Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH PSIKOLOGI ANAK BERBAKAT

Permasalahan Anak Berbakat dan Penanganannya: Disadvantage Gifted Children

Disusun Oleh:
Kelompok 10
Fadhila Corita (2110323005)
Lania Nur Azizah (2110323025)
Maziya Shabirah (2110323010)
Syekar Ayu Ghalbiyah (2110323027)
Thiara Shela Armadini (2110323002)

Dosen Pengampu:
Amatul Firdausa Nasa, M. Psi, Psikolog
Meria Susanti, M. Psi., Psikolog

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Anak
Berbakat ini yang berjudul “Permasalahan Anak Berbakat dan Penanganannya: Disadvantage
Gifted Children” sesuai dengan waktu yang ditentukan. Adapun tujuan dari penyusunan
makalah ini untuk pemenuhan tugas mata kuliah Psikologi Anak Berbakat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Amatul Firdausa Nasa, M. Psi, Psikolog
dan Ibu Meria Susanti, M. Psi., Psikolog selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Anak
Berbakat yang telah membimbing kami. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, maka kritik dan saran
sebagai masukan bagi penulis kedepan sangatlah berarti. Akhir kata kami mengucapkan
mohon maaf bila ada kata-kata dalam penyampaian yang kurang berkenan. Semoga informasi
di dalam makalah ini, dapat bermanfaat juga untuk menambah wawasan bagi penulis
khususnya serta bagi pembaca.

Padang, 20 November 2023

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan.............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 3
2.1 Poverty........................................................................................................................... 3
2.2 Minority..........................................................................................................................5
2.2.1 Culture-Fair Assessment....................................................................................... 7
2.2.2 Multicultural Curricula..........................................................................................8
2.2.3 Emotional Support.................................................................................................8
2.3 Bullying.......................................................................................................................... 9
2.3.1 Penelitian Pertama...............................................................................................10
2.3.2 Studi Komparatif................................................................................................. 11
2.3.3 Implikasi..............................................................................................................12
2.4 Gender Differences.......................................................................................................13
2.4.1 Recognition of Giftedness................................................................................... 13
2.4.2 Pressure to Conform............................................................................................14
2.4.3 Gendered Patterns of Underachievement............................................................ 17
2.4.4 Supporting High Achievement for Both Sexes................................................... 18
2.5 Rural............................................................................................................................. 20
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 23
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bakat adalah kemampuan khusus secara alamiah yang dibawa oleh individu sejak
lahir dan perkembangannya terdeteksi oleh adanya dukungan dari lingkungan. Anak berbakat
dapat dikatakan sebagai anak yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, komitmen tugas
yang tinggi, dan kreativitas yang tinggi (Renzulli, 1986). Kemampuan yang dimiliki tersebut
harus didukung oleh lingkungan. Lingkungan yang mendukung, akan secara tepat mendeteksi
dan memberikan perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat. Tujuan dari
lingkungan yang mendukung tersebut adalah agar keberkatan anak tersebut diketahui dan
dapat diberikan fasilitas untuk mengembangkan dan mempertahankan bakat yang telah
dimiliki.
Adapun faktor yang mempengaruhi keberbakatan seperti nature dan nurture. Nature
adalah faktor genetik yang diwariskan oleh orang tua secara alamiah. Sedangkan nurture
adalah faktor lingkungan seperti keluarga, pertemanan, kebudayaan, serta lingkungan sosial
yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Dari adanya kedua faktor tersebut, akan
mempengaruhi bagaimana perkembangan keberbakatan yang dimiliki oleh anak. Faktor
nurture seperti kebudayaan, kondisi perekonomian, dan lainnya yang terdapat dalam
kehidupan anak berbakat akan mempengaruhi perkembangan anak berbakat. Oleh karena itu,
adapun beberapa hal yang membuat keberkatan seorang anak menjadi tidak terdeteksi dan
terhambat yaitu adanya kemiskinan, minoritas, bullying, perbedaaan gender, dan bertempat
tinggal di pedesaan.

1.2 Rumusan Masalah


Terdapat beberapa rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana dampak kemiskinan terhadap anak berbakat?
2. Bagaimana dampak budaya minoritas terhadap anak berbakat?
3. Bagaimana penindasan yang terjadi pada anak berbakat?
4. Bagaimana dampak perbedaan gender terhadap anak berbakat?
5. Bagaimana dampak memiliki tempat tinggal di daerah pedesaan pada anak berbakat?

1.3 Tujuan
Terdapat beberapa tujuan dalam makalah ini, yaitu:

1
1. Untuk mengetahui dampak kemiskinan terhadap anak berbakat.
2. Untuk mengetahui dampak budaya minoritas terhadap anak berbakat.
3. Untuk mengetahui penindasan yang terjadi pada anak berbakat.
4. Untuk mengetahui dampak perbedaan gender pada anak berbakat.
5. Untuk mengetahui dampak memiliki tempat tinggal di daerah pedesaan pada anak
berbakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Poverty
Di Indonesia, persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 9,36 persen dan
telah menurun 0.18 persen dari survey sebelumnya. Pada Maret 2023, rata-rata rumah tangga
miskin di Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga. Anak-anak adalah kelompok
umur yang paling mungkin hidup dalam kemiskinan karena masih tergabung dalam tanggung
jawab orang tua yang memiliki pendapatan kurang dari rata-rata. Kemiskinan ini memiliki
dampak yang langsung dan paling signifikan terhadap anak-anak karena mereka akan
merasakan dampak buruk pada kurangnya asupan nutrisi dan stimulasi yang tidak memadai.
Seperti yang dijelaskan oleh Sameroff (1990) melaporkan bahwa tingkat disabilitas
intelektual ringan atau mental retardation delapan kali lebih tinggi di Amerika Serikat
dibandingkan di Swedia karena Swedia lebih menyediakan dukungan yang lebih unggul bagi
penduduk miskin. Selain itu, ada pula beberapa faktor kemiskinan kronis yang akan
berdampak negatif bagi anak-anak seperti lingkungan perumahan yang buruk, dukungan
sosial yang terbatas misalnya ketika seorang anak tinggal di lingkungan yang orang-orangnya
memiliki stress yang sama, layanan kesehatan yang tidak memadai, serta layanan pendidikan
dan kesehatan yang rendah (Schaffer, 1998).
Disisi lain, ketika seseorang hidup dalam garis kemiskinan, perhatian mereka terhadap
anaknya pun menjadi berkurang atau cenderung mengabaikan. Hal itu dapat disebabkan
karena orang tua merasa terjebak dengan masalah kelangsungan hidup mereka sendiri, orang
tua terkadang mempunyai penyakit mental sebagai respon terhadap keadaan yang sulit, serta
tidak harmonisnya hubungan antar kedua orang tua. Maka dari itu, hanya sebagian kecil
orang tua miskin yang memiliki perhatian secara serius terhadap perkembangan anaknya,
salah satunya bidang pendidikan. Hal ini juga yang menyebabkan terbatasnya kesempatan
belajar sehingga mengurangi kemampuan mereka dibandingkan dengan anak-anak yang lebih
beruntung. Karena alasan ini, lebih tepat membandingkan perkembangan anak-anak kategori
miskin ini dengan anak-anak yang memiliki latar belakang yang hampir sama agar
menghasilkan bakat yang relatif dibandingkan dengan bakat yang absolut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nursita & Edy (2022) di Indonesia
menyatakan bahwa orang tua yang memiliki pendidikan rendah mengakibatkan mereka tidak
mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga berakhir pada kemiskinan. Hal ini menjadikan
mereka membutuhkan bantuan dari seluruh anggota keluarga untuk bekerja bersama dalam

3
memenuhi kebutuhan hidup termasuk anak-anak mereka baik yang sudah cukup usia maupun
yang dibawah umur. Karena sejak kecil terpapar oleh stigma yang diberikan oleh orang tua
tersebut, menyebabkan anak-anak tersebut lebih memprioritaskan memenuhi kebutuhan
sehari-hari daripada mementingkan pendidikan. Kemudian, adanya persepsi orang tua yang
memandang bahwa sekolah tidak terlalu penting karena kualitas sekolah yang tidak merata
apalagi pada daerah - daerah yang terkesan kumuh. Hal ini menurunkan kepercayaan orang
tua bahwa lembaga pendidikan tidak seluruhnya dapat memberikan pendidikan layak yang
dapat mengubah masa depan anak mereka.
Namun, penilaian kita terhadap latar belakang anak-anak akan mempengaruhi cara
pandang kita terhadap mereka atau sebagai pedang bermata dua. Pertama, kita dapat
memahami perkembangan anak-anak yang kurang beruntung, tetapi juga dapat menyebabkan
kita menurunkan ekspektasi terhadap mereka (Spicker, dkk. 1987). Namun, hal tersebut
dapat ditentang oleh Freeman (1987) yang menyatakan bahwa status sosial ekonomi memiliki
dampak yang sangat kecil terhadap prestasi akademik anak, sedangkan hal yang mempunyai
dampak paling besar terhadap prestasi akademik anak adalah kemampuan orang tua dalam
menangani krisis keluarga, dorongan belajar, kualitas keterampilan dalam mengasuh anak,
serta dukungan emosional yang positif dari orang dewasa sekitar. Anak-anak dari latar
belakang miskin yang kemudian bersekolah di sekolah kelas menengah atau swasta (mungkin
melalui beasiswa) memiliki kemungkinan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri
dengan strata sosial baru mereka dan mungkin memerlukan dukungan untuk
mempertahankan kontak dengan kedua strata tersebut (Freeman 1993). Maka dari itu, selain
dari pihak keluarga yang tidak tidak dapat dijangkau karena berada di sekolah sehingga
pendidik memainkan peran penting dalam mendukung anak-anak ini untuk melintasi
batas-batas sosial. Berikut beberapa upaya yang dilakukan untuk menangani stagnasi
pendidikan bagi anak yang mengalami kemiskinan yaitu :
● Pemerintah atau lembaga pendidikan harus meningkatkan daya tarik sekolah dengan
memberikan bantuan tunai atau beasiswa kepada anak-anak miskin dan mengurangi
biaya sekolah dengan mensubsidi biaya buku atau transportasi, dan lainnya.
● Melakukan sosialisasi kepada orang tua dampak pendidikan jangka panjang
● Pemerintah bergerak untuk menuntaskan permasalahan kemiskinan dengan
melakukan second order change yaitu dengan mengidentifikasi dan menyelesaikan
akar penyebab kemiskinan seperti memberikan keterampilan dan penyediaan
lapangan kerja,

4
2.2 Minority
Terdapat dua isu terkait pendidikan pada anak yang berasal dari budaya minoritas, yaitu:
1. Prestasi rendah
Isu pertama terkait dengan prestasi rendah di sekolah yang miliki oleh
anak-anak yang berasal dari budaya minoritas. Masyarakat budaya minoritas sendiri
terbagi menjadi dua kelompok dalam memahami hal ini, yaitu voluntary minority
group dan involuntary minority group. Kelompok voluntary adalah masyarakat
minoritas yang melakukan migrasi secara sukarela ke tempat ataupun negara untuk
meningkatkan kehidupan yang dimiliki. Sedangkan, involuntary minority group
adalah kelompok masyarakat minoritas yang tidak secara sukarela dipindahkan ke
suatu negara maupun masyarakat yang dijajah di negaranya sendiri (Borland &
Wright, 2000). Salah satu contoh dari involuntary minority group ini adalah suku
Aborigin di Australia yang menjadi minoritas di negara asalnya sendiri.
Menurut Reis dan McCoach (2000), individu yang berasal dari voluntary
minority group mengalami kesulitan berasimilasi pada generasi awal dengan
masyarakat budaya dominan umumnya dikarenakan perbedaan bahasa, namun
meskipun individu tersebut mahir berbahasa Inggris juga tidak menjamin prestasi
tinggi yang mereka dapatkan di sekolah. Anak-anak yang berasal dari voluntary
minority group sulit mencapai prestasi tinggi di sekolah dikarenakan adanya
diskriminasi yang mereka dapatkan serta kurangnya pemahaman orang tua yang
dibesarkan pada lingkungan sekolah di negara asalnya dengan mekanisme pendidikan
di negara tempat mereka bermigrasi. Orang tua ini kadang merasa tidak yakin dengan
kemampuan yang mereka miliki untuk mendukung pendidikan sang anak. Orang tua
yang berasal dari voluntary minority group yang memiliki anak berbakat kadang juga
tidak mengerti hal-hal yang harus mereka berikan kepada sang anak.
Diskriminasi, penindasan maupun kontak negatif lainnya yang terjadi antara
kelompok budaya dominan dengan kelompok involuntary ini menyebabkan pemikiran
dari anak-anak mereka bahwa pendidikan bukanlah hal yang berguna bagi kehidupan
mereka. Anak-anak dari kelompok involuntary ini akan menganggap bahwa
pendidikan yang mereka dapatkan akan mengurangi nilai budaya dan tradisi yang
mereka miliki. Mereka juga melihat bahwa upaya yang mereka lakukan selama masa
sekolah tidak membuat kehidupan kerja mereka menjadi lebih baik. Oleh karena itu,
untuk mengatasi hal ini para pendidik perlu meyakinkan dan menunjukkan kepada
anak-anak dari kelompok involuntary minority bahwa prestasi akademik yang mereka

5
miliki akan bermanfaat bagi keluarga, kelompok, suku dan diri mereka sendiri (Kerr
& Cohn 2001). Cara lain yang juga sangat penting dilakukan adalah dengan
mengembangkan paham pluralisme yaitu pemahaman terkait perbedaan dengan
menghargai adanya perbedaan tersebut dan mengizinkan kelompok minoritas untuk
menjaga keunikan yang mereka miliki. Sehingga, anak-anak dari kelompok minoritas
dapat memperoleh kesempatan terkait pengetahuan dan keterampilan yang sama serta
dapat melestarikan keunikan budaya yang mereka miliki.
2. Tidak teridentifikasi anak berbakat
Isu kedua terkait pendidikan pada anak yang berasal dari budaya minoritas
adalah kurang teridentifikasi sebagai anak berbakat (Borland & Wright 2000;
Braggett 1998; Butler-Por 1993; Davis & Rimm 2004; Ford et al. 2000; Frasier 1989,
1997; Gallagher & Gallagher 1994; Maker 1996; Renzulli 1973; Richert 1987, 1997;
Scott et al. 1996; Tannenbaum 1983). Kurang teridentifikasinya anak-anak dari
budaya minoritas sebagai anak berbakat ini dapat dikatakan tidak adil dikarenakan
keberbakatan dapat ditemui di setiap budaya (Borland & Wright 1994, 2000; Casey &
Quisenberry 1976).
Kurang teridentifikasi dan kurangnya pengakuan terhadap kemampuan yang
dimiliki oleh anak-anak dari budaya minoritas terjadi dikarenakan social
disadvantage yang terjadi pada mereka. Social disadvantage ini menyebabkan
anak-anak dengan latar belakang budaya minoritas mengalami kesulitan mengerjakan
tes yang dirancang untuk anak-anak dari budaya mayoritas. Alat tes yang dirancang
menggunakan bahasa inggris juga membuat anak-anak dengan latar belakang
minoritas kesulitan dikarenakan tidak memahami bahasa dan tulisan (Brooks 1998;
Frasier 1997; Renzulli 1973; Robisheaux & Banbury 1994; Tyler-Wood & Carri
1993). Faktor lain yang mempengaruhi kurang teridentifikasinya keberbakatan pada
anak-anak budaya minoritas adalah ekspektasi rendah yang mereka miliki terhadap
kemampuan dan keberhasilan dalam mengerjakan ujian. Ekspektasi rendah ini
akhirnya mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan saat mengerjakan ujian yang juga
berdampak pada kecilnya skor tes yang didapatkan (Ford, 2002).
Tidak hanya ekspektasi anak, ekspektasi rendah yang distereotipkan oleh para
pendidik juga mempengaruhi kurang teridentifikasinya keberkatan pada anak-anak
dengan latar belakang minoritas. Menurut beberapa ahli ekspektasi ini dapat menjadi
self-fulfilling prophecy terhadap masa depan sang anak (Brooks 1998; Butler Por
1993; Frasier 1997; Gibson 1998; Kolb & Jussim 1994; Rist 1970). Ketidakpekaan

6
guru terhadap tanda-tanda bakat non-tradisional juga menjadi faktor yang
menyebabkan bakat-bakat luar biasa yang anak-anak minoritas miliki yang mungkin
jarang ditemui tidak dianggap sebagai keberbakatan (Frasier, 1997).
2.2.1 Culture-Fair Assessment
Identification by provision merupakan pendekatan penilaian berdasarkan
ketentuan yang dilakukan untuk mengatasi pengabaian terhadap keberbakatan non
tradisional yang dapat dimiliki oleh anak-anak khususnya anak-anak yang berasal dari
budaya minoritas. Berikut domain keberbakatan non-tradisional (Frasier 1993; Gibson
1998; Shaklee 1993; Shaklee & Viechnicki 1995; Torrance 1998):
a. Keterampilan komunikasi yang dapat dilihat dari penggunaan kata dan bahasa
yang kaya akan perumpamaan. Hal ini juga menyesuaikan kemahiran
berbahasa selain bahasa inggris jika bahasa tersebut bukan bahasa pertama
anak-anak (Fernández dkk. 1998).
b. Kemampuan dalam seni visual dan seni teater (pertunjukan)
c. Social skills dalam berinteraksi dengan orang lain seperti mampu memahami
perasaan orang lain, memimpin kelompok, keterampilan dalam kegiatan
kelompok dan keterampilan lainnya.
d. Keterampilan dalam mengekspresikan emosi dengan baik.
Dalam memperoleh, menghasilkan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki,
anak-anak memerlukan beberapa hal berikut (Haensly & Kyong 2000):
a. Fleksibilitas, kreativitas, dan imajinasi
b. Kemampuan bernalar dan berpikir logis
c. Agency atau internal locus of control yang merupakan kemampuan anak untuk
mengetahui bahwa dirinya merupakan agen yang dapat melakukan sesuatu hal
terhadap dunia.
d. Prospectivity yaitu kemampuan dalam melakukan antisipasi dan perencanaan.
e. Retrospectivity merupakan kemampuan menghubungan pengalaman masa lalu
dengan masa kini yang digunakan sebagai informasi masa kini
Tujuan dari identification by provision ini agar dapat mengidentifikasi bakat
dalam keberagaman bukan hanya mencocokkan dengan keberkatan pada budaya
dominan. Oleh karena itu, tes terkait keberbakatan atau tes prestasi lainnya harus dibuat
adil bagi seluruh budaya. Contohnya adalah Raven Matrices yang didalamnya berisikan
tes verbal yang sering digunakan untuk mengukur IQ ini menjadi merugikan bagi
anak-anak dengan latar belakang minoritas yang kurang terpapar pengetahuan baca dan

7
tulis (Ford 2003; Patton 1992). Proporsi tenaga pendidik yang lebih banyak dari budaya
dominan juga menjadi penghambat dalam menyadari dan mengetahui perkembangan
anak berbakat dari budaya minoritas.
2.2.2 Multicultural Curricula
Para pendidik yaitu guru yang kebanyakan berasal dari budaya dominan perlu
untuk mendapatkan serta mengembangkan pengalaman profesional serta multikultural
untuk dapat menyadari bias dari budaya mereka sendiri. Dengan adanya pengembangan
tersebut guru dapat menyadari dan mendengarkan siswa, orang tua maupun anggota
minoritas untuk menyadari cara agar pembelajaran yang diberikan menjadi bermakna
dan relevan secara budaya bagi anak-anak dengan latar belakang minoritas ini (Ford &
Trotman 2001). Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan bagi para guru untuk
dapat memberikan pendidikan kompeten secara budaya bagi siswa-siswa dari beragam
budaya:
1. Meningkatkan kesadaran diri dan budaya.
2. Memiliki ekspektasi yang tinggi kepada seluruh siswa.
3. Menciptakan iklim kelas maupun sekolah yang minim prasangka negatif
terkait budaya tertentu.
4. Menciptakan kurikulum yang adil dan anti bias yang memahami dan
menghargai perbedaan dan keragaman. Dalam pembuatan kurikulum ini
diperlukannya pengintegrasian perspektif multikultural dan mengubah tujuan,
struktur dan konten dari kurikulum lama untuk meningkatkan pemahaman
siswa terkait perspektif kelompok yang beragam (Ford & Harris 2000).
Kurikulum yang dibentuk dengan perspektif multikultural ini akan bermanfaat
bagi anak-anak budaya dominan maupun minoritas. Anak-anak dari budaya dominan
akan mendapatkan manfaat dari pengalaman multisensori dan anak-anak budaya
minoritas dapat menyesuaikan gaya belajarnya yang masih terikat pada spiritualitas,
ekspresif dan emosi (Harmon 2002; Ford dkk. 2000). Pertimbangan terakhir pada
kurikulum ini adalah mengurangi kegiatan dengan metode diferensiasi dikarenakan pada
beberapa anak dari budaya minoritas akan sensitif pada kegiatan yang mengharuskan
mereka membedakan diri dari anggota kelompok budaya sendiri.
2.2.3 Emotional Support
Setiap anak dengan latar belakang minoritas dengan apapun kemampuan
cenderung mengalami tantangan. Mereka cenderung sensitif terhadap bentuk-bentuk
ketidakadilan sekecil apapun dan lebih mudah merasakan konflik antara identitas

8
minoritas dan prestasi atau keberbakatan yang mereka miliki. Namun, apabila sang anak
bangga akan identitas yang dimiliki dan diberikan kesempatan untuk mengembangkan
bakat yang dimiliki akan memiliki self esteem dan keinginan yang kuat untuk terus
berprestasi.
Menurut Ford (2002) anak-anak dengan latar belakang budaya minoritas harus
difasilitasi akses untuk meningkatkan prestasi dan mendorong interaksi sosial dengan
kelompok lain dengan cara menggabungkannya dengan siswa berbakat lainnya.
Anak-anak berbakat dari budaya minoritas ini perlu perhatian khusus agar dapat
meningkatkan keterampilan baik di dalam budaya yang sama maupun di antara budaya
yang beragam. Tidak hanya memfasilitasi, pendidik juga harus memberikan umpan balik
yang tidak mencolok secara individu ketika terdapat anak yang merupakan minoritas
diantara teman-temannya. Orang tua juga harus berperan dalam meningkatkan
keberbakatan pada anak dikarenakan faktor terpenting dalam mencapai prestasi adalah
dukungan positif yang didapatkan dari orang sekitar terutama keluarga. Orang tua
dengan latar belakang budaya minoritas biasanya memfasilitasi anaknya dengan selektif
memilih tempat dan program pembelajaran yang bersifat multikultural dan tidak
mengancam sang anak sebagai minoritas (Davis & Rimm 2004).

2.3 Bullying
Studi terkait penindasan (bullying) yang melibatkan remaja berbakat berkembang
cukup lambat dan terbatas dibandingkan dengan studi terkait penindasan secara umum.
Perhatian internasional terhadap penindasan secara umum sudah mulai terlihat ketika para
peneliti Amerika pada 1990an memulai fokus penelitiannya terhadap hal tersebut. Para
peneliti ini berkontribusi terhadap perkembangan pesat literatur terkait penindasan saat
dekade awal tahun 2000an. Peneliti ini meneliti terkait agresi, korban penindasan, persepsi
korban, sikap guru, dan cyberbullying. Penelitian tentang penindasan terus berkembang
dengan melibatkan banyak aspek lainnya. Saat ini, penelitian cenderung berfokus pada
beraneka aspek, seperti aspek cyberbullying; koping; ras, etnis, dan budaya; gender dan
penindasan; resiliensi; dan kepercayaan orang tua terkait penindasan. Topik terkait faktor
yang berkontribusi dalam penindasan juga menjadi perhatian para peneliti, seperti empati
yang rendah, kesulitan pada masa anak - anak, dan sifat tidak emosional. Selain itu, faktor
sekolah juga telah dipelajari, seperti hubungan antar siswa dan guru, perasaan aman, jaringan
sosial, dan dampak kesehatan mental pada pelaku, korban, serta bystanders.

9
2.3.1 Penelitian Pertama
Penelitian pertama terkait penindasan dengan melibatkan siswa berbakat sebagai
populasi dilakukan oleh Peterson dan Ray (2006). Penelitian nasional ini dilakukan untuk
melihat populasi anak berbakat; anak berbakat sebagai korban, pelaku, dan dampak pada
mereka. Penelitian ini melibatkan 432 siswa kelas 8 dari 16 sekolah di 11 daerah di
Amerika. Hasil penelitian ini menunjukkan penindasan secara fisik yang dilakukan oleh
siswa berbakat menurun, namun penindasan verbal dan tidak langsung meningkat seiring
berjalannya waktu, serta ejekan tentang nilai dan kecerdasan memuncak pada kelas 7 dan
8. Berdasarkan jenis kelamin, siswa laki-laki lebih mungkin untuk menjadi korban,
pelaku, memikirkan kekerasan, atau melakukan tindakan kekerasan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, mayoritas anak berbakat (67%) pernah
merasakan satu atau lebih dari 13 jenis penindasan, dan 11% anak berbakat merasakan
penindasan berulang. Salah satu jenis penindasan yang sering terjadi adalah memberi
julukan (name-calling) dan ejekan yang berkaitan dengan kehadiran anak tersebut, yang
mana secara statistik menunjukkan dampak terhadap emosional. Selain itu, didapatkan
bahwa kelas 8 merupakan prevalensi tertinggi anak berbakat sebagai pelaku penindasan
(16%) dan siswa yang memiliki pemikiran kekerasan (29%).
Secara kualitatif, penelitian dilakukan dengan melibatkan 57 siswa, dimana 55
orang diantaranya adalah korban, berbakat kelas 8 untuk diwawancarai. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa tema terkait anak berbakat dan
penindasan, yaitu:
1. Anak berbakat mencoba untuk memahami penindasan dan pelaku penindasan.
2. Strategi koping meningkat seiring bertambah usia.
3. Prevalensi perundungan menurun pada siswa laki-laki setelah kelas 6 SD.
4. Kecerdasan membantu dalam hal koping, seperti menentukan strategi dan
pemahaman.
5. Anak berbakat mengaitkan penindasan dengan faktor eksternal, namun
berasumsi untuk bertanggung jawab terhadap diri.
6. Proses perbaikan dan pengurangan harga diri menurun terjadi ketika korban
mengambil tindakan, memiliki dukungan, dan menyelesaikan penindasan.
7. Menjadi korban penindasan dapat menyebabkan keinginan untuk menghindari
kesalahan dan menjadi lebih baik.
8. Tidak dikenal menjadi faktor penindasan. Saat pelaku dan korban memiliki
pengenalan yang lebih baik, kemungkinan mereka akan menjadi teman.

10
2.3.2 Studi Komparatif
Terdapat beberapa studi komparatif yang membandingkan siswa berbakat dan
siswa biasa terkait penindasan. Beberapa studi ini menemukan bahwa tidak ada
perbedaan antara siswa berbakat dan siswa biasa dalam menjadi korban atau pelaku
penindasan. Berikut akan dijabarkan empat hasil penelitian yang menunjukkan tidak
adanya perbedaan, yaitu:
a. Penelitian Peters dan Bain (2011) terhadap 90 siswa berbakat pada dua SMA
yang dibandingkan dengan siswa biasa. Hasil penelitian menunjukkan tidak
terdapat perbedaan antara siswa biasa dan siswa berbakat terkait viktimisasi
dan keinginan sosial yang mengarah pada agresi fisik. Selain itu juga
ditemukan tidak terdapat perbedaan dalam menjadi korban atau pelaku
penindasan antara siswa berbakat dan siswa biasa. Kedua sekolah ini memiliki
situasi demografis dan pembelajaran yang sama, namun skor yang dimiliki
dua kelompok berbeda. Sehingga terdapat asumsi budaya sekolah
mempengaruhi anak berbakat.
b. Penelitian Oliveira dan Barbosa (2012) yang melibatkan 339 anak usia sekolah
dengan 59 anak diidentifikasi berbakat. Hasil penelitian menunjukkan tidak
ada perbedaan antara anak berbakat dan anak biasa terkait tipe penindasan,
keterlibatan dalam penindasan, dan variabel sosial lainnya. Namun ditemukan
bahwa anak berbakat lebih mau untuk meminta pertolongan. Serta ditemukan
bahwa anak berbakat dalam bidang seni lebih sering dijadikan target
penindasan dibandingkan anak berbakat pada bidang lain.
c. Penelitian Estell dkk (2009) terhadap 484 siswa kelas 5, dengan 74 siswa
diidentifikasi berbakat secara akademis dan 41 siswa memiliki disabilitas
ringan. Penelitian ini menemukan terdapat hubungan antara pengucilan,
penindasan, dan popularitas. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa guru
dan teman sebaya cenderung memandang siswa disabilitas dan siswa berbakat
kecil kemungkinan menjadi pelaku atau korban. Hal ini diasosiasikan dengan
popularitas teman sebaya, dimana kelompok siswa yang memiliki teman
populer adalah kelompok yang rentan baik menjadi pelaku atau korban.
d. Penelitian Mitchell (2011) terhadap 847 siswa SMP terkait cyberbullying.
Ditemukan tidak terdapat perbedaan pemahaman antara siswa berbakat dan
siswa biasa dalam memahami resiko penggunaan internet. Siswa berbakat

11
ditemukan terlibat dalam cyberbullying sebagai pelaku, korban, atau
keduanya.
Saat ini sudah cukup banyak studi yang meneliti penindasan pada anak berbakat.
Salah satunya adalah penelitian review sistematis oleh Martinez-Monteagudo dkk
(2023). Penelitian ini membahas 165 penelitian sebelumnya yang meneliti penindasan
pada siswa berbakat dan tidak berbakat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
perbandingan antara siswa berbakat dan tidak berbakat, yang diklasifikasikan menjadi
tiga perspektif. Pertama yaitu siswa berbakat cenderung berpotensi tinggi untuk menjadi
korban penindasan dan berpotensi rendah untuk menjadi pelaku penindasan. Lalu
perspektif kedua menunjukkan bahwa siswa berbakat beresiko rendah untuk menjadi
pelaku maupun korban dibandingkan anak biasa, yang mana hal ini berkaitan dengan
kemampuan kognitif anak berbakat untuk mengatasi situasi sosial dan emosional. Dan
perspektif ketiga menyatakan siswa berbakat memiliki resiko yang sama untuk menjadi
pelaku dan korban layaknya siswa yang tidak berbakat.
2.3.3 Implikasi
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan memiliki implikasi, terutama implikasi
praktis bagi orang dewasa. Penemuan penelitian menunjukkan banyak anak berbakat
yang menjadi korban penindasan tidak memberi tahu pada orang dewasa. Sehingga
dengan ini diharapkan orang tua dapat lebih peka dan bertanya langsung pada anak apa
yang terjadi dalam kesehariannya. Selain itu, dengan temuan yang menunjukkan bahwa
anak berbakat berpotensi untuk menjadi pelaku maupun korban penindasan, diharapkan
orang tua dan guru lebih menyadari keadaan tersebut karena akan berdampak pada
kondisi mental anak. Orang tua dan guru juga diharapkan memberikan contoh perilaku
yang baik karena hal ini dapat berpotensi mempengaruhi perilaku anak terkait agresi
sosial.
Orang dewasa sebaiknya juga menyadari pengaruh dari budaya sekolah, dinamika
kelompok, sikap guru, peran bystander, serta penggunaan internet dalam mempengaruhi
penindasan. Secara umum, upaya prevensi dan intervensi terhadap penindasan harus
sistematis, berfokus pada korban dan pelaku dalam mengelola marah serta
mengembangkan empati, membantu korban untuk mengatasi secara efektif, dan
membantu keduanya untuk memiliki kemampuan sosial yang baik.

12
2.4 Gender Differences
Gender memberikan perbedaan yang cukup signifikan pada anak berbakat
dibandingkan anak pada umumnya. Menurut Freeman (2000), Gender menjadi pengaruh
yang kuat terhadap tingkat prestasi atau pencapaian anak berbakat. Para peneliti sepakat
bahwa kemajuan pesat yang dialami oleh perempuan berbakat berada pada usia sekolah
menengah pertama sampai akhir sekolah menengah atas (Kerr, 2000). Banyak ditemukan
perempuan muda yang menunjukkan keterampilan yang luar biasa meskipun dihadapkan
dengan berbagai variabel lain yang dapat menjadi tantangan bagi mereka, seperti
keterasingan ataupun tekanan dari keluarga, budaya, dan seks, jika dibandingkan dengan
laki-laki (Kerr, 2000 ; Noble, et al., 1999). Saat telah menjadi wanita dewasa, perempuan
juga dituntut untuk dapat menegosiasi wilayah yang didominasi laki-laki, menyeimbangkan
tanggung jawab dalam keluarga, serta mengejar karir (Noble, et al., 1999). Saat ini, meskipun
stereotip perbedaan gender dalam hal kemampuan dan keterampilan telah berkurang, serta
meskipun perempuan berbakat memiliki stereotip yang lebih sedikit dibandingkan perempuan
pada umumnya, laki-laki tetap didapatkan lebih unggul dalam pencapaian karir. Perbedaan
gender ini paling menonjol terlihat pada individu yang termasuk highly gifted (Callahan,
1991 ; Lubinski, et al., 1993 ; Randall, 1997).
2.4.1 Recognition of Giftedness
Keberbakatan individu seringkali terlihat lebih dahulu ataupun seringkali terlihat
pada usia yang lebih dini pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Sehingga
diasumsikan bahwa keberbakatan anak perempuan akan dapat lebih mudah dikenali
ataupun diidentifikasi pada tahun-tahun awal dibandingkan anak laki-laki. Akan tetapi,
pada kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya. Seringkali ditemukan bahwa guru
lebih sering mengidentifikasi anak laki-laki sebagai anak berbakat dibandingkan anak
perempuan (Reis, 2002). Hal ini juga dibuktikan dari penelitian yang dilakukan Lee
(2000), didapatkan bahwa, dua orang guru dengan total pengalaman mengajar selama 44
tahun mengatakan bahwa dirinya belum pernah bertemu dengan anak perempuan
berbakat, tetapi pernah sesekali mengidentifikasi anak laki-laki berbakat. Sementara itu,
di sebagian besar wilayah, didapatkan rasio anak laki-laki berbakat dan anak perempuan
berbakat adalah 2 : 1, dimana hasil ini didapatkan dari identifikasi orang tua terhadap
anaknya sebagai anak berbakat (Freeman, 2000). Hal ini dapat terjadi demikian karena,
di sisi lain, anak laki-laki memiliki tingkat ketidakmampuan belajar yang lebih tinggi
dibandingkan anak perempuan, sehingga jika ditemukan anak laki-laki yang memiliki

13
tingkat kemampuan belajar yang tinggi maka anak tersebut akan seringkali diidentifikasi
sebagai anak berbakat.
2.4.2 Pressure to Conform
Selama menjalani masah sekolah, anak perempuan berbakat dan anak laki-laki
berbakat mungkin terpapar tingkat tekanan teman sebaya yang tidak jauh berbeda.
Namun anak perempuan biasanya relatif lebih dirugikan dibandingkan dengan anak
laki-laki karena tekanan-tekanan ini dapat mengakibatkan berkurangnya harapan, aspirasi
dan prestasi anak perempuan selama masa remaja dan dewasa d (Butler-Por 1993;
Freeman 1996, 1998; Kerr 1996, 1997; Reis & Callahan 1989). Pada perempuan,
penurunan self-esteem tiga kali lebih besar kemungkinannya untuk terjadi daripada
laki-laki (Davis & Rimm 2004). Hal ini dapat berdampak pada banyaknya hambatan
eksternal maupun internal yang harus dihadapi dalam mencapai kesuksesan (Callahan et
al. 1994; Davis & Rimm 2004; Freeman 1996; Kerr 1997, 2000; Lea-Wood &
Clunies-Ross 1995; Leroux 1988; Macleod 2004; Randall 1997; Reis 2002; Smutny
1998; White 2000).
Beberapa hal yang dapat menjadi sumber tekanan yang dirasakan anak perempuan
berbakat diantaranya adalah :
a. Perception
Guru, orang tua, maupun orang lain yang lebih tua pada umumnya seringkali
meremehkan kinerja ataupun keterampilan anak perempuan berbakat apabila
dibandingkan dengan kinerja atau kemampuan anak laki-laki, meskipun
kemampuan anak perempuan berbakat tersebut sama dengan atau bahkan
melebihi kemampuan anak laki-laki (Marsh, et al., 1988). Akan tetapi persepsi
ini mungkin lebih baik jika dibandingkan dengan persepsi terhadap anak
perempuan pada umumnya (Siegle & Reis, 1998). Pada umumnya, anak
perempuan berbakat lebih mengambil risiko intelektual yang sedikit jika
dibandingkan dengan anak laki-laki berbakat. Anak perempuan berbakat
memiliki lebih banyak kekhawatiran, lebih rentan terhadap perfeksionisme,
memiliki cita-cita yang tinggi, tetapi sekaligus tidak yakin dengan kemampuan
mereka dalam mencapai hal tersebut, serta seringkali mengaitkan keberhasilan
yang didapatkan dengan faktor eksternal seperti keberuntungan, bukannya
kemampuan mereka (Baker 1996; Callahan et al. 1994; Jacobs & Weisz 1992;
Kerr 1997; Lubinski et al. 1993; Randall 1997; Reis 2002; Smutny 1998).
b. Sex Role Stereotyping

14
Anak perempuan berbakat seringkali menerima stigma sosial negatif dan
terisolasi dari lingkungan sosial apabila mereka berbeda dari lingkungan
sekitarnya, perbedaan ini mencakup keunggulan yang dimiliki anak
perempuan berbakat jika dibandingkan dengan teman sekelasnya. Hal ini
mengarah kepada keengganan untuk bersaing, terutama dengan anak laki-laki,
karena merasa takut kebutuhan untuk berafiliasinya terancam jika lebih unggul
ataupun berbeda. Hal inilah yang menyebabkan banyak anak perempuan
berbakat yang menolak kelas akselerasi dan keluar dari program yang
dikhususkan untuk anak berbakat (Davis & Rimm, 2004). Konformitas anak
perempuan terhadap peran gender mengarahkan mereka untuk melakukan
sesuatu yang diinginkan orangtua dan guru daripada keinginan mereka sendiri.
Patuh dan melakukan apa yang diinginkan oleh orangtua dan guru dapat
mengarahkan anak perempuan berbakat untuk dapat tugas sekolah dengan
baik, tetapi hal ini dapat menimbulkan kerugian di masa depan dan di masa
dewasa nantinya, seperti menimbulkan ketidakmampuan belajar (learning
disabilities), masalah dalam pengambilan keputusan, dan lain sebagainya
(Davis & Rimm 2004; Kerr 1996; Kline & Short 1991; Loeb & Jay 1987).
c. Culture of Romance
Tekanan lainnya yang dirasakan perempuan berbakat adalah adanya budaya
percintaan (culture of romance) yang mulai memasuki kehidupannya. Ketika
anak bertambah dewasa, biasanya pengaruh orangtua semakin berkurang,
sementara pengaruh dari teman sebaya, khususnya teman sebaya laki-laki
mulai meningkat. Ketika mengenal percintaan, anak perempuan cenderung
bergantung kepada pasangannya, mendukung pasangannya, dan cenderung
meminimalisir kepentingan akademik dan karirnya sendiri. Bahkan tak jarang
ditemukan individu yang rela mengorbankan kepentingan dan ambisi mereka
sendiri karena mementingkan karir dan kesuksesan pasangannya (Kerr, 1996).
d. Superwoman Syndrome
Selanjutnya adalah superwoman syndrome yang membuat perempuan tidak
ingin hanya berfokus atau unggul pada satu atau dua aktivitas. Beberapa
penulis berpendapat bahwa hal ini memungkinkan terjadi dan tidak menjadi
tekanan bagi hidup perempuan tersebut, tetapi tak jarang juga karena hal ini.
individu malah menjadi tidak dapat fokus dengan satu hal pun sehingga tidak
dapat unggul di bidang manapun (Delisle 1998; Lubinski et al. 1993)

15
Berbeda dengan anak perempuan, tekanan yang harus dihadapi anak laki-laki
berbakat untuk dapat menyesuaikan diri adalah adanya stereotip yang ditanamkan pada
anak laki-laki dan penekanan gender yang dapat dikatakan lebih mutlak. Anak
perempuan biasanya diperbolehkan untuk bersikap tomboy dalam preferensi ataupun
kegemaran mereka, tetapi pada anak laki-laki cenderung tidak diizinkan untuk tertarik
dengan suatu hal ataupun keterampilan yang dianggap feminin (Kerr & Cohn 2001).
Penekanan gender pada anak laki-laki ini cenderung lebih kaku daripada anak
perempuan. Menurut Pollack 1998, dalam Kerr & Cohn (2001), terdapat “boy code”
yang ditanamkan pada anak laki-laki dimana anak laki-laki sangat diharapkan untuk
melakukan hal-hal ini. “Boy code” ini terdiri dari empat keharusan yang harus dilakukan
anak laki-laki sebagai berikut :
a. Anak laki-laki harus menjadi “sturdy oak” : yaitu mandiri dan tabah. Hal ini
menghasilkan pemikiran bahwa anak laki-laki pantas untuk mendapatkan
hukuman yang keras atau berat atas pelanggaran yang dilakukannya dengan
tujuan menguatkannya (toughen him up). Hal ini menyebabkan anak laki-laki
yang memiliki kelebihan dalam kepekaan emosional (sensitivity of emotional
giftedness), seperti lemah lembut dan sebagainya cenderung dicemooh
daripada dilihat sebagai aset interpersonal.
b. Anak laki-laki seharusnya diberlakukan “give them hell” : yaitu berani
mengambil risiko dan bertindak keras. Hal ini menyebabkan anak laki-laki
cenderung lebih aktif, bebas, dan tidak takut dengan apapun, meskipun
melakukan hal yang menyebabkan dirinya mendapatkan hukuman (Luftig &
Nichols 1991). Hal ini membantu popularitas anak laki-laki di mata teman
sebaya, tetapi mempengaruhi secara negatif tingkat pencapaian yang
diperoleh.
c. Anak laki-laki harus menjadi (big wheel) : yaitu yang paling kuat dan
dominan. Sensitivitas pada anak laki-laki berbakat menyebabkan mereka
menghindari persaingan yang bertentangan dengan keharusan ini.
d. “No sissy stuff” : anak laki-laki tidak boleh emosional. Semua laki-laki pada
umumnya menderita karena dipaksa harus mematuhi “boy code” ini.
Intensitas emosional dan kreativitas yang tinggi pada anak laki-laki berbakat
membuat hal ini menjadi hal yang sangat sulit bagi mereka. Seringkali anak
laki-laki dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan budaya “macho” anak
laki-laki lainnya sehingga mereka melakukannya dengan menyembunyikan

16
dan menyamarkan diri mereka sendiri. Jika mereka diintimidasi atau
menerima ejekan karena kepekaan dan sensitivitas emosional mereka, maka
mereka tidak berani melaporkan karena takut dengan pandangan toxic
masculinity yang lebih lanjut (Kerr & Cohn 2001).
Berbeda dengan anak perempuan dimana ibu biasanya dapat menjadi panutan dan
tempat mengadu yang baik, bagi anak laki-laki, ayah seringkali tidak dapat membantu
mereka dalam menghadapi berbagai tekanan dan menemukan identitasnya (Alvino,
1991). Sementara guru laki-laki, coach, ataupun lainnya juga tidak dapat bertindak
sebagai mentor karena takut dituduh memiliki keintiman yang tidak pantas (Kerr &
Cohn, 2001). Orang dewasa lebih mendorong, bahkan menekan anak laki-laki untuk
dapat mengembangkan bakat secara mandiri tanpa adanya pendampingan dalam
keterampilan sosial. Hal ini mengakibatkan anak laki-laki merasa semakin tertekan dan
terisolasi karena kurangnya dukungan sosial dan persahabatan (Wolfle, 1991). Selain itu,
adanya stereotip bahwa anak laki-laki relatif kurang matang dibandingkan anak
perempuan menyebabkan meningkatnya hambatan bagi banyak anak laki-laki untuk
dapat mulai bersekolah, hanya karena alasan bahwa mereka adalah laki-laki
2.4.3 Gendered Patterns of Underachievement
Batasan pola gender antara anak perempuan dan laki-laki cenderung dapat
menyebabkan anak-anak berbakat menyembunyikan atau memendam bakat yang
dimiliki dan mengikuti pola gender yang terbentuk secara sosial. Pola-pola antar gender
ini cukup mirip, kecuali pada peran nonformis dan pemimpin yang kurang tersedia untuk
perempuan. Berikut adalah tabel pola hidup berdasarkan gender :

Pola Perempuan Laki-laki

Conformists : Memenuhi Bekerja dalam profesi yang Memiliki karir dan hidup
ekspektasi orang lain. menolong orang dan ibu yang sukses dan terjamin.
Mereka terlihat sukses rumah tangga. Lebih Mereka cenderung
tetapi sebenarnya penting karir pasangan menekan emosi yang
kehidupan mereka tidak daripada karir mereka dirasakan agar sesuai
terlalu memuaskan. sendiri. stereotip.

Popularity seekers : Tidak mengejar karir atau Berfokus pada bidang


Menyembunyikan bakat pendidikan yang tinggi. olahraga dari pada
yang dimiliki agar dapat Mereka cenderung akademik karena ingin
diterima oleh orang sekitar. mengalah terutama pada terlihat seperti laki-laki
laki-laki. biasa pada umumnya.

17
Players : Mencari Social chameleons : Menampilkan citra diri
penerimaan dari orang lain Mengubah sifat, tingkah sesuai yang diinginkan
dengan cara memalsukan laku, dan pandangan agar orang lain. Mereka akan
diri yang sebenarnya. sesuai dengan orang lain. takut jika ketahuan.

Nonconformists : Menarik diri dan Jika ia didukung, maka


Menyadari bahwa sifat mengisolasi diri dari akan berkembang menjadi
eksentrik atau unik yang lingkungan. kreatif. Jika tidak
dimiliki akan selalu didukung, maka akan
membuat mereka tidak menjadi nakal yang pintar
cocok dengan lingkungan. secara intelektual.

Closet learners : Cenderung mendukung Memiliki karir yang


Melakukan aktivitas rutin orang lain seperti bos atau terhormat namun
atau kebiasaan sehari-hari, suaminya untuk biasa-biasa saja dan
namun menjadi sangat berprestasi, padahal pasangan yang menarik,
kreatif saat sendiri kemampuannya lebih tetapi hanya teman dekat
tinggi. dan keluarga mereka yang
menyadari sisi spiritual dan
kreatif mereka.

Leaders : Mengevaluasi Memiliki 2 pekerjaan, yaitu Menjelaskan maskulinitas


tujuan mereka dan hidup sebagai pekerja dan ibu sebagai gabungan antara
sesuai dengan rancangan rumah tangga. Mengalami emosi dan kekuatan.
hidup mereka. Dapat glass ceiling (perempuan
menentukan tujuan hidup boleh mengejar karir yang
mereka. tinggi namun terhambat
oleh kaca sambil melihat
laki-laki yang dapat sampai
ke puncak karir).

2.4.4 Supporting High Achievement for Both Sexes


Rasa kepercayaan dan keyakinan terhadap diri adalah faktor terpenting dari
kesuksesan laki-laki maupun perempuan. Maka untuk mencapai kesuksesan dan
meningkatkan efikasi diri, baik laki-laki maupun perempuan harus dapat menantang
stereotip gender yang ada. Selain memberikan izin untuk anak berbakat dalam mencapai
kesuksesan, mereka juga harus diberikan bantuan untuk berkomitmen pada impian
mereka. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan mulai sejak dini :
a. Climate
● Mendidik guru, orang tua, dan psikolog terkait kebutuhan pendidikan
dan emosional untuk anak berbakat.

18
● Menghargai dan mendukung keberagaman yang ada.
● Mengakui dan merayakan bakat anak.
● Hindari materi pelajaran yang terdiri dari stereotip peran dan gender.
● Mencegah pelecehan seksual dan perundungan di rumah maupun
sekolah.
b. Curricular measures
● Menilai perkembangan anak untuk merancang kebutuhan mereka.
● Memperkenalkan aktivitas spasial sebelum anak mempelajari stereotip
gender dimana dapat menghambat anak perempuan untuk terlibat
dalam aktivitas spasial.
● Guru memberikan perhatian yang sama pada anak perempuan dan
laki-laki.
● Mendorong anak perempuan untuk mengerjakan kegiatan individu
bukan hanya kegiatan kelompok.
● Mengajari dan memberikan peran kepemimpinan pada anak
perempuan dan laki-laki.
● Jika perlu, berikan anak langkah percepatan seperti masuk sekolah
lebih awal atau kenaikan kelas lebih awal.
c. Personal support
● Mengajarkan anak perempuan untuk bersaing dan jangan hindari
mereka dari kegagalan.
● Menerima perilaku asertif dari anak perempuan maupun laki-laki.
● Berikan anak perempuan kepercayaan diri untuk bertahan.
● Mengajarkan anak perempuan untuk melihat kesuksesan sebagai hasil
dari kemampuan atau usaha mereka, bukan faktor eksternal.
● Memberikan akses yang sama pada anak berbakat lainnya yang
berjenis kelamin sama.
● Memperkenalkan anak pada role model yang sukses dan mentor yang
berjenis kelamin sama.
● Mengajarkan anak berbakat untuk memahami kemampuan, minat, dan
nilai-nilai mereka agar dapat menentukan karir mereka sendiri bukan
dari harapan orang lain.

19
● Menjelang akhir SD, berikan konseling karir untuk meningkatkan
kesadaran anak terkait pilihan mereka. Pada anak perempuan berupa
kesadaran akan kerugian dan manfaat menjadi ibu rumah tangga dan
karir yang tertunda. Pada anak laki-laki, berupa informasi tentang karir
pria yang non-tradisional.
● Menjelaskan pada orang tua untuk membiarkan bakat alami anak
berkembang tanpa memikirkan apakah bakat tersebut sesuai dengan
stereotip gender atau tidak.
● Mengajarkan anak laki-laki bahwa mereka akan memiliki hubungan
yang lebih intim dan puas jika memilih perempuan cerdas daripada
perempuan yang tidak patuh.
Pada anak berbakat laki-laki, diperlukan untuk menantang budaya citra diri yang
macho yang menyatakan bahwa prestasi olahraga lebih baik daripada prestasi akademik,
mendorong mereka untuk mampu mengekspresikan bakat mereka, dan memberikan
pengakuan pada bakat mereka. Anak laki-laki akan sangat membutuhkan dukungan agar
dapat mengembangkan kesadaran emosional pada diri dan orang lain sehingga kehidupan
emosional dan intelektual mereka dapat menjadi seimbang.

2.5 Rural
Beberapa generasi sebelumnya menyatakan bahwa IQ anak-anak pedesaan rata-rata
enam poin di bawah IQ anak-anak metropolitan tetapi perbedaan ini sudah tidak berarti lagi
dimana semakin berkembangnya zaman, perbedaan tersebut semakin kecil yaitu hanya
berkisar dua poin IQ. Walaupun mungkin masih terdapat rentang kemampuan yang lebih
luas di masyarakat pedesaan (Loehlin, 2000). Anak-anak berbakat di daerah pedesaan dapat
dirugikan karena berbagai alasan, yang paling mendasar adalah tingginya angka kemiskinan
dan kurang stabilnya lapangan kerja di masyarakat pedesaan seperti halnya di perkotaan
(Colangelo, dkk. 2003). Beberapa kelemahan bagi siswa pedesaan berkaitan dengan
pengembangan bakat mereka pertama dan beberapa diakui memiliki perkembangan dan
kemudian menerima bekal pendidikan yang sesuai. Berikut beberapa kerugian anak-anak
berbakat yang tinggal di pedesaan.
a. Akses :
● Tinggal di kawasan yang memiliki jumlah penduduk yang sedikit membuat
anak-anak pedesaan memiliki jangkauan kontak sosial yang terbatas, terutama
dengan teman-teman intelektualnya.

20
● Tidak dapat diaksesnya jarak dan musiman dapat menghalangi anak- anak
mengakses berbagai pengalaman, teman sebaya, dan guru.
b. Pengalaman dan Dukungan Guru :
● Pergantian guru di daerah pedesaan seringkali lebih tinggi dibandingkan di
daerah metropolitan sekolah. Mungkin tidak ada guru yang cukup
berpengetahuan dan siap untuk melakukan hal tersebut mengajar anak-anak
berbakat di bidang minat khusus mereka.
● Guru di sekolah pedesaan lebih terisolasi dari dukungan luar sekolah dan
memiliki lebih sedikit kesempatan untuk melanjutkan studi.
c. Sikap terhadap bakat
● Keberbakatan mungkin tidak dianjurkan di komunitas konservatif, terutama
jika hal tersebut dianggap melanggar norma gender.
● Unggul di sekolah mungkin tidak dianjurkan jika hal ini akan menyebabkan
mereka meninggalkan daerah tersebut untuk menerima pendidikan tinggi.
● Kurikulum di sekolah pedesaan cenderung lebih terbatas dibandingkan di
sekolah metropolitan, dan staf pengajar cenderung tidak dapat mengkhususkan
diri pada bidang kurikuler atau mengembangkan kurikulum baru sejalan
dengan praktik terkini.
● Mungkin terdapat terlalu sedikit anak-anak berbakat untuk membenarkan
penyediaan program berbakat di sekolah pedesaan, dan mungkin terdapat
penolakan terhadap inovasi yang akan menyulitkan program tersebut untuk
dimulai.

● Di daerah pedesaan, sumber daya seperti belanja pendidikan, perpustakaan


dan tenaga pendukung sekolah mungkin terbatas.
Namun disisi lain, siswa di pedesaan mempunyai keuntungan karena ukuran kelasnya
kecil, kelasnya terdiri dari berbagai usia, kedekatan dengan gurunya, dan tingkat partisipasi
masyarakat yang tinggi, yang semuanya merupakan komponen kunci keberhasilan
pendidikan berbakat (Colangelo, dkk. 2003). Mereka mungkin dapat mengembangkan
keterampilan mandiri dan belajar sesuai kecepatan mereka sendiri dan mungkin memiliki
orang tua yang berdedikasi untuk membantu pendidikan mereka ( Bailey, dkk. 1995).
Kehidupan pedesaan dapat menawarkan berbagai pengalaman langsung yang tidak tersedia di
wilayah metropolitan, dan dapat menciptakan kebutuhan akan kelompok kecil anak-anak

21
yang mampu, sehingga memfasilitasi pengembangan program yang disesuaikan dengan
kebutuhan mereka.
Untuk itu, solusi untuk mengurangi keterbatasan tersebut adalah menggunakan
teknologi seperti internet ataupun komputer. Internet dapat menghubungkan anak-anak
pedesaan secara elektronik dengan siswa berbakat lainnya, bahkan ketika mereka tidak dapat
bertemu secara fisik, dan dapat memberi mereka akses ke database untuk mendukung
penelitian mereka (Knight et al . 1997; Spicker & Southern 1998). Komputer juga
memungkinkan guru di pedesaan untuk menjalin hubungan dengan rekan kerja yang
berjauhan, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran keahlian untuk memperkaya
program mereka. Oleh karena itu, untuk memfasilitasi pengembangan keterampilan
anak-anak pedesaan, guru perlu memastikan bahwa siswa memiliki akses ke komputer dan
melek penggunaannya sejak usia muda. Mengajar jarak jauh sama efektifnya dengan
pengajaran tatap muka ketika teknologi komputer dapat dimanfaatkan secara tepat untuk
tugas tersebut (Belcastro, 2001).

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terdapat beberapa permasalahan dan kerugian yang dialami oleh anak berbakat. Anak
berbakat pada umumnya memiliki kebutuhan yang berbeda sehingga dianggap berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Anak berbakat seringkali menerima stigma sosial negatif
dan terisolasi dari lingkungan sosial karena dianggap berbeda dari lingkungan sekitarnya,
Perbedaan ini terkadang menyulitkan dan bahkan menyebabkan berbagai permasalahan dan
kerugian pada anak berbakat dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Selain itu,
terdapat juga faktor eksternal lain yang dapat mempengaruhi dan menjadi sumber tekanan
bagi anak berbakat. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kemiskinan, minoritas,
bullying, perbedaan gender, dan rural.
Pada anak berbakat, kemiskinan dapat menjadi sumber permasalahan dan tekanan
karena anak berbakat tidak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya
ataupun yang dapat menunjang keberbakatannya, sehingga dapat menimbulkan
ketidakmampuan belajar. Minoritas juga dapat menjadi sumber permasalahan dan tekanan
bagi anak berbakat karena dapat menimbulkan prestasi yang rendah dan meningkatkan risiko
tidak teridentifikasi sebagai anak berbakat. Selanjutnya, bullying juga dapat menjadi sumber
permasalahan dan tekanan bagi anak berbakat karena sasaran bullying yang seringkali terjadi
pada anak dan remaja pada umumnya adalah anak atau remaja yang berbeda dari anak dan
remaja pada umumnya, yang mencakup juga anak berbakat. Berikutnya, perbedaan gender
juga dapat menjadi sumber permasalahan dan tekanan bagi anak berbakat karena adanya
stigma ataupun stereotip pada gender tertentu yang menjadi pengaruh yang kuat terhadap
tingkat prestasi atau pencapaian anak berbakat. Terakhir, rural juga dapat menjadi sumber
permasalahan dan tekanan bagi anak berbakat karena tinggal di pedesaan ataupun tempat
terpencil dapat menyebabkan kekurangan akses, kurangnya pengalaman dan dukungan guru,
serta kurangnya sistem dalam menghadapi anak berbakat. Hal ini menyebabkan tidak
berkembangnya pencapaian pada anak berbakat.

23
DAFTAR PUSTAKA

Neilhart, M., Pfeiffer, S. I., & Cross, T. L., (2016). The Social and Emotional Development
of Gifted Children (2nd Edition). Texas : Prufrock Press Inc.
Nursita, L & Edi, B. (2022). Pendidikan Pekerja Anak : Dampak Kemiskinan pada
Pendidikan. Jambura Economic Education Journal, 4(1).
Porter, L. (2005). Gifted Young Children : a Guide for Parents and Teachers (2nd Edition).
Australia : Allen & Uwin.
Martínez-Monteagudo, Á., Martínez-Monteagudo, M. C., & Delgado, B. (2023). School
Bullying and Cyberbullying in Academically Gifted Students: A Systematic Review.
Aggression and Violent Behavior, 101842.

24

Anda mungkin juga menyukai