Anda di halaman 1dari 11

Teori dan Pendekatan Konseling Gestalt

PAPER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori dan Pendekatan Konseling

Dosen Pengampu :
Mulawarman. S.Pd., M.Pd., Ph.D.
Eni Rindi Antika. M.Pd.

Disusun Oleh :
Amanda Ayuningtias 1301421026
Niswatul Birra 1301421028
Muhammad Akbar Hidayat 1301421058
Salma Nurul Baidho 1301421060
Rizky Dwi Andini 1301421086
Najwa Husniyatin Nadhiroh 1301421090

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
1. Latar Belakang Teori Gestalt
Pendekatan gestalt merupakan terapi yang termasuk dalam terapi
phenomenological existential yang digagas oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada
tahun 1940 an. Pendekatan gestalt mengajarkan konselor dan konseli metode kesadaran
fenomenologi, ialah bagaimana individu memahami, merasakan, dan bertindak serta
membedakannya dengan interpretasi terhadap suatu kejadian dan pengalaman masa lalu.
Alasan dan interpretasi ini dianggap sebagai sesuatu yang kurang reliabel dibandingkan
hal yang diterima dan dirasakan oleh individu. Pendekatan ini berfokus pada proses (what
is happening) dari pada isi ( what is being discussed). Penekanan pada teori ini pada apa
yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan pada apa yang sudah, yang mungkin, dan harus
yang dilakukan, dipikirkan, serta dirasakan. Yotnef dalam (Komalasari, Wahyuni &
Kasih, 2011)

Menurut Corey & Yotnef dalam (Komalasari, Wahyuni & Kasih, 2011) Sejarah
pendekatan gestalt diawali sejak tahun 1926 ketika perls mendapatkan gelar Medical
Doctor (M.D.) dan pergi ke Frankfurt- am-Main serta menjadi asisten Kurt Goldstein di
the institute for Brain Damaged Soldiers. Disini lah Perls bekerja sama dengan Professors
Goldstein dan Adhemar Gelb serta ia bertemu dengan calon istrinya, Laura. Pada waktu
itu Frankfrut-am-main merupakan pusat pergolakan intelektual dan Perls secara langsung
dan tidak langsung terekspos dengan pengaruh filsafat eksistensial dan psikoanalisis yang
menjadi akar pemikirannya dalam mengembangkan pendekatan gestalt.

2. Pendiri/Pengembang Utama
Terdapat 4 tokoh dalam pendiri teori Gestalt
1) Max Wertheimer (1880-1943)
Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah ia melakukan
eksperimen dengan menggunakan alat bernama stroboskop (benda berbentuk
kotak yang diberi alat untuk melihat ke dalam kotak). Kotak tersebut terdapat dua
buah garis yang satu melintang dan yang satu tegak, kedua gambar tersebut
diperlihatkan secara bergantian. Pada tahun 1923, Wertheimer menemukan
hukum Gestalt dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”,
diantaranya:
a. Hukum kedekatan (Law of Proximity)
Unsur yang saling berdekatan dalam bidang pengamatan yang akan
dipandang sebagai bentuk tertentu
b. Hukum ketertutupan (Law of Closure)
Orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola objek atau
pengamatan yang tidak lengkap
c. Hukum kesamaan (Law of Equivalence)
Sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu
objek yang saling memiliki.

2) Kurt Koffa (1886-1941)


Sumbangan Koffa kepada psikologi ialah penyajian yang sistematis dan
pengalaman dari prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, mulai
dari persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi
sosial. Pada teori Koffa tentang belajar didasarkan pada anggapan bahwa belajar
dapat diterangkan pada prinsip-prinsip Gestalt, yakni:
a. Jejak ingatan (memory traces) merupakan suatu pengalaman yang
membekas di otak
b. Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan
c. Latihan terus menerus akan memperkuat jejak ingatan

3) Wolfgang Kohler (1887-1967)


Gestalt berpendapat apabila terdapat ketidakseimbangan kognitif akan mendorong
organisme menuju ke arah keseimbangan. Dalam eksperimennya Kohler
menyimpulkan bahwa dalam memperoleh pemecahan masalah yang dihadapinya
diperoleh dengan insight. Jadi organisme ini mulai melihat solusi setelah
memikirkan masalah dan menempatkannya bersama dalam satu cara, ke cara-cara
lainnya sampai masalah terpecahkan. Kemudian, ketika solusi muncul, organisme
ini mendapatkan wawasan atau insight tentang solusi masalah.

4) Kurt Lewin (1890-1947)


Konsep utama Lewin ialah Life Space (Lapangan Psikologis), dikatakan sebagai
tempat individu berada dan bergerak. Lapangan Psikologis ini terdiri dari fakta
dan obyek psikologis yang menentukan perilaku individu, fakta psikologis
tersebut adalah segala sesuatu yang disadari manusia seperti rasa lapar, dan
ingatan masa lalu.

3. Konsep Dasar Model/Pendekatan


Kata Gestalt berasal dari bahasa jerman yang merupakan kata benda. Gestalt
sendiri berarti bentuk atau wujud. Konsep dasar dari teori dan pendekatan konseling
Gestalt yaitu manusia tidak memberikan tanggapan pada berbagai hal secara sendiri,
melainkan dengan menjadikan asumsi tersebut menjadi asumsi yang bermakna. Atau
dengan kata lain, konsep dasar dari teori pendekatan Gestalt ini mengacu pada kesadaran
seseorang yang sasaran utamanya adalah pencapaian kesadaran.
Pada masa sekarang, teori pendekatan Gestalt dapat dikaitkan dengan perjalanan
hidup manusia. Dalam pendekatan ini, melihat bahwa tidak ada yang “ada” kecuali
“sekarang”, atau dengan kata lain masa lalu yang telah pergi biarlah menjadi hal yang
lalu, dan masa depan yang belum dijalani disebut masa depan. Maka dari itu jika manusia
mempunyai permasalahan jangan lah lihat pada masa lalu yang sudah berlalu, atau masa
depan yang belum terjadi, tetapi selesaikanlah pada masa sekarang yang sedang dijalani.
Itulah mengapa teori pendekatan ini memfokuskan konselor untuk bertanya “apa” dan
“bagaimana” pada konseli saat proses konseling. Bukan malah bertanya terkait
“mengapa” dan “apa”.

4. Asumsi Pribadi Sehat dan Bermasalah


Dalam teori pendekatan Gestalt dapat diketahui bahwa terdapat asumsi pribadi
sehat dan bermasalah. Dalam teori ini, pribadi dapat dikatakan sehat ialah ketika dalam
proses pertumbuhan dan bagaimana individu tersebut dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Individu dengan pribadi yang sehat, tentunya akan dapat lebih
mudah mengolah self (apa yang diinginkan) dari pada self image (apa yang seharusnya
terjadi), atau dengan kata lain individu tersebut akan membuat standar dirinya,
berdasarkan siapa dirinya, dibandingkan harus menggunakan standar eksternal untuk
mengatur tingkah lakunya.
Hal tersebut, tentunya individu berhasil membentuk dirinya dengan cara
mengasimilasikan dirinya dengan hal-hal baru dari lingkungannya yang diperlukan
dirinya dan dapat menolak hal-hal yang tidak diperlukan oleh dirinya. Individu yang
sehat, dalam perkembangannya individu tersebut dapat memperoleh kesempatan belajar
mengelola emosi atau bahkan menghadapi frustasi.
Maka dari itu individu yang sehat dapat mengatur dirinya dan tingkah lakunya.
individu tersebut dapat mempercayai dirinya, dan bertanggung jawab atas tingkah
lakunya. secara fungsional hal tersebut merupakan merupakan salah satu dukungan diri,
yang tentunya melibatkan keyakinan pada kemampuan dirinya untuk menghadapi
lingkungannya secara efektif dan menerima tanggung jawab atas tingkah laku dan
perbuatannya.
Individu bermasalah, memiliki arti bahwa individu tersebut terganggu atau dapat
dikatakan tidak ada keseimbangan antara apa yang seharusnya terjadi (self image) dan
apa yang diinginkan (self). Sehingga karena adanya kedua perbedaan dalam diri individu
tersebut maka dapat menghambat individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
untuk tumbuh, berkembang, dan juga beraktualisasi. Tentunya ada faktor yang
melatarbelakangi terjadinya permasalahan pada individu, diantaranya:
1. Ketidakmampuan seorang individu dalam mengintegrasikan pikiran, perasaan,
dan juga tingkah lakunya karena adanya kesenjangan antara masa sekarang dan
masa yang akan datang.
2. Terjadi pertentangan antara “top dog” dan juga “under dog”. Top dog merupakan
kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Sedangkan Under dog
merupakan keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin
dimaklumi.
3. Melarikan diri dari masalah yang harus dihadapi
4. Terjadi pertentangan antara keadaan sosial dan biologis
Sedangkan Spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi:
1. kepribadian kaku (rigid)
2. tidak mau bebas-bertanggung jawab,
3. ingin tetap tergantung,
4. Menolak berhubungan dengan lingkungan
5. Memelihara Unfinished business
6. menolak kebutuhan diri sendiri
7. melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih”.

5. Hakikat dan Tujuan Konseling


Menurut Kholifah. (2016) Tujuan dari pendekatan konseling Gestalt adalah
membantu orang yang dibimbing menemukan pusatnya sendiri, memperoleh kesadaran,
dan membantu orang yang dibimbing dengan berani menghadapi berbagai tantangan
ketika menghadapi kenyataan sehingga konseli dapat tumbuh menghadapi kenyataan dan
mengembangkan potensi manusia.
Adapun untuk tujuan yang lebih spesifiknya adalah sebagai berikut:
a. Membantu konseli untuk memperoleh kesadaran dirinya dan paham
terhadap kenyataan.
b. Membantu konseli ke arah pencapaian integritas kepribadian.
c. Menghilangkan kondisi ketergantungan terhadap orang lain yang ada pada
diri konseli.
d. Membantu meningkatkan tingkat kesadaran konseli agar dapat berperilaku
sesuai prinsip Gestalt yaitu semua masalah yang muncul selalu dapat
diatasi.
6. Peran dan Fungsi Konselor
Perlu di garis bawahi bahwa fokus dari pendekatan gestalt ini sendiri yakni
sebagaimana Kholifah (2016) mengatakan bahwa fokus pendekatan tersebut terletak
bagaimana kondisi konseli pada saat ini dan bagaimana hambatan hambatan yang muncul
didalam kesadarannya.
Maka hal tersebut konselor berperan untuk :
a. Mendorong konseli menyadarkan tentang apa yang dialaminya di
kenyataan dan mendorong untuk mencoba menghadapinya.
b. Konselor perlu mengarahkan tujuan sejak awal agar bertujuan konseli itu
sendiri menjadi matang kognitifnya dan mampu menghadapi hambatan
hambatannya.
Tentunya dalam konteks ini salah satu fungsi konselor yakni membantu konseli
melakukan perubahan pergantian atas ketergantungannya pada faktor eksternal yang
mana dalam hal ini timbulnya rasa percaya pada diri sendiri. Usaha dilakukan dengan
menemukan celah dari kebuntuan konseli itu sendiri.
Kholifah. (2016) menambahkan bahwa :
a) Pendekatan Gestalt menekankan kepada konseli dengan tanggung
jawabnya dan konselor akan membantu namun tidak akan bisa mengubah
konseli dan konseli ditekankan untuk berani mengambil langkah tanggung
jawab dengan tingkah lakunya.
b) Pendekatan Gestalt orientasinya pada masa kini, sekarang dan disini.
Dimana dimaksudkan bahwa masa lalu tidaklah penting dan fokusnya
adalah keadaan sekarang.
c) Pendekatan Gestalt orientasinya adalah eksperiensial.
Dimana dimaksudkan bahwa konseli secara sadar meningkatkan
kesadarannya akan diri sendiri dan masalah masalahnya.

7. Hubungan terapeutik
Pendekatan gestalt ini di tekankan konselor untuk tidak bertujuan mengubah klien
mereka. Dan peran konselor disini juga gun membantu klien dalam mengembangkan pola
kesadaran diri mereka untuk memperbaiki masalah yang mempengaruhi hidup nya.
Konselor juga bertugas untuk mengajak klien ke dalam kemitraan aktif dimana mereka
dapat belajar tentang diri mereka sendiri dengan mengadopsi sikap pengalaman terhadap
kehidupan dimana mereka mencoba perilaku baru dan memperlihatkan apa yang terjadi
(corey, 2009).
Sesi terapi gestalt tidak mengikuti pedoman khusus, pada kenyataannya, konselor
konteks dan kepribadian masing-masing klien, pengalaman langsung dan eksperimen,
dan fokus pada “apa dan bagaimana”. Apa yang dilakukan klien dan bagaimana dia
melakukannya, serta “disini dan sekarang”. Bersama-sama , konselor dan klien akan
mengevaluasi apa yang terjadi sekarang dan apa yang dibutuhkan sebagai hasilnya.
Konselor menahan diri dari menafsirkan peristiwa, dengan fokus hanya pada yang halus,
misalnya, dapat membawa seseorang ke masa kini.
Dengan cara ini, terapi gestalt emosional dan fisik mereka terhubung. Memahami
diri internal adalah kunci untuk memahami tindakan, reaksi dan perilaku. Terapi gestalt
membantu orang mengambil langkah pertama menuju kesadaran ini sehingga mereka
dapat mengenali dan menerima pola–pola ini (B. Bowins, 2021; Zahm & Gold, 2002,
2004).

8. Tahap-Tahap konseling
Proses konseling gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap- tiap
tahap memiliki prioritas dan tujuan tertentu yang membantu konselor dalam
mengorganisasikan proses konseling.
Tahap - tahap tersebut yaitu :
1. Tahap pertama
Konselor menggunakan metode fenomenologi untuk meningkatkan kesadaran
konseli, menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian konseli secara
sehat dan menstimulasi konseli untuk mengembangkan dukungan pribadi dan
lingkungannya.
2. Tahap kedua (clearing the groud)
Pada tahap ini proses konseling berlanjut pada strategi-strategi yang lebih
spesifik. Peran konselor adalah secara berkelanjutan mendorong dan
memangkitkan keberanian konseli mengungkapkan ekspresi pengalaman dan
emosi-emosinya dalam rangka katarsis dan menawarkan konseli untuk melakukan
berbagai eksperimentasi untuk meningkatkan kesadarannya, tanggung jawab
pribadi, dan memahami unfinished business.
3. Tahap ketiga (the existential encounter)
Ada tahap ini ditandai dengan aktivitas yang dilakukan konseli dengan
mengeksplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat perubahan-perubahan
yang cukup signifikan. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahap ini
konseli menghadapi kecemasan-kecemasan nya sendiri, ketidakpastian, dan
ketakutan-ketakutan yang selama ini terpendam dalam diri. Pada fase ini konselor
memberikan dukungan dan motivasi berusaha memberikan keyakinan ketika
konseli cemas dan ragu-ragu menghadapi masalahnya.
4. Tahap Keempat (integration)
Pada tahap ini konseli sudah mulai dapat mengatasi krisis-krisis yang
dieksplorasi sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri,
pengalaman dan emosi-emosinya dalam perspektif yang baru.
5. Tahap Kelima (ending)
Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa
supervisi konselor.

9. Teknik-teknik Spesifik Konseling


1. Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan
dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan
kecenderungan under dog, misalnya :
(a) Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak
(b) Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh
(c) Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”
kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung
(d) Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada
akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani
mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan
menggunakan teknik “kursi kosong”.

2. Latihan Saya Bertanggung Jawab


Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar
mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan
perasaannya itu kepada orang lain. Dalam teknik ini konselor meminta klien
untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam
pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Misalnya : “Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya
bertanggung jawab ketidaktahuan itu”. “Saya malas, dan saya bertanggung jawab
atas kemalasan itu”. Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan
membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin
selama ini diingkarinya.

3. Bermain Proyeksi
Proyeksi artinya memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang
dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari
perasaanperasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain. Sering
terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut
yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien
untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.

4. Teknik Pembalikan
Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering kali mempresentasikan
pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini
konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan
perasaan-perasaan yang dikeluhkannya. Misalnya : konselor memberi kesempatan
kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang
berlebihan.

5. Tetap dengan Perasaan


Teknik dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau
suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya.
Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin
dihindarinya itu. Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang
menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan.
Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan
ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong
klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin
dihindarinya itu. Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan
kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan
menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan
keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin
dihindarinya itu.
KESIMPULAN

Pendekatan gestalt merupakan terapi yang termasuk dalam terapi


phenomenological existential yang digagas oleh Frederick (Fritz) and Laura Perls pada
tahun 1940 an. Pendiri teori Gestalt: Max Wertheimer, Kurt Koffa, Wolfgang Kohler, dan
Kurt Lewin. Dalam teori ini, pribadi dapat dikatakan sehat ialah ketika dalam proses
pertumbuhan dan bagaimana individu tersebut dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Tujuan dari pendekatan konseling Gestalt adalah membantu
orang yang dibimbing menemukan pusatnya sendiri, memperoleh kesadaran, dan
membantu orang yang dibimbing dengan berani menghadapi berbagai tantangan. Fungsi
konselor yakni membantu konseli melakukan perubahan pergantian atas
ketergantungannya pada faktor eksternal. Teori pendekatan ini memfokuskan konselor
untuk bertanya “apa” dan “bagaimana” . Proses konseling gestalt terjadi dalam tahapan
tertentu yang fleksibel. Adapun teknik-teknik spesifiksinya terdiri dari: permainan dialog,
latihan saya bertanggung jawab, bermain proyeksi, teknik pembalikan, dan tetap dengan
perasaan.
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, (Bandung: Refika Aditama, 2013)
Mashudi, Fardi, Psikologi Konseling, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012)

Kholifah. 2016. TEORI KONSELING (SUATU PENDEKATAN KONSELING GESTALT).


Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, 109-123.
Komalasari, Gantina, Eka Wahyuni, & Karsih. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta:Indeks

Bukhari Ahmad 2021. Pendekatan Gestalt : Konsep dan Aplikasi dalam Proses Konseling.
Indonesian Journal of Counseling and Education, Vol. 1, No. 2, 2020, Hal. 44 - 56.

Anda mungkin juga menyukai