Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN NEUROLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS


UNIVERSITAS HASANUDDIN 2023

GUILLAIN BARRE SYNDROME

Disusun oleh :

Zarah Ainun YC065212015


Nur Islamy YC065212021
Willy Valerian Soumokil YC065212017
Eka Damayarti Adam YC065212018
Jonea Octavien Wijaya YC065212020

Residen Supervisi : dr. Ananda Asmara


Residen Pembimbing : dr. Ike Widyawati
Residen Link : dr. Primitha

Supervisor :
dr. Sri Wahyuni S. Gani, M.Kes, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat : GUILLAIN BARRE SYNDROME


Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

NAMA NIM
Zarah Ainun YC065212015
Nur Islamy YC065212021
Willy Valerian Soumokil YC065212017
Eka Damayarti Adam YC065212018
Jonea Octavien Wijaya YC065212020

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen


Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 15 Agustus 2023

Mengetahui,
Supervisor Pembimbing

dr. Sri Wahyuni S. Gani, M.Kes, Sp.S

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perbedaan sel saraf normal dengan penderita GBS ..........................6

Gambar 2. Patogenesis Guillain Barre Syndrome...............................................6

Gambar 3. Treatment Related Fluctuation........................................................14

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skala berat penyakit menurut Hughes dkk..........................................11

iii
DAFTAR ISI

Halaman sampul.................................................................................................... i
Lembar Pengesahan............................................................................................... ii
Daftar Gambar ......................................................................................................iii
Daftar Tabel ..........................................................................................................iii
Daftar isi ................................................................................................................iv
Bab I Pendahuluan .................................................................................................1
Bab II Tinjauan Pustaka .........................................................................................3
2.1 Definisi ......................................................................................................3
2.2 Epidemiologi .............................................................................................3
2.3 Etiologi ......................................................................................................4
2.4 Patofisiologi ...............................................................................................4
2.5 Klasifikasi ..................................................................................................7
2.6 Manifestasi Klinis ......................................................................................8
2.7 Diagnosis ...................................................................................................8
2.8 Penatalaksanaan .......................................................................................12
2.9 Diagnosis Banding ...................................................................................15
2.10 Komplikasi ............................................................................................16
2.11 Prognosis ...............................................................................................16
Bab III Kesimpulan ...............................................................................................17
Daftar Pustaka .......................................................................................................18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre (GBS) merupakan penyebab paling umum dari


kelemahan dan kelumpuhan neuromuskuler akut di seluruh dunia, meliputi
sekelompok gangguan yang dimediasi oleh imun akut yang terbatas pada saraf
perifer dan radiks. GBS disebut juga dengan Landry’s ascending paralysis,
diambildari nama Jean Baptiste Octave Landry de Thezillat yang pertama kali
melaporkankasus GBS pada tahun 1859. Insidensi penyakit ini hampir sama di
semua negara yaitu berkisar 0,6-1,9 per 100.000 populasi. Di Amerika Serikat,
setiap tahun diperkirakan 3.000 hingga 6.000 orang terkena GBS. Kebanyakan
orang sembuh total dari GBS, tetapi beberapa mengalami kerusakan saraf
permanen.1,2,3

Sindrom Guillain-Barre bisa terjadi pada semua kelompok usia. GBS lebih
sering terjadi pada anak usia 1-5 thn. Sindrom ini lebih umum terjadi pada pria
daripada wanita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasiri dkk pada 57
anak berusia 1 - 13 tahun yang didiagnosis GBS di rumah sakit Imam Hossein,
pusat rujukan pediatrik Provinsi Isfahan Iran Tengah pada tahun 2011 – 2014,
didapatkan bahwa frekuensi GBS secara keseluruhan lebih tinggi pada anak laki-
laki daripada perempuan (61,4% vs 38,6%).4

GBS dianggap sebagai gangguan autoimun yang dihasilkan dari sel T dan B
yang mengaktifkan respons imun terhadap beberapa agen infeksi sebelumnya
seperti Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus, virus Epstein-Barr,
Mycoplasma pneumoniae dan HIV. Meskipun jarang terjadi, tetapi ada laporan
yang menyatakanbahwa vaksinasi dan operasi dapat memicu GBS. Pada tahun
1976 ketika vaksinasiuntuk virus influenza A H1N1, terdapat 1 dari 100.000 orang
yang mengalami GBS. Kemudian pada tahun 2009 terdapat 1-6 kasus per
1.000.000 orang yang diberikan vaksin.5,6,7

Gejala klinis dari GBS umumnya terjadi kelemahan bilateral yang progresif
dan didahului baal selama 2-3 minggu setelah mengalami demam. Baal dan
kelemahan terjadi dari ekstremitas bawah bagian distal kemudian menjalar
ke bagian proksimal ke ekstremitas atas. Arefleksia atau menurunnya refleks

1
tendon di ekstremitas juga sering dijumpai. Selain itu, gejala-gejala tambahan
yang biasanya menyertai GBS antara lain gangguan pada N. Fasialis sisi
bilateral, facialflushing, kesulitan memulai BAK, kelainan dalam berkeringat,
dan penglihatan kabur (blurred visions).7

Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik


dibantu dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pemeriksaan fisik yang
dapat dilakukan pemeriksaan neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis,
refleks patologis dan derajat kelumpuhan motoris. Pemeriksaan profil CSF
(cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya kenaikan
protein dan jumlah sel. Profil CSF dapat menunjukkan hasil normal pada 48 jam
pertama onset GBS. Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu kedua sampai
mencapai puncak dalam 4-6 minggu. Pemeriksaan elektrofisiologis dilakukan
menggunakan Electromyogram (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV).
NCV akan menganalisa kecepatan impuls dan EMG akan merekam aktivitas otot
sehingga mampu mendeteksi kelemahan reflek dan respon saraf.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan polineuropati akut yang


disebakan oleh reaksi autoimun terhadap saraf perifer. Umumnya ditandai dengan
kelemahan progresif dari ekstremitas, parestesia ekstremitas, dan arefleksia relatif
atau komplit. GBS merupakan sekumpulan gejala poliradikuloneuropati autoimun
yang terjadi pasca-infeksi, terutama mengenaineuron motorik namun dapat juga
mengenai neuron sensorik dan otonom.

Sindrom Guillain-Barré adalah penyakit langka yang merupakan penyebab


paling sering dari kelemahan simetris flaccid akut pada tungkai dan arefleksia,
biasanya mencapai puncaknya dalam waktu satu bulan.2,4,8,10

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan ringkasan dari American Academy of Neurology (AAN)


guideline on Guillain-Barré syndrome, GBS terjadi pada 1 sampai 4 penderitaper
100.000 populasi di seluruh dunia per tahunnya, menyebabkan 25% penderita
gagal napas sehingga membutuhkan ventilator, 4%-15% kematian, 20%
kecacatan, dan kelemahan persisten pada 67% penderita. GBS dapat diderita baik
pria maupun wanita, berbagai usia, dan tidak dipengaruhi oleh ras. Akan tetapi,
kejadian GBS sebelumnya menunjukkan bahwa penderita pria lebih banyak 1,5
kali dibanding wanita, lebih sering terjadi pada pria berwarna kulit putih, dan
angka insiden tertinggi pada usia sekitar 30-50 tahun (usia produktif).2 Indsidensi
keseluruhan GBS telah diperkirakan 1–2 kasus per 100.000 pada anak di bawah
usia 15 tahun.9

Di Indonesia sendiri data GBS pada penelitian di RSUPN Cipto Mangun


Kusumo / RSCM sejak tahun 2010 hingga tahun 2014 didapat jumlah kasus baru
GBS pertahun di RSCM yaitu 7,6 kasus dan terjadi sepanjang tahun dan tidak
mengenal musim. Penderita GBS di RSCM terutama dewasa mudadengan rerata
usia 40 tahun dan rasio laki-laki : perempuan adalah 1,2 : 1.10

3
2.3 Etiologi

Guillain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh respon imun yang


menyimpang terhadap infeksi yang mengakibatkan kerusakan saraf perifer,
meskipun patogenesisnya tidak sepenuhnya dipahami. Insidensi penyakit ini dapat
meningkat selama wabah penyakit menular infeksius, seperti epidemi virus Zika
di Polinesia Prancis pada tahun 2013 dan di Amerika Latin dan Karibia tahun
2015-2016 dihubungkan dengan peningkatan individu yangdidiagnosis dengan
GBS.11

Penyebab GBS masih belum diketahui secara lengkap. Pada Sebagian besar
kejadian GBS terdapat riwayat infeksi yang mendahului beberapa minggu
sebelumnya. Setengah dari seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus
ataubakteri seperti dibawah ini:7

1. Infeksi virus : Citomagelovirus (CMV), Ebstein Barr Virus


(EBV),enterovirus, Influenza A virus dan Haemophilus influenza.

2. Infeksi Bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.

Beberapa studi juga menunjukkan adanya asosiasi GBS dengan vaksinasi


seperti vaksin Rabies, Influenza, Oral polio, Smallpox, Diphtheria dan tetanus,
Measles dan mumps, Hepatitis. Dua per tiga pasien dewasa terjadi sekitar 4
minggu setelah terjadi penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan
infeksi saluran pencernaan.7,12

2.4 Patofisiologi

Infeksi yang mendahului kasus GBS akan menimbulkan reaksi imun yang
akan merusak pada selubung myelin dan berhubungan dengan kerusakan pada
komponen sel Schwann dalam polineuropati demielinisasi. Selain selubung
myelin, maka pada neuropati akut aksonal motor maka aksolema atau membran
akson tentunya akan menjadi target utama dari injuri imun ini. Sebagian besar
pasien akan mengalami penurunan refleks tendon pada ekstrimitas yang terkena
defisit neurologis. Tingkat keparahan dan durasi penyakit ini sangat beragam
dari mulai kelemahan ringan (di mana pasien dapat pulih secara spontan) hingga
pasien mengalami kuadriplegia dan bergantung pada ventilator tanpa ada gejala
4
perbaikan selama beberapa bulan bahkan lebih lama. 7,13

Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai suatu penyakit


autoimmune, dimana sistem imun secara “keliru” menyerang myelin atau akson,
saraf pembawa signal dari dan menuju otak. Kekeliruan serangan imun ini dapat
timbul akibat permukaan C. jejuni mengandung polisakarida yang menyerupai
glikokunjugat jaringan saraf manusia. Kemiripan ini disebut “molecular
mimicry”, yang didefinisikan sebagai pengenalan ganda oleh reseptor sel-B atau
sel-T dari suatu struktur mikroba dan suatu antigen host, dan merupakan
mekanisme dimana infeksi mencetuskan reaksi silang antibodiatau sel-T yang
dapat menyebabkan penyakit autoimun.14

Sel T memegang peranan penting pada penyakit GBS, dimana sel T help
merupakan prasyarat yang penting untuk maturasi sel B dan produksi antibodi.
Pada penderita GBS, sel T dijumpai di saraf perifer.14

Ganglioside-like epitopes berada pada dinding bakteri C.jejuni yang dikenali


oleh limfosit B. Limfosit menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan
gangliosid GM1 yang ada pada myelin saraf tepi pasien GBS. Infeksi oleh
organisme lain juga dapat memicu respon antibodi yang sama. Perbedaanpola
GBS kemungkinan diakibatkan oleh keanekaragaman keterkaitan antara
antibodi dan sel-T dari spesifitas yang berbeda.14

5
Gambar 1. Perbedaan sel saraf normal dengan penderita GBS

Gambar 2. Patogenesis Guillain Barre Syndrome14

6
2.5 Klasifikasi

GBS terdiri dari beberapa subtipe, yaitu:2,12

• Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)


merupakan bentuk GBS yang paling umum terjadi, sekitar 90% dari kasus di
Amerika Utara dan Eropa. GBS jenis ini Terjadi karena makrofag menginvasi
selubung mielin sehingga menyebabkan akson tidak terselubungi.

• Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) / Acute Motor And Sensory


Neuropathy (AMSAN) merupakan GBS yang menyumbang sekitar 3-5% kasus
di negara maju lebih sering ditemukan di China, Jepang dan Mexico dan
terhitung sekitar 30-47% kasus di Asia dan Amerika Tengah danSelatan. GBS
jenis ini terjadi setelah infeksi campylobacter jejuni. Bentuk GBS ini memiliki
onset dan tingkat keparahan yang lebih cepat, sering menyebabkan kegagalan
pernapasan neuromuskuler dan ketergantungan ventilator serta keterlibatan saraf
kranial. GBS tipe AMAN terjadi karena makrofag menginvasi nodus Ranvier,
masuk di antara akson danaksolemma sel Schwann sehingga membuat selubung
mielin menjadi intak. Sedangkan GBS tipe AMSAN hampir sama dengan
AMAN dengan keterlibatan jaras ventral dan dorsal.

• Miller Fisher Syndrome merupakan jenis GBS yang menyumbang sekitar


5% dari semua kasus GBS. Insiden tahunan GBS jenis ini jauh lebih rendah
daripada bentuk GBS lainnya yaitu 0,1 per 100.000. Gejala utama adalah
disfungsi okulomotorik, ataksia, dan tidak adanya refleks. Banyak pasien
mengalami kelumpuhan fasial dan bulbar dan beberapa di antaranya
memerlukan ventilasi mekanis. GBS jenis ini terjadi karena sistem konduksiyang
abnormal akan tetapi penyebabnya masih belum jelas.

• Chronic Idiopathic Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP)


merupakan bentuk remisi kronis dari GBS yang muncul dengan kelemahan
kronis progresif atau relaps, kehilangan sensorik dan paresthesia, refleks tidak
ada dan / atau disfungsi saraf kranial. Prevalensinya sekitar 3-4 per 100.000
jiwa. Kegagalan pernafasan neuromuskuler dan disfungsi saraf kranial dapat
terjadi, meskipun lebih jarang daripada di AIDP.

7
2.6 Manifestasi Klinis

GBS seringkali muncul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah gejala
infeksi virus pada saluran pernafasan atas atau pada saluran pencernaan. Biasanya
gejala neurologis pertama adalah kelemahan anggota gerak simetris, seringkali
juga diikuti dengan mati rasa. Berlawanan dengan kebanyakan neuropati, otot
proximal kadang terpengaruh lebih besar dibandingkan dengan otot distal. Pada
beberapa kasus, otot wajah, mata, dan orofaring terpengaruh lebih dahulu. Lebih
dari 50% pasien mengalami diplegia wajah, dan disfagia maupun disartria terjadi
dalam jumlah kasus yang serupa. Beberapa pasien membutuhkan ventilasi
mekanik. Refleks tendon bisa normal dalam beberapa hari awal namun hilang
pada hari-hari berikutnya. Derajat gangguan sensoris memiliki banyak variasi.
Pada beberapa pasien, semua modalitas sensoris terjaga dengan baik, pada kasus
lain terdapat penurunan pada persepsi posisi sendi, getaran, rasa sakit, temperatur
dengan distribusi pada telapak tangan dan kaki. Pasien kadang mengalami
papiledem, ataksia sensoris, dan respon ekstensor plantar yang tidak permanen.
Disfungsi autonom termasuk hipotensi ortostatik, tekanan darah yang labil,
takiaritmia, dan bradiaritmia, atau takikardia menetap sering terjadi pada kasus
yang lebih parah dan menjadi sebab utama morbiditas dan mortalitas. Banyak
juga kejadian nyeri otot, dan bisa terjadi peningkatan sensitivitas saraf pada
penekanan, namun tidak ada tanda iritasi meningen seperti rigiditas nuchal.12

Manifestasi klinis yang jelas seperti: gejala pasti GBS yaitu kelemahan
progresif pada kaki dan tangan (dimulai dari kaki terlebih dahulu) dan hilangnya
refleks pada pada tungkai yang lemah. Gejala tambahan lainnya: fase progresif
yang dimulai dari beberapa hari hingga beberapa minggu (biasanya 2 minggu),
kesimetrisan yang relatif antara bagian tubuh kiri atau kanan, kelemahan pada
saraf kranial terutama kelemahan saraf fasialis bilateral, disfungsi autonomis, dan
kadang disertai nyeri.13

2.7 Diagnosis

Diagnosis GBS dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik


dibantu dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Pada anamnesis biasanya
didapatkan riwayat infeksi yang mendahului beberapa minggu sebelumnya,

8
diikuti kelemahan otot yang progresif, ascending, simetris serta arefleksia atau
menurunnya refleks tendon di ekstremitas juga sering dijumpai.2

Pada pemeriksaan fisis dapat dilakukan pemeriksaan neurologis meliputi


sensibilitas, reflek fisiologis, refleks patologis dan derajat kelumpuhan motoris.
Refleks tendon bisa normal dalam beberapa hari awal namun hilang pada hari-
hari berikutnya. Derajat gangguan sensoris memiliki banyak variasi. Pada
beberapa pasien, semua modalitas sensoris terjaga dengan baik, namun pada
kasus lain terdapat penurunan pada persepsi posisi sendi, getaran, rasa sakit,
temperatur dengan distribusi pada telapak tangan dan kaki. Pasien kadang
mengalami papiledem, ataksia sensoris, dan respon ekstensor plantar yang tidak
permanen. Disfungsi autonom termasuk hipotensi ortostatik, tekanan darah yang
labil, takiaritmia, dan bradiaritmia, atau takikardia menetap sering terjadi pada
kasus yang lebih parah dan menjadi sebab utama morbiditas dan mortalitas.
Banyak juga kejadian nyeri otot, dan bisa terjadi peningkatan sensitivitas saraf
pada penekanan, namun tidak ada tanda iritasi meningen seperti rigiditas
nuchal.3,12

Kriteria diagnosis GBS yang sering dipakai pada GBS adalah kriteria menurut
Gilroy dan Meyer, yaitu jika memenuhi lima dari enam kriteria berikut:2

1. Kelumpuhan flaksid yang timbul secara akut, bersifat difus dan simetris
yang dapat disertai oleh paralysis facialis bilateral.
2. Gangguan sensibilitas subyektif dan obyektif biasanya lebih ringan dari
kelumpuhan motoris.
3. Pada sebagian besar kasus penyembuhan yang sempurna terjadi dalam
waktu 6 bulan.
4. Peningkatan kadar protein dalam cairan otak secara progresif dimulai
pada minggu kedua dari paralisis, dan tanpa atau dengan pleositosis ringan
(disosiasi sito albuminemik).
5. Demam subfebril atau sedikit peningkatan suhu selama berlangsungnya
kelumpuhan.
6. Jumlah leukosit normal atau limfositosis ringan, tanpa disertai dengan
kenaikan laju endap darah.

9
Kriteria diagnosis menurut National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) sebagai berikut:10

a) Tanda minimum untuk penegakan diagnosis:

a. Kelemahan progresif pada kedua lengan dan tungkai (dapat dimulai


dari ekstremitas bawah)
b. Hiporefleksia atau arefleksia

b) Tanda yang memperkuat diagnosis:

a. Perburukan gejala hingga 28 hari (4 minggu)


b. Pola distribusi defisit neurologis yang simetris
c. Gangguan sensorik minimal
d. Gangguan nervus cranial, terutama kelemahan otot fasialis bilateral
e. Disfungsi saraf autonom
f. Nyeri
g. Peningkatan protein pada cairam serebrospinal (CSS)
h. Gambaran elektrodiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria GBS

c) Tanda yang meragukan diagnosis:

a. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan


ekstremitaspada awal onset
b. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas
pada awal onset
c. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset
d. Demam pada awal onset
e. Defisit sensorik berbatas tegas
f. Progresivitas lambat dengan gangguan motorik minimal tanpa
keterlibatan sistem pernapasan (lebih sesuai dengan subacute atau
chronic inflammatorydemyelinating polyneuropathy)
g. Kelemahan asimetris persisten
h. Gangguan BAK atau BAB persisten
i. Peningkatan jumlah sel mononuclear pada cairan serebrospinal (CSS)

10
(>50/mm3)
j. Peningkatan sel polimorfonuklear pada cairan serebrospinal (CSS)

Disfungsi saraf otonom sering ditemukan hingga dua pertiga kasus GBS
dengan manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan darah, respons
hemodinamik yang abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan miksi,
defekasi dan berkeringat.

Derajat berat ringannya penyakit ditentukan menurut skala ordinal dari


Hughes dkk. seperti berikut:2

Derajat Deskri
psi
0 Sehat

1 Terdapat keluhan dan gejala neuropati ringan, tapi


penderita masih dapar melakukan pekerjaan tangan

2 Dapat jalan tanpa alat bantu (tongkat) tapi tidak dapat


melakukan pekerjaan tangan

3 Dapat jalan dengan bantuan tongkat atau seseorang.

4 Hanya dapat duduk di kursi roda atau terus berbaring di


tempat tidur.

5 Dengan kegagalan pernapasan dan memerlukan ventilator.

6 Meninggal.

Tabel 1. Skala berat penyakit menurut Hughes dkk

Pemeriksaan penunjang pada GBS yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan


profil CSF (cerebrospinal fluid) melalui pungsi lumbal untuk melihat adanya
kenaikan protein(100-1000 mg/dL) dan jumlah sel. Pada pasien GBS biasanya
akan didapatkan kadar protein yang meningkat dan penurunan leukosit pada
cairan serebrospinalnya. Profil CSF dapat menunjukkan hasil normal pada 48
jam pertama onset GBS. Kenaikan akan terjadi pada akhir minggu kedua sampai
mencapai puncak dalam 4-6 minggu.2,15

Pemeriksaan elektrofisiologis dilakukan menggunakan Electromyogram


(EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV). NCV akan menganalisa

11
kecepatan impuls, pada penderita GBS sinyal yang berjalan di sepanjang saraf
lambat. Pemeriksaan EMG akan merekam aktivitas otot sehingga mampu
mendeteksi kelemahan reflek dan respon saraf. 2,15

Pemeriksaan MRI otak, pada 11% kasus ensefalitis batang otak Bickerstaff,
dapat ditemukan adanya lesi fokal pada T2W MRI di mesensefalon, thalamus,
serebelum, dan batang otak.20

Pada darah tepi, ditandai dengan leukositosis polimononuklear, sedang dengan


pergeseran ke bentuk imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan
fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eusinofilia jarang
ditemui. LED dapat meningkat sedikit atau normal.16

2.8 Penatalaksanaan

Tidak ada obat yang diketahui dapat mengobati GBS. Beberapa terapi yang
dilakukan untuk mengurangi keparahan penyakit, mempersingkat waktu
penyembuhan serta mengobati komplikasi seperti pneumoni atau ulkus
decubitus.

• Perawatan Fase Akut

Saat ini ada dua perawatan yang biasa digunakan untuk menghentikan
kerusakan saraf terkait kekebalan. Salah satunya adalahpertukaran plasma (PE,
juga disebut plasmaferesis); yang lainnya adalah terapi imunoglobulin dosis
tinggi (IVIg). Kedua pengobatan samaefektifnya jika dimulai dalam dua minggu
setelah timbulnya gejala GBS, tetapi imunoglobulin lebih mudah diberikan. PE
dapat bekerja dengan menghilangkan antibodi buruk yang telah merusak saraf.
Pemberian IVIg kepada penderita GBS, akan menyebabkan berkurangnya
serangan kekebalan pada sistem saraf. IVIg juga dapat mempersingkat waktu
pemulihan.15

Imunoterapi dapat diberikan sejak onset gejala neuropati pertama kali


muncul. Manfaat terbaik muncul pada pemberian imunoterapi dalam 2 minggu
pertama onset pada pasien dengan GBS Disability Score  3. Baik plasmafaresis
dan imunoglobulin in-travena (IV) memiliki efektifitas yang sama dalam

12
perbaikan kekuatan motorik pasien, peningkatan GBS disability score, dan
penurunan kebutuhan penggunaan ventilator pada pasien dengan gagal napas. 19

Plasmaferesis dilakukan lima kali dalam waktu 2 minggu dengan jumlah


maksimum pertukaran plasma sebanyak lima kali dari volume plasma (200-
250mL/kgBB). Dosis total imunoglobulin IV adalah 2g/kg BB diberikan dalam
5 hari. Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS disability
score <3) tetap dapat memberikan manfaat namun perlu memperhitungkan
efisiensi pengobatan. Penelitian menunjukan pemberian plasmateresis diikuti
pemberian imunoglobulin IV memberikan hasil yang sama dengan pemberian
terapi plasmaferesis saja atau imunoglobulin saja oleh karena itu tidak
dianjurkan untuk melakukan kedua terapi namun dipilih satu modalitas saja
plasmaferesis atau IVIG.19

Pemberian kortikosteroid oral maupun IV tidak memberikan manfaat pada


kasus GBS. Hormon steroid anti-inflamasi yang disebut kortikosteroid juga telah
dicoba untuk mengurangi keparahan sindrom Guillain-Barré. Namun, uji klinis
terkontrol telah menunjukkan bahwa pengobatan ini tidak efektif.19

Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan setiap 1-4 jam untuk meminimalkan
risiko gagal napas berupa evaluasi frekuensi serta kedalaman napas, kapasitas
vital paru-paru, dan kemampuan refleks batuk.

Perawatan suportif sangat penting untuk mengatasi banyak komplikasi


kelumpuhan saat tubuh pulih dan saraf yang rusak mulai pulih. Kegagalan
pernapasan dapat terjadi di GBS, jadi pemantauan ketat pernapasan seseorang
harus dilakukan. Terkadang ventilator mekanis digunakan untuk membantu
mendukung atau mengontrol pernapasan. Sistem saraf otonom juga bisa
terganggu, menyebabkan perubahan detak jantung, tekanan darah, buang air
kecil, atau berkeringat. Oleh karena itu, pasien akut GBS harus memakai monitor
jantung atau peralatan yang mengukur dan melacak fungsi tubuh. Kadang-
kadang kerusakan saraf terkait GBS dapat menyebabkan kesulitan menangani
sekresi di mulut dan tenggorokan, sekresi tersebut dapat masuk ke saluran napas
dan menyebabkan pneumonia.15

13
 Perawatan rehabilitasi

Komplikasi pada GBS dapat mempengaruhi beberapa bagian tubuh. Sehingga


dibutuhkan seorang terapis untuk mencegah atau mengobati komplikasi, seperti
menggerakkan dan memposisikan anggota tubuh pasien GBS secara manual
untuk membantu menjaga otot tetap fleksibel dan mencegah pemendekan otot.
Suntikan pengencer darah dapat membantu mencegah pembentukan gumpalan
darah yang berbahaya di pembuluh darah kaki. Manset tiup juga dapat
ditempatkan di sekitar kaki untukmemberikan kompresi intermiten. Metode ini
membantu mencegah stagnasidarah dan lumpur (penumpukan sel darah merah
di pembuluh darah, yang dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah) di
pembuluh darah kaki. Kekuatan otot mungkin tidak kembali secara seragam,
beberapa otot yang menjadi kuat lebih cepat mungkin cenderung mengambil alih
fungsi yang biasanya dilakukan oleh otot yang lebih lemah. Terapis harus
memilih latihan khusus untuk meningkatkan kekuatan otot yang lebih lemah
sehingga fungsi aslinya dapat diperoleh kembali.15

Gambar 3. Treatment Related Fluctuation20

14
2.9 Diagnosis Banding

GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti
mielopati dan poliomyelitis. Pada mielopati ditemukan adanya spinal cord
syndrome dan pada poliomielitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris,
dan disertai demam. GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya.
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga
harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot
ekstraokular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi
ophtalmoplegia. Miositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS,
namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK
menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal. 16

• Poliomyelitis

Penyakit ini ditandai dengan adanya demam dan myalgia yang berat, diikuti
dengan kelumpuhan otot tipe flaksid yang asimetris. Pada cairan serebrospinal
dijumpai pleocytosis dan tidak dijumpai keterlibatan sensorik.17

• Botulism

Sering terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi makanan kaleng. Gejala


diawali dengan diplopia.17

• Neuropati logam berat

Onset kelemahan lebih lambat. Pada kebanyakan kasus dijumpai riwayat


terpapar logam berat di daerah industri.17

• Paralisis periodik hipo atau hiperkalemik

Onset yang tiba – tiba dari paralisis general dengan disertai salah satuapakah
hipo atau hiperkalemik.17

• Polymyositis akut

Dijumpai kelemahan simetris otot proximal dengan onset akut. Ruamsering


didapati pada dermatomysitis. Laju endap darah dan level creatine

15
phosphokinase meningkat.17

• Myasthenia gravis

Ptosis dan kelemahan okulomotor yang merupakan gambaran GBS pada


beberapa kasus dapat menyerupai myasthenia gravis, tetapi pada perjalanan
penyakit selanjutnya tidak dijumpai gangguan sensoris, reflek tendon (+).17

2.10 Komplikasi

Komplikasi dan efek akut dari GBS yang dapat terjadi seperti kegagalan
pernapasan neuromuscular, kelemahan wajah dan kelumpuhan bulbar, Disfungsi
otonom termasuk aritmia jantung, tekanan darah labil dan hipotensi postural,
ileus paralitik dan retensi urin, serta sindrom sekresi ADH yang tidaktepat.12

2.11 Prognosis

Prognosis umumnya baik tetapi pada sebagian kecil dapat meninggal atau
mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu
3 bulan bila dengan keadaan :18

• Pada pemeriksaan EMG relatif normal


• Mendapat terapi plasmaferesis dalam 4 minggu mulai saat onset
• Progresifitas penyakit lambat dan pendek
• Penderita usia dibawah 60 tahun

Sekitar setengah dari semua pasien penderita GBS mengalami neuropati


residual jangka panjang yang mempengaruhi serabut syaraf bermyelin baik
dengan ukuran besar maupun sedang. Secara keseluruhan, pasien yang
menderita GBS cenderung berkurang kualitas hidup maupun fungsi fisiknya.
Pada kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami rekurensi GBS.12

16
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (GBS) merupakan penyebab paling umum dari


kelemahan dan kelumpuhan neuromuskuler akut di seluruh dunia, meliputi
sekelompok gangguan yang dimediasi oleh imun akut yang terbatas pada saraf
perifer dan radiks. GBS bersifat akut dan dianggap sebagai penyebab paling
umum dari paralisis flaksid akut pada anak sehat. Penyebab GBS masih belum
diketahui secara lengkap. Manifestasi klinis yang sering di dapatkan pada kasus
GBS seperti: kelemahan progresif pada kaki dan tangan (dimulai dari kaki
terlebih dahulu) dan hilangnya refleks pada pada tungkai yang lemah. Pada
Sebagian besar kejadian GBS terdapat riwayat infeksi yang mendahului
beberapa minggu sebelumnya. Untuk mendiagnosis GBS dapat dilakukan
dengan anamnesis untuk menggali gejala awal yang dialami, pemeriksaan fisik
utamanaya pemeriksaan neurologis serta pemeriksaan penunjang seperi
pemeriksaan cairan serebrospinal, EMG dan NCV. Terapi pada pasien GBS
dilakukan untuk mengurangi keparahan penyakit, mempersingkat waktu
penyembuhan serta mengobati komplikasi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. S. Liu, C. Dong and E. E. Ubogu, "Immunotherapy of Guillain-Barre


Syindrome," HumanVaccines & Immunotherapeutics, pp. 2569-2579, 2018.

2. F. F. Wahyu, "Guillain-Barre Syndrome : Penyakit Langka Beronset Akut yang


Mengancam Nyawa," vol. 1, 2018.

3. C. f. D. C. a. P. "https://www.cdc.gov/vaccinesafety/concerns/guillain-
barresyndrome.html#," Centers for Disease Control and Prevention, 14
Agustus 2020. [Online]. Available:
https://www.cdc.gov/vaccinesafety/concerns/guillain- barresyndrome.html#.
[Accessed 20 Oktober 2021].

4. J. Nasiri, M. Ghazavi, O. Yaghini and M. Chaldavi, "Clinical Features and


Outcome of Guillain-Barre Syndrome in Children," vol. 12, 2018.

5. V. Ansar and N. Valadi, "Guillain-Barre Syndrome," Prim Care, vol. 2, no. 42,
pp. 189193,2015.

6. S. Dash, A. Pai, U. Kamath and P. Rao, "Pathophysiology and Diagnosis of


GuillainBarreSyndrome - Challenges and Needs," Int J Neurosei, vol. 4, no.
125, pp. 235-240, 2015.

7. H. Willison, B. Jacobs and P. Van Doorn, "Guillain-Barre Syndrome," 2016.

8. A. K. Jasti, C. Selmi, J. C. Sarmiento-Monroy, D. A. Vega, J.-m. Anaya and


M. E. Gersgwin, "Guillain Barre Syndrome: Causes, Immunopathogenic
Mechanisms and Treatment," vol. 12, no. 11, pp. 1175-1189, 2016.

9. A. A. Momen and A. Shakurnia, "The Epidemiology Guillain-Barre Syndrome


in ChildrenUnder 15 Years Old in Southwest Iran," Biomedicine Hub, pp. 1-8,
2017.

10.T. Anindhita and W. Wiratman, Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama,
Jakarta:Departemen Neurologi FK UI, 2017.

11. S. E. Leonhard, M. R. Mandarakas, F. A. A. Gondim, K. Bateman, M. L. B.


Ferrreira, D.
R. Cornblath, P. A. v. Doorn, M. E. Dourado, R. A. C. Hughes, B. Islam

12. S. N. Kurniawan, Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran


Berkelanjutan II Neurologi, Malang: PT Danar Wijaya, 2013.

13. Theresia, "Laporan Kasus Penanganan Sindroma Guillain-Barre dengan Terapi


Plasmaferesis," Nursing Current, vol. 5, no. 2, pp. 8-19, 2017.

14. S. Rinaldi, K. M. Brennan, G. Kalna, C. Walgaard, P. v. Doorn, B. C. Jacobs,


R. K. Yu, J. Mansson, C. S. Goodyear and H. J. Willison, "Antibodies to
Heteromeric Glycolipid Complexes in Guillain Barre-Syndrome," Plos One,
vol. 8, no. 12, pp. 1-13, 2013.

18
15. N. I. o. N. D. a. S. "https://www.ninds.nih.gov," NIH, 16 Maret 2020. [Online].
Available: https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-
Education/FactSheets/Guillain-Barr%C3%A9-Syndrome-Fact-Sheet#3139_4.
[Accessed20 Oktober 2021].

16. Rianawati, Sri Budhi. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Sagung Seto. 2017.17

17. Pritchard J. 2010. Guillain-Barre syndrome. Clin Med. 10-399-401.

18. Hakim, Manfaluthy, 2011, Guillain Barre Syndrome Vol 2 No.4, Jakarta :
Departemen Neurologi FKUI-RSCM p 09-16.

19. Anindhita T, Wiratman W. 2017. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama.
Jakarta: Departemen Neurologi FK UI.

20. Manfaluthy Hakim, Suryani Gunadharma, Mudjiani Basuki, 2018. Buku GBS
CIDP MG IMUNNOTERAPI. Edisi Pertama. Jakarta: Kelompok Studi
Neurofisiologi Klinik dan Saraf tepi Pengurus Pusat PERDOSSI.

19

Anda mungkin juga menyukai