Analisis Indeks
Analisis Indeks merupakan teknik yang digunakan dalam menganalisis laporan keuangan
untuk mengidentifikasi apakah kondisi keuangan suatu perusahaan mengalami peningkatan,
penurunan, atau stabil. Perubahan dalam posisi keuangan ini dapat diidentifikasi melalui
laporan keuangan yang disusun selama tiga periode atau lebih. Angka indeks digunakan
untuk menunjukkan tren tersebut, di mana angka indeks 100 mewakili tahun dasar. Tahun
dasar bukan selalu tahun pertama, tetapi merupakan tahun yang dianggap mewakili. Prosedur
penyusunan laporan dengan menggunakan indeks adalah:
Trend dari suatu pos dalam neraca atau laporan rugi laba hanya merupakan data, dan
belum menjadi informasi sampai dikaitkan dengan pos-pos lainnya. Sebagai contoh,
kenaikan penjualan harus dikaitkan dengan aset produktif perusahaan pada periode yang
sama, harga pokok penjualan, dan biaya operasional.
Ketika tren kenaikan penjualan selama beberapa periode dikaitkan dengan aset yang
beroperasi pada periode yang sama, ini akan memberikan informasi tentang tingkat
perputaran aset yang merupakan perbandingan antara jumlah penjualan dengan jumlah aset
yang beroperasi. Namun, interpretasi tingkat pemanfaatan aset ini harus dilakukan dengan
hati-hati karena rasio ini hanya mengukur:
1) Keterkaitan antara pendapatan bersih dengan aset yang digunakan tidak memberikan
informasi tentang keuntungan yang diperoleh.
2) Pendapatan bersih hanya mencakup satu periode, sementara jumlah aset produktif
mencerminkan akumulasi kekayaan perusahaan selama beberapa periode. Kemungkinan
adanya ekspansi yang belum menghasilkan peningkatan pendapatan sehingga rasio pada
tahun pertama mungkin terlihat rendah.
3) Tingkat penjualan mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar kendali perusahaan,
yang dikenal sebagai faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, tren
hubungan antara penjualan dan aset perlu diselidiki lebih lanjut.
PT. PRADNYANA
NERACA PERBANDINGAN DENGAN PERSEN KECENDERUNGAN PER 31 DESEMBER
2008-2012
POS-POS Desember 31 (000.000) % kecenderungan th dasar
2008=100%
Aktiva Lancar 2008 2009 2010 2011 2012 2009 2010 2011 2012
Jumlah Aktiva Lancar 149 153 181,5 214,5 256 103 122 144 172
Tanah 7,5 7,5 7,5 7,5 7,5 100 100 100 100
Bangunan 71 78 73,5 54,5 50,5 110 104 77 71
Cad. Peny. Aktiva (9) (11) (11) (12) (13) (117) (122) (133) (144)
tetap
Jumlah aktiva 251 263,5 283 309,5 346 105 113 123 138
Hutang dan modal :
Jumlah hutang lancer 69 88,5 141,5 170 224,5 128 205 246 325
Jumlah hutang 74 93,4 146,5 175 229 126 198 236 310
Jml. Hutang & modal251 263,5 283 309,5 346 105 113 123 138
PT PRADNYANA
LAPORAN LABA RUGI PERBANDINGAN DENGAN PERSEN KECENDERUNGAN 31
DESEMBER 2008-2012
Desember 31 (Rp. 000.000) Persen kecenderungan th
POS-POS dasar 2008 = 100%
2008 2009 2010 2011 2012 2009 2010 2011 2012
Biaya lain-lain (bunga) 1,5 2 2,5 5,5 7,5 133 167 367 500
1) Aspek Likuiditas
Dari tahun 2008 hingga 2012, terlihat peningkatan masing-masing 3%, 22%, 44%, dan
72% untuk aset lancar. Sementara itu, kenaikan utang lancar dalam periode yang sama
adalah 28%, 105%, 146%, dan 225%. Dari peningkatan persentase tersebut, terlihat
bahwa kenaikan utang lancar jauh melebihi kenaikan aset lancar. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa kecenderungan likuiditas cenderung menurun.
2) Aspek Solvabilitas
Selama periode 2008 hingga 2012, terjadi peningkatan utang sebesar 26%, 98%, 136%,
dan 210%, sementara penurunan modal sendiri dalam periode yang sama adalah 4%,
23%, 24%, dan 34%. Data ini menunjukkan adanya kecenderungan perubahan yang
semakin besar dalam penggunaan dana pinjaman. Dari data tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tren solvabilitas perusahaan cenderung menurun.
3) Aspek Rentabilitas
Tren laba dari tahun ke tahun menunjukkan fluktuasi. Laba operasional turun 5% pada
tahun 2009, naik 26% pada tahun 2010, naik 14% pada tahun 2011, dan turun 11% pada
tahun 2012. Sementara itu, jumlah aset meningkat sebesar 5%, 13%, 23%, dan 38% dari
tahun 2008 hingga 2012. Dari tren data tersebut, dapat disimpulkan bahwa rentabilitas
perusahaan cenderung menurun.
4) Aspek Aktivitas Usaha
Tren penjualan bersih menunjukkan penurunan dari tahun 2009 hingga 2011 sebesar 9%,
33%, 14%, dan meningkat 4% pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan tren piutang
dagang yang mengalami kenaikan dari tahun 2009 hingga 2012 sebesar 4%, 35%, 71%,
dan 98%, dapat disimpulkan bahwa bagian penagihan bekerja kurang efektif. Seharusnya,
jika tren penjualan turun, tren piutang dagang seharusnya juga turun. Selain itu, jika
dibandingkan dengan tren persediaan yang menunjukkan kenaikan dari tahun 2009
hingga 2012 sebesar 3%, 17%, 31%, dan 61%, dapat disimpulkan bahwa ada
kemungkinan bagian pembelian, pemasaran, atau produksi bekerja kurang efisien. Jika
bahan baku yang menumpuk, maka bagian pembelian mungkin kurang efisien, sedangkan
jika barang jadi atau barang dalam proses yang menumpuk, kemungkinan bagian
pemasaran atau produksi yang bekerja kurang efisien.
2. Analisis Common Size
Analisis common size adalah analisis yang disusun dengan menghitung tiap-tiap rekening
dalam laporan rugi laba dan neraca menjadi proporsi dari total penjualan (untuk laporan rugi
laba) atau dari total aktiva (untuk neraca). Laporan keuangan dalam persentase per-
komponen (Common-size Statement) menyatakan masing-masing posnya dalam satuan
persen atas dasar total kelompoknya, cara penyusunan laporan keuangan ini disebut teknik
analisis common size dan termasuk metode vertikal.
Apabila neraca disusun secara komparatif dalam bentuk persentase per komponen
(misalnya dua tahun berturut-turut), dapat memberikan informasi tentang perubahan
komposisi, baik dalam komposisi investasi maupun struktur modal.
Laporan rugi laba yang disusun dalam bentuk persentase per komponen (persentase atas
dasar total penjualan) dapat menggambarkan alokasi setiap Rp. 1,00 penjualan kepada
masing-masing elemen biaya dan laba. Jika disusun secara komparatif, dapat
menggambarkan perubahan alokasi tersebut.
Contoh Analisis Common Size
Cara menghitung persentase per komponen adalah sebagai berikut: Pos-pos dalam neraca
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu aktiva dan pasiva. Setiap kategori ini (total aktiva
dan total pasiva) diungkapkan sebagai 100%, sedangkan setiap pos yang termasuk dalam
setiap kategori diungkapkan dalam persentase dari total aktiva atau pasiva.
Contoh:
= 9.29%
Dari neraca yang disusun dalam bentuk persentase per komponen tersebut, terlihat bahwa
selama dua tahun, telah terjadi perubahan dalam komposisi, baik dalam aktiva (seperti kas,
persediaan) maupun pasiva (seperti utang jangka panjang).
Contoh:
= 30%
Dari perhitungan rugi laba, terlihat bahwa distribusi setiap Rp. 1,00 penjualan kepada harga
pokok penjualan, misalnya, mengalami penurunan, meskipun distribusi untuk biaya lainnya
(pemasaran, administrasi, dan bunga), secara total mengalami kenaikan.
Nilai tambah pasar atau Market Value Added (MVA) merupakan perbedaan antara nilai
saham dan jumlah ekuitas yang telah ditanamkan oleh investor. Tujuan utama perusahaan
adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham dengan cara memaksimalkan
selisih antara nilai pasar ekuitas dan jumlah yang ditanamkan investor dalam perusahaan.
Selisih ini disebut Market Value Added (MVA). MVA digunakan untuk mengevaluasi
pengaruh kinerja manajerial dari awal perusahaan hingga saat ini. MVA yang dihasilkan oleh
kinerja manajerial sepanjang umur perusahaan dihitung dengan present value (Mirza &
Imbuh, 1999).
MVA diperoleh melalui selisih antara nilai pasar ekuitas dengan modal ekuitas yang
disetor. Nilai pasar ekuitas didapat dengan mengalikan jumlah saham beredar dengan harga
saham, sementara modal ekuitas yang disetor sama dengan total ekuitas perusahaan atau nilai
buku ekuitas. Dengan demikian, formula MVA dapat dituliskan sebagai berikut:
MVA = Nilai Pasar Ekuity - Modal Ekuitas yang Disetor Pemegang Saham
PT Wisatawan memiliki market value of equity Rp 150 juta dan nilai modal yang disetor
adalah Rp 10 juta.
MVA PT WISTAWAN tahun 2011 adalah Rp 254 juta dan tahun 2012 adalah Rp 460 juta,
Hal tersebut menunjukkan bahwa dampak tindakan manajerial sejak perusahaan berdiri
meningkat pada tahun 2011 dan 2012 masing-masing sebesar 254 juta dan Rp 460 juta.
Nilai tambah ekonomi (Economic Value Added/EVA) adalah selisih antara laba operasi
setelah pajak dan total biaya modal, termasuk biaya modal ekuitas. EVA merupakan
perkiraan nilai yang dihasilkan oleh manajemen selama satu tahun. EVA berbeda secara
signifikan dengan laba akuntansi karena tidak memasukkan biaya modal ekuitas. Sementara
Market Value Added (MVA) mengukur dampak tindakan manajerial sejak perusahaan
berdiri, EVA lebih menekankan pada efektivitas manajerial spesifik. EVA adalah ukuran
nilai tambah ekonomis yang dihasilkan oleh perusahaan sebagai hasil dari kegiatan atau
strategi manajemen. EVA dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
EVA = Laba Bersih Operasi Setelah Pajak (NOPAT) - Biaya Modal Setelah Pajak
Yang Diperlukan Untuk Mendukung Operasi
EVA = EBIT(1-Pajak Perusahaan) - (Biaya operasi)(Biaya Modal Setelah Pajak)
Modal operasi, atau operating capital, merupakan total hutang, saham preferen, dan
saham biasa yang digunakan untuk mendukung aset operasi bersih atau net operating asset,
yaitu modal kerja operasi bersih atau net operating working capital ditambah investasi pabrik
dan peralatan bersih. EVA mampu menghitung laba ekonomi aktual suatu perusahaan pada
tahun tertentu dan sangat berbeda dari laba akuntansi. EVA mencerminkan pendapatan
residual yang tersisa setelah semua biaya modal, termasuk modal saham, telah dikurangkan,
sedangkan laba akuntansi dihitung tanpa mengurangkan biaya modal.
Dengan adanya EVA, pemilik perusahaan akan memberikan penghargaan pada kegiatan
yang menambah nilai dan menghilangkan fasilitas yang merugikan atau mengurangi nilai
keseluruhan perusahaan. Hal ini membantu manajemen dalam menetapkan tujuan internal
perusahaan untuk implikasi jangka panjang. Sebuah sistem pengukuran kinerja perusahaan
harus mampu memisahkan kegiatan yang menambah nilai dengan kegiatan yang tidak
menambah nilai, sehingga manajemen organisasi dapat fokus pada pengurangan biaya-biaya
yang timbul akibat kegiatan yang tidak menambah nilai. Dengan menyampaikan dari awal
bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimalkan nilai daripada laba, manajer menjadi lebih
terfokus pada penciptaan nilai daripada hanya mengejar laba besar.
EVA memberikan pengukuran yang lebih baik atas nilai tambah yang diberikan
perusahaan kepada pemegang saham. Oleh karena itu, manajer yang memprioritaskan EVA
dianggap telah beroperasi dengan cara yang konsisten untuk memaksimalkan kemakmuran
pemegang saham. Perlu dicatat bahwa EVA juga dapat diterapkan pada tingkat divisi atau
anak perusahaan, sehingga EVA menjadi salah satu kriteria yang lebih baik dalam
mengevaluasi kebijakan manajerial dan kompensasi.
4.1 Keunggulan Economic Value Added (EVA)
1. Pihak manajemen perusahaan dapat melakukan banyak hal untuk menciptakan nilai
tambah, tetapi pada prinsipnya EVA akan meningkat jika manajemen melakukan
satu dari tiga hal berikut ini (Stewart 1991):
(1) Meningkatkan laba operasi tanpa adanya tambahan modal berarti manajemen
dapat menggunakan aktiva perusahaan secara efisien untuk mendapatkan
keuntungan yang optimal
(2) Menginvestasikan modal baru ke dalam proyek yang mendapatkan return lebih
besar dari pada biaya modal yang ada.
(3) Menarik modal dari aktivitas-aktivitas usaha yang tidak menguntungkan.
2. Govindarajan penerjemah Kurniawan (2002) mengungkapkan keunggulan EVA
sebagai pengukuran kinerja keuangan perusahaan meliputi :
(1) Dengan EVA, seluruh unit usaha memiliki sasaran laba untuk perbandingan
investasi yang sama. Dengan meningkatnya EVA maka investasi-investasi akan
menghasilkan laba diatas biaya modal sehingga akan lebih menarik para
manajernya untuk berinvestasi dalam perusahaan tersebut.
(2) Adanya tingkat suku bunga yang berbeda dapat digunakan untuk jenis aset yang
berbeda pula.
(3) EVA memiliki korelasi positif yang kuat terhadap perubahan-perubahan nilai
pasar perusahaan.
3. Keunggulan EVA menurut Teuku Mirza (1997) yaitu EVA memfokuskan
penilaiannya pada nilai tambah dengan memperhatikan beban biaya modal sebagai
konsekuensi investasi. Dengan diperhitungkannya biaya modal maka dapat diketahui
apakah perusahaan dapat menciptakan nilai tambah atau tidak. Kelebihan EVA
adalah dapat digunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding.
4.2 Kelemahan Economic Value Added (EVA)
EVA hanya mencerminkan penciptaan nilai dalam periode tertentu, sedangkan nilai
perusahaan merupakan akumulasi EVA selama sejarah perusahaan. Oleh karena itu, suatu
perusahaan mungkin memiliki nilai EVA yang positif dalam periode tertentu, namun nilai
perusahaan tersebut rendah karena EVA di masa lalu negatif. Berikut adalah beberapa
keterbatasan EVA:
1. Sebagai metrik kinerja masa lalu, EVA tidak dapat meramalkan dampak strategi
yang sedang diterapkan terhadap masa depan perusahaan.
2. Sifat pengukuran EVA bersifat jangka pendek, yang dapat membuat manajemen
enggan untuk berinvestasi jangka panjang karena potensial penurunan nilai EVA
dalam periode tersebut. Hal ini dapat mengurangi daya saing perusahaan di masa
depan.
3. EVA mengabaikan kinerja non-keuangan yang sebenarnya dapat meningkatkan
kinerja keuangan. Tanpa balanced scorecard, strategi manajemen berbasis nilai
mungkin dapat mengurangi biaya dan meningkatkan intensitas aset, tetapi
kehilangan kesempatan untuk menciptakan nilai tambahan melalui strategi
pertumbuhan pendapatan jangka panjang melalui investasi pelanggan, inovasi,
perbaikan proses, teknologi informasi, dan pengembangan karyawan.
4. Tidak semua industri cocok untuk menerapkan EVA. Penggunaan EVA untuk
mengevaluasi kinerja keuangan mungkin tidak tepat untuk beberapa perusahaan,
terutama yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, seperti pada sektor teknologi.
5. Tidak dapat diterapkan pada masa inflasi. Inflasi dapat menyebabkan distorsi pada
EVA dan menunjukkan bahwa EVA tidak dapat digunakan selama periode inflasi
untuk mengestimasi profitabilitas aktual.
6. Memerlukan biaya tambahan. Penggunaan EVA mungkin akan meningkatkan biaya
audit dan dapat menimbulkan biaya litigasi potensial.
2011 2012
Perhitungan EVA
DEBIT 283 263
Pajak (t) 40% 40%
NOPAT = EBIT (1-t) 169,8 157,8
Total Investor Supplied Operating Working 1.800 1.455
Capital
Biaya Modal Setelah Pajak 11% 10,80%
Biaya Modal (Rp) 198 157,1
EVA = NOPAT - Biaya Modal (28,2) 0,7
EVA pada tahun 2012 mencapai nilai positif sebesar Rp 0,70 juta, sementara pada
tahun 2011 nilainya negatif sebesar Rp 28,20 juta. Meskipun NOPAT mengalami
penurunan, EVA mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh penurunan NOPAT
sebesar 8%, yang lebih kecil dibandingkan dengan penurunan biaya modal sebesar 26%
dalam rupiah. Sehingga, penurunan biaya modal tersebut menyebabkan peningkatan
EVA.
Berdasarkan perhitungan MVA dan EVA PT Wistawan untuk tahun 2011 dan
2012, terjadi peningkatan harga saham dari Rp 23 juta menjadi Rp 26 juta, serta
kenaikan nilai buku modal dari Rp 1.150 menjadi Rp 1.300. Hal ini menyebabkan
peningkatan MVA, yang berdampak pada kenaikan nilai kemakmuran pemegang saham
sebesar Rp 460 - Rp 254 juta, yaitu Rp 206 juta.
Terdapat hubungan antara MVA dan EVA, namun hubungan ini tidak selalu searah. Jika
suatu perusahaan memiliki EVA negatif, MVA mungkin juga negatif, dan sebaliknya,
jika suatu perusahaan memiliki EVA positif, MVA akan cenderung positif. Harga saham
sebagai salah satu komponen MVA lebih banyak ditentukan oleh kinerja masa depan
daripada kinerja masa lalu. Oleh karena itu, perusahaan dengan EVA negatif dapat
memiliki MVA positif jika investor memiliki harapan akan perubahan yang lebih baik
pada perusahaan di masa depan. Secara umum, EVA lebih bermanfaat daripada MVA
untuk mengevaluasi kinerja manajerial dengan alasan sebagai berikut:
1) EVA menunjukkan value added yang terjadi pada tahun tertentu.
2) EVA dapat diterapkan pada tingkat divisi atau unit dari perusahaan besar secara
individual, sedangkan MVA harus diterapkan untuk perusahaan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, MVA lebih sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja top
manajemen selama jangka waktu yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA