Anda di halaman 1dari 4

MERITOKRASI ARISTOTELES DAN PLATO

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan oleh Dosen: Ibu

Dr. Risma Niswaty, S.S., M.Si.

OLEH KELOMPOK 1- KELAS B ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

Nur Asyifa T
Nurul Husna Asrah
Nining Angraeni Ningsih
Andi Asyifah Risky Nasta
Dian Olinda Vionyta Darni
Aswad Arimali

Program Studi Ilmu Administrasi Publik


Program Pascasarjana
Universitas Negeri Makassar
2023
MERITOKRASI ARISTOTELES DAN PLATO

Konsep meritokrasi diperkenalkan oleh filsuf Aristotle dan Plato yang percaya bahwa
sebuah negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang paling pandai, paling baik dan
paling berprestasi. Menurut Anderson et.al. (2003) meritokrasi menjamin birokrasi memiliki
kinerja pelayanan publik yang mumpuni yaitu birokrasi yang mampu membuat desain program
yang lebih tepat sasaran dan memberikan hasil optimal. Meritokrasi adalah sistem politik yang
memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau
prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Meritokrasi menetapkan bentuk pemerintahan atau
kontrol kehidupan publik dan institusional oleh individu atau kelompok sosial, yang posisi
dominannya didasarkan pada prestasi. Baik Plato maupun Aristoteles mendukung konsep
meritokrasi.

A. MERITOKRASI ARISTOTELES
Meritokrasi menurut Aristoteles merupakan ide bahwa kekuasaan dan posisi dalam
masyarakat seharusnya diberikan kepada individu berdasarkan kualitas atau keunggulan
yang dimiliki oleh mereka. Aristoteles melihat meritokrasi sebagai suatu bentuk
pemerintahan yang lebih adil, di mana orang-orang yang memiliki keahlian, pengetahuan,
dan kemampuan yang tinggi diberikan tanggung jawab dan kekuasaan.
Aristoteles berpendapat bahwa pemberian kekuasaan berdasarkan meritokrasi dapat
menciptakan masyarakat yang lebih baik, karena pemimpin atau penguasa yang dipilih
berdasarkan kualifikasi akan lebih mampu memimpin dengan baik. Ia menolak ide
aristokrasi yang memberikan kekuasaan kepada kelompok elit berdasarkan keturunan,
karena menurutnya, keunggulan seseorang seharusnya tidak tergantung pada faktor
keturunan atau keberuntungan lahir.
Aristoteles berpikir bahwa dunia sehari-hari lebih otentik daripada dunia ide Plato.
Aristoteles juga lebih pragmatis dalam hal politik. Aristoteles mengakui bahwa ada
berbagai bentuk pemerintahan, dan tidak ada yang sempurna. Aristoteles
mengklasifikasikan pemerintahan menjadi enam jenis, berdasarkan jumlah penguasa dan
tujuan mereka: monarki (satu penguasa yang baik), tirani (satu penguasa yang buruk),
aristokrasi (beberapa penguasa yang baik), oligarki (beberapa penguasa yang buruk),
politik (banyak penguasa yang baik), dan demokrasi (banyak penguasa yang buruk).
Aristoteles menganggap politik sebagai bentuk pemerintahan terbaik, karena
mencerminkan kepentingan bersama dari seluruh masyarakat. Aristoteles juga
menekankan pentingnya hukum, keadilan, dan keseimbangan dalam pemerintahan.
Dalam meritokrasi Aristoteles, kebijakan dan keputusan diambil oleh individu yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tugas atau tanggung jawab
yang diemban. Ini menciptakan sistem di mana orang-orang yang paling kompeten
memimpin, memastikan bahwa kepentingan masyarakat lebih didahulukan daripada
kepentingan kelompok elit.

B. MERITOKRASI PLATO
Plato, seorang filsuf Yunani kuno dan murid Socrates, juga memiliki pandangan
tentang meritokrasi. Dalam karyanya "Republik," Plato menggambarkan konsep negara
ideal yang dipimpin oleh filosof-raja atau penguasa yang memiliki pengetahuan dan
kebijaksanaan yang tinggi. Ide ini disebut sebagai "kedaulatan filsuf."
Plato, dalam bukunya The Republic mengajukan gagasan tentang raja-raja filsuf,
yaitu para penguasa yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi tentang
dunia ide, yang merupakan realitas sejati yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra.
Plato berpendapat bahwa hanya orang-orang yang memiliki bakat intelektual dan moral
yang layak untuk menjadi penguasa, dan untuk itu ia mengusulkan sistem pendidikan
yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan melatih orang-orang tersebut. Plato juga
membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yaitu penjaga (penguasa), prajurit (pelindung),
dan produsen (petani, pengrajin, dll). Plato beranggapan bahwa setiap kelas harus
menjalankan fungsi yang sesuai dengan sifat mereka, dan tidak mencampuri urusan lain.
Menurut Plato, pemerintahan yang efektif dan adil hanya dapat dicapai jika
penguasa memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang luar biasa. Ia percaya bahwa
hanya para filosof atau orang-orang yang mencapai tingkat pengetahuan tertinggi yang
dapat memahami keadilan, kebenaran, dan kebijaksanaan yang diperlukan untuk
memimpin masyarakat.
Dalam pandangan Plato, penguasa tidak boleh dipilih berdasarkan kekayaan atau
keturunan, melainkan berdasarkan kebijaksanaan dan keunggulan moral. Dengan
demikian, konsep meritokrasi dalam pemikiran Plato lebih menekankan pada kualitas
moral dan intelektual seseorang sebagai dasar bagi pemberian kekuasaan. Jadi, dalam
konteks Plato, meritokrasi bukan hanya tentang keahlian praktis, tetapi juga
melibatkan tingkat pemahaman filosofis dan moral yang tinggi sebagai dasar untuk
memimpin dan mengambil keputusan yang menguntungkan masyarakat secara
keseluruhan.

3
C. PERBEDAAN PANDANGAN MERITOKRASI PLATO DAN ARISTOTELES

Plato dan Aristoteles adalah dua filsuf Yunani kuno yang memiliki pandangan berbeda
tentang meritokrasi. Perbedaan meritokrasi Aristoteles dan Plato dapat dilihat dari beberapa
aspek, seperti:

a. Pandangan tentang realitas: Plato berpendapat bahwa realitas tertinggi tidak hadir dalam
dunia sehari-hari, tetapi dalam dunia ide yang abstrak dan sempurna. Aristoteles berpikir
bahwa dunia sehari-hari lebih otentik daripada dunia ide Plato.
b. Kriteria untuk memilih penguasa: Plato berpendapat bahwa yang paling bijaksana harus
memerintah, dan karenanya para penguasa harusnya adalah raja-raja filsuf. Plato
mengusulkan sistem pendidikan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan melatih orang-
orang yang memiliki bakat intelektual dan moral untuk menjadi penguasa. Aristoteles
mengakui bahwa ada berbagai bentuk pemerintahan, dan tidak ada yang sempurna.
Aristoteles mengklasifikasikan pemerintahan menjadi enam jenis, berdasarkan jumlah
penguasa dan tujuan mereka. Aristoteles menganggap politik sebagai bentuk pemerintahan
terbaik, karena mencerminkan kepentingan bersama dari seluruh masyarakat.
c. Partisipasi politik: Plato membagi masyarakat menjadi tiga kelas: penjaga (penguasa),
prajurit (pelindung), dan produsen (petani, pengrajin, dll). Plato beranggapan bahwa setiap
kelas harus menjalankan fungsi yang sesuai dengan sifat mereka, dan tidak mencampuri
urusan kelas lain. Aristoteles lebih terbuka terhadap keterlibatan masyarakat luas dalam
politik. Aristoteles juga menekankan pentingnya hukum, keadilan, dan keseimbangan
dalam pemerintahan.

Dari perbedaan di atas, dapat disimpulkan bahwa Plato lebih idealis dan mengutamakan
kebijaksanaan sebagai kriteria utama untuk memilih penguasa. Aristoteles lebih realis dan
mengakomodasi berbagai kemungkinan dalam politik. Plato lebih membatasi partisipasi politik
berdasarkan kelas, sedangkan Aristoteles lebih terbuka terhadap keterlibatan masyarakat luas.
Namun, keduanya juga memiliki kesamaan, yaitu menghargai kemampuan dan prestasi sebagai
dasar untuk memerintah. Keduanya juga berusaha mencari bentuk pemerintahan yang terbaik
untuk kesejahteraan umum.

Anda mungkin juga menyukai