Anda di halaman 1dari 31

TUGAS WAWASAN KEMARITIMAN

“MEMBANGUN POROS MARITIM MELALUI PELABUHAN”

Disusun oleh:
FETI FERA MUNAJAT
P3A1 21 014

JURUSAN D-III TEKNIK SIPIL

PROGRAM PENDIDIKAN VOKASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan, kekuatan dan kesempatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kemaritiman ini. Laporan ini mengangkat teman fungsi dan
peran vokasional dalam pembangunan wilayah kemaritiman. Tak lupa kami
mengucapkan banyak terimah kasih kepada dosen pengajar kami dalam melakukan
praktek.
Penulis juga menyadari bahwa didalam laporan ini masih banyak kesalahan
atau kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran guna
untuk memperbaiki laporan yang sudah kami kerjakan.

Kendari, Juni 2022

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara maritim di mana secara geografis Indonesia terletak di
antara dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta
menghubungkan benua Asia dan benua Australia. Indonesia juga sebuah negara
kepulauan berdasarkan konvensi UNCLOS tahun 1982. Indonesia memiliki lebih dari
17 ribu pulau, dengan garis pantai lebih dari 99.000 km, sehingga menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang ke dua di dunia setelah
Kanada. Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas, dimana 2/3 dari wilayah
negara ini adalah laut. Sebagian besar wilayah Indonesia yang berupa laut,
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar di
bidang kelautan.
Potensi ekonomi maritim Indonesia sendiri terdiri dari kekayaan laut yang
berupa sumber daya alam yang dapat diperbarui seperti perikanan, terumbu karang,
hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi. Selanjutnya ada
sumber daya alam yang tak dapat diperbarui seperti minyak dan gas bumi, timah,
bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya. Untuk menunjang kegiata ekonomi maritim
di Indonesia Pelabuhan berperan sebagai motor untuk merangsang pertumbuhan
sektor ekonomi, seperti industri, perdagangan, dan pariwisata. Pelabuhan juga bisa
digunakan sebagai sarana mendorong peningkatan pendapatan negara dan menjadi
titik temu antarmoda transportasi serta gerbang penghubung interaksi sosial-ekonomi
antarpulau/negara.
Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUDNRI Tahun 1945) Pasal 33 ayat (3) menyebut kan “ Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalam nya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sejalan dengan hal itu usaha pemerintah
Indonesia dalam mengimplementasikan ayat (3) tersebut adalah dengan memperkuat

1
sarana serta infrastruktur perekonomian maritim salah satunya membangun jaringan
transportasi laut dan pelabuhan di seluruh wilayah Indonesia.
Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUDNRI Tahun 1945) Pasal 33 ayat (3) menyebut kan “ Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalam nya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sejalan dengan hal itu usaha pemerintah
Indonesia dalam mengimplementasikan ayat (3) tersebut adalah dengan memperkuat
sarana serta infrastruktur perekonomian maritim salah satunya membangun jaringan
transportasi laut dan pelabuhan di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam peranya melayani kebutuhan perdagangan dalam kegiatan ekonomi
maka para pelaku pengusaha pelabuhan dan pemerintah tidak boleh melupakan faktor
dari pembangunan berkelanjutan dalam menjaga lingkungan hidup area pelabuhan.
Untuk menyelenggarakan Pelabuhan yang bisa bertahan dan dapat digunakan
secara berkesinambungan pemerintah harus memperhatikan aspek lingkungan hidup
salah satunya yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Limbah di Pelabuhan bahwa setiap pelabuhan
umum dan pelabuhan khusus wajib menyediakan fasilitas pengelolaan limbah yang
berasal dari usaha dan / atau kegiatan kapal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran dan kinerja pelabuhan dalam mendorong perekonomian
Indonesia?
2. Bagaimana rekomendasi yang sebaiknya dilakukan Pemerintah Indonesia
merespons permasalahan dan tantangan utama dalam pembangunan dan
pengelolaan pelabuhan?
3. Apa definisi keamanan maritime ?
4. Apa saja tantangan dan permasalahan dalam bidang kemaritiman ?

2
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui peran dan kinerja pelabuhan dalam mendorong


perekonomian Indonesia.
2. Untuk mengetahui rekomendasi yang sebaiknya dilakukan Pemerintah
Indonesia merespons permasalahan dan tantangan utama dalam
pembangunan dan pengelolaan pelabuhan.
3. Untuk mengetahui definisi keamanan maritime.
4. Untuk mengetahui tantangan dan permasalahan dalam bidang
kemaritiman.

3
BAB II
TEORI KEMARITIMAN
2.1 Peran dan Kinerja Pelabuhan Dalam Mendorong Perekonomian Indonesia
Menurut UU No. 17 Tahun 2008 mengenai Pelayaran, pelabuhan adalah tempat
yang terdiri atas daratan dan atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
berkegiatan pemerintah dan perusahaan. Secara fisik, pelabuhan diper gunakan
sebagai tempat kapal berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang.
Dengan demikian, pelabuhan pada umumnya berupa terminal dan tempat berlabuh
kapal yang dilengkapi fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran serta kegiatan
penunjang pelabuhan lain.
Sebagai salah satu prasarana transportasi, pelabuhan memiliki peran strategis
untuk men dukung sistem transportasi karena menjadi titik simpul hubungan
antardaerah/negara. Selain itu, pelabuhan menjadi tempat perpindahan intra dan
antarmoda transportasi (Oblak dkk., 2013, 84). Dengan demikian, pelabuhan
memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Secara ekonomi, pelabuhan berfungsi sebagai
salah satu penggerak roda perekonomian karena menjadi fasilitas yang memudahkan
distribusi hasil-hasil produksi. Secara sosial, pelabuhan menjadi fasilitas publik
tempat berlangsungnya interaksi antarpengguna (masyarakat), termasuk interaksi
yang terjadi karena adanya aktivitas perekonomian (Berkoz & Tekba, 1999, 11;
Derakhshan, 2005, 66).
Selain berfungsi secara sosial dan ekonomi, pelabuhan juga penting dari sisi
politis (Indrayanto, 2005, 3). Artinya, dengan peran strategisnya sebagai pusat
interaksi yang mempu nyai nilai ekonomi dan urat nadi dinamika sosial budaya
suatu bangsa, pelabuhan mempunyai nilai politis yang sangat strategis untuk dijaga
dan dipertahankan eksistensi dan kedaulatan nya. Aturan-aturan pengelolaan
pelabuhan yang berdaulat, transparan, aman, dan tidak diskrimi natif terhadap
perusahaan asing serta dilakukan secara efektif dan efisien akan meningkatkan sisi
politis yang positif bagi suatu negara tempat pelabuhan itu berada.

4
Secara konseptual, pelabuhan memiliki tiga fungsi strategis. Pertama, sebagai
link atau mata rantai. Maksudnya, pelabuhan merupakan salah satu mata rantai proses
transportasi dari tempat asal barang/orang ke tempat tujuan. Kedua, sebagai interface
(titik temu), yaitu pelabuhan sebagai tempat pertemuan dua moda transportasi,
misalnya transportasi laut dan transportasi darat. Ketiga, sebagai gateway (pintu
gerbang), yaitu pelabuhan sebagai pintu gerbang suatu daerah/ negara. Dalam kaitan
dengan fungsinya sebagai gateway, tidak terlalu mengherankan jika setiap kapal yang
berkunjung ke suatu daerah/negara maka kapal itu wajib mematuhi peraturan dan
prosedur yang berlaku di daerah/negara tempat pelabuhan tersebut berada (Wijoyo,
2012, 15–6).
Lebih dari itu, sebagai pusat kegiatan ekonomi, pelabuhan biasanya juga
memberikan layanan untuk lima kegiatan berikut. Pertama, pelayanan kapal (labuh,
pandu, tunda, dan tam bat). Kedua, handling bongkar muat (peti kemas, curah cair,
curah kering, general cargo, roro). Ketiga, embarkasi dan debarkasi penumpang.
Keempat, jasa penumpukan (general cargo, peti kemas, tangki-tangki, silo). Kelima,
bunkering (mengisi perbekalan seperti air kapal, BBM). Keenam, reception, alat,
lahan industri. Ketujuh, persewaan, alat, lahan industri (Pelindo, 2013).
Beragamnya fungsi dan layanan yang dise diakan pelabuhan membuat
pelabuhan sering dianalogikan sebagai sebuah sistem. Sistem pelabuhan mendapat
dukungan paling tidak dari tiga subsistem pendukung utama, yaitu 1)
penyelenggaraan atau port administration/port authority, yakni
pemerintah/kementerian per hubungan dan 16 institusi pemerintah lainnya, 2)
pengusahaan atau port business, yakni PT Pelindo dan pengguna jasa pelabuhan atau
port users, yaitu sektor swasta, seperti eksportir, importir, dan 3) perusahaan
angkutan khusus pelabuhan (Indrayanto, 2005; Wijoyo, 2012). Dengan demikian,
bisa tidaknya pelabuhan menjalankan fungsi dan menyediakan beragam layanan akan
sangat bergantung pada sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem seperti tersebut di
atas.

5
Keharusan mengintegrasikan tiga subsistem (penyelenggaraan, pengusahaan,
dan peng gunaan) membuat upaya untuk meningkatkan kinerja pelabuhan
cenderung kompleks. Upaya tersebut perlu melibatkan peran lintas institusi sektoral
dan membutuhkan konsep, perencanaan, program, dan strategi implementasi yang
kom prehensif dan matang. Selain itu, konsistensi, transparansi, dan kesamaan
persepsi di antara stakeholders (pemangku kepentingan) merupakan kunci penting
proses integrasi ketiga subsistem. Oleh karena itu, menyusun kerangka regulasi yang
mampu mengatur mekanisme dan hubungan kerja di antara stakeholders dari setiap
subsistem menjadi penting untuk memfasilitasi proses integrasi.
Terlepas dari permasalahan di atas, agar dapat berfungsi dan mampu
memberikan layanan dengan efisien, pelabuhan harus kompetitif dan memenuhi
beberapa persyaratan. Pertama, hubungan yang mudah antara transportasi air dan
darat, seperti jalan raya dengan kereta api sehingga distribusi barang dan penumpang
dapat dilakukan dengan cepat. Kedua, kedalaman dan
lebar alur yang cukup. Ketiga, berada pada wilayah yang memiliki daerah
belakang yang subur atau memiliki populasi tinggi. Keempat, tersedia tempat untuk
membuang sauh selama kapal menunggu untuk merapat ke dermaga atau mengisi
bahan bakar. Kelima, dilengkapi dengan tempat untuk reparasi kapal. Keenam,
tersedianya fasilitas bongkar muat barang/penumpang serta fasilitas pendukungnya
(Wijoyo, 2012, 22–3).
Namun, penting untuk dikemukakan bahwa kompetitif atau tidaknya suatu
pelabuhan tidak hanya dipengaruhi oleh persyaratan-persyaratan tersebut, tetapi juga
oleh konektivitasnya dalam suatu mata rantai pasokan (supply chain) (Car bone &
De Martino, 2003, 310; Kent, 2012, 22). Ini berarti bahwa risiko suatu pelabuhan
kehilangan daya saing dan penggunanya tidak hanya disebabkan oleh kekurangan
infrastruktur pendukung, tetapi juga sistem logistik dan mata rantai pasokan (De
Langen & Chouly, 2004). Karena itu, integrasi pengelolaan pelabuhan dengan sistem
logistik dan mata rantai pasokan menjadi penting untuk mempertahankan daya saing

6
pelabuhan (De Langen, 2004; Van Der Lugt & De Langen, 2005; Ducruet, 2006;
Ducruet & van der Horst, 2009).
Agar bisa terintegrasi dengan sistem logistik dan mata rantai pasokan,
pelabuhan membutuh kan reformasi dalam hal regulasi dan pengelolaan (Van
Niekerk, 2009). Reformasi regulasi dan pengelolaan ini, paling tidak memiliki tiga
tujuan strategis (Farrell, 2011). Pertama, mengurangi atau menghilangkan sama sekali
aturan dan regu lasi yang menghambat persaingan pembangunan dan pengelolaan
pelabuhan. Kedua, menciptakan aturan-aturan yang bisa mendorong iklim yang
kondusif untuk persaingan. Ketiga, memfasilitasi transisi yang mengarah ke iklim
bersaing yang sehat.
Sejalan dengan hal di atas, pemerintah perlu mereposisi perannya dalam
pengelolaan dan pembangunan pelabuhan. Pemerintah harus fokus pada pembuatan
kebijakan dan peraturan yang mendukung mekanisme pasar dan persaingan yang
sehat. Pemerintah harus menghindari inter vensi langsung, menjadi regulator, dan
wasit yang adil. Jika mungkin, pemerintah harus melakukan deregulasi, menghapus
monopoli terselubung, dan menentukan secara jelas batas, fungsi, dan kewenangan
entitas pelabuhan sehingga mening katkan kepastian usaha dan mendorong peran
serta swasta dalam investasi (Kent, 2012).
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, upaya mereposisi peran pemerintah
dan merefor masi regulasi serta pengelolaan pelabuhan dilaku kan sejalan dengan
implementasi program public private partnership (PPP) (Farrell, 2011; Oblak dkk.,
2013). Selain mendorong terciptanya iklim persaingan yang sehat, PPP di sektor
pelabuhan juga bermanfaat dikaitkan dengan dua pertim bangan. Pertama, keinginan
untuk merangsang perekonomian daerah di lingkungan pelabuhan. Kedua,
pengurangan dan penghematan pengelu aran pemerintah untuk membiayai investasi
di sektor pelabuhan (Acciario, 2004, 31).
Berkaitan dengan pengurangan dan penghe matan pengeluaran pemerintah,
baik di negara maju (developed countries) maupun berkembang (developing
countries), terdapat indikasi bahwa kebutuhan dana untuk membangun dan

7
menge lola infrastruktur pelabuhan sering kali melebihi ketersediaan dana yang
dimiliki pemerintah. Mi salnya, di Indonesia pada APBNP 2015 anggaran untuk
pembangunan pelabuhan dialokasikan Rp10,2 triliun. Padahal hasil penghitungan
Bappenas (Prihartono, 2015, 59–60) menunjukkan bahwa kebutuhan dana untuk
pembangunan pelabuhan pada tahun itu mencapai Rp66,8 triliun. Ini berarti bahwa
Pemerintah Indonesia memiliki kemampuan keuangan yang sangat terbatas untuk
membiayai pembangunan dan pengelolaan infrastruktur pelabuhan yang dibu tuhkan
untuk mendukung dinamika dan kemajuan perekonomian.
Sama seperti yang dilakukan pada jenis infrastruktur lain, pelaksanaan program
Public Private Partnership (PPP) sektor pelabuhan dilakukan dengan mendorong
partisipasi sek tor swasta dalam pembangunan infrastruktur pelabuhan—tadinya
merupakan tanggung jawab dan hanya dilakukan pemerintah (Kim dkk., 2011).
Untuk mendorong partisipasi swasta, pemerintah membentuk kelembagaan dan
menciptakan aturan (legal framework) yang jelas. Hal itu diharapkan bisa membantu
sektor swasta yang terlibat untuk mengurangi ketidakpastian dan mengurangi cost of
doing bussiness. Sejalan dengan itu, pemerintah juga menawarkan bera gam insentif
fiskal dan non-fiskal. Insentif fiskal contohnya keringanan atau pembebasan pajak,
dukungan penjaminan untuk meminimalisasi risiko, dan kompensasi pengelolaan
dalam kurun waktu yang lebih panjang. Sebaliknya, insentif non-fiskal misalnya
pembebasan lahan (Kim dkk., 2011).
Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif
pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan
memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan
ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan
menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari. Konsep pembangunan
berkelanjutan sebenarnya sejak sudah lama menjadi perhatian para ahli. Namun
istilah keberlajutan (sustainability) sendiri baru muncul beberapa dekade yang lalu,
walaupun perhatian terhadap keberlanjutan sudah dimulai sejak Malthus pada tahun

8
1798 yang mengkhawatirkan ketersedian lahan di Inggris akibat ledakan penduduk
yang pesat.
Satu setengah abad kemudian, perhatian terhadap keberlanjutan ini semakin
mengental setelah Meadow dan kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi
yang berjudul The Limit to Growth (Meadowet al.,1972) dalam simpulannya, bahwa
pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam.
Dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas, arus barang dan jasa yang
dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus
menerus (on sustainable basis ).
Proses pengintegrasian keduanya adalah melalui perumusan paradigma dan
arah kebijakan yang bertumpu pada kemitraan dan partisipasi para pelaku
pembangunan dalam mengelola sumber daya yang optimal. Banyak permasalahan
pembangunan dalam bentuk kerusakan lingkungan yang menimbulkan masalah social
dan ekonomi dalam jangka panjang, Untuk itu perlu upaya melakukan reoriantasi
ekonomi yang ada pada saat ini menjadi ekonomi berkelanjutan. Ekonomi
berkelanjutan di defenisikan sebagai “ekonomi yang tetap memelihara basis sumber
daya alam yang digunakan. Tata ekonomi seperti ini dapat terus berkembang dengan
penyesuaian-penyesuaian, dan menyempurnakan pengetahuan, organisasi, efesiensi
teknik, dan kebijakan.
Jika melihat defenisi pembangunan berkelanjutan, maka defenisi tersebut dapat
bermacam-macam tergantung pada interpretasi dan tujuan kepentingan yang akan
dicapai. Bagi Indonesia pembangunan berkelanjutan di defenisikan sebagai
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
asfek lingkungan hidup, social dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan ,
dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (Pasal 1 butir 3 UU
No.32 Tahun 2009).
Pembangunan itu baru dinilai berkesinambungan (Sustainable) apabila
pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan sehemat mungkin, seefesien mungkin,

9
seefektif mungkin Ide tentang pembangunan (sustaibnable development) berakar dari
pemikiran yang mengintegrasikan perspektif ekonomi dan perspektif ekologi, Ide ini
merupakan paradigma dalam pembangunan yang mulai diterjamahkan kedalam
berbagai konsep. Ilmu ekonomi berkembang dan cenderung memfokuskan diri pada
capaian-capaian jangka pendek, sedangkan ilmu ekologi berusaha dan cenderung
mendorong capaian-capaian yang bersifat jangka panjang.
Maka pelabuhan memiliki fungsi pokok yaitu sebagai tempat yang aman
berlabuh kapal dan sebagai terminal transfer barang dan penumpang. Pada dasarnya
fungsi pelabuhan mempunyai arti luas, yaitu sebagai link gateway dan industri entry.
Dengan fungsi yang luas tersebut maka pelabuhan memiliki peran penting dalam
pelayanan jasa yang terselenggara dalam kegiatan ekonomi dalam maupun luar
negeri, peran pelayanan jasa pelabuhan sangat penting guna menunjang
terselenggaranya angkutan laut disamping menunjang pemerataan pembangunan
keseluruh tanah air.
Dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah telah
mengeluarkan berbagai peraturan mengenai pelaksanaan pencegahan dan
pengendalian pencemaran di pelabuhan terutama sebagi pencemaran perairan
pelabuhan, seperti Keputusan Presiden dan keputusan Menteri Perhubungan. Sebagai
bentuk kepedulian kita terhadap lingkungan di dunia inetransional, Pemerintah
Republik Indonesia juga telah meratifiksi hasil konvensi Internasional mengenai
pencegahan pencemaran di pelabuhan/ laut atau yang lebih dikenal dengan MARPOL
73/78 ( maritime pollution 73/78) 3 aturan ini di diterapakan agar ekonomi dan
hukum dapat berjalan seimbang sehingga lingkungan teteap aman dengan pendapatan
yang meningkat.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa berbagai kegiatan di pelabuhan dapat
berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan hidup seperti penurunan
kualitas perairan, kualitas udara, kebisingan sampai dengan permaslahan sosial dan
perekonominan, masalah kesehatam dan lainlain. Namun dari semua masalah yang
ada masalah pencemaran perairan adalah merupakan isu pokok utama (main issue)

10
adalah masalah pencemaran perairan, baik itu di kolam pelabuhan, di alur, maupun di
ambang luar. Dengan adanya masalah-masalah pemerintah Indonesia mengeluarkan
Upaya untuk melindungi pelabuhan dengan adanya penegembangan hukum dibidang
kepelabuhanan yang tertuang di dalam UU RI No.17 Tahun 2008 Undangundang
Pelayaran Bab VII Kepelabuhanan Paragraf 6 Pembangunan dan pengoperasian
Pelabuhan Pasal 96 ayat (2) Pembangunan pelabuhan laut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian
lingkungan hidup, dan memperhatikan keterpaduan intra- dan antarmoda transportasi.
Hal ini juga dijelaskan pada Bab XII tentang Perlindungan Lingkungan Maritim
bagian ke tiga Pencegahan dan Pencemaran dari Kegiatan Kepelabuhanan. Dengan
tujuan utama adalah menyelenggarakan Pelabuhan yang bisa bertahan dan dapat
digunakan secara berkesinambungan. Dimana perekonomian tetap berjalan dan
lingkungan tetap terjaga nantinya.
Pelabuhan dilihat dari fungsinya yaitu adalah tempat kegiatan pemerintahan dan
pengusaha, didalam teori negara hukum yang ada, disebutkan bahwa pemerintahan
dijalankan berdasarkan undang-undang dan seluruh kegiatan di pelabuhan yang ada
secara administrasi ikut serta diatur didalam perundang-undangan. Dan jika terjadi
pelanggaran hukum di area pelabuhan maka juga akan ditindak sesuai undang-undang
yang berlaku. Perundang-undangan yang ada di area pelabuhan tidak hanya dibuat
untuk melindungi pelabuhan dan kapal, namun dibuat juga untuk melindungi Hak
Asasi Manusia yang ikut serta dalam kegiatan pengorganisasian di pelabuhan. Baik
dari segi pengoperasian dan pengelolaan pelabuhan.
Secara umum pola penangan dan pengelolaan pelabuhan didunia
diklasifikasikan atas tiga rejim besar yaitu pola land-lord port, tool port, dan
operating port. Pelabuhan dengan tipe land-lord port, otoritasnya berperan layaknya
seperti tuan tanah yang memberikan konsesi aset tidak bergerak
2.2 Tantangan Utama Dalam Pembangunan dan Pengelolaan Pelabuhan
Dalam bidang pelabuhan, komitmen Pemerin tahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
untuk mendorong Indonesia menjadi poros maritim, dilakukan me lalui skema

11
pembangunan pelabuhan tol laut. Pada prinsipnya, rencana pembangunan pelabuhan
tol laut ini mengembangkan, mendesain ulang, dan mempercepat eksekusi tiga
agenda yang telah disusun oleh Pemerintahan SBY-Boediono, tetapi tidak
terimplementasi secara optimal. Pertama, merevitalisasi Pelabuhan Bitung di
Sulawesi Utara dan Pelabuhan Kuala Tunjung di Sumatra Utara agar bisa berperan
sebagai pelabuhan internasional baru (International Hub Ports/ IHP) untuk wilayah
Timur dan Barat Indonesia. Revitalisasi diharapkan membuat kedua pelabuh an ini
mampu memberikan pelayanan terjadwal terhadap kapal-kapal berukuran besar
(sampai dengan 3.000 TEUS) sehingga bisa menekan biaya logistik menjadi lebih
murah.
Kedua, untuk mengurangi beban pelabuhan yang saat ini telah berperan sebagai
IHP, seperti Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), dan
Belawan (Medan), melalui fast track programme Pemerintah Joko Widodo-Jusuf
Kalla juga akan mempercepat pengembangan Pelabuhan Kalibaru Utara (Tanjung
Priok), Teluk Lamong (Tanjung Perak), dan Belawan Baru (Belawan). Ketiga
pelabuhan dalam fast track programme saat ini kondisinya memang sudah mengalami
kelebihan beban (over capacity) tidak saja untuk melayani perdagangan ekspor-impor
(Tabel 1), tetapi juga perdagangan antarpulau (Tabel 2). Misalnya, saat ini Pelabuhan
Tanjung Priok menangani lebih dari 6 juta TEUS peti kemas, padahal kapasitas ideal
pelabuhan itu hanya sampai dengan 5 juta TEUS peti kemas (Salcedo & Sandee,
2012).
Ketiga, untuk memperkuat konektivitas maritim secara nasional, pemerintah
juga beren cana mengembangkan 24 pelabuhan pengumpul dalam 5 tahun ke depan.
Pelabuhan yang masuk dalam program ini adalah Banda Aceh, Belawan, Pangkal
Pinang, Kuala Tanjung, Dumai, Panjang, Batam, Padang, Tanjung Priok, Cilacap,
Tanjung Perak, Lombok, Kupang, Banjarmasin, Ponti anak, Palangka Raya, Maloy,
Bitung, Makassar, Ambon, Halmahera, Sorong, Jayapura, dan Merauke.
Upaya merealisasikan program-program pembenahan pelabuhan tersebut
bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Pelabuhan adalah proyek yang

12
masuk dalam kategori mahal meskipun pasca-kebijakan pengurangan subsidi BBM
pemerintah memiliki sedikit keleluasaan untuk menambah belanja infrastruktur.
Namun, tambahan anggaran itu tidak akan cukup karena pemerintah juga memiliki
tanggung jawab untuk membangun dan membenahi jenis infrastruktur sosial-ekonomi
lain.
Mahalnya biaya pembenahan infrastruktur sangat jelas terlihat apabila kita
mengamati kebutuhan dana untuk tiga pelabuhan dalam fast track programme. Dana
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembangunan Pelabuhan Kali baru Utara
Rp11,8 triliun, Teluk Lamong Rp3,8 triliun, dan Belawan Baru Rp1,4 triliun. Dengan
demikian, kebutuhan dana untuk membangun dan membenahi ketiga pelabuhan itu
adalah Rp16,6 triliun. Secara umum, sebagaimana dikemukakan Prihartono (2015),
kebutuhan dana untuk membenahi seluruh pelabuhan dalam skema tol laut hampir
mencapai angka Rp700 triliun.
Selain dana, keahlian (expertise), profesio nalisme, dan kapasitas institusi
pemerintah untuk merencanakan, mengeksekusi, dan mengelola pembangunan
pelabuhan masih menjadi perta nyaan. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintah
seringkali mengalami kesulitan untuk menya lurkan belanja infrastruktur secara
tepat waktu dan tepat jumlah. Akibatnya, realisasi belanja infrastruktur cenderung
berjalan sangat lambat hampir setiap tahun.
Struktur belanja infrastruktur yang dike lola pemerintah juga mengandung
beragam permasalahan. Adam mengutip hasil diskusi antara Pengurus Gabungan
Pengusaha Konstruksi (Gapensi) dan Tim Penelitian Infrastruktur P2E LIPI Tahun
2012 menyebutkan bahwa alokasi belanja pembangunan infrastruktur banyak juga
yang terserap ke pos-pos pembayaran jasa konsultan, biaya perencanaan, dan
monitoring serta supervisi. Pengurus Gapensi itu mengung kapkan bahwa anggaran
pembangunan proyek Infrastruktur yang benar-benar dialokasikan ke fisik
infrastruktur sendiri tidak pernah mencapai 100%, tetapi proporsinya secara rata-rata
hanya ada di kisaran 60% (Adam, 2012, 119).

13
Berkaca dari beberapa permasalahan di atas, mengajak keterlibatan sektor
swasta, melalui program public private partnership (PPP), dalam membangun dan
membenahi pelabuhan tol laut menjadi salah satu alternatif penting. Selain karena
pertimbangan keterbatasan kemampuan keuangan negara, sektor swasta memiliki
keahlian, profesionalisme, dan kapasitas yang lebih baik untuk membangun
infrastruktur secara transparan, efektif, dan efisien (Kim dkk., 2011; Oblak dkk.,
2013). Oleh karena itu, keahlian, pro fesionalisme, dan kapasitas yang dimiliki
sektor swasta bisa menjadi modal untuk membangun dan membenahi pelabuhan.
Namun, upaya untuk menarik keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan
pelabuhan tidak cukup hanya dengan melakukan Indonesia Infrastructure Summit
seperti yang selama ini dilakukan hampir setiap tahun. Indonesia Infra structure
Summit memang penting sebagai forum sosialisasi dan promosi proyek-proyek
pelabuhan kepada sektor swasta. Akan tetapi, Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla
harus bergerak lebih dari itu dengan melakukan beberapa langkah penting sebagai
berikut.
Pertama, mendesain ulang kebijakan dan aturan PPP agar lebih jelas dan mudah
dipahami oleh sektor swasta. Selain itu, pelaksanaan PPP perlu mendapat dukungan
dari terbangunnya kapasitas institusi yang solid. Dalam kaitan ini, Indonesia bisa
mengikuti langkah Korea Selatan (Kim dkk., 2011) dengan membangun
PPP Centre. Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KPPI) ataupun
memorandum of understanding di antara Kementerian Keuangan Bappenas-BKPM
terbukti tidak terlalu efektif untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, termasuk
pelabuhan, melalui skema PPP. Sejalan dengan itu, struktur organisasi dan peraturan
me ngenai PPP perlu dibangun berdasar hierarki yang jelas dan tegas. Kondisi
seperti ini memudahkan bekerjanya mekanisme institusi (institutional mechanism)
untuk mengatasi beberapa perma salahan, seperti adanya tumpang tindih peraturan
atau munculnya perbedaan kepentingan (ego sektoral) di antara para pemangku
kepentingan.

14
Kedua, pemerintah telah meluncurkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
mengenai Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pemerintah juga telah merancang petunjuk teknis untuk mendukung implementasi
UU itu (Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012) yang secara rinci mengatur tata cara
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan
persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Namun, karena
minimnya dukungan pemerintah daerah dalam proses pembebasan lahan, kedua
aturan hukum itu belum secara optimal memper mudah pembangunan pelabuhan.
Karena alasan politis, ada indikasi bahwa pemerintah daerah sering kali lepas tangan
dan tidak mau terlibat “konflik” dengan masyarakat dalam proses pem bebasan
lahan untuk proyek-proyek infrastruktur yang diinisiasi pemerintah pusat, meskipun
proyek itu akan memberikan manfaat secara ekonomi terhadap daerahnya (Adam,
2012, 110). Proses negosiasi pembebasan lahan dengan warga masyarakat di sekitar
lokasi pelabuhan, seperti yang terjadi di Pelabuhan Kalibaru Utara dan Bitung,
berjalan lambat dan lebih banyak muatan spekulatifnya. Lambatnya proses
pembebasan lahan membuat pihak swasta menghadapi keti dakpastian dan risiko
mengenai biaya dan waktu pembebasan lahan. Oleh karena itu, pemerintah daerah
perlu diberi tanggung jawab dan peran yang lebih besar dalam proses pembebasan
lahan.
Ketiga, Analisis Mengenai Dampak Ling kungan (AMDAL) pembangunan
beberapa pelabuhan ternyata banyak yang belum selesai. Belum selesainya AMDAL
mengindikasikan bahwa proyek infrastruktur pelabuhan—juga infrastruktur lain yang
ditawarkan kepada sek tor swasta—tidak dipersiapkan secara matang. Hal itu
kemungkinan karena Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK) di Kementerian
/Lem baga/Pemerintah Daerah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) belum berpengalaman mempersiapkan proyek yang
akan ditawarkan kepada sektor swasta. PJPK lebih terbiasa mempersiapkan proyek-
proyek yang akan didanai oleh APBN/ APBD. Dengan pertimbangan biaya konsultan
untuk melakukan studi kelayakan relatif mahal maka dalam pembuatan studi

15
kelayakan, PJPK melakukannya asal-asalan dengan muatan yang cenderung lebih
teknis. Padahal, selain masalah teknis, di dalam dokumen studi kelayakan sektor
swasta membutuhkan informasi mengenai isu isu yang berkaitan dengan masalah
lingkungan, hukum, ekonomi dan keuangan, risiko, kebutuhan dan dukungan yang
akan diberikan pemerintah serta masalah yang kemungkinan muncul bila sektor
swasta terlibat dalam proyek PPP.
Keempat, proyek pembangunan pelabuhan termasuk kategori high risk.
Artinya, tingkat pengembalian investasi pembangunan (rate of return on investment)
pelabuhan relatif rendah, berdurasi sangat panjang, dan memiliki tingkat eksternalitas
relatif tinggi. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika pemerintah memberikan insentif
pada sektor swasta untuk meminimalisasi mun culnya risiko. Salah satu insentif
yang diinginkan sektor swasta adalah jaminan penggantian biaya investasi dari
pemerintah jika proyek pembangunan pelabuhan tersendat di tengah jalan. Misalnya,
pengadaan lahan yang terhambat atau proyek didemo oleh masyarakat setempat
sehingga tidak bisa berlanjut.
Selain itu, rendahnya tingkat pengembalian investasi dari proyek-proyek
pembangunan pelabuhan membuat sektor swasta menginginkan adanya jaminan
mengenai viability gap. Artinya, pada satu sisi, tingkat pengembalian investasi dari
proyek-proyek pembangunan pelabuhan yang ditawarkan kepada sektor swasta
berada pada level 14%-an. Namun pada sisi lain, sektor swasta menghitung agar
mereka mendapat keuntungan yang layak sehingga tingkat pengembalian in vestasi
harus berada pada level 18%-an. Untuk menarik minat sektor swasta, di beberapa
negara, kesenjangan itu biasanya ditanggung oleh negara melalui skema viability gap.
Pemerintah sebenar nya telah mengalokasikan viability gap fund di dalam APBN.
Sayangnya, alokasi biaya viability gap fund ini relatif masih sangat kecil sehingga
belum mampu sepenuhnya menarik minat sektor swasta.
Penyederhanaan prosedur perizinan untuk berinvestasi di sektor pelabuhan juga
sangat diperlukan untuk menarik partisipasi sektor swasta. Saat ini prosedur perizinan
masih relatif kompleks dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Sektor swasta

16
membutuhkan waktu selama 743 hari dan harus memiliki 17 jenis perizinan sebelum
bisa berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur pelabuhan (Kompas, 2015).

17
BAB III
PERMASALAHAN DAN TANTANGAN KEMARITIMAN

3.1. Permasalahan Maritime

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam menjadi salah satu
negara yang memiliki sejuta potensi besar dalam berbagai bidang. Daratan Indonesia
yang membentang dari sabang sampai merauke banyak menyimpan sejuta potensi
besar yang apabila dimanfaatkan sangat berpotensi menjadikan negara Indonesia
maju dalam hal ekonomi maupun aspek lainnya. Namun perlu disadari bahwa
Indonesia tidak hanya mencakup daratan saja.

Predikat Indonesia sebagai negara kepulauan mengharuskan Indonesia


menyadari dengan penuh bahwa potensi darat dan lautan tidak boleh dipisahkan
bahkan harus terus di eksplorasi terlebih lautan yang menyimpan sejuta manfaat dan
sumber daya yang apabila dikelola akan sangat berpotensi besar bagi Indonesia. Perlu
ada kesadaran bagi setiap negara bahwa dasar laut dan samudra berisi sumber daya
terbesar yang belum dijelajahi yang tersedia bagi manusia, hal ini harus
dikembangkan secara tertib untuk kepentingan semua dan berkontribusi ke sistem
yang lebih adil dan bisa diterapkan pada ekonomi global (Gold, 2006).

Proporsi jumlah lautan yang lebih besar dari daratan seharusnya dapat dijadikan
kekuatan dalam menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun pada
kenyataannya Indonesia belum siap akan hal tersebut. Alasan mendasar mengenai hal
ini dikarenakan paradigma pembangunan di Indonesia selama beberapa dekade ini
hanya terbatas di daratan, akibatnya ketimpangan pembangunan antara daratan dan
lautan begitu terlihat jelas (Kadar, 2015). Sehingga sudah saatnya Indonesia sadar dan
menata ulang berbagai kebijakan terkait kemaritiman dalam mewujudkan Indonesia
sebagai poros maritim dunia.

18
Mengingat pentingnya sebuah usaha dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara
maritim dunia. Bukan lah hal mudah bagi Indonesia untuk mewujudkan hal tersebut.
Indonesia harus memulai dari hal yang paling mendasar seperti dapat memanfaatkan
sumber daya kelautan yang sangat melimpah seperti perikanan tangkap, perikanan
budidaya juga perikanan tambak serta potensi sumberdaya pertambangan dan energi
lepas lantai, sebagai bekal bagi Indonesia untuk menuju negara poros maritim
(Pardosi, 2016).

Namun, dibalik semua potensi-potensi tersebut Indonesia tidak lepas dari


berbagai permasalahan strategis kemaritiman yang menghambat pengembangan
sektor maritim di Indonesia. Adapun berbagai permasalahan mendasar yang datang
dari berbagai aspek yang menyangkut keberlangsungan kemaritiman di Indonesia
diantaranya adalah sebagai berikut :
Masalah Startegis Sektor Kemaritiman Indonesia

1. Masalah Regulasi, Hukum, dan Kebijakan Pemerintah

Permasalahan mendasar yang lumrah terjadi pada setiap perencanaan


pembangunan adalah masalah yang mengarah kepada hal yang bersifat instrumental
dan fundamental. Permasalahan regulasi dan hukum sampai saat ini memang masih
terlihat tumpang tindih antara kebijakan satu dengan kebijakan lainnya.

Hinga kini, belum banyak aturan turunan di tingkat Peraturan Pemerintah,


Peraturan Presiden, Perda dan lain sebagainya yang mengatur secara detail, teknis dan
nyata tentang pembangunan dalam bidang kemaritiman (Subagyo et al., 2017).
Dukungan pemerintah pula dalam hal ini sangat penting. Dalam penelitian (Janis and
Daniel, 2006) menyatakan bahwa keberhasilan Uni Soviet dalam pengembangan
oseanologi sehingga bisa tersebar luas dan beragam tidak lepas dari pemerintah yang
selalu mendukung kegiatan kelautan mereka.

2. Masalah Struktur dan Kelembagaan

19
Baru–bari ini, dalam struktur pemerintahan saat ini melalui Kementerian
Koordinator Kemaritiman, mencoba merubah sistem kelembagaan multi agent
menjadi single agent untuk penegakan hukum di laut Indonesia (Kadar, 2015).
Kendati demikian, hal tersebut bukanlah suatu langkah yang mudah, melainkan perlu
adanya jangka waktu yang panjang dalam mempersiapkan dan menyesuaikan
kelembagaan agar semakin terbiasa dengan kebijakan baru.

Terutama fungsi koordinasi harus sangat di gencar kan supaya tidak terjadi pro dan
kontra akibat dari kurangnya koordinasi antar lembaga. Terkhusus lembaga lain yang
pastinya belum sepenuhnya terkonsentrasi pada spesialisasi kebijakan yang mengarah
kepada kemaritiman.

3. Masalah Mindset dan Kultural Indonesia

Selama ini pembangunan di Indonesia hanya berfokus kepada daratan


saja. Mindset masyarakat dan para pengambil kebijakan mesti terbuka bahwa
Indonesia terlahir sebagai negara kepulauan yang artinya bukan hanya soal daratan
atau agraris saja, tetapi berkenaan pula dengan sejarah nenek moyang indonesia yang
disebutkan sebagai pelaut karena perjuangannya dulu mempertahankan dan
melindungi perairan Indonesia yang justru terlupakan.

4. Masalah Infrastruktur dan Teknologi


Orientasi pembangunan yang Indonesia yang cenderung terpusat menimbulkan
permasalahan baru pula bagi bidang kemaritiman. Adanya ketimpangan infrastruktur
antara wilayah bagian barat dan timur Indonesia menandakan pemerataan masih
belum maksimal.

Sekitar 70 % infrastruktur indonesia masih terkonsentrasi di bagian barat,


sedangkan potensi sumber daya laut masih banyak di wilayah bagian timur Indonesia,
hal ini sebagai akibat dari perkembangan industri yang masih terpusat di Pulau Jawa

20
saja. Selain itu penguasaan teknologi dan pengembangan teknologi di bidang
kemaritiman Indonesia masih sangat lemah.

3.2. Tantangan Wilayah Maritime

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki potensi besar untuk
menjadi poros maritim dunia. Poros maritim merupakan sebuah gagasan strategis
yang diwujudkan untuk menjamin konektivitas antar pulau, perbaikan infrastruktur
maritim, pengembangan industri manufaktur maritim serta ketahanan dan keamanan
maritim.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo fokus pada sektor maritim Indonesia sebagai
pilar perekonomian dan pertahanan bangsa Indonesia. Poros maritim diharapkan
dapat memperkuat identitas negara Indonesia sebagai negara maritim, sehingga dapat
meningkatkan kualitas perekonomian dan pertahanan negara.

Sebagai negara maritim, Indonesia menghadapi beberapa tantangan sebagai berikut:

1. Tantangan Geografi

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, wilayah


Indonesia terdiri atas 13.487 dan 81.000 km garis pantai. Jumlah dan lokasi provinsi
kepulauan Indonesia relatif banyak sehingga diperlukan konektivitas antar pulau.
Tabel berikut ini menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang
memiliki wilayah perairan terluas dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.

21
Dari tabel di atas terlihat bahwa Indonesia memiliki luas wilayah 5,180,053 km²,
dengan luas daratan 1,922,570 km² (37.11%) dan luas perairan 3,257,483 km²
(62.89%). Data tersebut jelas memperlihatkan bahwa 62,89% wilayah Indonesia
terdiri dari perairan.

Selain itu, terdapat delapan provinsi yang sebagian besar wilayahnya berbatasan
dengan laut, yaitu: Kepulauan Riau, Bangka Belitung, NTB, NTT, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Maluku. Di provinsi-provinsi tersebut,
pembangunan sektor maritim menjadi sangat penting.

2. Tantangan Demografi

Jumlah penduduk dan piramida usia penduduk juga menjadi tantangan bagi
Indonesia. Ketersebaran lokasi penduduk yang tinggal di 6.000-an pulau di Indonesia
menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk meningkatkan pendidikan sumber daya
manusia (SDM)-nya. Perlu perhatian khusus agar semua masyarakat dapat

22
mendapatkan pendidikan yang berkualitas, paling tidak setara, sehingga di bagian
Indonesia manapun memiliki SDM yang berkualitas. Harapannya adalah agar dapat
membangun daerahnya masing-masing khususnya daerah perbatasan dan terluar.

Grafik di bawah ini menunjukkan data jumlah penduduk usia produktif yang
bertambah besar dan jumlah tenaga kerja yang meningkat. Apabila jumlah penduduk
yang bekerja lebih banyak dan jumlah lapangan kerja tidak memadai, maka akan
terjadi pengganguran. Bonus demografi harus disertai dengan tingkat penddikan yang
tinggi untuk menciptakan tenaga kerja ahli yang berdaya saing, khususnya dalam
bidang maritim.

3. Tantangan Ekonomi Regional dan Anggaran Pemerintah

Tantangan ini dapat dilihat dari kontribusi PDB menurut wilayah berdasarkan
pulau terbesar, perdagangan antar pulau (IBB dan IBT), dan keterbatasan anggaran
pemerintah untuk membangun sektor maritim.

23
Gambar di bawah ini menunjukkan data PDRB 2015, yaitu wilayah Jawa dan
Sumatera memberikan kontribusi sebesar 81,24%, sedangkan wilayah Kalimantan,
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku berkontribusi hanya sebesar
18,76%.

4. Tantangan Infrastruktur Maritim

Tantangan infrastruktur maritim mencakup tiga aspek, yaitu: industri manufaktur


maritim (jumlah, sebaran lokasi, dan kapasitas industri galangan kapal nasional),
industri pelayaran nasional (jumlah, jenis, kapasitas, dan umur armada kapal
nasional), dan pelabuhan laut nasional (jumlah, kelas, dan sebaran lokasi pelabuhan
laut).

24
Jumlah galangan kapal nasional sebanyak 250 galangan. Galangan kapal tersebut
terpusat di wilayah barat Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan), yaitu sebesar
88% (220 galangan). Jumlah galangan di wilayah timur (Sulawesi, Bali, Nusa
Tenggara, Papua, dan Maluku) sebesar 12% (30 Galangan). Perbandingan tersebut
terlalu jauh, sehingga perlu pemerataan industri manufaktur dan infrastruktur
maritim.

Selain itu, ketersebaran pelabuhan laut nasional juga menjadi permasalahan.


Berdasarkan data pelabuhan komersil PT Pelindo I-IV, pelabuhan komersil di
wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan sebanyak 65% (46 pelabuhan), di wilayah
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku sebanyak 35% (25 pelabuhan).

25
BAB IV

KAJIAN KEMARITIMAN
Maritim berasal dari bahasa inggris yaitu maritime, yang berarti navigasi, dari
kata ini kemudian lahirlah istilah maritime power yaitu negara dengan kekuatan
maritim atau negara dengan kekuatan yang bebasis di laut. Masih dalam bahasa
Inggris, kata yang digunakan untuk menunjukkan sifat atau kualitas yang menyatakan
penguasaan terhadap laut adalah seapower.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maritim diartikan sebagai hal yang
berkenaan dengan laut, terutama hal yang berhubungan dengan pelayaran dan
perdagangan di laut.

Maritim dalam pengertian sempit yang hanya berhubungan dengan pengaruh


dan laut (angkatan laut) atau maritim dalam arti yang seluas-luasnya yang meliputi
semua kegiatan yang berhubungan dan berkenaan dengan laut atau lebih sering
disinggung dengan istilah kelautan.

Kata kelautan mungkin lebih cenderung mengartikan laut sebagai wadah, yaitu
sebagai hamparan air asin yang sangat luas dan menutupi permukaan bumi, yang
hanya melihat laut secara fisik dengan segala kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.

Indonesia adalah negara yang harus memanfaatkan potensi lautnya, rasanya


penggunaan kata maritim akan lebih tepat. Indonesia harus menjadi negara maritim,
bukan hanya negara kelautan. Argumentasinya adalah, negara maritim adalah negara
yang mempunyai sifat memanfaatkan potensi laut untuk kemakmuran negaranya,
sedangkan negara kelautan lebih menunjukkan kondisi fisiknya saja, yaitu negara
yang berhubungan, dekat dengan atau terdiri dari laut.

Deklarasi Djuanda pada tahun 1957, menyatakan kepada dunia bahwa laut
Indonesia adalah termasuk laut sekitar, laut di antara dan laut di dalam Kepulauan

26
Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Deklarasi tersebut menegaskan: (1) Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara
kepulauan yang mempunyai corak tersendiri; (2) Bahwa sejak dahulu kala, kepulauan
Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.

Deklarasi Djuanda (1957) akhirnya diterima dan ditetapkan dalam Konvensi


Hukum Laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) ke-
3 tahun 1982. Melalui Konvensi Hukum Laut, Indonesia berhasil menambah luas
yuriskdiksi wilayah laut menjadi sekitar 5,8 juta km2, termasuk Zona Ekonomi
Ekslusif. Luas laut yang mencapai 70 % dari luas wilayah nasional ini meliputi
panjang pantai sekitar 95.181 Km dan jumlah pulau 17.504 (DEKIN 2009).

Secara geografis, indonesia memiliki kawasan dominan perairan. Laut tidak hanya
menjadi sumber makanan dan rekreasi dalam makna luas namun juga menjadi “Jalan
Raya” untuk perdagangan dan komunikasi antar bangsa(konektivitas).

27
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pelabuhan menjadi simpul penting untuk mengembangkan poros maritim yang
kuat melalui perannya sebagai determinan pening katan daya saing, efisiensi proses
produksi dan distribusi serta integritas dan konektivitas sistem perekonomian.
Namun, kuantitas dan kualitas pelabuhan di Indonesia belum tertata secara baik.
Akibatnya, pelabuhan memiliki kinerja yang belum efisien dan terkelola secara
ekonomis sehingga pelabuhan belum mampu secara optimal mendukung kemajuan
dan daya saing perekono mian Indonesia.
Komitmen Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mendorong Indonesia
menjadi poros maritim dunia memberi harapan terjadinya per baikan kuantitas dan
kualitas pelabuhan. Upaya memperbaiki kuantitas dan kualitas pelabuhan tidak saja
membutuhkan dana yang besar, tetapi juga keahlian (expertise) dan profesionalisme
yang tinggi. Dalam konteks ini, upaya menarik sektor swasta untuk berpartisipasi
dalam penataan kuantitas dan kualitas pelabuhan menjadi penting dilakukan.
Beberapa langkah ideal perlu dilakukan Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla
untuk meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan pelabuhan.
Pertama, merancang ulang kebijakan dan aturan PPP agar lebih jelas dan mudah
dipahami oleh sektor swasta. Kedua, memperkuat implementasi Undang-Undang No.
2 Tahun 2012 mengenai Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum dengan melibatkan pemerintah daerah dalam eksekusi pembebasan lahan.
Ketiga, mempersiapkan secara lebih matang proyek-proyek pelabuhan yang akan
ditawarkan pada sektor swasta. Ke empat, menyediakan beragam insentif fiskal dan
nonfiskal.
5.2 Saran
Tulisan ini menganalisis peran dan kinerja pelabuhan di Indonesia sebagai
determinan penting dalam mendukung visi Indonesia menjadi negara maritim yang
kuat. tulisan ini menunjukkan bahwa meskipun memegang peranan penting dalam

28
perekonomian Indonesia, pelabuhan di negeri ini ternyata masih jauh tertinggal
dibanding dengan negara-negara lain dalam hal kuantitas dan kualitasnya. Dari
perspektif kebijakan, tantangan utamanya adalah mereformasi peranan dan posisi
pemerintah dalam pembangunan dan pengelolaan pelabuhan. Dalam hal ini,
pemerintah, idealnya, perlu mengambil tiga langkah berikut. Pertama, mendesain
kembali peraturan dan kebijakan untuk mendorong partisipasi sektor swasta. Kedua,
memperkuat implementasi Undang Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Pengadaan Lahan dengan melibatkan pemerintah daerah dalam proses eksekusi
pembebasan lahan. Ketiga, mempersiapkan secara lebih matang proyek-proyek
pelabuhan yang akan ditawarkan kepada sektor swasta.

29

Anda mungkin juga menyukai