Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat dan nikmat
iman sehingga kami masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umat manusia dari zaman kegelapan menuju ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Studi
Islam. Di samping itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nur Hidayah, PhD selaku
dosen pengampu mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan serta semua pihak yang telah
memberi bantuan untuk menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Maka dari itu kami meminta maaf sebesar-besarnya jika ada kesalahan dalam
penulisan makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan
umumnya untuk pembaca. Sekian dan terima kasih.

Ciputat, September 2018

(Tim Penyusun)

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................


1............................................................................................................................

Daftar Isi......................................................................................................................................
....................................................................................................................................................2

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................


........................................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah............................................................................................................
........................................................................................................................................4
C. Pembatasan Masalah........................................................................................................
........................................................................................................................................4
D. Tujuan Penulisan Makalah...............................................................................................
........................................................................................................................................4
E. Manfaat Penulisan Makalah.............................................................................................
........................................................................................................................................5
F. Metode Penulisan Makalah..............................................................................................
........................................................................................................................................5
G. Sistematika Penulisan Makalah.......................................................................................
........................................................................................................................................5

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Islam..............................................................................


........................................................................................................................................6
B. Cabang-Cabang Utama Filsafat ......................................................................................
........................................................................................................................................7
C. Ontologi...........................................................................................................................
........................................................................................................................................7
D. Epistemologi....................................................................................................................
........................................................................................................................................9

2
E. Aksiologi..........................................................................................................................
......................................................................................................................................15

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................................16
B. Saran...............................................................................................................................
....................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
................................................................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah filsafat tidak selalu lurus terkadang berbelok kembali ke belakang, sedangkan
sejarah ilmu selalu maju. Dalam sejarah pengetahuan manusia, filsafat dan ilmu selalu
berjalan beriringan dan saling berkaitan. Filsafat dan ilmu mempunyai titik singgung dalam
mencari kebenaran. Ilmu bertugas melukiskan dan filsafat bertugas menafsirkan fenomena
semesta, kebenaran berada disepanjang pemikiran, sedangkan kebenaran ilmu berada
disepanjang pengalaman.

Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk
membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan
yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang terjun dalam dunia
pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai
tujuan. Tujuan berfilsafat yaitu menemukan kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat.

Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu;
epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh
pengetahuan, ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang
melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang guna
pengetahuan. Mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat
yang begitu luas ruang lingkup dan pembahasannya.

Ilmu pengetahuan sebagai produk kegiatan berpikir yang merupakan obor peradaban
dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup lebih sempurna. Bagaimana
masalah dalam benak pemikiran manusia telah mendorong untuk berfikir, bertanya, lalu
mencari jawaban segala sesuatu yang ada, dan akhirnya manusia adalah makhluk pencari
kebenaran. Pada hakikatnya aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan yang didasarkan pada
tiga masalah pokok, yakni: apakah yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh
pengetahuan dan apakah nilai pengetahuan tersebut. Kelihatannya pertanyaan tersebut sangat

4
sederhana, namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Maka untuk menjawabnya
diperlukan sistem berpikir secara radikal, sistematis dan universal sebagai kebenaran ilmu
yang dibahas dalam filsafat keilmuan.

Oleh karena itu, ilmu tidak terlepas dari landasan ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ada” dengan
perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan.
Epistemologi membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan aksiologi
membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa
hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana
mestinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis akan membahas
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu dan filsafat Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan ontologi ilmu, epistemologi dan aksiologi?
3. Bagaimana perkembangan ontologi ilmu, epistemologi dan aksiologi?

C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan makalah ini lebih terarah dan tidak melebar dari yang diinginkan,
maka penulis membatasi masalah ini yaitu menjelaskan filsafat ilmu dan filsafat Islam, serta
menjelaskan perkembangan ontologi ilmu, epistemologi, dan aksiologi.

D. Tujuan Penulisan Makalah


Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang filsafat ilmu dan filsafat Islam
2. Untuk mengetahui tentang ontologi ilmu, epistemologi dan aksiologi
3. Untuk menjelaskan perkembangan ilmu ontologi, epistemologi dan aksiologi

5
E. Manfaat Penulisan Makalah
1. Hasil pemikiran ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan mengenai filsafat ilmu dan filsafat Islam serta mengenai ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
2. Hasil pemikiran ini dapat dijadikan rujukan bagi para pembaca.

F. Metode Penulisan Makalah


Penulisan makalah ini dilakukan dengan metode studi kepustakaan (library research)
dengan cara membaca, mencatat, dan mempelajari buku-buku atau literatur yang behubungan
dengan penulisan yang sedang dilakukan.

G. Sistematika Penulisan Makalah


Adapun sistematika penulisan makalah ini, akan dibagi dalam tiga bab dengan rincian
sebagai berikut.
Bab I diisi dengan pendahuluan. Pada bagian ini, penulis memaparkan latar belakang,
rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan makalah, manfaat penulisan
makalah, metode penulisan makalah, dan tujuan penulisan makalah.
Bab II diisi dengan pembahasan. Pada bagian ini, penulis memaparkan pembahasan
mengenai filsafat ilmu dan filsafat Islam serta perkembangan ontologi ilmu, epistemologi,
dan aksiologi.
Bab III diisi dengan penutup. Pada bagian ini, penulis menutup makalah dengan
kesimpulan yang mengacu kepada isi beserta dengan saran.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Islam


Secara etimologis, asal kata “filsafat” dalam bahasa Inggris “philosophy”, berasal dari
bahasa Yunani “philosophia”. Filosofia, berupa gabungan dari dua kata yaitu philein yang
berarti cinta, merindukan, atau philos berarti mencintai, menghormati, dan sophia
atau sofein yang berarti kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan, atau kejernihan. Jadi secara
etimologis, berfilsafat itu mencintai, menikmati, merindukan kebijaksanaan atau kebenaran.
Dalam bahasa Indonesia, filsafat juga berakar dari bahasa Arab filsafah, yang juga berakar
pada istilah Yunani itu.1
Pada dasarnya, filsafat merupakan sebuah cara berpikir yang radikal dan menyeluruh,
yaitu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Tidak ada satu hal pun yang
bagaimana kecilnya terlupa dari pengamatan kefilsafatan. Tidak ada suatu pernyataan yang
bagaimanapun sederhananya kita terima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama.
Filsafat Islam dapat diartikan sebagai kegaiatan pemikiran yang bercorak islami. Islam
disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena
yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam atau orang yang
berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok
keislaman.
Hakikat Filsafat Islam adalah akal dan Al Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa
akal dan Al Quran. Akal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan
Al Quran yang menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditingggalnya Al Quran dalam filsafat
Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga Al Quran tidak membatasi akal tetap bekerja,
Akal tetap bekerja dengan otonomi penuh.
Akal dan Al Quran disini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika akal dan
Al Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang
bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara yang satu dengan yang lainnya menjadi saling
mengatas-bawahi, baik akal mengatasi Al Quran, atau sebaliknya Al Quran memgatasi akal.
Jika Al Quran mengatasi akal, maka akal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat
yang mernuntut otonomi penuh. Sebaliknya jika akal mengatasi Al Quran, terbayang disana

1
Sutardjo. A Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm. 13.

7
bahwa aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanyalah Al Quran. Akal
sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan Al Quran memberikan
wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh akal.

B. Cabang-Cabang Utama Filsafat


Aktivitas filsafat melibatkan akal pikir manusia secara utuh, konsisten, dan bertanggung
jawab. Dalam aktivitas akal itu, para filsuf mencoba mengungkapkan tentang realitas.
Kegiatan mengiungkap realitas ini membutuhkan sistematika. Sistematika atau pembagian
filsafat secara mendasar dapat digolongkan menjadi tiga:
1. Ontologi, mengenai objek “apa” yang ditelaah, tentang adanya sesuatu hal.
2. Epistimologi, mengenai “bagaimana” sesuatu itu diperoleh, sesuatu itu terjadi.
3. Aksiologi, mengenai “manfaat atau nilai kegunaan” sesuatu hal tersebut.

C. Ontologi
Secara etimologis ontologi berasal dari bahasa Yunani “ethos” dan “logos”,
ethos adalah kata kerja dari einai artinya yang sedang berada, sedangkan logos berarti ilmu.
Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan ilmu yang membicarakan segala
sesuatu yang ada.2

Ontologi merupakan salah satu cabang filsafat yang ingin mencari dan menemukan
hakikat dari sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada itu dicari oleh manusia agar ia dapat mencari
dan menemukan hakikat kenyataan yang bermacam-macam yang pada akhirnya nanti akan
memberikan makna pada kehidupan manusia itu sendiri.3

Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa ontologi merupakan cabang atau istilah
filsafat dimana segala sesuatu itu mempunyai prinsip mendasar yang tidak menimbulkan
pertentangan. Sesuatu nyata atau pasti yang dapat diterima oleh semua orang sehingga dapat
menghasilkan kebenaran. Hakikat realitas menurut sudut pandang filsafat Islam pada
hakikatnya “spiritual”. Prinsip ini mengarah pada aspek fundamental dari spiritual Islam,
yaitu bahwa segala sesuatu yang mengitari kita, semua realitas materi atau kejadian
merupakan pelaksana. Selanjutnya hakikat esensi dalam kajian filsafat akan terhenti pada
penetapan adanya unsur pokok dari segala sesuatu, yang sifatnya fundamental. Unsur pokok
ini menunjuk pada suatu jawaban yang abstrak, tidak kelihatan, tidak terukur, dan tidak bisa
2
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam : Landasan Teoritis dan Praktis, Pekalongan: Stain Pekalongan
Press, 2009, hlm.17-18.
3
Musa Asy'ari, Filsafat Islam: Sunah Nabi dalam Berfikir, Yogyakarta: Lesfi, 1999, hlm. 36

8
ditimbang. Hakikat esensi terletak pada eksistensinya, tidak pada kata bendanya, tetapi pada
kata kerjanya yang aktualis.4 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ontologi merupakan
cabang filsafat yang membahas masalah tentang kenyataan, tentang realitas, tentang yang
nyata dari sesuatu.5

Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa”
yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai
esensi benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; on = being, dan logos = logic.
Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah, sebagaimana dikemukakan
oleh S. Suriasumantri dalam “Pengantar Ilmu dalam Prespektif” mengatakan, ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan
lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam
bukunya “Humaniora, Filsafat, dan Logika” mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat
dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat
dikatakan ada. Dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-
prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi
dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.

Teori ontologi pertama diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M
untuk memahami teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya, Christian Wolff (1679-1757) membagi metafisika menjadi dua, yaitu
metafisika umum dan metafisika khusus.6 Metafisika umum yang dimaksudkan sebagai
istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang
filsafat yang membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang
ada. Sedangkan metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan
teologi. Kosmologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang alam semesta. Psikologi
adalah cabang filsafat yang membahas tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat
yang membicarakan Tuhan. Terdapat beberapa aliran-aliran ontologi diantaranya adalah:

1. Dualisme; aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai
asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad, dan

4
Ibid, hlm.44-46.
5
Prasetya, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 87.
6
Juhaya S. Praja, Prof. Dr., Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada Media, 2005.

9
spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama
hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-
sama azali dan abadi.
2. Pluralisme; paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam
bentuk itu semuanya nyata.
3. Agnotisme; adalah paham pengingkaran atau penyangkalan manusia mengetahui
hakikat benda baik materi ataupun ruhani.

D. Epistemologi

Terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang


menduduki pusat permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan
manusia adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang
semesta dan dunia. Maka sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-
nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun
bentuknya.7

Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber
dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan
prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Maka
dengan demikian hal tersebut dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana
pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta,
termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep (nations) yang muncul sejak dini? dan apa
sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini?

Sebelum menjawab semua pertanyaan-petanyaan di atas, maka kita harus tahu bahwa
pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi atau
pengetahuan sederhana. Kedua tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang
mengandung suatu penilaian. Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita terhadap
pengertian panas, cahaya atau suara. Tashdiq dapat dicontohkan dengan penilaian bahwa
panas adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada
bulan dan bahwa atom itu dapat meledak. 8 Jadi antar konsepsi dan tashdiq sangat erat

7
Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia, Cet. VII; Bandung:
Mizan, 1999, hlm. 25.
8
Ibid., hlm. 26.

10
kaitannya, karena konsepsi merupakan penangkapan suatu objek tanpa menilai objek itu,
sedangkan tashdiq, adalah memberikan pembenaran terhadap objek.

Pengetahuan yang telah didapatkan dari aspek ontologi selanjutnya digiring ke aspek
epistemologi untuk diuji kebenarannya dalam kegiatan ilmiah. Menurut Ritchie Calder proses
kegiatan ilmiah dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. 9 Dengan demikian dapat
dipahami bahwa adanya kontak manusia dengan dunia empiris menjadikannya berpikir
tentang kenyataan-kenyataan alam.

Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian epistemologi, maka perlu diketahui
pengertian dasarnya terlebih dahulu. Epistemologi berdasarkan akar katanya episteme
(pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori). 10 Secara bahasa (etiologi),
epistemologi ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu “episteme” dan “logos”. Episteme berarti
pengetahuan sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi dapat
diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge).11 Dengan kata lain,
epistemologi filsafat Islam adalah suatu cabang filsafat yang membicarakan tentang cara
memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan dalam lingkup
Islam.

Konsep epistimologi dalam Islam pada hakikatnya tidak terlepas dari demensi
teologisnya yang bercorak tauhid. Dalam al-Qur’an digambarkan bahwa Allah adalah
pencipta dan pemelihara alam semesta. Kekuasaan Allah sebagai pencipta, kelihatan
menempu proses yang memperlihatkan konsistensi dan keteraturan. Dalam proses
pemeliharaan, Allah mengurus, memelihara dan menumbuhkembangkan alam secara
bertahap dan berangsur-angsur. Dalam konteks yang terakhir ini Allah tidak lain adalah
pendidik yang sebenarnya.

Dalam konsep epistimologi Islam yang berdimensi tauhid, tercermin pada pandangan
bahwa ilmu-ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari ayat-ayat Allah yang
terkandung dalam semua ciptaan-Nya, serta ayat-ayat Allah yang tersurat dalam Al-Qur’an.
Ayat-ayat Allah dalam alam besar, termasuk manusia dalam dimensi fisiknya dikembangkan
menjadi prinsp-prinsip kebenaran dalam kajian ilmu alam, ilmu pasti termasuk teknologi.

9
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Cet. IX; Jakarta:
Gramedia, 1991, hlm. 121
10
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, Bandung: Refika Aditama, 2011, Hal. 78.
11
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis, Yogyakarta: Gama Media Offset,
2007, Hal. 25.

11
Ayat-ayat Allah dalam diri manusia dan sejarah dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Sedangkan ayat-ayat Allah dalam Al-Qur’an dikembangkan dalam ilmu agama. 12

Menurut Mujamil Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat Al-Quran,


Hadits Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam metode yang
secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:13

1. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)


Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan
menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima
rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa diterima oleh akal, seperti
sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang mampu menolak kebenaran ini
berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena secara rasional sepuluh lebih banyak dari
lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama yang
bersifat apriori. Akal memberi penjelasan-penjelasan yang logis terhadap suatu masalah,
sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal untuk mencapai
pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat pembenaran agama Islam.
Filosof Muslim berpandangan, bahwa sebagian naṣ syariat mengandung makna ẓahir untuk
kalangan umum dan makna batin–filosofis bagi kalangan khusus. Makna yang kedua ini
diwujudkan melalui ta’wil bagi ahlinya. Ini berarti Al-Quran dan Hadits benar-benar
mengandung segi-segi pemikiran-pemikiran filosofis dan mewajibkan untuk mengeluarkan
pemikiran-pemikiran ini bagi orang yang mampu dan ahlinya.
2. Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)
Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan tradisi
ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah diperlukan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim seakan-akan ada
kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah dalam mengembangkan
pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menangkap
pengembangan pengetahuan.
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang layak.
Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang objek
formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara spesifik terfokus
12
Musa Asy’ari, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. Cet. I; Yogyakarta: LESFI, 1999, hlm. 93.
13
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta:
Erlangga, 2005, hlm. 271.

12
untuk mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan wahyu, pemberdayaan akal
maupun pengamatan langsung. Di kalangan pemikir Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan
dengan akal maupun indera, tetapi bahkan lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-
Gazhali, bahwa al-zawaq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk
menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan
tersebut dinamakan al-nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia
biasa berbentuk ilham.
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral. Artinya hal tersebut
bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Intuisi dalam
pengertian kemampuan mencapai kesimpulan secara tepat tanpa melalui langkah-langkah
logika satu demi satu (al-hads), maupun dalam pengertian pengalaman mencerahkan (al-
wjdan), adalah sampainya daripada makna, atau sampainya makna pada diri, baik itu
diperoleh melalui pembuktian, seperti dalam hal pertama al-hads, atau datang dengan
sendirinya dalam hal yang kedua al-wijdan.
3. Metode Dialogis (Manhaj Jadali)
Metode dialogis yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali pengetahaun
pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan
antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode ini memiliki sandaran teologis yang jelas.
Upaya untuk mecari jawaban-jawaban adalah aktivitas yang sah menurut Islam maupun ilmu
pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog telah dikemukakkan dalam Al-Quran.
Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar kita untuk memperolah jawaban-
jawaban yang signifikan dalam mengembangkan pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan
memiliki daya analisis yang tajam manakala menghadapi tantangan-tantangan. Ilmu
pendidikan Islam harus bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaan
empiris yang terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah menjadi teori yang valid yang
menjadi tempat berpijaknya suatu pengetahuan ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat
disiapkan wadahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan menetapkan pasangan dialog,
membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, maupun dengan mengundang
pakar-pakar pendidikan Islam, apabila difungsikan secara maksimal. Wadah-wadah dialog itu
hanya berbeda skalanya saja, sedang misi dan fungsinya relatif sama. Semuanya sebagai
wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan Islam dari Al-Quran, hadits dan praktik-
praktik pendidikan Islam, kemudian dirumuskan dalam teori-teori ilmiah tentang pendidikan
Islam.
13
4. Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini
pengetahuan pendidikan Islam), baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan Islam
dengan pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh untukmencari keunggulan-keunggulan
maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari
permasalahan pendidikan. Maka metode komparatif ini masih bisa dibedakan dengan
pendidikan perbandingan.
Metode komparatif sebagai salah satu metode epistemologi pendidikan Islam objek
yang beragam untuk diperbandingkan, yaitu meliputi: perbandingan sesama Ayat Al-Quran
tentang pendidikan, antara ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara
sesama hadits pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama teori
dari pakar pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam, antara
sesama lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non Islam, antara sesama
sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.
5. Metode Kritik (Manhaj Naqdi)
Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang pendidikan
Islam dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan,
kemudian menawarkan solusi sebagai alternatif pemecahannya. Jadi maksudnya kritik bukan
karena adanya kebencian, melainkan karena adanya kejanggalan-kejanggalan atau
kelemahan-kelemahan yang harus diluruskan.
Sebenarnya kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulu dari ilmu kalam, fiqh,
sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang jarang sekali kalangan Muslim
yang berpijak pada metode kritik ketika mengungkapkan gagasan-gagasannya. Salah satu
pemikir Muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah Muhammad Arkoun. Beliau
mengkritik bangunan epistemologi keilmuan agam Islam. Sebenarnya kritik itu berkonotasi
dalam makna upaya membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik
adalah penghinaan. Dan itu berakibat umat Muslim merasa tidak suka terhadap kritik.
Dengan menggunakan metode kritik dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan
nas-nas wahyu yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
Para ahli sependapat bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber pendidikan
Islam sebagaimana mereka juga sependapat bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama yang
pertama dan As-Sunnah sumber utama kedua.

1. Al-Qur’an

14
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan yang paling utama pendidikan Islam. Al-
Qur’an memiliki konsep pendidikan yang utuh, hanya saja tidak mudah untuk
diungkap secara keseluruhannya karena luas dan mendalamnya pembahasan itu di
dalam al-Qur’an disamping juga keterbatasan kemampuan manusia untuk memahami
keseluruhannya dengan sempurna. Dan pendidikan al-Qur’an juga memiliki pengaruh
yang dahsyat apabila dipahami dengan tepat dan diikuti dan diterapkan secara utuh
dan benar. Karenanya menjadikan al-Qur’an sebagi sumber bagi pendidikan Islam
adalah keharusan bagi umat Islam.14
2. As-Sunnah
As-Sunnah didefenisikan sebagai sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad
SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau biografi, baik
pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya. Di dalam dunia pendidikan, as-
Sunnah memiliki dua manfaat pokok. Manfaat pertama, as-Sunnah mampu
menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep al-
Qur’an, serta lebih merinci penjelasan al-Qur’an. Kedua, as-Sunnah dapat menjadi
contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan.15
3. Ijtihad
Ijtihad merupakan istilah para fuqaha, yakni berfikir dengan menggunakan seluruh
ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam untuk menetapkan atau menentukan
sesuatu hukum syariat Islam. Ijtihad dalam hal ini meliputi seluruh aspek kehidupan
termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. 16
Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang di
olah oleh akal yang sehat oleh para ahli pendidikan Islam.

E. Aksiologi

Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan
logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa

14
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani,
1983, hlm.28.
15
H. Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Lembaga Pendidikan Umat, 2005, hlm.17.
16
Ibid., hlm.18

15
yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.

Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti
kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-
perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan
manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan
denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan
dan fenomena di sekelilingnya.

Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan
topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang
nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia
hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik.
Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai
subjektif, seperti; agama dan adat istiadat.17

17
Sonny Keraf, A & Dua, M., Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil diskusi kami pada makalah ini, dapat disimpulkan bahwa filsafat
merupakan sebuah cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, yaitu cara berpikir yang
mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Filsafat Islam dapat diartikan sebagai kegaiatan
pemikiran yang bercorak Islami. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran.

Hakikat Filsafat Islam adalah akal dan Al Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa
akal dan Al Quran. Akal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan
Al Quran yang menjadi ciri keislamannya.
Sistematika atau pembagian filsafat secara mendasar dapat digolongkan menjadi tiga:
1. Ontologi, mengenai objek “apa” yang ditelaah, tentang adanya sesuatu hal,
2. Epistimologi, mengenai “bagaimana” sesuatu itu diperoleh, sesuatu itu terjadi,
3. Aksiologi, mengenai “manfaat atau nilai kegunaan” sesuatu hal tersebut

B. Saran

Dari hasil diskusi penulis, ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan sebagai bahan
masukan dan saran dalam upaya peningkatan pengetahuan dalam ilmu ontologi, epistemologi
dan aksiologi diantaranya:

1. Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas masalah tentang kenyataan,


tentang realitas, tentang yang nyata dari sesuatu hal. Maka dari itu kita sebagai
manusia dalam berbicara ataupun ingin mendalami suatu ilmu harus mencari sumber-
sumber terkuat.
2. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan. Untuk memberi
pengetahuan secara jelas kita bisa temui dari beberapa sumber seperti Al-Qur’an, As-
Sunnah dah Ijtihad.
3. Aksiologi membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa
hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat
menghargai ilmu sebagaimana mestinya.

17
Akhirnya dengan segala keterbatasan kami, kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Dan kami berharap semoga makalah kami dapat mendatangkan manfaat dan dapat
meningkatkan kualitas pengetahuan bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Lembaga Pendidikan Umat.

An-Nahlawi, Abdurahman. 1983. Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat.


Jakarta: Gema Insani.

Ash-Shadr, Muhammad Baqir. 1999. Falsafatuna terhadap Berbagai Aliran Filsafat Dunia,
Cet. VII; Bandung: Mizan.

Asy'ari, Musa. 1999. Filsafat Islam: Sunah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta: Lesfi.

Asy’ari, Musa. 1999. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. Cet. I; Yogyakarta: LESFI.

Juhaya S. Praja, Prof. Dr. 2005. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada
Media.

Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoritis dan Praktis.Yogyakarta:
Gama Media Offset.

Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Prasetya. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.

Sonny Keraf, A & Dua, M. 2001. Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta:
Kanisius.

Suriasumantri, Jujun S. 1997. Ilmu dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu, Cet. XIII. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wiramihardja, Sutardjo A. 2009. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama

19

Anda mungkin juga menyukai