Anda di halaman 1dari 11

HADIS MAUQUF

Makalah ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Ulumul Hadis

Oleh:
Maria Ulfah
NIM: 218410825

Dosen Pengampu:
Dr. H. Sahabudin, MA.

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
2019 M / 1440 H
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam memiliki dua sumber primer dalam perundang-undangan yakni Al-
Qur`an dan Hadis Nabi Saw. Jumhur ulama menyatakan bahwa hadis menempati urutan
yang kedua setelah Al-Qur`an. Untuk hal ini as-Suyuthi (w. 911 H) mengemukakan
argumentasi rasional diantaranya Al-Qur`an bersifat qath’I al-wurûd, sedangkan hadis
bersifat zhanni al-wurûd. Karena itu yang qath’I harus didahulukan daripada yang
dzanni. Hadis berfungsi sebagai penjabaran Al-Qur`an. Ini harus diartikan bahwa yang
menjelaskan berkedudukan setingkat di bawah yang menjelaskan.1 Ada beberapa ayat
Al-Qur`an yang menyatakan bahwa kedudukan Hadis sebagai sumber kedua setelah
Al-Qur`an dalam ajaran Islam, salah satunya ada dalam QS. An-Nisâ berikut:

....‫ول‬
َ ‫الر ُس‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬
َّ ‫َط ُيعوا‬ ِ ِ َّ
َ َ ُ ‫آمنُوا أ‬ َ ‫ين‬
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)…” (QS.
An-Nisâ [4]: 59)
Hadis sendiri pengklasifikasiannya dapat ditinjau dari beberapa aspek
diantaranya dari segi kualitasnya, kuantitasnya, diterima dan ditolaknya sebagai hujjah
serta dari segi penyandaran hadisnya (yang menyampaikan khabar). Hadis dilihat dari
segi meng’itibar kepada siapa berita itu disandarkan terbagi tiga yakni Hadis Marfu’,
Hadis Mauquf dan Hadis Maqtu.2 Dalam makalah ini, pemakalah membatasi pada
pembahasan hadis yang ditinjau dari segi penyandarannya terbatas hanya pada Hadis
Mauquf.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian Hadis Mauquf?
2. Bagaimana Contoh dari Hadis Muquf?
3. Apa yang dimaksud dengan Marfu Hukman?
4. Bagaimana berhujjah dengan Hadis Mauquf?
5. Dimana kitab-kitab yang memuat Hadis Mauquf?

1
Abuddin Nata, Al-Qur`an dan Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. 4, h. 171
2
M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009),
Cet. 2, h. 149

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADIS MAUQUF


Hadis Mauquf secara bahasa:

‫ ولم يتابع سرد باقي‬،‫الوقف " كأن الراوي وقف بالحديث عند الصحابي‬
َ " ‫اسم مفعول من‬
‫سلسلة اإلسناد‬
“Mauquf merupakan isim maf’ul dari kata al-waqfu (berhenti), seolah-olah seorang
perawi menghentikan hadits pada shahabat, dan tidak mengikutkan sisa silsilah
(rantai) sanad secara berturut-turut.”3

Sedangkan pengertian Hadis Mauquf menurut istilah diambil dari berbagai sumber
yakni:
1. Menurut Imam as-Suyuthi dalam Tadrîbu ar-Râwi menuturkan bahwa:

ِ َّ‫الصحاب ِة قَول لَهم أَو فِعل أَو نَحوه مت‬


‫صل َكا َن أَو ُمن َق ِطعا‬ ُّ ‫ف َوُه َو المرِو‬
َ َ َّ ‫ي َع ِن‬
4
ُ ُُ ُ ُ ‫اَلموقُو‬
2. Menurut Abu Mu’âzh Thâriq ibn ‘Iwadhillah ibn Muhammad dalam kitab Al-
Madkhal ila Ilm al-Hadits menuturkan bahwa:

5
َّ ‫إَِّما إِ َذا َكا َن اِن تَ َهى إِلَى أَ َح ِد‬
‫الص َحابَِة ال ِكَرِام فَ َه َذا يُ َس َّمى َموقُوفا‬
3. Menurut Mahmud Thahhan dalam kitab Taysîr Mushthalah al-Hadîs menuturkan
bahwa:

6
‫الص َحابِ ِي ِمن قَول أَو فِعل أَو تَق ِرير‬
َّ ‫لى‬
َ ‫فإ‬
ِ ‫ف هو ما أ‬
ِ َ ‫ُضي‬ َ َ ُ ُ ‫الموقُو‬
4. Menurut dalam kitab Al-Kâfî fî Ilm al-Hadîs menuturkan bahwa:
ِ ِِ ِ
َ ‫الص َحابِ ِي ِمن قَول ِه أَو فعل ِه َولَ يَ َق ُع َعلَى َغي ِر َذل‬ ِ ِ
7
‫ك‬ َ ‫ف َما أُسن َد إ‬
َّ ‫لى‬ ُ ‫َوالموقُو‬
5. Menurut dalam kitab Al-Khulashah fi Ma’rifat al-Hadits dikatakan bahwa:

3
Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîs, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2004), h. 162
4
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrîbu ar-Râwi fi Syarh Taqrîbu an-Nawâwi, (Riyadh: Maktabah al-Kautsar,
1415 H), h. 202
5
Abu Mu’âzh Thâriq ibn ‘Iwadhillah ibn Muhammad, Al-Madkhal ila Ilm al-Hadits, (Riyadh, Dar Ibnu
Affan, 2003), h. 34
6
Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîs, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2004), h. 162
7
Abu al-Hasan Ali bin Abi Muhammad Abdillah bin Hasan al-Ardabili at-Tabrizi, Al-Kâfî fî ‘Ulum al-
Hadîs, (Oman: Dar al-Âtsariyyah, 2008), h. 226

3
‫السنَد أَو ُمن َق ِطعا‬ ِ ‫ك مت‬ ِ ِ ِ ِ َّ ‫مارِوي ع ِن‬
ُ َ ‫الص َحابي من قَول أَو فعل أَو نَح ِو َذل‬
8
َّ ‫َّصل َكا َن‬ َ َ َُ
6. Menurut dalam kitab At-Tadzkirah fî Ulum al-Hadîts menuturkan bahwa:
ِ َّ‫الصحاب ِة قَول اَو فِعل اَو نَح ِوهِ مت‬
‫صل اَو ُمن َق ِطعا‬ ُّ ‫ف َوُه َو اَلمرِو‬
َ َ َّ ‫ي َع ِن‬
9
ُ ُ ‫َوالموقُو‬
Dari berbagai pengertian Hadis Mauquf secara istilah di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Hadis Mauquf adalah segala sesuatu yang disandarkan atau diriwayatkan kepada
seorang Sahabat Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrirnya, baik itu
sanadnya muttasil (bersambung sampai kepada Nabi) ataupun sanadnya munqathi’ (tidak
bersambung).

Sebagian ulama mensyaratkan muttasil sanadnya sampai kepada sahabat, tidak boleh
munqathi’. Kata mauquf kadang kala digunakan juga untuk sesuatu ysng berasal dari selain
sahabat, namun hal itu amat terbatas. Misalnya jika dikatakan “Hadis ini dimauqufkan oleh
si fulan kepada kepada az-Zuhry atau kepada Malik”, atau semacamnya. 10
Istilah yang dipakai oleh Fuqahâ’ Khurasan (ahli fiqh) dari daerah Khurasan menyebut
hadits marfu’ sebagai khabar, dan hadits mauquf sebagai atsar. Adapun Ahli Hadits
menamakan semuanya sebagai atsar, karena diambil dari kata
َ‫ت الشَّيء‬
ُ ‫أَثَر‬ ”Aku
meriwayatkan sesuatu”.

B. CONTOH HADIS MAUQUF


1. Mauquf pada perkataan
Perkataan rawi: Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib r.a:

ِ
َ ‫ أَتُِري ُدو َن أَن يُ َك َّذ‬، ‫اس بِ َما يَع ِرفُو َن‬
ُ‫ب الله َوَر ُسولُه‬ َ َّ‫َحدثُوا الن‬
“Ceritakanlah kepada manusia apa yang mereka ketahui. Apakah engkau
menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR. al-Bukhari)11
2. Mauquf pada perbuataan
Perkataan Al-Bukhari,:

‫ابن َعبَّاس َوُه َو ُمتَيَ َّم ُم‬


ُ ‫وأ ََّم‬

8
Syarfu ad-Dîn Abu Muhammad bin Muhammad bin Abdillah at-Thibi ad-Dimasyqi, Al-Khulashah fî
Ma’rifat al-Hadits, (Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyah, 2009), h. 70
9
Al-Imam al-Hafidz Umar bin Ali Ibn An-Nahwy, At-Tadzkirah fî Ulum al-Hadîts, (Oman: Dâr al-
Ummar, 1988) h. 15.
10
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadis, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2013), cet. 5, h. 349
11
Lihat Muhammad bin Ismâ’îll al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, Kitab al-Ilm, No. Bab 49. (t.t.: Dâr al-
Âlamiyah, 2015), h., 43

4
“Mengenai Ibnu Abbas, Dia tayamum” (HR. al-Bukhari)12

3. Mauquf pada taqrir

Perkataan sebagian tabi’in:

َّ ‫ت َك َذا أََم َام أَ َح ِد‬


‫الص َحابَِة َولَم يُن ِك ُر َعلَ َّي‬ ُ ‫فَ َعل‬
“Aku telah melakukan demikian di depan salah seorang shahabat, dan beliau tidak
mengingkariku sedikitpun”.13

C. HADIS MAUQUF YANG DIHUKUMI MARFU’


Hadis yang demikian ini memiliki beberapa bentuk sebagaimana dijelaskan para
ulama sebagai berikut.
a. Kandungan hadisnya tidak termasuk hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad dan qiyas.
Hadis yang demikian dihukumi sebagai hadis marfu. Seperti masalah ketentuan
waktu, ketentuan-ketentuan syariat, keadaan akhirat, kisah-kisah umat terdahulu dan
sebagainya yang dijelaskan oleh para sahabat dan tidak bersumber dari ahli kitab,
karena hal-hal yang demikian tentunya diriwayatkan dari sumber syariat.
Diantarannya adalah tafsir yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat, karena
tafsir yang demikian itu berasal dari sahabat yang hidup pada waktu turunnya wahyu
dan menyaksikannya, lain halnya tafsir yang bersumber dari keterangan sahabat yang
termasuk lapangan ijtihad.14
Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H) berkata, “Adapun tafsir sahabat yang kami
sebut sebagai musnad adalah tafsir sahabat yang tidak termasuk lapangan ijtihad.
Contohnya adalah “Diceritakan kepada kami oleh Abu Abdillah Muhammad
bin Muhammad bin Abdillah al-Shighar, katanya: Meriwayatkan hadis kepada kami
Isma’il bin Ishaq al-Qadli, katanya: meriwayatkan hadis kepada kami Isma’il bin Abi
Uwais, katanya: meriwayatkan hadis kepadaku Malik bin Anas dari Muhammad bin al-
Munkadir dari Jabir, ia berkata: Semula orang Yahudi berkata, Barangsiapa mendatangi

12
Lihat Muhammad bin Ismâ’îll al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, Kitab at-Tayammum, Bab ash-Sha’îd
at-Thayyib wa Wudhû al-Muslim, h. 71
13
Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîs, h. 163
14
Abu Mu’âzh Thâriq ibn ‘Iwadhillah ibn Muhammad, Al-Madkhal ila Ilm al-Hadits, h. 37

5
istrinya dari arah belakang pada qubul-nya, maka anaknya akan lahir dalam keadaan
juling.” Maka Allah Swt. menurunkan ayat:15

ٌ ‫نِ َساءُ ُكم َحر‬


‫ث لَ ُكم‬
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam. (QS.
Al-Baqarah [2]: 223)

Al-Hakim berkata, “Hadis ini dan hadis-hadis yang serupa bersanad lengkap
ujungnya tetapi tidak Marfu kepada Nabi, karena sahabatlah yang menyaksikan turunya
wahyu lalu meriwayatkan suatu ayat Al-Qur`an seraya di jelaskan bahwa ayat yang
bersangkutan turun tentang anu dan anu. Jadi hadisnya berstatus musnad, demikian
keterangan Al-Hakim. Yang dikehendaki dengan istilah hadis musnad oleh Al-Hakim
adalah hadis Marfu’.16
b. Tindakan atau ucapan para sahabat yang diceritakan oleh seorang sahabat itu
disandarkan kepada masa lampau, seperti mereka berkata: Sejak semula kami berbuat
anu atau berkata anu.
Ada dua hal yang perlu diungkapkan sehubungan dengan bentuk kedua ini.
Pertama, ungkapan yang tidak disandarkan kepada masa Nabi Saw. Kedua, ungkapan
yang disandarkan kepada ucapan atau perbuatan pada masa Nabi Saw. sementara itu,
ungkapan yang mutlak tidak menyandarkan ucapan atau perbuatan kepada masa Nabi
diperselisihkan ulama.
Al-Iraqi, al-Hafidz Ibnu Hajar dan as-Suyuthi berpendapat bahwa ungkapan
yang mutlak itu menunjukkan bahwa hadis yang bersangkukan itu marfu. Pendapat ini
dipilih oleh al-Nawawi, ar-Razi, al-Amidi dan para ahli ushul. Ibnu Shalah berpendapat
bahwa hadis yang bersangkutan adalah mauquf dan bukan marfu.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama karena yang tampak dari
ucapan seorang sahabat “Sejak semula kami berbuat anu” adalah bahwa ia
menceritakan masalah syara apabila hal itu merupakan kebiasaan mereka. Ini adalah
ungkapan umum, sehingga dapat dipastikan bahwa ungkapan itu diucapkan setelah
adanya izin dari penentu syara.
Adapun ungkapan kedua yang menyandarkan Hadis Mauquf kepada masa Nabi
Saw menurut jumhur ulama menunjukkan bahwa hadis yang bersangkutan itu Marfu,
karena besar kemungkinan Rasulullah Saw. mengetahui hal itu dan menetapkannya,

15
Lihat Muhammad bin Ismâ’îll al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, Kitab Tafsîr Al-Qur’an, Bab Nisâukum
Hartsu lakum, no. Hadis 4528, h. 655
16
Nuruddin ‘Itr, Al-Manhaj an-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadits, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979), h. 329

6
mengingat betapa besar antusias para sahabat untuk menanyakan urusan agama mereka
kepada Rasulullah Saw. dan ketetapan Rasulullah Saw., itu adalah salah satu bentuk
Sunnah yang Marfu.17
Salah satu contohnya adalah hadis Jabir, ia berkata,

‫ُكنا نَع ِزُل َعلَى َعه ِد َر ُسوِل الله‬


“Dahulu kami sering melakukan ‘azl dan pada saat yang sama Al-Qur’an
masih turun.” (HR. al-Bukhari)18

c. Sahabat mengungkapkan hadisnya dengan kata-kata yang menunjukkan marfu’


Seperti mereka berkata “Kami diperintahka untuk anu, kami dilarang
melakukan anu, diantara yang termasuk sunnah adalah anu dan sebagainya.” Semuanya
menunjukkan bahwa hadis yang bersangkutan adalah marfu menurut pendapat yang
sahih yang dikemukakan jumhur, karena kemutlakan ungkapan itu secara lahiriah
berpangkat pada orang yang berwenang memberi perintah dan larangan yakni
Rasulullah Saw. 19
Di antara contoh hadisnya adalah hadis Anas bin Malik r.a. ia berkata:
ِ ‫أ ُِمر َن بِلَ ٌل أَن يش َفع الَ َذا َن وي وتِر‬
َ‫القَ َامة‬ َ َُ َ َ
“Bilal diperintahkan untuk menggenapkan azan dan mengganjilkan
qomat”.(HR. Al-Bukhari)20

d. Penyampaian hadis oleh sahabat disertai ungkapan yang menunjukkan marfu, seperti
kata “yarfa’uhu”, “yanmihi” yablaghu bihi”, “riwayatan”. Kata-kata ini dan
sejenisnya menunjukkan bahwa hadis yang bersangkutan marfu menurut ahli hadis. 21
Di antaranya adalah hadis at-Turmudzi dari Abu Hurairah dan dianggap marfu,
ia berkata: 22

ِ ِ
ُ ‫س ال َكاف ِر مث ُل أ‬
‫ُحد‬ ُ ‫ضر‬
َ
“Gigi geraham orang kafir itu seperti Gunung Uhud”
Seperti hadis al-A’raj dari Abu Hurairah suatu riwayat (riwayatan):

17
Nuruddin ‘Itr, Al-Manhaj an-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadits, h. 330
18
Lihat Muhammad bin Ismâ’îll al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, Kitab an-Nikâh, Bab al-‘Azl, no. 5207,
h. 784
19
Sayyid Abdul Majid al-Ghauri, Mu’jam al-Musthalahatu al-Haditsiyah, (Beirut: Dar Ibnu Katsir,
2007), h. 700. Lihat juga, Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîs, h. 165.
20
Lihat Muhammad bin Ismâ’îll al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, Kitab al-‘Azan, no. 607, h. 107
21
Abu Mu’âzh Thâriq ibn ‘Iwadhillah ibn Muhammad, Al-Madkhal ila Ilm al-Hadits, h. 37
22
Nuruddin ‘Itr, Al-Manhaj an-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadits, h. 331

7
‫تُ َقاتِلُو َن قَوما ِصغَ َار الَعيُ ِن‬
“Kalian akan memerangi suatu kaum yang matanya sipit.”(HR. al-Bukhari)23

D. BERHUJJAH DENGAN HADIS MAUQUF


Terdapat gambaran mengenai hadits mauquf, baik pada lafadh maupun bentuknya.
Akan tetapi penelitian cermat yang dilakukan terhadap hakikatnya (oleh para ulama hadits)
menunjukkan bahwa hadits mauquf tersebut mempunyai makna hadits marfu’. Oleh karena
itu, para ulama memutlakkan hadits semacam itu dengan nama marfu’ hukman (marfu’
secara hukum); yaitu bahwasannya hadits tersebut secara lafadh memang mauquf, namun
secara hukum adalah marfu’.
Para Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya berhujjah dengan hadis mauquf,
yang dipastikan keberadaannya dari sahabat dalam menetapkan hukum-hukum syara’.
Al-Razi. Fakhrul Islam al-Sarkhasi dan ulama muta’akhkhirin riwayatnya dari
kalangan Hanafiyah, Malik dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa
hadis yang demikian dapat dipakai hujjah, karena tindakan para sahabat merupakan
pengalaman terhadap Sunah dan penyampaian syariat.
Sebagian ulama Hanafiah dan al-Syafi’I berpendapat bahwa hadis yang demikian
tidak dapat dipakai hujjah karena boleh jadi pendapat sahabat itu merupakan hasil ijtihad
mereka sendiri dan boleh jadi memang didengar dari Nabi Saw.
Apabila suatu hadis mauquf disertai beberapa qarinah, baik lafalnya maupun
maknanya yang menunjukkan bahwa hadis tersebut marfu kepada Nabi Saw maka ia
dihukumi marfu dan dipakai hujjah.24
Pendapat senada juga dituturkan oleh Manna al-Qaththan dalam kitabnya bahwa
Hadis Mauquf sebagaimana yang telah diketahui bisa shahih, hasan, atau dla’if. Akan
tetapi, meskipun telah tetap keshahihannya, apakah dapat berhujjah dengannya? Jawaban
atas hal tersebut adalah bahwasannya asal dari hadits mauquf adalah tidak bisa dipakai
sebagai hujjah.25 Hal itu disebabkan karena hadis mauquf hanyalah merupakan perkataan
atau perbuatan dari shahabat saja. Namun jika hadits tersebut telah tetap, maka hal itu bisa
memperkuat sebagian hadits dla’if. Sebagaimana telah dibahas pada hadits mursal karena

23
Lihat Muhammad bin Ismâ’îll al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri, Kitab al-Jihad wa as-Siyari,no. 2929, h.
431. Lihat Juga, Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîs, h. 165
24
Nuruddin ‘Itr, Al-Manhaj an-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadits, h. 328 Lihat Juga M. Hasbi ash-Shiddieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. 2, h. 152
25
Manna al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Hadist, (t.t. Maktabah Wahbah, 1996), h. 157

8
yang dilakukan oleh shahabat adalah amalan sunnah. Ini jika tidak termasuk hadis mauquf
yang dihukumi marfu’ (marfu’ hukman). Adapun jika hadis mauquf tersebut dihukumi
marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah sebagaimana hadis marfu’.26

E. KITAB-KITAB YANG MEMUAT HADIS MAUQUF


Diantara sumber hadis mauquf adalah kitab-kitab mushannaf karena kitab kitab
mushannaf itu menghimpun semua hadis tentang masalah yang sama. Di antara kitab
mushannaf yang paling penting adalah:
1. Mushannaf Abdurrazzaq bin Hammam al-Shan’ani (w. 211 H)
2. Mushannnaf Abu Bakar bin Abi Syaibah (w. 235 H)
3. Tafsir bil ma’tsur seperti Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Ibnu Abi Hatim dan
Ibnu al-Mundzir.27 karena kitab ini menggunakan pendapat sahabat dan juga tabiin.

26
Mahmud Thahhan, Taysîr Mushthalah al-Hadîs, h. 166
27
Manna al-Qaththan, Mabâhis fî Ulûm al-Hadist, h. 158

9
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hadis Mauquf adalah segala sesuatu yang disandarkan atau diriwayatkan
kepada seorang Sahabat Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir,
baik itu sanadnya muttasil (bersambung sampai kepada Nabi) ataupun sanadnya
munqathi’ (tidak bersambung).
Hadis mauquf dihukumi marfu apabila kandungan hadisnya tidak termasuk hal-
hal yang berkaitan dengan ijtihad dan qiyas (menceritakan masalah ketentuan waktu,
ketentuan-ketentuan syariat, keadaan akhirat, kisah-kisah umat terdahulu), Tindakan
atau ucapan para sahabat yang diceritakan oleh seorang sahabat itu disandarkan kepada
masa lampau, sahabat mengungkapkan hadisnya dengan kata-kata yang menunjukkan
marfu’, penyampaian hadis oleh sahabat disertai ungkapan yang menunjukkan marfu,
seperti kata “yarfa’uhu”, “yanmihi” yablaghu bihi”, “riwayatan”. Kata-kata ini dan
sejenisnya menunjukkan bahwa hadis yang bersangkutan marfu menurut ahli hadis.
Hadis Mauquf sebagaimana yang telah diketahui bisa shahih, hasan, atau dla’if.
Akan tetapi, meskipun telah tetap keshahihannya, apakah dapat berhujjah dengan hadis
mauquf. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasannya asal dari hadits mauquf
adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Hal itu disebabkan karena hadis mauquf
hanyalah merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja. Namun, adapun jika
hadis mauquf tersebut dihukumi marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah
sebagaimana hadis marfu’

10
DAFTAR PUSTAKA

al-Bukhâri, Muhammad bin Ismâ’îll., Shahih al-Bukhâri, t.t.: Dâr al-Âlamiyah, 2015.
ad-Dimasyqi, Syarfu ad-Dîn Abu Muhammad bin Muhammad bin Abdillah at-Thibi. Al-
Khulashah fî Ma’rifat al-Hadits, Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyah, 2009.

al-Ghauri, Sayyid Abdul Majid. Mu’jam al-Musthalahatu al-Haditsiyah, Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 2007.

‘Itr, Nuruddin. Al-Manhaj an-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadits, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1979.

al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-Hadis, terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.

Muhammad, Abu Mu’âzh Thâriq ibn ‘Iwadhillah ibn. Al-Madkhal ila Ilm al-Hadits, Riyadh,
Dar Ibnu Affan, 2003.

An-Nahwy, Al-Imam al-Hafidz Umar bin Ali Ibn., At-Tadzkirah fî Ulum al-Hadîts, Oman: Dâr
al-Ummar, 1988.

Nata, Abuddin, Al-Qur`an dan Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

al-Qaththan, Manna. Mabâhis fî Ulûm al-Hadist, t.t. Maktabah Wahbah, 1996.

ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2009.

as-Suyuthi, Jalaluddin. Tadrîbu ar-Râwi fi Syarh Taqrîbu an-Nawâwi, Riyadh: Maktabah al-
Kautsar, 1415 H.

at-Tabrizi, Abu al-Hasan Ali bin Abi Muhammad Abdillah bin Hasan al-Ardabili., Al-Kâfî fî
‘Ulum al-Hadîs, Oman: Dar al-Âtsariyyah, 2008.

Thahhan, Mahmud. Taysîr Mushthalah al-Hadîs, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2004.

11

Anda mungkin juga menyukai