Dosen Pembimbing :
Ns. Iham Suryana, M.Kep., Sp.kep.MB
Di susun Oleh :
Pina (4338114401210030)
2. Etiologi
Penyebab abses mandibular paling sering diakibatkan oleh infeksi gigi, Nekrosis
pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam
merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Ondogen dapat
menyebar melalui jaringan ikat, pembuluh darah, dan pembuluh limfe (Eric &
Gilespi, 2010). Selain itu abses mandibular dapat disebabkan oleh sialadenitis
kelenjar submandibular, limfadenitis, trauma atau pembedahan lainnya. Pada
penyakit ini biasanya disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus
dan streptococcus mutans (Rahardjo, 2013 & Rana, dkk., 2013).
3. Patofisiologi
Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses yaitu Staphylococcus aureus
dan Stresptococcus mutans. Staphylococcus aureus memilik enzim aktif yang disebut
koagulasi yang fungsinya mendeposisi fibrin. Sedangkan Stresptococcus mutans
memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam infeksi gigi yaitu streptokinase,
streptodornase dan hyalurodinase. Hyalurodinase adalah enzim yang merusak
jembatan antar sel. Padahal, fungsi jembatan antar sel yaitu sebagai transport nutrisi
antar sel dan jalur komunikasi antar sel serta sebagai unsur penyusun dan penguat
jaringan. Jika jembatan ini rusak, maka kelangsungan hidup jaringan sel lain akan
rusak/mati/nekrosis. Apabila jaringan rusak/mati/nekrosis akan menjadi media
perkembangbiakan bakteri yang baik, dan akhirnya bakteri akan terus merambah ke
jaringan yang lebih dalam. Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal,
tentunya mengundang respon keradangan pada jaringan yang terinfeksi.
Setelah jaringan rusak/mati/nekrosis maka akan terjadi pembentukan pus oleh bakteri
pembuat pus (pyogenik) yang salah satunya juga bakteri Staphylococcus aureus.
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang
notabene nya adalah di dalam tulang. Sehingga untuk mencapai keluar tubuh, maka
abses ini harus menembus jaringan keras tulang, kemudian mencapai jaringan lunak,
barulah dapat keluar. Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu
virulensi bakteri, ketahanan jaringan dan perlekat.an otot. Virulensi bakteri yang
tinggi mampu menyebabkan kemudahan bakteri bergerak ke segala arah, ketahanan
jaringan yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah rusak,
sedangkan perlukaan otot mempengaruhi arah gerak abses.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Mckellop (2010) & Murray (2011) manifetasi klinis yang terjadi :
5. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi panoramic
Apabila penyebab abses mandibular berasal dari gigi
3. Rontgen Thoraks
Rontgen thorkas perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
obstruksi jalan napas, pneumonia akibat aspirasi abses.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Litha, Gadzali, dkk (2019) :
3. Terapi Analgesic
4. Perikarditis
5. Sepsis
8. WOC
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, usia, status, agama, alamat, pekerjaan, dan identitas
penanggung jawab.
a. Keluhan utama
Klien mengeluh terdapat benjolan pada area rahang bawah yang semakin lama
membesar.
b. Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh terdapat benjolan pada area rahang bawah yang semakin lama
membesar dan terasa nyeri.
c. Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami pembedahan dan infeksi gigi.
d. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan
tumor otak.
3) Pemeriksaan Fisik (ROS : Review of System)
a. Pernafasan B1 (breathing)
Pola napas : teratur, suara napas vesikuler, sonor, tidak sesak, namun
pada kasus abses mandibular yang parah dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas, pneumoni dan sepsis
Batuk : tidak ada
Bunyi jantung : normal S1S2 tunggal, tidak terdapat murmur dan gallop,
tidak terdapat peningkatan JVP, CVP
Kepala tidak ada kelainan, tidak ada lesi, persebaran rambut teratur,
pada bagian wajah terdapat benjolan pada bagian rahang bawah.
Mata : sclera anikterus, pupil isokor, pupil 3/3, konjungtiva anemis
Kebersihan : bersih
Bentuk alat kelamin : simetris, tidak ada pembesaran, tidak ada lesi
2. Diagnosa
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis ditandai dengan klien
mengeluh nyeri (D.0077)
2) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan kulit terasa
hangat, suhu tubuh diatas nilai normal (D.0130)
3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur/bentuk tubuh
ditandai dengan respon nonverbal dan persepsi tubuh (D.0083)
3. Intervensi
NO Diagnosa Luaran Intervensi
1 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen nyeri (1.08238)
agen pencedera tindakan keperawatan
Observasi
fisiologis selama 1x8 jam
ditandai dengan diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi,
klien mengeluh menurun dengan kriteria karakteristik, durasi,
nyeri (D.0077) hasil : frekuensi, kualitas dan
1. Keluhan nyeri intersitas nyeri.
menurun 2. Identifikasi skala nyeri
Terapeutik
1. Berikan teknik
norfarmakologi untuk
mengurangi nyeri (teknik
relaksasi napas dalam)
2. Berikan posisi yang
nyaman
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
1. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
2. Anjyrkan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri (teknik
relaksasi napas dalam)
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi
2 Hipertermia b.d Setelah dilakukan Manajemen Hipertermi
proses penyakit tindakan keperawatan
(1.05506)
ditandai dengan selama 1x8 jam
Observasi
dengan kulit
terasa hangat, diharapkan termoregulasi 1. Identifikasi
2. Anjurkan mengungkapkan
gambaran diri terhadap
citra tubuh
3. Implementasi
Merupakan tahap ke empat dalam tahap proses keperawatan dengan melaksanakan
berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana
keperawatan. (Nursalam, 2006).
Menurut Nursalam (2006) Tindakan keperawatan mencakup tindakan independent
(mandiri), dan kolaborasi.
1. Tindakan mandiri adalah aktifitas keperawatan yang didasarkan pada kesimpulan atau
keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan
lain.
2. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama seperti
dokter dan petugas kesehatan lain.
4. Evaluasi
Tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh
diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai (nursalam,
2006)
S : Ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara obyektif oleh keluarga setelah
diberikan implementasi keperawatan
O : Keadaan subyektif yang dapat diindentifikasi oleh perawat menggunakan pengamat yang
obyektif setelah implementasi keperawatan
A : Analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan masalah keluarga yang
dibandingkan dengan kriteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada tujuan rencana
keperawatan keluarga
P : Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisa pada tahap ini ada 2 evaluasi yang
dapat dilaksanakan oleh perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Eric, R., & Gilespie, MB. 2010. Deep neck space infection. In : Paul WF, Valerie JL, editors.
Cummings otolaryngology head and neck surgery. 5th edition. Philadelpia: Elsevier, p.631-52.
Health Encyclopedia. 2009. Disease and conditions: abscess – symptoms, treatment and
prevention. Available from:
Jason A, McKellop JA and Mukherji SK, 2010. Emergency Head and Neck Radiology: Neck
Infection. Available at: http://www.eMedicine Specialties//Otolaringology and facial plastic
surgery.com.