, MH

OLEH
1. SANDLYA WASKITHA TARIGAN NIM 2374101053
2. SILVIA PERMATA SARI NIM 2374101056
3. YESSICA PRIMA NIM 2374101040
4. ABDUL ROBY ASHADI NIM 2374101004
5. NURMADIAH DAMAR NIM 2374101110

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM


KONSENTRASI HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
TAHUN 2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii

BAB I.................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.............................................................................................................4

I.1 Latar Belakang....................................................................................................4

I.2. Rumusan Masalah...............................................................................................9

I.3. Tujuan Penulisan.................................................................................................9

BAB II.............................................................................................................................10

PEMBAHASAN..............................................................................................................10
II.1. Kajian Yuridis Penjualan Obat-Obatan Golongan Obat Keras (Obat G) Secara
Online Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata …………………10
II.2. Bentuk Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Dalam Melakukan Perjanjian Jual
Beli Obat Keras (Obat G) Secara Online.............................................................12

BAB III............................................................................................................................16

PENUTUP.......................................................................................................................16

III.1. Kesimpulan.......................................................................................................16

III.2. Saran.................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................18

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
hidayah- Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah yang berjudul
Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Atas Penjualan Obat-Obatan
Golongan Obat Keras (Obat G) Secara Online. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Dr Yeni Triana,SH, MH Yang telah memberikan arahan serta
pencerahan kepada kami dalam mata kuliah Hukum Pelayanan Kesehatan dalam
menyusun makalah ini.

Kami sebagai penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari seluruh pihak senantiasa kami harapkan demi
kesempurnaan karya kami. Semoga karya ilmiah ini dapat membawa pemahaman dan
pengetahuan bagi kita semua tentang Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Atas
Penjualan Obat-Obatan Golongan Obat Keras (Obat G) Secara Online.

Pekanbaru, 14 Desember 2023

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Kesehatan dapat diartikan sebagai keadaan yang memungkinkan setiap orang
dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis, baik dari segi fisik, mental, spiritual
maupun sosial. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pancasila
dan UUD 1945.1
Terkait dengan hak kesehatan bagi masyarakat, hal ini telah ditegaskan dalam
Pasal 28H UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kesehatan adalah hak dasar setiap
individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk
masyarakat miskin, dalam implementasinya dilaksanakan secara bertahap sesuai
kemampuan keuangan pemerintah dan pemerintah daerah”. Pada pasal 28H tersebut
juga menyebutkan pada ayat (1) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.2 Oleh karena itu, prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan harus dilaksanakan untuk setiap kegiatan
dan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya yang
mana hal tersebut sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia
Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.3
Definisi Kesehatan telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa “Kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.4 Upaya peningkatan derajat
kesehatan tersebut pada mulanya menitikberatkan pada upaya penyembuhan penderita
dan kemudian berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh yang
mencakup upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

1
Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2015, hlm. 3
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bab XA, Pasal 28H.
3
Muhamad Sadi Is, Etika dan Hukum Kesehatan Teori dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2015, hlm 8-9
4
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab I, Pasal 1
4
penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). 5 Atas dasar hal
tersebut, maka salah satu bentuk yang dapat dilakukan untuk mewujudkan upaya
peningkatan derajat kesehatan adalah melalui pemberian obat.
Dalam pelayanan kesehatan obat merupakan komponen yang penting karena
diperlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan. Dewasa ini meningkatnya kesadaran
dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan juga mendorong masyarakat menuntut
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan obat yang semakin berkualitas dan
profesional.6 Pada Pasal 1 angka 8 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menyebutkan bahwa “Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia”.7
Obat yang telah beredar di masyarakat berjumlah puluhan ribu sehingga perlu
adanya penggolongan obat untuk kemudahan pengenalan dan pengawasan.
Penggolongan obat dapat disesuaikan dengan kepentingan ilmuwan, kesehatan,
produsen atau pemerintah. Di Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
obat dapat dikategorikan sebagai berikut, yakni :
(1) Obat bebas, yaitu obat yang diperoleh tanpa harus menggunakan resep dokter.
(2) Obat bebas terbatas atau sering juga disebut dengan obat daftar W, yaitu obat yang
diperoleh tanpa harus menggunakan resep dokter namun perlu ada penandaan
khusus di kemasannya karena mengandung bahan yang relatif berbahaya.
(3) Obat keras atau disebut juga dengan obat daftar G, yaitu obat yang hanya dapat
diperoleh di apotek dengan harus menggunakan resep dokter. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 huruf c PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian dan Pasal 2 Kepmenkes 2396/1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras
Daftar G. Obat keras merupakan obat beracun yang mempunyai khasiat mengobati
dengan dosis yang tepat. Obat keras akan menjadi berbahaya jika penggunaannya
melampaui dosis tertinggi.
(4) Obat Wajib Apotek atau sering disebut DOWA, yaitu termasuk kelompok golongan
obat keras namun obat tersebut dapat diperoleh di apotek tanpa harus menggunakan
resep dokter dengan batasan jumlah tertentu.

5
Zaeni Asyhadie, Aspek-aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017,
hlm 1
6
Purwanto Hardjosaputra, Daftar Obat Indonesia edisi II, PT.Mulia Purna Jaya Terbit, Jakarta: 2008,hlm. 5.
7
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 1 angka 8.
5
(5) Psikotropika dan Narkotika atau disebut juga dengan obat daftar OKT dan daftar O,
yaitu termasuk kelompok golongan keras yang mana hanya dapat diperoleh di
apotek dengan harus menggunakan resep dokter dan distribusinya harus dilaporkan
secara berkala kepada Dinas Kesehatan.8
Konsumsi obat telah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia yang telah
dilakukan sejak jaman nenek moyang dengan mengkonsumsi atau menggunakan obat-
obatan sebagai cara untuk penyembuhan dan pencegahan berbagai macam penyakit.
Perilaku konsumtif tersebut seringkali melampaui batas dan kadang menyimpang dari
aturan hukum yang ada tanpa sepengetahuan serta pemahaman dari masyarakat.
Tingginya tingkat konsumsi obat-obatan oleh masyarakat mengakibatkan perlu adanya
alat distribusi obat dan kelengkapan farmasi lainnya sehingga dapat menunjang
kesediaan obat dimasyarakat. Distribusi obat-obatan dan perlengkapan farmasi tersebut
biasa dilakukan oleh toko obat ataupun apotek yang siap melayani dengan menyediakan
berbagai macam obat yang dibutuhkan masyarakat.
Salah satu jenis obat yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk penyembuhan
adalah obat-obatan daftar G (Gevaarlijk) yang tidak dijual secara bebas kepada
masyarakat. Untuk mendapatkan obat-obatan daftar G pembeli harus dapat
menunjukkan resep dari dokter. Menurut pasal 1 huruf k Undang- Undang Obat Keras
(st. 1973 Nomor 641), obat daftar G adalah “Obat-obatan keras yang oleh Secretaris
van Staat didaftar pada daftar obat-obatan keras”. 9 Sedangkan pada pasal 1 huruf a
Undang-Undang Obat Keras (st. 1973 Nomor 641) obat-obat keras adalah “Obat-obatan
yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik yang mempunyai khasiat mengobati,
menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain, tubuh manusia, baik dalam
bungkusan maupun tidak”.10
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SK/VIII/1986
penandaan Obat Keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan garis tepi berwarna
hitam serta huruf K yang menyentuh garis tepi. Obat- obatan yang termasuk dalam
golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan
yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan sebagainya). Obat-
obatan ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan

8
Umi Athijah dkk., Buku Ajar Preksripsi: Obat dan Resep Jilid 1, Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair, 2011, hlm. 5-8
9
Perhuki Wilayah DKI, Hukum Kesehatan Indonesia : Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 16
10
Cst. Kansil, Op. Cit. hal. 180.
6
meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan kematian. 11 Maka dari itu,
yang dapat membedakan golongan dari obat keras ini adalah tenaga kesehatan. Tenaga
kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasiaan menurut Pasal 11 ayat 6
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan adalah apoteker dan
tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi dan analis
farmasi.12 Sesuai yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah bahwa dalam melakukan
Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, apoteker dapat
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari
dokter sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan.
Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, tuntutan kebutuhan manusia
tentang obat akan terus bertambah dan pelayanan cepat sehingga pembelian obat tidak
harus mempertemukan konsumen dan penjual secara langsung dan penjualan obat tidak
hanya di unit pelayanan kesehatan seperti di apotek, puskesmas, rumah sakit atau toko
obat namun proses distribusi obat dimudahkan langsung ke tangan konsumen melalui
media internet. Kemudian dengan adanya persaingan dalam perdagangan menuntut
pelaku usaha untuk terus melakukan inovasi serta berupaya keras untuk memberikan
pelayanan barang dan jasa yang terbaik sekaligus efisien. Pelaku usaha memberikan
kemudahan dan innovasi tersebut dengan cara konsumen dengan mudah melakukan
transaksi melalui media internet yang disebut sebagai E-Commerce.
Pelaksanaan jual beli e-commerce tersebut pada saat ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, dimana
dalam Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa : Pelaku usaha yang menawarkan produk
melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar
berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Sehingga
berdasarkan peraturan tersebut, maka pihak konsumen mempunyai hak dalam
mendapatkan informasi yang jelas tentang produk barang atau jasa yang akan
didapatkan.
Obat-obatan yang diperjualbelikan di media online melalui internet ini juga
terdapat kelompok obat Keras, dimana obat-obatan ini tidak dapat dibeli bebas di
Apotek dan atau Rumah Sakit tanpa ada Resep dokter dengan pengawasan
11
Handi Mulyansyah, Peranan Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Memberantas Tindak
Pidana Peredaran Obat Keras Di Sarana Yang Tidak Memiliki Keahlian Dan Kewenangan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Di Provinsi Riau, JOM Jurnal Fakultas Hulum
,Vol.III No.2, Oktober 2016, hlm.3
12
Pasal 11 ayat 6, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
7
dokter/apoteker. Betapa berbahayanya apabila obat-obatan katagori ini dapat
diperjualbelikan bebas melalui media online dengan akses internet. Beberapa apotek
online yang ada di internet baik melalui web (website) ataupun aplikasi App Store,
seperti contohnya http://k24klik.com atau aplikasi handphone “K24 Klik”,
http://goapotik.com atau aplikasi “Go Apotik”, http://farmaku.com,
http://jualobatmurah.com, Apotek Medicastore http://apotik.medicastore.com,
http://klik-apotek.com, ataupun aplikasi Halodoc. Beberapa apotek online diatas ada
yang sudah memberikan batasan yang jelas obat-obatan apa saja yang bisa dilayani
melalui online. Contohnya obat bebas, obat bebas terbatas, jamu, fitofarmaka, obat
herbal, suplemen, kosmetika, alat kesehatan dan sejenis perawat tubuh / kecantikan.
Namun, ada juga apotek online yang belum ada pembatasan obatnya, begitu juga untuk
di media online lainnya seperti pada aplikasi Bukalapak, Tokopedia, Shopee, Lazada,
dan lainnya juga belum ada pembatasan obat-obat yang boleh dijual ataupun yang tidak
boleh dijual melalui media online, sehingga masih ditemukan obat-obatan sejenis
Antibiotika, obat Narkotika, obat Psikotropika yang dijual bebas melalui online tanpa
resep dokter.13
Penjualan obat keras tanpa menggunakan resep dokter dikategorikan kedalam
suatu perjanjian sehingga apabila ada salah satu pihak yang melanggar perjanjian dapat
dikatakan sebagai wanprestasi. Sebagaimana dalam Pasal 1457 KUHPerdata dinyatakan
bahwa “Jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan”.14 Jika dilihat dari hubungan antara pengelola apotek dan
pasien, maka pengelola apotek online sebagai pihak penyalur obat atau sebagai pihak
penjual sedangkan pasien sebagai pihak penerima obat atau sebagai pihak pembeli.
Timbulnya wanprestasi membawa kerugian bagi pasien sehingga pengelola apotek
harus bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut. Pada Pasal 58 ayat (1) UU Nomor
36 Tahun 2009 juga mengatur tentang perlindungan terhadap pasien, yang berisikan
hak-hak pasien, yakni setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.15
Berkaitan dengan hal tersebut, dengan banyaknya praktek penjualan obat keras

13
Hilda Muliana. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dan Pelaku Usaha Dalam Jual Beli Obat
Secara Online. Tesis. Fakultas Hukum dan Komunikasi. Universitas Katolik. Semarang. 2020. Hal 20
14
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
15
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 58 ayat 1.
8
tanpa menggunakan resep dokter yang dilakukan oleh pelaku usaha secara online
dewasa ini menimbulkan efek yang sangat berbahaya dan merugikan bagi pasien
Lemahnya kedudukan konsumen dalam hal ini pasien atas kegiatan jual beli yang
dilakukan secara online dibandingkan pihak produsen (pelaku usaha), maka
perlindungan hukum terhadap para konsumen dirasa sangat perlu khususnya dalam
masalah penjualan obat- obatan golongan keras yang dijual secara online. Berdasarkan
latar belakang tersebut menimbulkan ketertarikan dari penulis untuk mengkaji lebih
dalam mengenai tanggung jawab pengelola apotek online sebagai pelaku usaha dalam
melakukan penjualan obat keras tanpa menggunakan resep dokter secara online melalui
penulisan makalah dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU
USAHA ATAS PENJUALAN OBAT-OBATAN GOLONGAN OBAT KERAS
SECARA ONLINE”.

I.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yang ada sebagai berikut :
1. Bagaimana kajian yuridis penjualan obat-obatan golongan obat keras (obat G)
secara online ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?
2. Bagaimana bentuk tanggung jawab hukum pelaku usaha dalam melakukan
perjanjian jual beli obat keras (obat G) secara online ?
I.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui kajian yuridis penjualan obat-obatan golongan obat keras (obat
G) secara online ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab hukum pelaku usaha dalam melakukan
perjanjian jual beli obat keras (obat G) secara online

9
BAB II
PEMBAHASA
N

II.1 Kajian Yuridis Penjualan Obat-Obatan Golongan Obat Keras (Obat G)


Secara Online Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Era globalisasi telah membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan,


termasuk, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memegang peranan
penting dalam pembangunan. Teknologi informasi dan komunikasi saat ini sedang
mengarah kepada konvergensi yang memudahkan kegiatan manusia sebagai pencipta,
pengembang dan pengguna teknologi itu sendiri. Salah satunya dapat dilihat dari
perkembangan media internet yang sangat pesat. Internet sebagai suatu media informasi
dan komunikasi elektronik telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, antara
lain untuk menjelajah (browsing, surfing), mencari data dan berita, saling mengirim
pesan melalui email, dan perdagangan. Kegiatan perdagangan dengan memanfaatkan
media internet ini dikenal dengan istilah electronic commerce, atau disingkat e-
commerce.16
Saat ini transaksi e-commerce telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan
internasional, orang cukup melakukannya melalui internet untuk pembelian produk
pakaian,tas atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat pribadi. Transaksi
perdagangan dalam e-commerce merupakan suatu transaksi perdagangan yang dalam
proses transaksinya menggunakan media elektronik. Indonesia belum memiliki aturan
yang secara khusus mengatur tentang transaksi dengan menggunakan media elektronik,
sedangkan kemajuan teknologi internet yang begitu pesat serta gaya hidup yang tinggi
membuat masyarakat merubah cara pandang suatu transaksi perdagangan yang
sebelumnya konsumen datang ke berbagai toko untuk memilih, membandingkan dan
membeli sebuah barang, sekarang hanya dengan mengakses situs e-commerce
menggunakan perangkat elektronik yang dimiliki lalu dengan mudah memilih,
membandingkan barang yang tersedia dan dapat langsung melakukan transaksi jual beli.
Pada Perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat ditemukan dalam
Pasal 1313 ayat (1) bahwa perjanjian merupakan perbuatan di mana satu pihak atau
16
Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung : PT. Refika Aditama,
2004), hal. 1
10
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih atau peristiwa dimana
seseorang berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata
juga menyebutkan bahwa jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Selanjutnya Pasal 1458 KUHPerdata
menyebutkan, jual beli itu dianggap terjadi antara kedua belah pihak, seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai kesepakatan tentang kebendaan tersebut dan
harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan dan belum dibayar. Dengan begitu
maka hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi perdagangan elektronik merupakan
hubungan hukum perdata, sehingga aturan-aturan yang diterapkan juga menggunakan
aturan secara perdata.17
Transaksi jual-beli secara e-commerce /online lahir berdasarkan kontrak jual-beli
yang terjadi secara elektronik antara penjual dan pembeli. Hingga saat ini masih terjadi
kekosongan hukum di Indonesia perihal transaksi elektronik, sebab belum terakomodir
tentang syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara khusus. 18 Pinsip dasar
pemberlakuan suatu kontrak di Indonesia mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata,
sehingga dapat pula diterapkan pada kontrak elektronik. Adapun syarat sahnya
perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :19
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri (de toestomming van degenen die zich
verbiden). Keberadaan suatu unsur kesepakatan dalam transaksi jual-beli online
diukur melalui pembeli yang mengakses dan menyetujui penawaran melalui internet.
Hal ini dapat diterjemahkan sebagai penerimaan untuk menyepakati sebuah
hubungan hukum. Transaksi secara online ini secara tertuang dalam kontrak baku
dengan prinsip take it or leave it, sebab seluruh penawaran beserta persyaratan
pembelian suatu produk sudah tercantum dan pembeli dapat menyetujuinya atau
tidak. Persetujuan yang diberikan oleh pembeli ini menjadi dasar dari kesamaan
kehendak para pihak, sehingga kesepakatan dalam kontrak elektronik lahir.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaanheid om eene verbintenis
aan te gaan). Cakap menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut
hukum, yaitu seseorang yang telah berumur 21 tahun dan telah kawin, serta tidak

17
Bernadetta Tjandra Wulandari, Paku Putra Alam.Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pelaku Usaha
Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Marketplace. Jurnal. Fakultas Hukum Unika Atmajaya.
18
Yosefin Mulyaningtyas. Aspek Hukum E-Commerce/ Hukum Jual Beli Online. Di akses dari
http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-E-Commerce-hukum-jual-beli-online. Di kutip pada April
2022
19
Republik Indonesia (KUH Perdata). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1320
11
dibawah pengampuan. Unsur kecapakan dalam transaksi secara online sulit untuk
diukur, sebab setiap orang (tanpa dibatasi umur tertentu) dapat mejalankan transaksi
elektronik sesuai dengan Pasal 2 UU ITE. Berdasarkan ketentuan ini, anak-anak
yang masih di bawah umur dapat melakukan transaksi jual-beli secara online dan
tidak memenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Oleh karena itu,
kontrak ini dapat dibatalkan melalui seseorang yang mengajukan pembatalan di
pengadilan.
3) Objek atau pokok persoalan tertentu atau dapat ditentukan (eene bapald onderwerp
object). Suatu hal tertentu adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dan
dapat ditentukan jenisnya. Produk yang ditawarkan secara online tertuang dalam
bentuk gambar atau foto yang disertai dengan spesifikasi produk tersebut. Namun,
tidak ada jaminan bahwa produk tersebut pasti dikirimkan kepada pembeli sekalipun
telah membayar melalui sistem pengiriman uang atau transfer melalui bank.
4) Suatu sebab atau causa yang halal/dilarang (eene geoorloofde oorzaak). Maksud dari
suatu sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
kesusilaan, dan kepentingan umum. Dalam Transaksi jual-beli online harus
dipastikan bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan prinsip itikad baik oleh
penjual dan pembeli. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka kontrak elektronik batal
demi hukum.
Sesuai dengan hal tersebut jika dilihat dari Kitab Hukum Undang-Undang
Hukum Perdata, maka penjualan obat golongan obat keras melalui media Online
sebenarnya sesuai berdasarkan asas-asas dalam perjanjian tetapi transaksi ini menjadi
tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian yang tidak terpenuhi yaitu sebab yang halal. Penjualan obat
golongan obat keras sangat melanggar ketentuan yang ada pada Undang-Undang
sehingga perjanjiannya menjadi tidak sah. Maka dengan demikian, karena tidak
terpenuhinya salah satu syarat obyektif yaitu sebab-sebab yang halal, maka dapat
dipastikan bahwa perjanjian tersebut dapat dibatalkan melalui pengadilan atau salah
satu pihak berdasarkan kesepakatan bersama menarik perjanjian tersebut.

II.2. Bentuk Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Dalam Melakukan


Perjanjian Jual Beli Obat Keras (Obat G) Secara Online
Perjanjian dapat menimbulkan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum yang
timbul akibat jual beli antara pelaku usaha dan konsumen yang mengikat antara kedua
12
belah pihak dengan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam setiap interaksi tersebut
memiliki tujuan untuk mencapai suatu kesepakatan dan selalu ada suatu aspek timbal-
balik diantara 2 (dua) subjek hukum. Perjanjian jual-beli online merupakan interaksi
timbal-balik dengan subjek hukumnya yaitu pihak pembeli dan penjual. Pada saat adanya
jual beli maka hak dan kewajiban dari masing- masing pihak harus terjaga dan terpenuhi.
Seperti pada saat konsumen membeli barang maka pelaku usaha harus menyerahkan
barang tersebut dan konsumen harus membayar dengan harga yang telah disepakati.
Jika kita melihat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 58 dijelaskan
mengenai tanggung jawab yang dapat kita hubungkan dengan transaksi obat-obatan
secara online yaitu setiap orang berhak menuntut ganti rugi apabila mengalami kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya tetapi bisa
tidak berlaku apabila tindakan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat. Kemudian
dalam Pasal 63 disebutkan bahwa penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh
akibat penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat, penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan tersebut dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau
perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya dan dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Selain itu pada Undang-
Undang ini juga menyebutkan sanksi jika terjadi penyalanggunaan dalam transaksi online
tersebut yaitu diatur pada Pasal 196 yang menyebutkan bahwa jika dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan, menurut Pasal 197 juga
menyebutkan jika dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
Transaksi online/e-commerce ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang ITE. Pada transaksi online, para pihak terkait di dalamnya
melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau
kontrak yang dilakukan secara elektronik sesuai dengan Undang- Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Pasal 18 ayait 1 yang
13
berbunyi transaksi elektronik yang dituangkan kedalam kontrak elektronik mengikat para
pihak.20 Dalam suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum terdapat objek
perjanjian. Objek perjanjian dalam kasus adalah obat keras. Jika kita melihat pada kasus
yang terjadi, transaksi Online obat golongan obat keras terjadi pada saat adanya
penawaran penjual yang di setujui oleh pembeli. Menurut Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang ITE transaksi tersebut tidak sah karena melanggar hubungan hukum
yang tertuang dalam perjanjian yaitu mengenai hak dan kewajiban dari pelaku usaha dan
konsumen, dimana sistem elektronik yang disetujui adalah melalui media WhatsApp.
Menurut hukum yang berlaku obat keras tidak boleh dijual beli dengan bebas tanpa
adanya resep Dokter, dijelaskan dengan tegas bahwa terkait obat keras Apoteker hanya
boleh menyerahkan obat keras atas resep dari Dokter. Dalam peraturan dijelaskan bahwa
setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tidak boleh mengadakan,
menyimpan, mengolah, mempromosikan serta mengedarkan obat dan bahan yang
berkhasiat obat. Pembelian obat keras memiliki langkah-langkah khusus dan telah
ditentukan, seperti harus adanya resepan dari Dokter Spesialis, adanya Surat Pesanan
Khusus yang di dalamnya terdapat tanda tangan Apoteker.21
Ketika pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikasi apoteker atau dibidang
kefarmasian menjual obat keras secara online maka hal tersebut adalah tindakan illegal.
Terdapat kriteria untuk dapat melakukan pengelolaan, penyimpanan, serta pendistribusian
obat keras hal tersebut tidak dapat dikelola oleh orang atau badan hukum yang tidak
memiliki izin serta sertifikasi dari pusat farmasi apalagi dijual bebas melalui online. Jika
penjualan obat keras masih terjadi dan menimbulkan kerugian pada pasien. 22 Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Tanggung Jawab Pelaku Usaha terdapat dalam Pasal 19, yaitu bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi

20
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Pasal 18 ayat 1.
21
Chelsea Anyta Lucky, Sri Ratna Suminar. Tanggung Jawab Hukum Penjualan Obat-Obatan Golongan
Obat Keras Melalui Media Online Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jo. Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi dan Teknologi. Volume 7, No. 1, Tahun 2021. Jurnal. Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum.
Universitas Islam Bandung. Hal 269.
22
Op cit
14
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Pemberian
ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana jika
pembuktian menunjukkan adanya unsur kesalahan. Ganti rugi yang diberikan dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian obat dan perawatan kesehatan atau
pemberian santunan. Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan adanya tuntutan
pidana apabila terbukti adanya unsur kesalahan. Tetapi ketentuan-ketentuan tersebut tidak
berlaku apabila kerugian yang di alami bukan merupakan kesalahan pelaku usaha tetapi
merupakan kesalahan dari konsumen.
Jika penjualan obat keras masih terjadi dan menimbulkan kerugian pada pasien,
maka untuk sanksi pelaku usaha sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Bab XIII Bagian Pertama Sanksi Administratif Pasal
60 menyebutkan bahwa terhadap pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif
berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pada Bagian Kedua Sanksi Pidana maka berdasarkan Pasal 61 menyatakan bahwa
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Sedangkan dalam Pasal 62 ditetapkan bahwa pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan dipidana penjara 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Lalu pada Pasal 63 disebutkan bahwa Terhadap sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa perampasan
barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen,
kewajiban penarikan barang dari peredaran atau pencabutan izin usaha.23

23
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 60-63.
15
BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
1. Pada Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa syarat sahnya suatu
perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat
perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal dapat
diterapkan untuk menentukan keabsahan perjanjian jual beli elektronik.
Dalam praktek e-commerce/online ini, syarat tersebut tidak terpenuhi
secara utuh, terutama dalam hal kecakapan, karena sulit untuk
mengetahui apakah para pihak dalam e-commerce/online tersebut
(terutama customer) sudah berwenang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum (jual beli melalui internet) atau tidak, selama transaksi dalam e-
commerce/online tidak merugikan bagi kedua belah pihak, maka
transaksi tersebut dianggap sah. Jadi dalam praktek e-commerce/online
ini, syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak
terpenuhi secara utuh.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE transaksi
obat golongan obat keras tidak sah karena melanggar hubungan hukum
yang tertuang dalam perjanjian yaitu mengenai hak dan kewajiban dari
pelaku usaha dan konsumen, transaksi obat golongan obat keras
seharusnya melalui Apotek dan disertai oleh resepan Dokter Spesialis,
dimana menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menjelaskan bahwa Ketika pelaku usaha yang tidak memiliki
sertifikasi apoteker atau dibidang kefarmasian menjual obat keras secara
online maka hal tersebut adalah tindakan illegal.
3. Jika penjualan obat keras menimbulkan kerugian pada pasien, maka
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen tanggung jawab pelaku usaha harus
memberikan ganti rugi yang dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah transaksi berupa pengembalian uang atau
penggantian obat dan perawatan kesehatan atau pemberian santunan.

16
III.2. Saran
1. Perlu dilakukan sosialisasi Undang- Undang Informasi Teknologi
(UUITE) sehingga masyarakat dapat memahami dan mengetahui perihal
tentang perjanjian melalui Internet tersebut. Dalam hal ini sosialisasi
dimaksudkan juga agar masyarakat dapat melaksanakan transaksi e-
commerce ini sesuai dengan aturan yang berlaku dan juga agar terdapat
persamaan persepsi, sehingga tidak terdapat kendala dalam
penerapannya.
2. Perlunya pengawasan yang ketat mengenai penjualan obat keras secara
online agar tidak mudah di perjualbelikan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab sehingga tidak semakin banyak masyarakat yang
sebenarnya tidak membutuhkan obat tersebut malah mengalami
ketergantungan obat.
3. Pemerintah juga harus lebih tegas menerapkan sanksi- sanksi kepada
pihak-pihak yang menjadi penjual maupun pembeli obat golongan obat
keras. Terutama terhadap penjual karena telah menjual obat golongan
obat keras dengan sangat bebas yang di salah gunakan oleh pihak- pihak
tertentu.

17
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
1. Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015.
2. Muhamad Sadi Is, Etika dan Hukum Kesehatan Teori dan Aplikasinya di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2015
3. Zaeni Asyhadie, Aspek-aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2017
4. Purwanto Hardjosaputra, Daftar Obat Indonesia edisi II, PT.Mulia Purna Jaya
Terbit, Jakarta: 2008
5. Umi Athijah dkk., Buku Ajar Preksripsi: Obat dan Resep Jilid 1, Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair, 2011
6. Perhuki Wilayah DKI, Hukum Kesehatan Indonesia : Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Tentang Pelayanan Kesehatan Perorangan di Indonesia,
Jakarta, 1987
7. Ahmad M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia.
Bandung : PT. Refika Aditama, 2004

B. Undang-Undang
1. Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
2. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
5. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

C. Jurnal
1. Handi Mulyansyah, Peranan Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam
Memberantas Tindak Pidana Peredaran Obat Keras Di Sarana Yang Tidak
Memiliki Keahlian Dan Kewenangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan Di Provinsi Riau, JOM Jurnal Fakultas
Hulum ,Vol.III No.2, Oktober 2016
18
2. Hilda Muliana. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dan Pelaku Usaha
Dalam Jual Beli Obat Secara Online. Tesis. Fakultas Hukum dan Komunikasi.
Universitas Katolik. Semarang. 2020
3. Bernadetta Tjandra Wulandari, Paku Putra Alam.Tinjauan Yuridis
Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Melalui
Marketplace. Jurnal. Fakultas Hukum Unika Atmajaya.
4. Chelsea Anyta Lucky, Sri Ratna Suminar. Tanggung Jawab Hukum Penjualan
Obat-Obatan Golongan Obat Keras Melalui Media Online Ditinjau dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Jo. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi
dan Teknologi. Volume 7, No. 1. Jurnal. Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum.
Universitas Islam Bandung.2021.

D. Website
Yosefin Mulyaningtyas. Aspek Hukum E-Commerce/ Hukum Jual Beli Online. Di
akses dari http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-E-Commerce-hukum-jual-
beli-online pada April 2022.

19

Anda mungkin juga menyukai