Anda di halaman 1dari 27

SEMINAR KEPERAWATAN KRITIS

“ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME DAN ACUTE


PNEUMONIA”

Oleh :
Kelompok 2
1. Alan Prayoga (30902000017)
2. Alfina Eka Astuti (30902000019)
3. Alfiyatur Rohmaniah (30902000021)
4. Alissa Putri Efendi (30902000023)
5. Amalia Anjani Sugma (30902000024)
6. Amanda Silvianingrum (30902000025)
7. Amelia Salsabila (30902000026)
8. Amirul Isnaini Kasanah (30902000027)
9. Andini Eka Sari (30902000028)
10. Andini Oktavia Prayitno (30902000029)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG 2023
1
Daftar Isi
COVER......................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I (Pendahuluan)............................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Tujuan.............................................................................................................2
BAB II (Tinjauan Pustaka)...................................................................................3
A. Konsep Dasar.................................................................................................3
B. Asuhan Keperawatan......................................................................................9
BAB III (Analisa Kasus)........................................................................................19
A. Hasil Analisa Kasus........................................................................................19
BAB IV (Pembahasan)..........................................................................................22
A. Pembahasan Kasus..........................................................................................22
BAB V (Penutup)....................................................................................................24
A. Kesimpulan.....................................................................................................24
B. Saran...............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................25

i
BAB I
Pendahuluan

1. Latar Belakang

Near drowning adalah suatu keadaan akibat tenggelam didalam air atau media cair
lainnya, dimana korban dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Jika korban tidak
dapat bertahan dalam 24 jam, digunakan istilah drowning ( Golden et al, 1997). Pada
tahun 2002, World Congress of Drowning mengeluarkan definisi tentang drowning,
dimana drowning adalah suatu proses kegagalan respirasi yang disebabkan tenggelam
dalam media cair. Konsensus tidak merekomendasikan penggunaan kata-kata seperti
aktif/pasif, wet/dry, primer/sekunder, dan neardrowning.

Acute Respiratory Distress Syndrome dan Acute Pneumonia merupakan komplikasi


yang sering terjadi pada near drowning. ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh
peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein
plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru
yang mengandung protein. Sedangkan pnumonia akut penyakit saluran pernapasan bawah
akut biasanya disebabkan oleh infeksi. Jenis biasanya disebabkan oleh infeksi. Jenis
pneumonia yang sering terjadi pada near drowning adalah pneumonia aspirasi, jumlah
kasus pneumonia aspirasi 80% kasus dengan komplikasi sepsis dan abses ota, serta , 50 %
penderita tenggelam menjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Badan Kesehatan Dunia (WHO), mencatat tahun 2000 di seluruh dunia ada
400.000 kejadian tenggelam tidak sengaja. Artinya, angka ini menempati urutan kedua
setelah kecelakaan lalu lintas. Seperempat kasus terjadi pada anak usia 14 tahun atau
lebih muda. Pada kelompok usia remaja (15-24 tahun), sebagian besar terjadi di sumber
air alami (danau, sungai, laut). Insiden kematian akibat tenggelam bervariasi, kematian
akibat tenggelam hanya 1 dari 20 kematian di air. Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) melaporkan 5.700 orang dirawat karena near drowning antara tahun
2005-2009 di USA, 50% memerlukan perawatan khusus (CDC,2012) dan menjadi
penyebab kematian kedua pada anak usia 1-4 tahun. Negara kepulaun seperti jepang dan
Indonesia memiliki resiko lebih tinggi kasus tenggelam.

1
2. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengkajian pada pasien kritis
2. Untuk mengetahui masalah yang muncul pada diagnosa Near Drowning with
Acute Respiratory Distress Syndrome Acute Pneumonia.
3. Untuk mengetahui intervensi dan implemengtasi dari diagnosa Near Drowning with
Acute Respiratory Distress Syndrome Acute Pneumonia.
4. Untuk mengetahui pembahasan Near Drowning with Acute Respiratory Distress
Syndrome Acute Pneumonia yang diintegrasikan dengan hasil-hasil penelitian
terbaru mengenai intervensi keperawatan

2
BAB II
(Pembahasan)
A. Konsep Dasar
1. Definisi ARDS
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan sindrom, kumpulan
observasi klinis dan fisiologis yang menggambarkan suatu keadaan patologis.
Patogenesis ARDS belum sepenuhnya jelas dan belum ada gold standard untuk
mendiagnosis. ARDS ditandai dengan edema paru non kardiogenik, inflamasi
pada paru, hipoksemia, dan penurunan komplians paru. ARDS adalah kelainan
yang progresif secara cepat dan awalnya bermanifestasi klinis sebagai sesak
napas (dyspneu dan tachypneu) yang kemudian dengan cepat berubah menjadi
gagal napas. ARDS pertama kali dideskripsikan pada tahun 1967 oleh Asbaugh
dkk yang memaparkan 12 kasus dengan gejala gawat napas, gagal napas
hipoksemik, dan infiltrat patchy bilateral pada foto toraks pasien dengan rentang
usia 11-48 tahun. Awalnya klinisi menentukan diagnosis ARDS dengan cara:
a. menentukan apakah kelainan yang dialami pasien akut atau kronis,
b. menentukan adanya faktor risiko atau kondisi medis lain (contoh: sepsis),
dan
c. menjumlahkan poin berdasarkan beratnya disfungsi paru berdasarkan derajat
hipoksemia, level PEEP(positive end-expiratory pressure) yang dibutuhkan,
komplians sistem paru, dan derajat abnormalitas radiologis (Lung Injury
Prediction Score).

ARDS terdiagnosis bila didapatkan poin lebih dari 2.5. Kasuskasus ini
mengundang perhatian serta penelitian lebih lanjut terhadap ARDS, namun tidak
adanya kriteria diagnostik yang spesifik dan kurangnya pemahaman terhadap
patogenesis ARDS menimbulkan kesulitan untuk meneruskan dan
membandingkan antar penelitian. Pada tahun 1994, peneliti di Amerika dan Eropa
pada American-European Consensus Conference (AECC) mengeluarkan sebuah
kriteria diagnosis yang diterima dengan luas untuk mendiagnosis untuk ARDS:
onset akut, perbandingan tekanan parsial oksigen dibanding fraksi oksigen
kurang dari sama dengan 200 dan tidak

3
tergantung tekanan positif akhir ekspirasi/PEEP, infiltrat bilateral yang tampak
dari foto toraks AP/PA, dan tekanan baji arteri pulmonalis 18 mmHg atau kurang,
atau tidak ada tanda hipertensi atrium kiri. Definisi AECC dikritik karena tidak
mempertimbangkan level PEEP.2 Telah diketahui bahwa seiring dengan
meningkatnya derajat keparahan penyakit, namun masih di bawah 80% pada
ARDS berat. Faktor independen yang mempengaruhi adalah usia muda, berat
badan prediktet yang rendah, adanya sepsis ektra paru atau pankreatitis. Faktor
risiko dan insidensi.

Penentuan insidensi ARDS merupakan tantangan karena keberagaman


definisi dan kesulitan mendiagnosis ARDS. Insidensi ARDS dilaporkan berkisar
antara 75 per 100.000 penduduk sampai serendah 1.5 per 100.000 penduduk.
Sepsis, aspirasi cairan atau isi lambung, serta transfusi multiple (>15 unit/24 jam)
berhubungan dengan risiko tinggi terhadap ARDS. Sebagian besar kasus ARDS
berhubungan dengan sepsis terkait paru (pulmonary sepsis) sebanyak 46% atau
sepsis bukan karena paru sebanyak 33%. Faktor risiko antara lain keadaan yang
menyebabkan kelainan langsung pada paru seperti pneumonia, trauma inhalasi,
kontusio pulmonum, maupun keadaan yang menyebabkan kelainan tidak
langsung pada paru seperti sepsis bukan karena paru, luka bakar, transfusion-
related acute lung injury, alkoholisme kronik, dan riwayat pajanan terhadap asap
secara aktif maupun pasif pada kasus trauma.

Faktor risiko untuk anak sedikit berbeda dari dewasa, karena didapatkan
keadaan yang terkait usia,seperti infeksi respiratory synctitial virus dan
tenggelam. Studi terbaru menyebutkan bahwa 7.1% kasus yang masuk ke ICU
dan 16.1% kasus yang menggunakan ventilator mengalami ARDS. Angka
mortalitas rumah sakit kasus ARDS diperkirakan antara 34- 55%. Faktor risiko
penentu mortalitas termasuk meningkatnya usia, perburukan kegagalan
multiorgan, adanya komorbid paru dan non-paru, skor APACHE II (Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation) yang lebih tinggi, dan asidosis.
Kematian terkait ARDS paling sering disebabkan oleh kegagalan multiorgan.
Kematian yang disebabkan oleh hipoksemia refrakter hanya 16% dari seluruh
kasus.

4
2. Etiologic dan Patogenesis
Dahulu ARDS sering disebut sebagai edema paru non kardiogenik,
terminologi deskriptif yang menjelaskan patogenesis kelainan ini. Tidak seperti
gagal jantung kongestif yang menyebabkan edema paru karena peningkatan
tekanan hidrostatik karena tekanan jantung kiri yang meningkat, pada ARDS yang
mengisi alveoli adalah cairan eksudat. Barier alveolar-kapiler mengalami
peningkatan permeabilitas, sehingga cairan yang mengandung protein masuk ke
dalam alveoli. Adanya cairan pada alveoli menyebabkan penurunan komplians
sistem pernapasan, right-to-left shunting, dan hipoksemia. Meskipun PCO2 arteri
secara umum berada dalam batas normal, namun ventilasi dead space oxygen
species (ROS).
Migrasi dan pelepasan mediator ini mengarah kepada permeabilitas vaskuler
yang patologis, timbulnya jarak pada barier sel epitel alveolar serta nekrosis sel
alveolar tipe I dan II. Hal ini sebaliknya menyebabkan edema paru, pembentukan
membran hialin, dan kehilangan surfaktan yang menurunkan komplians paru dan
membuat pertukaran gas sulit terjadi. Selanjutnya terjadi infiltrasi fibroblas yang
mengarah pada deposisi kolagen, fibrosis, dan akhirnya perburukan penyakit.
Pada fase penyembuhan terjadi berbagai hal secara bersamaan. Sitokin
antiinflamasi menginaktivasi neutrofil yang teraktivasi yang akan mengalami
apoptosis dan fagositosis. Sel alveolar tipe II berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel alveolar tipe I, memperbaiki integritas dari pelapis epitelial dan
membuat gradien osmotik yang menarik cairan keluar dari alveoli ke dalam
mikrosirkulasi dan sistem limfatik paru. Secara simultan sel alveolar dan
makrofag menghilangkan bahan protein dari alveoli sehingga paru dapat pulih.
3. Patologi
Tahapan patologi ARDS secara klasik digambarkan dalam 3 tahapan yang
berurutan dan tumpang tindih. Pada tahapan pertama, yaitu fase eksudatif dari
jejas paru, temuan patologis disebut sebagai diffuse alveolar damage. Terdapat
membran hialin yang melapisi dinding alveolar dan cairan edema yang
mengandung protein di ruang alveoler, terjadi pula gangguan pada epitel dan
infiltrasi neutrofil pada interstitial dan alveoli. Area hemorrhage dan makrofag
dapat ditemukan di alveoli. Fase yang

5
berlangsung 5-7 hari ini diikuti oleh yang disebut sebagai fase proliferatif pada
beberapa pasien. Pada titik ini,membran hialin telah mengalami organisasi dan
fibrosis. Obliterasi kapiler pulmonal dan deposisi kolagen pada interstitial dan
alveolar dapat diamati bersamaan dengan penurunan jumlah neutrofil dan derajat
edema paru.
Fasecproliferatif ini diikuti oleh fase fibrosis yang tampak pada gambaran
radiologis pada ARDS persisten (lebih dari 2 minggu).Awalnya jejas langsung
maupun tidak langsung pada paru diduga menyebabkan proliferasi mediator
inflamasi pada mikrosirkulasi paru. Neutrofil ini mengaktifkan dan bermigrasi
dalam jumlah besar melewati endotel pembuluh darah dan permukaan epitel
alveolar, melepaskan protease, sitokin, dan reactive imunitas yang menurun,
sehingga pasien menjadi rentan terhadap infeksi nosokomial. Teori yang
menyebutkan bahwa disregulasi respon imun bertanggung jawab terhadap
terjadinya sepsis mengarahkan peneliti untuk mencari agen yang dapat secara
selektif memblok komponen jalur inflamasi.
Gangguan koagulasi yang sering terjadi pada sepsis diperkirakan
mempengaruhi timbulnya ARDS,karena pada ARDS terjadi deposisi fibrin
intraalveolar, interstitial, dan intravaskular. Fibrin merupakan komponen utama
membran hialin yang akhirnya menjadi bakal proliferasi fibroblas dan pada fase
lanjut ARDS merangsang terjadinya fibrosis paru. Selain itu fibrin juga
berkontribusi terhadap jejas paru melalui jalur kemotaktik dan deposisi fibrin
intravaskular sebagai mikrotrombus yang dapat meningkatkan tekanan pembuluh
darah paru pada ARDS.
Studi observasi yang dilakukan pada binatang menunjukkan bahwa pemberian
antikoagulan dapat mengurangi derajat keparahan kasus ARDS terkait sepsis,
namun didapatkan hasil yang mengecewakan saat dilakukan pada manusia.
Sebagai hasil inflamasi sistemik dan koagulasi yang terjadi pada sepsis, terdapat
perubahan signifikan pada mikrosirkulasi, reaktivitas vaskular, aggregasi platelet,
dan adhesi sel darah putih pada endotel. Perubahan endotel vaskular dan interaksi
antara sel darah putih dan sel darah merah mengakibatkan terjadinya peroksidase
pada membran sel darah merah, perubahan pompa pada membran sel darah merah,
dan influx kalsium ke dalam sel darah merah. Hal ini menyebabkan
peningkatan

6
aggregasi sel darah merah dan oklusi mikrovaskular yang mendukung terjadinya
gagal organ.
4. Manifestasi Klini
Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat
injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lain selain paru. Gejala yang
dikeluhkan berupa sesak napas, membutuhkan usaha lebih untuk menarik napas,
dan hipoksemia. Infiltrat bilateral pada foto polos thorax menggambarkan edema
pulmonal. Multiple organ disfungsi syndrome (MODS) dapat terjadi karena
abnormalitas biokimia sistemik. Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah :
a. Penurunan kesadaran
b. Dispnea serta takipnea yang berat akibat hipoksemia
c. Terdapat retraksi interoksa
d. Sianosis
e. Hipoksemia
f. Auskultasi paru : ronchi, krekels, whezzing
g. Hipotensi
5. Komplikasi
Sekitar 30-65% dari seluruh kasus ARDS mengalami komplikasi VAP
(ventilator-associated pneumonia) yang biasanya terjadi lebih dari 5-7 hari sejak
penggunaan ventilasi mekanik dan sering didahului oleh kolonisasi patogen pada
saluran napas bawah. Organisme yang mungkin adalah batang gram negatif,
MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus), dan Enterobacteriaceae.
Meskipun munculnya VAP memperlama durasi penggunaan ventilasi mekanik
pada ARDS, namun tampaknya tidak meningkatkan angka kematian. Membuat
diagnosis VAP pada pasien dengan ARDS merupakan tantangan karena ARDS
sendiri telah menunjukkan kelainan radiologis dan tidak jarang lekositosis dan
demam. Bila alat diagnostik seperti bilasan bronkoalveolar atau sikatan spesimen
digunakan, kemampuan diagnosisnya lebih besar bila kedua paru diambil
sampelnya dan saat pasien tidak sedang menggunakan antibiotik. Komplikasi lain
dari ARDS adalah barotrauma (pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema

7
subkutan) sebagai efek dari ventilasi tekanan positif pada paru yang kompliansnya
menurun.
Karena hampir seluruh pasien dengan ARDS akan berada pada posisi
berbaring, maka mendiagnosis pneumotoraks akan membutuhkan kecermatan,
penampakan radiologisnya dapat berbeda dan lebih samar pada pasien dengan
posisi berbaring (contoh: udara pada sudut kostofrenikus, “deep sulcus” sign).
Data dari beberapa studi prospektif menyebutkan bahwa barotrauma terjadi pada
kurang dari 10% kasus ARDS.
6. Penatalaksanaan
Aspek esensial dalam tata laksana pasien dengan ARDS adalah mengobati
penyebab presipitasi, menyediakan suportif yang baik, dan mencegah komplikasi
lanjut.Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki masalah ancaman
dengan segera antara lain:
a. Terapi oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat teraupetik yang penting dan secara
potensial mempunyai efek samping toksik.
b. Ventilasi Mekanik
Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanik. Terapi modalitas
ini bertujuan untuk memberikan dukungan ventilasi sampai integritas
membran alveolakapiler kembali membaik
c. Positif and Expiratory Breathing (PEEB)
Ventilasi dan oksigen adekuat diberikan melalui volume ventilator dengan
tekanan dan kemampuan aliran yang tinggi, dimana PEEB dapat
ditambahkan positif and expiratory breathing dipertahankan dalam alveoli
d. Pemantauan oksigen arteri adekuat
Bila anemia terjadi, kandungan oksigen dalam darah menurun. Sebagian
akibat efek ventilasi mekanik PEEB pengukuran seri hemoglobin perlu
dilakukan untuk kalkulasi kandungan oksigen yang akan menentukan
kebutuhan untuk tranfusi sel darah merah
e. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi pada manajemen ARDS sangat terbatas.penggunaan
surfaktan pada ARDS anak-anak memang

8
bermanfaat namun penggunaanya pada orang dewasa masih
kontroversi.Penggunaan kortikosteroid juga masih
kontroversi,kortikosteroid berguna untuk menurunkan marker inflamasi (baik
inflamasi paru maupun inflamasi sistemik).Terapi steroid saat ini hanya
direkomendasikan pada kasus akut dan berat.
f. Pemeliharaan jalan nafas
ARDS terjadi karena penumpukan cairan di alveoli paru-paru setelah
cedera,proses inflamasi atau infeksi.Akibat penumpukan cairan ini membuat
paru-paru tidak terisi cukup udara sehingga pemeliharaan jalan nafas
diperlukan.Pemeliharaan jalan nafas bisa dilakukan dengan menyediakan
lingkungan yang tenang,kemudian bantu pasien dengan posisi yang
mengoptimalkan pernafasan (jangan diposisikan mendatar karena membuat
sulit bernafas sebab organ perut bisa bergeser kearah area dada).
g. Pencegahan infeksi
Penatalaksanaan ARDS berkaitan dengan pencegahan infeksi bisa diberikan
antibiotik untuk mengobati infeksi apabila ARDS disebabkan oleh bakteri
h. Dukungan nutrisi
Pengelolaan nutrisi penting untuk menunjang pengobatan penderita ARDS
dengan tujuan agar tubuh mendapat asupan cairan nutrisi yang
cukup.Pengelolaan cairan harus diperhatikan karena jika kebanyakan cairan
akan menyebabkan terjadinya penumpukan cairan di paru-paru
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. Airway = lihat adanya sumbatan pada jalan nafas dengan look, listen, feel.
Look meliputi, sianosis, perubahan pola nafas, penggunaan otot bantu
pernafasan, perubahan tingkat kesadaran; listen meliputi, adanya suara
gurgling, stridor, wheezing; feel meliputi, penurunan aliran udara
b. Breathing
1) Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.

9
2) Look, listen danfeel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
3) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda tanda
sebagai berikut: cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
4) Palpasiuntukadanya: pergeserantrakea, frakturruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothoraxdanpneumotoraks.
5) Auskultasiuntukadanya: suaraabnormal padadada.
6) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
7) Penilaian kembali status mental pasien.
8) Dapatkan baca anpulse oksi metri jika diperlukan
9) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan/atau
oksigenasi: Pemberian terapi oksigen, Bag-Valve Masker, Intubasi jika
diindikasikan
10) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
c. Circulation
kaji denyut nadi, lihat hasil EKG, kaji tekanan darah Menilai perfusi perifer
dengan mengevaluasiwarna, suhu, dan kelembaban kulit, capillary refill.
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antaralain :
1) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
3) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
4) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
5) Menentukan ada atau tidaknya
6) Menilai kualitas secara umum(kuat/lemah)
7) Identifikasirate (lambat, normal, ataucepat)
8) Regularity

1
9) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill)
10) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
11) Dokumentasi tanda vital meliputi, status pernafasan, tekanan darah,
tekanan nadi dan tingkat kesadaran
12) Pemeriksaan penunjang misalnya pemeriksaan BGA, gula darah
2. Pengkajian Sekunder:
a. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia,
dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan
L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
b. Pemeriksaan fisik
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang

1
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan
palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi,
massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan
serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
2) Wajah
Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di
sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata
akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re
evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a) Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis
atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
b) Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi
akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c) Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
d) Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
e) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
f) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah
pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan
nyeri, inspeksi amati

1
adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi
adanya respon nyeri
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa, kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi
trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi
segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Toraks
Inspeksi: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut
jantung
a) Palpasi: seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul,emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
b) Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan
c) Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales)
dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
5) Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian
depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya
perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar,
ruam, massa,

1
Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas
(ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri
tekan, hepatomegali, splenomegali.
6) Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis
7) Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan
lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak),
pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari
fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput
terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan
Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi
harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan
pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri
tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat
s/d 5-15 detik.
8) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis
atau saraf perifer.
Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus
diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Pada pemeriksaan
neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau
hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam
mengkoordinasi otot).

1
9) Pathways

3. Masalah Keperawatan
No Masalah Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervnsi
(SDKI) Hasil (SLKI) Keperawatan (SIKI)
1 Gangguan ventilasi Setelah dilakukan Manajemen
spontan (D.0004) b.d tindakan keperawatan ventilasi mekanik
kelelahan otot 1x60 (I.01013)
pernafasan d.d menit ventilasi Observasi
takikardi, dipsnea, spontan meningkat 1. Pemeriksaan
menurunnta PaO2, dan dengan kriteria: indikasi ventilator
PaCO2 PO2 menurun, Ventilasi spontan mekanik
PCO2 (L.01007) 2. Monitor efek
meningkat/menurun 1. PCO2 membaik ventilator terhadap
(5) status oksigenasi
2. PO2 membaik (5) 3. Monitor efek
3. Takikardi negatif ventilator
membaik (5) (mis. Barotrauma)
4. Dipsnea menurun 4. Monitor gejala
(5) peningkatan
5. Penggunaan otot pernafasan
bantu nafas Teraupeutik
menurun (5)

1
1. Berikan media
untuk
berkomunikasi
misalnya kertas,
pulpen
2. Dokumentasikan
responterhadap
ventilasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi
penggunaan ps
atau peep untuk
meminimalkan
hipoventilasi
alveolus
2. Kolaborasi
pemilihan mode
ventilator
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan Pemantauan
(D.0003) b.d pertukaran tindakan keperawatan Respirasi (I.01014)
membran alveolus- 1x60 Obsevasi
kapiler d.d dipsnea, menit pertukaran gas 1. Monitor frekuensi
takikardia, bunyi nafas meningkat dengan irama, kedalaman,
tambahan, pola nafas kriteria: dan upaya nafas
abnormal, kesadaran Pertukaran gas 2. Monitor pola
menurun, pusing, PO2 (L.010003) nafas
menurun, PCO2 1. Bunyi nafas 3. Auskultasi bunyi
menurun/meningkat tambahan menurun nafas
(5) 4. Monitor saturasi
2. Pola nafas oksigen
membaik (5) 5. Monitor nilai agd
3. Takikardia 6. Monitor hasil x-
membaik (5) ray thorax
4. PCO2 membaik Teraupeutik
(5) 1. Dokumentasikan
5. PO2 membaik(5) hasil pemantauan
2. Atur interval
pemantauan
respirasisesuai
kondisi pasien
Edukasi
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan
hasil
pemantauan

1
3 Penuruna curah Setelah dilakukan Manajemen aritmia
jantung (D.0008) b.d tindakan keperawatan (I.02035)
perubahan irama 1x60 Observasi
jantung d.d perubahan menit curah jantung 1. Periksa omset dan
irama jantung (palpasi), meningkat dengan pemicu aritmia
gambaran EKG aritmia, kriteria hasil: 2. Identifikasi
takikardia Curah jantung aritmia
(L.02008) 3. Monitor frekuensi
1. Takikardi 4. Monitor saturasi
menurun (5) oksegen
2. Edema menurun 5. Monitor kadar
(5) elektrolit
3. Dipsnea menurun Teraupeutik
(5) 1. Pasang monitor
4. Palpasi menurun jantung
(5) 2. Rekam ekg 12
5. Tekanan darah saapan
membaik (5) Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian anti
aritmia

4 Resiko infeksi (D.0142) Setelah dilakukan Pencegahan


d.d efek prosedur tindakan keperawatan infeksi (I.014539)
invasif 1x60 Observasi
menit tingkat infeksi 1. Monitor tanda dan
menurun dengan gejala infeksi lokal
kriteria hasil: dan
Tingkat infeksi sistemik
(L.14137) Teraupeutik
1. Kadar sel darah 1. Pertahankan
putih membaik (5) teknik aseptik
2. Kemerahan pada pasien
menurun (5) beresiko tinggi
3. Nyeri menurun (5) 2. Cuci tangan
4. Demam menurun sebelum dan
(5) sesudah kontak
5. Bengkak menurun dengan pasien dan
(5) lingkungan rumah
3. Batasi jumlah
pengunjung
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala edukasi
2. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi

1
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik.Implementasi perawat harus melaksanakan hasil dari rencana
keperawatan yang dilihat dari diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan dimulai
setelah rencana tindakan disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.

1
BAB III
Analisa Kasus
A. Hasil Analisa Kasus
AS, 24 tahun, laki-laki datang dengan penurunan kesadaran ke UGD RSUP
Sanglah rujukan dari BIMC dengan diagnosis Near Drowning with Acute Respiratory
Distress Syndrome Acute Pneumonia. Pasien dikatakan mengalami tenggelam
dipantai seminyak ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Menurut temannya pasien
tenggelam selama ± 15 menit. Pasien dikatakan berada dipinggir pantai kemudian
tiba-tiba ombak besar menghantam mereka dan terlempar ke dalam air. Saat Di BIMC
pasien dikatakan kesadaran : samnolence dengan TD Normal, tachypneu, takikardi,
hipoksia berat dan tidak ada demam. Airway clear, tidak ada obstruksi. Pernafasan
spontan dengan RR
: 32/Xm oxygen sat : 37 % RA. Circulation ditemukan nadi kuat yaitu 162x/m. Pasien
tampak distress pulmonal. Retraksi intercostal, nasal flare, wajah sianosis, keringat,
dan pucat. Tidak ditemukan tanda-tanda trauma. Mata : PERRL. THORAX : Tidak
tampak deformitas, tidak ada bruit, adanya intercostal dan suprasternal retraksi.,
whezzing (+), Rhonki (+). Abdominal/pelvic dalam batas normal. Riwayat trauma
tidak ada. Riwayat kejang sebelumnya tidak ada. Riwayat asma ada. Riwayat penyakit
jantung disangkal.
1. PEMERIKSAAN FISIK
KU (Keadaan Umum) : samnolence
2. TANDA-TANDA VITAL
a. Sirkulasi dan serbral porfusion
TD : normal
RR : 32×/menit
Nadi : 162×/menit
Spo2 : 37%
sianosis
b. Airway
Clear,pernafasan spontan
c. Breathing
Frekuensi nafas 32x/menit
Ronchi (+), wheezing (+)
d. Kepala : Retraksi intercostal, nasal flare, keringat, dan pucat.

1
e. Mata : PERRL.
f. Mulut : sianosis
g. Thorax : Tidak tampak deformitas, tidak ada bruit, adanya intercostal dan
suprasternal retraksi, whezzing (+), Rhonki (+)
h. Abdomen : dalam batas normal

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Nama Pemeriksaan Hasil Satuan
1. CBC
- WBC 13.67 X 10 3 /µL
- HGB 15,9 g/dl g/dl
- HCT 48.6% %
- PLT 31 103/µl

2. Kimia Darah
BUN 14 mg/dL Mg/dL
SC 1,39 mg/dL Mg/dL
Na 144 mmol/L Mmol/
K 4,8 mmol/L Mmol/
L
3. Analisa Gas
Darah
pH 7,23
pCO2 66 mmHg
pO2 93 mmHg mmHg
HCO3 27 mmol/L mmHg
BE -2,4 mmol/L mmol/L
SO2 95% mmol/L
%

2
4. Pemeriksaan MSTC Thorax
pneumothorax bilateral fisuura mayor dan minor kanan dan fissura mayor kiri,
pneumomediastinum, contusio pulmonum pneumonia/ suspect pneumonia
aspirasi, emfisema subcutis . Adanya tear/ruptur pada bronkus
/trachea belum dapat disingkirkan sehingga diputuskan untuk dipasang
thoracostomy ESD D et S oleh BTKV.

2
BAB IV
(Pembahasan)
A. Pembahasan Kasus
Pneumonia adalah salah satu penyakit peradangan akut parenkim paru yang
biasanya dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan batuk dan disertai
dengan sesak nafas disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma
(fungi), dan aspirasi substansi asing, berupa radang paru- paru yang disertai eksudasi
dan konsolidasi. Pneumonia adalah peradangan akut parenkim paru yang biasanya
dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah akut dimana asinus terisi dengan cairan
radang yang ditandai dengan batuk dan disertai nafas cepat yang disebabkan oleh
virus, bakteri, dan mycoplasma(fungi).
Berdasarkan stadium dari pneumonia bakteri yang disebabkan oleh bakteri
Pneumonia pneumococcus yang tidak diobati terbagi menjadi empat antara lain,
penyumbatan ( 4-12 jam pertama), hepatilasi merah, hepatitasi kelabu (3-8 hari),
pemulihan (7-11 hari). Dikaji dari jenis sel imun dan protein imun yang sama,
termasuk imunoglobulin dan komplemen, ditemukan pada lesi patologis pneumonia,
ARDS, dan lesi patologis spesifik organ lainnya, maka terdapat asumsi yang masuk
akal bahwa sistem imun berfungsi dengan cara yang sama. melindungi terhadap
cedera sel jaringan yang disebabkan oleh berbagai penghinaan dan untuk
mengendalikan zat beracun di seluruh organ.
Terdapat gejala yang timbul seperti dikasus tampak penggunaan otot bantu
nafas, terpasang ventilator, sehingga dapat diteggakan diagnosa gangguan ventilasi
spontan. Tampak pola nafas abnormal bunyi nafas tambahan, foto thorax
anteroposterior menunjukkan jantung dengan besar dan bentuk normal, pada paru-
paru tampak infiltrat dengan air bronchogram diparahilar kanan dan kiri. Corakan
bronkovaskuler sangat meningkat, sinus, diafragma, dan tulang tampak normal
sehingga terdapat diagnosa gangguan pertukaran gas. Tampak pasien nyaman dengan
posisi semifowler sehingga didapatkan diagnosa penurunan curah jantung. Tidak
ditemukan tanda-tanda

2
infeksi, pasien tampak mempunyai asupan nutrisi yang baik sehingga muncul
diagnosa risiko infeksi.
ARDS didefinisakan oleh Kriteria Berlin dengan gagal napas hipoksemik akut
dengan penyebab tertentu (seperti infeksi virus pernapasan) disertai munculnya
infiltrat bilateral pada foto thoraks/CT scan dengan menyingkirkan etiologi
kardiogenik atau hidrostatik. ARDS yang disebabkan oleh pneumonia biasa disebut
sebagai ARDS.
Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) disebabkan oleh penyakit
menular, seperti pneumonia yang disebabkan oleh berbagai patogen atau terkait
dengan kejadian tidak menular lainnya. Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
atau cedera paru akut yang parah adalah sindrom kritis yang disebabkan oleh etiologi
heterogen, dan ditandai dengan perkembangan akut gejala dan tanda pernapasan,
infiltrat difus bilateral pada pencitraan dada, dan hipoksemia berat. Tingkat keparahan
ARDS dikaitkan dengan prognosis yang buruk dan angka kematian yang lebih tinggi,
dan, menurut definisi Berlin, hipoksemia diagnostik didefinisikan sebagai
penurunan rasio PaO 2 /FiO 2 arteri dengan parameter 201–300 mmHg untuk
ARDS ringan, 101–200 mmHg untuk ARDS sedang. ARDS, dan ≤100 mmHg untuk
ARDS berat

2
BAB V
(Penutup)
A. Kesimpulan
Near drowning adalah suatu keadaan akibat tenggelam didalam air atau media cair
lainnya, dimana korban dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama. Jika korban tidak
dapat bertahan dalam 24 jam, digunakan istilah drowning. Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) merupakan sindrom, kumpulan observasi klinis dan fisiologis
yang menggambarkan suatu keadaan patologis. Patogenesis ARDS belum sepenuhnya
jelas dan belum ada gold standard untuk mendiagnosis. Gangguan koagulasi yang
sering terjadi pada sepsis diperkirakan mempengaruhi timbulnya ARDS,karena pada
ARDS terjadi deposisi fibrin intraalveolar, interstitial, dan intravaskular.
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Diharapkan untuk dapat menjaga kesehatan lingkungan sekitar dan dapat
menghindari pantai dengan ombak yang besar agar dapat mengantisipasi agar
tidak terlempar kedalam air.
2. Bagi tenaga Kesehatan
Diharapkan untuk dapat menangani pasien dengan cepat agar tidak telat
penanganan.

2
DAFTAR PUSTAKA

Rakhmatullah, R., & Sudjud, R. W. (n.d.). Diagnosis dan Tatalaksana ARDS. Sianturi1, I.

L., Sinatra2, J., & Tambunan3, R. (2020). Literature Review Faktor-Faktor


Yang Mempengaruhi Kejadian Kematian Pada Pasien Acute Respiratory Distress
Syndrome Di Icu. In Jurnal Kedokteran Methodist (Vol. 13, Issue 2).
https://ejurnal.methodist.ac.id/index.php/jkm/article/view/676

Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S, Simonetti U, Slutsky AS and Zhang H. Acute Respiratory


Distress Syndrome: New Definition, Current and Future Therapeutic Options.

Journal of Thoracic Disease. 2013; 5: 326-34.

Marantuan, R. S. (2022). Penatalaksanaan Acute Respiratory Distress Syndrome


(Ards). 1–29.

Amin, Z., Rahmawati, F. N., Mamudi, C. O., & Amanda, A. P. (2017). Clinical
characteristics of acute respiratory distress syndrome survived patients at a tertiary
hospital in Jakarta. Medical Journal of Indonesia, 26(1), 35–39.
https://doi.org/10.13181/mji.v26i1.1470

Aryasa E.M., T. (2019). Penatalaksanaan Ards. Universitas Udayana RSUP Sanglah


Denpasar, 1–38.

Pangerang, A. M. N., & Madjid, A. S. (2020). De-Resusitasi pada Sepsis Induced-Acute


Respiratory Distress Syndrome De-Resuscitation on Sepsis Induced-Acute Respiratory
Distress Syndrome. Anesthesia and Critical Care, 38(6), 15–23.

Anda mungkin juga menyukai