Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339140165

PENERAPAN SISTEM AUTOPOETIC NIKLAS LUHMANN DALAM KEGIATAN


KOMUNIKASI ILMIAH PUSTAKAWAN

Preprint · December 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.26924.21127

CITATIONS READS

0 5,425

1 author:

Wahid Nashihuddin
Indonesian Institute of Sciences
147 PUBLICATIONS 144 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Wahid Nashihuddin on 10 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENERAPAN SISTEM AUTOPOETIC NIKLAS LUHMANN
DALAM KEGIATAN KOMUNIKASI ILMIAH PUSTAKAWAN1

Wahid Nashihuddin
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Email: wahed87@gmail.com

Pendahuluan
Masyarakat adalah komunikasi begitulah kata Niklas Luhmann dalam artikelnya yang
berjudul Die Gesellschaft der Gesellschaft tahun 1997. Teori tersebut mendekonstruksi teori
ilmu sosial sebelumnya, sebagaimana dikatakan Luhmann bahwa para sosiolog terdahulu
telah gagal menghasilkan teori ―masyarakat‖ – teori yang telah ada dianggap tidak relevan
lagi dengan perkembangan hidup masyarakat yang sangat kompleks (hypercomplex).
Kompleksitas ini menyangkut kebutuhan individu sebagai masyarakat. Terkait hal tersebut,
kemampuan seorang individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan memperjuangkan
hak-hak sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat disebut sebagai autopoetic atau
autopoiesis.
Autopoetic merujuk pada karya Heidegger, yang menekankan bahwa setiap individu-
manusia merupakan bagian sistem sosial (Lee, 2000). Apabila digambarkan dalam dunia
politik, sistem autopoetic ini dapat dilihat pada hak-hak setiap warga negara dalam
memberikan aspirasi dan pendapatnya untuk memilih wakil rakyat melalui pemilihan umum
(pemilu). Dalam pemilu, setiap orang berhak memberikan suaranya secara bebas-aktif, apakah
melalui diskusi, debat, atau pidato, untuk memberikan pertimbangan dan kebijakan dalam
pemerintahan yang akan berjalan setelah pemilu. Apabila digambarkan dalam dunia
kepustakawanan, sistem autopoetic dapat dilihat dari sifat pribadi-pustakawan yang aktif
dalam kegiatan komunikasi, apakah sebagai narasumber, pakar, instruktur, atau penulis.
Tulisan ini menjelaskan secara kritis tentang penerapan sistem autopoetic niklas
luhmann pada kegiatan komunikasi ilmiah pustakawan. Agar dapat memahami penerapan
sistem autopoetic dalam bidang kepustakawanan, pustakawan harus memahami terlebih
dahulu tentang konsep society of society is communication, komunikasi sebagai wujud
eksitensi pustakawan, urgensi komunikasi ilmiah bagi pustakawan, dan penerapan sistem
autopoetic dalam kegiatan komunikasi ilmiah pustakawan.

Konsep Society of Society is Communication


Teori ―sistem sosial‖ Luhmann memunculkan konsep society of society is
communication, sehingga disebut juga sebagai teori ―sistem masyarakat‖. Teori ini mencakup
tiga aspek yaitu komunikasi, evolusi, dan diferensiasi. Teori ini menegaskan bahwa
masyarakat terbentuk karena adanya komunikasi antar-individu. Keberadaan setiap individu
sangat mempengaruhi sistem tatanan sosial dan hidup bermasyarakat. Sistem komunikasi
sosial ini dibangun atas suara aktif setiap individu, yang beroperasi secara cepat berdasarkan
batas-batas geografis mereka.
Luhmann (1997) menjelaskan bahwa konsep society of society is communication
menggambarkan ciri-ciri mendasar yang umum untuk semua sistem sosial, seperti ekonomi,
hukum, agama, seni, sains, dan sosiologi. Bagi luhman, setiap individu adalah bagian dari
masyarakat. Untuk itu, setiap individu harus berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik agar eksistensinya diakui oleh masyarakat. Sistem sosial yang berbeda
dibangun untuk melakukan percakapan tentang berbagai subjek. Sistem ekonomi
berkomunikasi tentang uang, nilai barang dan jasa, dan metode pertukaran. Sistem politik
berkomunikasi tentang kekuasaan, pemilihan umum, dan apa yang diperlukan untuk tetap
1
Makalah Akademik Mata Kuliah “Teori Sosial Kritis” Sekolah Pascasarjana Prodi Kajian Budaya dan Media,
Minat Manajemen Informasi dan Perpustakaan UGM tahun 2019.
memegang jabatan.
Konsep society of society is communication melahirkan sistem autopoetic, yang diambil
dari bidang biologi (Luhmann meminjam istilah dari Humberto Maturana dan Francesco
Varela). Autopoetic berarti ―suatu sistem‖ yang terdiri dari berbagai jaringan produksi dari
komponen-komponen, yang melalui interaksinya, membentuk dan menyadari jaringan yang
memproduksi diri mereka, di dalam ruang di mana mereka ada, batas-batas jaringan sebagai
komponen yang berpartisipasi di dalam perwujudan jaringan tersebut. Autopoetic merupakan
sifat dan karakter seorang individu untuk memperjuangkan hak-hak hidup dalam masyarakat
kontemporer (saat ini). Konsep ‗autopoetic‘ dianggap bertentangan dengan pendapat sosiolog
terdahulu, yang hanya menjelaskan teori dan konsep ilmu sosial melalui kehidupan
masyarakat secara umum yang bersifat temporal dan fungsional. Sistem autopoetic bekerja
tidak hanya memproduksi dan mengganti sendiri struktur mereka, tetapi semua yang
digunakan sebagai unit di dalam sistem diproduksi juga sebagai unit di dalam sistem itu
sendiri (Maturana, 1981).
Sistem autopoetic Luhmann bersifat sangat konstruktif, anti-humanis, dan anti-radikal.
Konstruktif berarti merekonstruksi teori-teori sosial lama dengan yang baru (sesuai
zamannya); anti-humanis berarti tidak menganggap masyarakat jika setiap individu tidak
bersuara dan berkomunikasi dengan yang lain; anti-radikal berarti memberikan kesempatan
bagi individu untuk berkomunikasi (hak suara) sebagai suatu masyarakat. Bahkan setiap
individu jika ingin dianggap ada oleh masyarakatnya, ia harus mengkomunikasikan (bersuara)
melalui saluran. Luhmann menegaskan bahwa logika setiap sistem masyarakat tumbuh dari
operasi dan sejarah sistem itu sendiri (Lee, 2000).

Komunikasi Sebagai Wujud Eksitensi Pustakawan


Pustakawan adalah profesi yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab
kepustakawanan, seperti pengadaan, pengolahan, dan pelayanan bahan pustakawa;
pengembangan sistem perpustakaan, dan pengembangan profesi bidang kepustakawanan.
Dalam melaksanakan hal tersebut, pustakawan harus mampu menjalin komunikasi dan
kerjasama yang baik dengan berbagai pihak, baik pihak internal maupun pihak eksternal. Dua
hal tersebut menjadi modal bagi pustakawan untuk menyukseskan program-program literasi
informasi perpustakaan, seperti pendidikan pemakai, publikasi dan penelitian,
kursus/pelatihan, diskusi/pertemuan ilmiah, dan layanan research corner di perpustakaan
(Nashihuddin, 2019).
Dalam konteks ini, komunikasi menjadi hal yang sangat penting bagi pustakawan untuk
meningkatkan eksistensi diri dan profesinya. Menurut Shoemaker & Stephen (1996),
komunikasi merupakan sebuah proses, kiat, dan profesi. Komunikasi mencakup beberapa
aspek, yaitu who, says what, through which channel, to whom, with what effect. Dalam
praktinya, komunikasi terdiri dari tiga komponen, yaitu komunikator, pesan, dan penerima
pesan (Hamijoyo, 2000). Mengacu pendapat tersebut, pustakawan perlu memahami cara
komunikasi ketika berhubungan dengan pihak lain, baik internal maupun eksternal. Sebagai
ilustrasi, penulis mengamati bahwa komunikasi pustakawan secara umum sudah baik, bahkan
pustakawan sudah berani mengadvokasi kegiatan kepustakawanan berbasis inklusi sosial ke
pemerintah, yakni untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Selain itu, pustakawan milenial
saat ini sudah aktif melakukan kegiatan komunikasi ilmiah untuk peningkatan status profesi
mereka dan peningkatan kualitas layanan informasi perpustakaan.
Dalam kegiatan komunikasi ilmiah, pustakawan sudah berani menjadi public figure, di
mana pustakawan sudah mampu mengelaborasikan pengetahuan dan pengalamannya
menggunakan bahasa ilmiah. Hal tersebut terlihat dari berbagai kegiatan komunikasi ilmiah,
seperti ketika pustakawan dapat berperan sebagai: pembicara/narasumber dalam kegiatan
konferensi/seminar/workshop/talkshow; pakar/ahli dalam Focuss Group Discussion (FGD);
instruktur pendidikan pemakai perpustakaan; instruktur pelatihan penerbitan/publikasi ilmiah;
dan/atau penulis artikel karya tulis ilmiah, seperti jurnal, makalah/prosiding, dan laporan
penelitian. Kegiatan komunikasi ilmiah juga dapat dilaksanakan oleh pustakawan melalui
kegiatan pengelolaan repositori, hak cipta, hak penulis, lisensi, metadata, standar dan
manajemen data, dan akses terbuka—untuk promosi atau jasa periklanan perpustakaan (Bjork,
2004).

Urgensi Komunikasi Ilmiah Bagi Pustakawan


Meskipun kegiatan komunikasi ilmiah bermula dari dunia penerbitan ilmiah (peer-
review jurnal), namun hingga kini program-program perpustakaan dan literasi informasi yang
dilakukan oleh pustakawan harus berdasarkan kajian dan dikomunikasikan secara ilmiah agar
dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. American Library Association (ALA, 2013)
mendefinisikan komunikasi ilmiah sebagai suatu sistem di mana karya penelitian dan tulisan-
tulisan ilmiah lainnya diciptakan, dievaluasi dari segi kualitas, disebarluaskan kepada
masyarakat ilmiah, dan diawetkan untuk penggunaan masa depan.
Komunikasi ilmiah merupakan proses di mana penelitian dan atau tulisan ilmiah
diciptakan, dievaluasi untuk kualitas dan disebarluaskan untuk masyarakat ilmiah (ARL,
2016). Kunci dari komunikasi ilmiah adalah bahasa ilmiah. Misalnya dalam penggunaan
bahasa ilmiah Indonesia, Suhardi (1987) mengatakan bahwa ada dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu masalah kosa kata atau istilah dan kaidah bahasa (bentuk kata, kalimat,
paragraf). Komunikasi ilmiah mengandung beberapa proses dalam penyebaran hasil-hasil
penelitian dan preservasinya melalui suatu publikasi (Mukherjee, 2009).
Ada beberapa alasan komunikasi ilmiah penting dipelajari dan dilakukan oleh
pustakawan, diantaranya bahwa komunikasi ilmiah: (1) merupakan kompetensi inti (core
competency) bidang kepustakawanan yang harus dimiliki pustakawan untuk melaksanakan
program inovasi layanan perpustakaan (Finlay, Tsou, & Sugimoto, 2015); (2) membantu
peningkatan layanan informasi dan perpustakaan sesuai perkembangan revolusi industri
(Mukherjee, 2009; Noh, 2015); (3) meningkatkan aksesibilitas informasi perpustakaan dan
dampaknya bagi pemanfaatan jurnal open access (Mukherjee, 2009); (4) mendukung
perpustakaan sebagai institusi yang ditunjuk dalam merumuskan kebijakan etik publikasi
ilmiah di lembaga akademik (Gilman, 2013); (5) menjadi kegiatan layanan utama di
perpustakaan universitas, seperti layanan penelitian, katalogisasi dan metadata, akuisisi
koleksi (Thomas, 2013); (6) menjadi bagian materi program studi ilmu perpustakaan dan
informasi (Hollister, 2017); (7) meningkatkan budaya riset di perpustakaan dan kualitas
pengelolaan data penelitian (Solimine, 2014; Schmidt & Shearer, 2016; Klain-Gabbay &
Shoham, 2016); (8) terkait penerbitan jurnal (Ibegbulam & Jacintha, 2016; Kiramang, 2017).

Sistem Autopoetic dalam Komunikasi Ilmiah Pustakawan


Dalam sistem autopoetic Niklas Luhmann ada tiga dimensi yang merepresentasikan
adanya sistem sosial, yaitu dimensi sosial, temporal, dan fungsional. Dimensi sosial
menghasilkan perbedaan antara Ego dan Alter. Dimensi temporal menghasilkan perbedaan
antara masa lalu dan masa depan. Dimensi fungsional menghasilkan perbedaan antara sistem
dan lingkungan (Lee, 2000). Berdasarkan tiga dimensi tersebut, sistem autopoetic ini
diterapkan pada kegiatan komunikasi ilmiah pustakawan (sebagai individu).
1) Komunikasi ilmiah dalam dimensi sosial
Pada dimensi sosial, sifat autopoetic pustakawan sangat tergantung pada kondisi
lingkungan sekitarnya. Masyarakat sebagai sistem sosial dan tempat pustakawan
berkomunikasi, menjadi penentu eksistensi pustakawan. Untuk mempertahankan
eksistensinya, pustakawan harus mampu mempengaruhi audien/khalayak yang menjadi
mitra komunikasi. Misalnya pustakawan harus mampu berkomunikasi melalui ceramah
atau pidato dihadapan publik. Untuk menjadi seorang penceramah dan ahli pidato,
pustakawan harus banyak membaca, belajar, dan bereksperimentasi dalam bidang
perpustakaan dan ilmu lain, agar memahami apa yang disampaikannya ke publik. Hal
tersebut tentunya perlu membutuhkan waktu yang relatif lama (evolusi). Dalam
komunikator dalam kegiatan komunikasi ilmiah, pustakawan memiliki peran sebagai
media penyebar (Verbreitungsmedien) dan media sukses (Erfolgsmedien). Sebagai media
penyebar, pustakawan harus memahami target dan kebutuhan informasi audien yang
menjadi khalayaknya. Sebagai media sukses, komunikasi ilmiah yang dilakukan
pustakawan harus mampu mempengaruhi peningkatan pengetahuan audien, khususnya
transfer pengetahuan pustakawan melalui simbol-simbol atau kode biner yang
membangun sistem di masyarakat, seperti konsep aplikatif untuk penerapan kebijakan
bidang perpustakaan yang berbasis inklusi sosial. Kode biner ini memiliki makna dari
setiap bahasa yang dikomunikasikan oleh pustakawan dan menghasilkan nilai dan bentuk
yang berbeda, misalnya: uang digunakan dalam ekonomi (pendapatan/kerugian), nilai
digunakan di sekolah (lulus/ gagal), dan kekuasaan digunakan dalam politik
(menang/kalah).
2) Komunikasi ilmiah dalam dimensi temporal
Pada dimensi temporal, pustakawan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
memahami kebutuhan informasi masyarakat yang dilayaninya. Pada dimensi ini,
pustakawan perlu melakukan intropeksi diri agar dapat beradaptasi dengan lingkungan
kerja dan sosialnya – karena pekerjaan pustakawan harus berorientasi pada kondisi
lingkungan sekitar dan kebutuhan informasi masyarakat. Dalam proses adaptasi,
pustakawan perlu aktif berkomunikasi dengan lingkungan akademik dan penelitian untuk
mempercepat proses pengumpulan dan seleksi informasi dari lingkungan sosialnya.
Setiap pesan yang disampaikan pustakawan mungkin hanya berlaku sementara
(temporal), untuk itu perlu segera update wawasan dan pengetahuan agar bisa mengatasi
isu-isu kontemporer yang sedang berkembang di masyarakat atau sistem sosial yang
semakin kompleks. Menurut Luhmann, masyarakat modern merupakan sistem
komunikasi yang kompleks yang telah mendiferensiasi dirinya sendiri ke dalam
subsistem yang saling terhubung. Dalam masyarakat modern, pustakawan dapat
mengefisienkan waktu pelayanannya melalui media komunikasi ilmiah digital, seperti
teleconference, media sosial, email, dan group massanger. Misalnya ketika di
perpustakaan, pustakawan dituntut mampu mengidentifikasi kebutuhan informasi
pengguna melalui penyediaan bahan bacaan yang lengkap, bervariasi, terbaru, dan mudah
diakses oleh masyarakat. Dalam dimensi waktu, sistem yang dibangun oleh pustakawan
akan berkembang secara perlahan hingga saatnya nanti menghasilkan struktur baru yang
berguna bagi kehidupan di masa depan.
3) Komunikasi ilmiah dalam dimensi fungsional
Dalam konsep "masyarakat ke masyarakat", cara setiap individu berkomunikasi
memberikan diferensiasi pada fungsi tatanan sosial, seperti masyarakat ekonomi,
masyarakat politik, masyarakat agama, masyarakat pendidikan, masyarakat militer, dsb.
Kemampuan pustakawan dalam melaksanakan tugas fungsional sangat tergantung pada
potensi dan kemampuannya sendiri. Dalam dimensi fungsional, kemampuan komunikasi
ilmiah mencerminkan identitas pustakawan sebagai seorang ilmuan yang profesional.
Dalam hal ini, pustakawan tidak harus mengikuti jaringan linear (satu arah) sebagaimana
jalur struktural, tetapi dapat mencoba hal-hal baru yang mendukung peningkatan karir
profesinya. Sebagai individu, pustakawan memiliki perbedaan (diferensiasi) secara
fungsional dengan pustakawan lain. Diferensiasi dalam komunikasi ilmiah menjadi
penentu eksistensi fungsional (kinerja) setiap individu pustakawan dalam lingkungan
pekerjaannya. Kinerja ini terkait dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan inividu
dalam melaksanakan tugas dan pekerjannya (bekerja), yang dapat dinilai berdasarkan
parameter tertentu. Pada jalur fungsional, kinerja pustakawan dinilai secara individual,
baik penilaian dari pimpinan perputakaan/lembaga maupun masyarakat yang telah
dilayani oleh pustakawan.

Penutup
Bagi luhmann, masyarakat terbentuk karena sistem sosial yang bersumber dari
komunikasi antar-individu. Setiap orang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem
sosial. Keberadaan setiap individu ditentukan oleh bagaimana ia berkomunikasi dalam
kelompok masyarakat. Dalam teori sistem sosial, konsep society of society is communication
Luhmann menginspirasi setiap individu untuk aktif bersuara, berkomunikasi, berdialog, dan
berpidato. Karena jika setiap individu tidak dapat berkomunikasi maka dianggap tidak ada
oleh komunitas atau masyarakatnya. Sistem autopoetic yang telah dipahami oleh pustakawan,
diharapkan dapat meningkatkan eksistensi pustakawan di masyarakat dan pemerintah, yang
dulu pustakawan hanya sebagai petugas profesional di perpustakaan maka kini menjadi public
figure yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat melalui kegiatan komunikasi ilmiah
bidang kepustakawanan. Sistem autopoetic ini akan mempermudah pustakawan untuk
membangun ―personal branding‖ di masyarakat. Diharapkan pustakawan dapat menerapkan
sistem autopoetic ini untuk keberhasilan kegiatan komunikasi ilmiah di perpustakaan dan
peningkatan popularitas pustakawan sebagai ilmuan bidang kepustakawanan di masa
mendatang.

Daftar Pustaka
ALA. (2013). Principles and Strategies for the Reform of Scholarly Communication.
American Library Association. Di http://www.ala. org/acrl/publications/whitepapers/pri
nciplesstrategies (akses 28 Desember 2019).
ARL. (2016). Scholarly Communication. Association of Research Libraries. Di
http://www.arl.org/focus-areas/scholarly-communication#.VzAYzjEkC1s (akses 27
Desember 2019).
Bjork, B. (2004). Open Access to Scientific Publications – An Analysis of The Barriers To
Change?. Information Research, 9 (2). Di http://www.informationr.net/ir/9-
2/paper170.html (akses 27 Desember 2019).
Finlay, C., Tsou, A., & Sugimoto, C. (2015). Scholarly Communication as a Core
Competency: Prevalence, Activities, and Concepts of Scholarly Communication
Librarianship as Shown Through Job Advertisements. Journal of Librarianship and
Scholarly Communication, 3 (1).
Gilman, I. (2013). Library Scholarly Communication Programs – Legal and Ethical
Considerations. Chandos Publishing.
Hamijoyo, S.S. (2000). Landasan Ilmiah Komunikasi: Sebuah Pengantar. Mediator, Vol.1
No.1.
Hollister, C. (2017). Perceptions of Scholarly Communication Among Library and
Information Studies Students. Journal of Librarianship and Scholarly Communication,
5.
Ibegbulam, I.J. & Jacintha, E.U. (2016). Factors That Contribute to Research and Publication
Output Among Librarians in Nigerian University Libraries. The Journal of Academic
Librarianship, Vol.42, Issue 1, January.
Kiramang, K.. (2017). Perkembangan Penerbitan Jurnal Open Access dalam Mendukung
Komunikasi Ilmiah dan Peranan Perpustakaan. Pustakaloka, Vol.9, No. 2, November.
Klain-Gabbay & Shoham, S.. (2016). Scholarly Communication and Academic. Librarians.
Library& Information Science Research.
Lee, D. (2000). The Society of Society: The Grand Finale of Niklas Luhmann. In Sociological
Theory 18:2 July. Washington: American Sociological Association.
Luhmann, N. (1997). Die Gesellschaft der Gesellschaft. FrankfurtamMain:Suhrkamp.
Maturana, H. (1981). Autopoiesis. In Milan Zeleny ―Autopoiesis: A Theory of Living
Organization. NewYork.
Mukherjee, B. (2009). Scholarly Communication in Library and Information Services: The
impacts of Open Access journals and E-Journals on a Changing Scenario. Chandos
Publishing.
Nashihuddin, W. 2019. Urgensi Kompetensi Komunikasi Ilmiah Pustakawan Untuk Program
Pengembangan Layanan Perpustakaan. Journal of Documentation and Information
Science (JoDIS), Vol.3 No.1, Maret.
Noh, Y. (2015). Imagining Library 4.0: Creating a Model for Future Libraries. The Journal of
Academic Librarianship. http://dx.doi.org/10.1016/j.acalib.2015.08.020.
Schmidt, B. & Shearer, K. (2016). Librarians' Competencies Profile for Research Data
Management. Di https://www.coar-repositories.org/files/Competencies-for-RDM_June-
2016.pdf. (akses 28 Desember 2019).
Shoemaker, P.J. & Stephen, R.D. (1996). Mediating the Message: Theories of Influences on
Mass Media Content. London: Longman.
Solimine, G. (2014). The Role of Libraries and Transformations in Scientific Communication.
Lett Mat Int. 1:185–189.
Suhardi. (1987). Upaya Pengembangan Bahasa Indonesia sebagai Sarana Komunikasi Ilmiah.
Cakrawala Pendidikan, No.2, Vol.VI.
Thomas, W.J. (2013). The Structure of Scholarly Communications Within Academic
Libraries. Serials Review.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai