Tim Peneliti:
Husmiati
Hari Harjanto Setiawan
Setyo Sumarno
Alit Kurniasari
Ruaida Murni
Aulia Rahman
Delfirman
Lucy Sandra Butar-Butar
ISBN : 978-623-7806-06-6
Diterbitkan oleh:
PUSLITBANGKESOS KEMENTERIAN SOSIAL RI.
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur. Telp. (021) 8017126
E-mail: puslitbangkesos@kemsos.go.id; Website: puslit.kemsos.go.id
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau selu-
ruhnya tanpa izin dari Puslitbangkesos, Kementerian Sosial RI.
KATA PENGANTAR
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial adalah sebagai upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar
setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Konsekuensinya
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat melainkan juga pemerintah daerah, baik
pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota.
Sedangkan dalam amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah
urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2014 urusan pemerintahan
konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi,dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib
dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar
dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak
konstitusional masyarakat. Pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota walaupun
Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala
atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan sebagai berikut:
1. Sejauhmana implementasi SPM di panti sosial provinsi ?
2. Apa sajakah yang jadi faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi SPM ?
3. Bagaimana strategi tindak lanjut rehabilitasi sosial berdasarkan
SPM?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Mengidentifikasi pelaksanaan SPM di panti social provinsi.
2. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi SPM.
3. Mengidentifikasi strategi tindak lanjut implementasi rehabilitasi
sosial berdasarkan SPM.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
untuk pemerintah pusat dan daerah dalam membuat kebijakan di
bidang rehabilitasi sosial terkait dengan implementasi SPM.
B. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi merupakan upaya yang ditujukan untuk
mengitegrasikan kembali seseorang ke dalam kehidupan masyarakat
dengan cara membantu menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat
dan pekerjaan. Seseorang dapat berintegrasi dengan masyarakat
apabila memiliki kemampuan fisik, mental dan sosial serta diberikan
kesempatan untuk berpartisipasi. Misalnya seseorang mengalami
permasalahan sosial seperti gelandangan atau pengemis, maka mereka
akan dicoba untuk dikembalikan kedalam keadaan sosial yang normal
seperti orang pada umumnya. Mereka diberi pelatihan atau ketrampilan
sehingga mereka tidak kembali lagi menjadi gelandangan atau pengemis
dan bisa mencari nafkah dari ketrampilan yang ia miliki.
Saat ini telah banyak panti-panti sosial baik milik pemerintah daerah
maupun panti-panti sosial milik masyarakat yang biasa disebut Lembaga
Kesejahteraan Sosial (LKS). Panti-panti sosial yang ada sekarang banyak
menampung berbagai orang yang mengalami gangguan sosial seperti
panti rehabilitasi sosial anak jalanan, gelandangan dan pengemis, tuna
susila, penyandang disabillitas, lanjut usia, anak terlantar atau anak yang
memerlukan perlindungan khusus, dan lain-lain.
Rehabilitasi sosial mempunyai beberapa tujuan, diantaranya untuk
memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta
tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat
atau lingkungan sosialnya. Selain itu tujuan rehabilitasi sosial adalah
untuk memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
Rehabilitasi sosial mempunyai beberapa fungsi, diantaranya untuk:
1. Pelaksanaan kebijakan teknis penyelenggaraan rehabilitasi sosial
D. Implementasi Kebijakan
Ripley and Franklin (1990) mengatakan implementasi kebijakan
mengacu pada serangkaian kegiatan atau tindakan yang menyertai
pernyataan tentang tujuan dan hasil program yang ingin dicapai oleh
pejabat pemerintahan. Serangkaian kegiatan atau tindakan yang
dimaksud berlangsung manakala suatu aturan (laws) sudah ditetapkan
untuk melaksanakan program tersebut. Senada dengan pendapat diatas,
Mazmaniah dan Sabatier (dalam Wahab, 2004) menyatakan memahami
apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu keputusan dinyatakan berlaku
atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan,
yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkan pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/ dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-
kejadian.
Hal penting dari pendapat di atas adalah bahwa implementasi
kebijakan mencakup serangkaian kegiatan yang timbul sesudah disahkan
pedoman kebijakan negara. Selain itu, menurut Wahab (2004), Proses
implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut
perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan
politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat
mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan maupun
yang tidak diharapkan.
Gunn dan Hoogwood (dalam Sunggono, 1994) mengatakan
bahwa implementasi merupakan “is seen essentially as a technical or
Lokasi penelitian
Lokasi dipilih secara purposif di delapan provinsi yang memiliki
empat jenis panti. Panti anak, lanjut usia, disabilitas dan gelandangan
pengemis.
1. Rumoh Seujahtera Aneuk “Nanggroe” Banda Aceh.
2. PSAA “ Budi Mulia” Banjarbaru, Kalimantan Selatan
3. UPT Rehabilitasi Sosial Bina Rungu Wicara Pasuruan, Jawa Timur
4. PSBL “Mutmainah” Lombok Tengah, NTB
5. PPSLU “Mappakasunggu” Pare Pare, Sulawesi Selatan
6. BPSTW “Budhi Luhur” Yogyakarta, DIY.
7. PPS PGOT “ Mardi Utomo”, Semarang
8. PPS PGOT “Cisarua” Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian tentang implementasi Standar Pelayanan Minimal pada
panti sosial di delapan lokasi dengan empat jenis sasaran, yaitu anak
terlantar, disabilitas terlantar, lanjut usia terlantar, dan gelandangan
pengemis. Panti sosial memberikan pelayanan rehabilitasi sosial, dan
berada dalam pembinaan serta pengawasan pemerintah provinsi
setempat, sehingga nama-nama masing-masing panti beragam. Nama-
nama tersebut seperti Balai Pelayanan Sosial, Unit Pelaksana Teknis
(UPT), Panti Perlindungan Sosial, Panti Rehabilitasi Sosial dan Panti
Sosial. Berikut akan diuraikan hasil penelitian tentang profil panti
yang berisi gambaran tentang responden. Selanjutnya akan diuraikan
implementasi kebijakan berdasarkan persepsi responden terhadap
komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokrasi.
1. Profil Panti
a. Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi
Luhur Yogyakarta
Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Yogyakarta
adalah Balai Pelayanan Sosial yang mempunyai tugas memberikan
bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat
hidup secara baik dan terawat dalam kehidupan masyarakat baik
yang berada di dalam Balai Pelayanan maupun yang berada di
luar Balai Pelayanan. BPSTW sebagai lembaga pelayanan sosial
lanjut usia berbasis Balai Pelayanan yang dimiliki pemerintah
dan memiliki berbagai sumberdaya perlu mengembangkan diri
menjadi Institusi yang progresif dan terbuka untuk mengantisipasi
dan merespon kebutuhan lanjut usia yang terus meningkat.
BPSTW Yogyakarta sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah
sesuai dengan SK Gubernur DIY Nomor 160 Tahun 2002 yang
Visi
Lanjut usia yang sejahtera dan berguna
Misi :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan lanjut usia yang meliputi :
a. Kesehatan fisik, sosial, mental dan spiritual.
b. Pengetahuan dan Ketrampilan.
c. Jaminan sosial dan jaminan kehidupan.
d. Jaminan perlindungan hukum.
2. Meningkatkan profisionalisme pelayanan kesejahteraan lanjut usia.
3. Meningkatkan Program Pelayanan Khusus, Day Care Services, Trauma
Services, Home Care Services dan Tetirah.
Tujuan
Tujuan Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi Luhur
adalah Balai Sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan
pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara baik dan
terawat dalam kehidupan masyarakat baik yang berada di dalam panti
maupun yang berada di luar panti.
Sasaran pelayanan
1. Lanjut Usia
2. Keluarga
Proses pelayanan
Sarana prasarana
Sarana BPSTW Budi Luhur Yogyakarta
1. Luas Tanah : 6.512 m3
2. Gedung Kantor & Aula : 470 m2
3. Ruang Keterampilan : 90 m2
4. Dapur dan Laundry : 260 m2
5. Poliklinik : 400 m2
6. Ruang Isolasi : 134 m2
7. MCK / WC Umum : 24 km /Toilet
8. Jumlah Kamar : 24 kamar
9. Mesjid : 9 m2
10. Rumah Dinas : 148 m2
Visi
Menjadikan UPTD RSAN sebagai pusat pelayanan, pengasuhan
dan perlindungan sosial bagi anak-anak yang mengalami masalah sosial
psikologis.
Misi:
1. Melaksanakan pelayanan, pengasuhan dan perlindungan sosial
dengan berbasiskan pendekatan
2. Memberikan keterjaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar
anak.
3. Melakukan system rujukan dan temrinasi sebagai rangkaian dari
kegiatan pelayanan, pengasuhan dan perlindungan khusus.
Fasilitas
Fasillitas di UPTD terdiri dari : Kantor, ruang musik, rumah kepala,
rumah pengasuh, musholla, asrama putra (14 kamar), lapangan bola,
Fungsi
Untuk menyelenggarakan tugasnya, UPTD Rumoh Seujahtera
Aneuk Nanggroe mempunyai fungsi :
1. Penyusunan program perencanaan di bidang penyantunan,
pelayanan ,pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak jalanan, anak
yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami korban
tindak kekerasan
2. Pelaksanaan ketatausahaan dan kerumah tanggaan
3. Pelaksanaan kegiatan rujukan/referal dari intansi dan atau lembaga
terkait lainnya
4. Pelaksanaan pelayanan dan penyantunan terhadap anak jalanan,
anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami
korban tindak kekerasan
5. Pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak jalanan,
anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami
korban tindak kekerasan
6. Pelaksanaan kegiatan fasilitas pendidikan formal
7. Pelaksanaan bimbingan lanjutan terhadap hasil pembinaan, dan
8. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan
Visi :
Menyiapkan penyandang cacat rungu wicara menjadi manusia
yang dapat melaksanakan fungsi sosialnya, terampil, dan mandiri.
Misi :
1. Mewujudkan kesamaan kesempatan
2. Menyiapkan klien yang terampil sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja
3. Tersediannya aksesibilitas bagi penyandang cacat rungu wicara
4. Pemerataan jangkauan pelayanan dan tepat sasaran
5. Terciptanya interaksi sosial antara cacat rungu wicara dengan
masyarakat luas
Sasaran kegiatan:
Berdasarkan data BPS Jawa Timur tahun 2010, jumlah PPKS
sebanyak 26.708 orang, Sementara jumlah penyandang cacat rungu
wicara yang mendapat pelayanan di UPT RSBRW Pasuruan Sampai tahun
2018 sebanyak 224 orang. Data yang telah mengikuti proses pelayanan
60 orang (0,27 persen) dan telah menyelesaikan pelayanan 164 orang
(0,73 persen). Adapun jangkauan wilayah pelayanan: Kabupaten dan
Kota seluruh Provinsi Jawa Timur.
Persyaratan sebagai klien UPT Rehabilitasi Sosial Bina Rungu
Wicara:
1. Disabilitas rungu wicara,
2. berusia 15 (lima belas) tahun sampai dengan 35 (tiga puluh lima)
tahun,
3. Tidak cacat ganda (disabilitas mental/netra/tubuh)
4. Tidak mempunyai penyakit kronis/menular (TBC, hepatitis, jantung,
epilepsi, dll)
5. Mampu berkomunikasi dengan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
Jejaring kerja
1. Instansi Terkait :
- Dinas Sosial/ Kesejahteraan Sosial Kab./Kota Se-Provinsi Jawa
Timur
- Dinas Pendidikan / SLB B (SDLB – SMALB)
- Dinas Kesehatan (Puskesmas, RSUD)
2. Perusahaan / Dunia Usaha
- Perusahaan Bordir, Las, Dan Konfeksi Di Wilayah Kab. Pasuruan,
Kab. Sidoarjo , Surabaya Dan Sekitarnya
3. Organisasi Sosial Dan Masyarakat
- BK3S PROV. JATIM
- FKKDAD PROV. JATIM
4. Sekolah Menengah Kejuruan (Jurusan Pekerjaan Sosial) dan
Perguruan Tinggi.
Visi
Menjadi Lembaga Rehabilitasi Sosial yang Prima dalam melayani
gelandangan, pengemis dan keluarga miskin rentan menjadi
gelandangan dan pengemis di Provinsi Jawa Barat.
Misi
1. Meningkatkan pelayanan rehabilitasi sosial bina karya bagi
gelandangan, pengemis dan mesyarakat miskin yang rentan menjadi
gelandangan dan pengemis
2. Meningkatkan profesionalisme sumber dya manusia pelaksana
pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis
4. Meningkatkan kualitas dan keterjangkauan pelayanan oleh PPKS
5. Meningkatkan peran serta dan kepedulian masyarakat terhadap
penanganan rehabilitasi sosial gelandangan, pengemis dan
masyarakat miskin yang rentan menjadi gelandangan dan pengemis.
Struktur Organisasi
Tujuan rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis di PRSBK
adalah untuk membina, merehabilitasi dan memperbaiki sikap mental
para keluarga binaan sosial (KBS), agar mereka dapat merubah kondisi
kehidupannya menjadi lebih baik, berfungsi sosial secara wajar serta
mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Sasaran Pelayanan
Gelandangan, pengemis, dan masyarakat rentan menjadi
gelandangan dan pengemis di Jawa Barat dengan kriteria:
1. Sehat rohani, dalam arti tidak mengidap penyakit/kelainan jiwa
Proses Pelayanan
a. Penerimaan
b. Pendekatan awal
c. Asesmen
d. Bimbingan sosial, fisik, mental dan spiritual, keterampilan dan
kewirausahaan
e. Resosialisasi
f. Penyaluran
g. Bimbingan lanjut
h. Terminasi
Visi
Terwujudnya penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
profesional dan berkelanjutan.
Misi
1. Meningkatkan jangkauan, kualitas dan profesionalisme dalam
penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.
2. Mengembangkan, memperkuat sistem kelembagaan yang
mendukung penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial
pengemis, gelandangan dan orang terlantar.
3. Meningkatkan kerjasama lintas sektoral dalam penyelenggaraan
pelayanan kesejahteraan sosial penegemis, gelandangan dan orang
terlantar.
4. Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup pengemis,
gelandangan dan orang terlantar.
5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
usaha kesejahteraan sosial.
Sasaran Pelayanan
Gelandangan , pengemis, dan orang terlantar warga Provinsi Jawa
Tengah dan daerah lainnya dengan kriteria:
1. Sehat jasmani (tidak berpenyakit kronis dan menular).
2. Sehat rohani ( tidak sakit jiwa).
3. Tidak sedang berurusan dengan pihak berwajib.
4. Usia 20 – 59 tahun
5. Tidak memiliki kedisabilitasan ( penyandang disabilitas fisik,
penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental,
Proses Pelayanan
1. Pendekatan awal
2. Asesmen ( Pengungkapan dan Pemahaman Masalah/Asesmen)
3. Tahap Perumusan Permasalahan
4. Tahap Pemecahan Masalah ( Bimbingan sosial, fisik, mental dan
spiritual, keterampilan dan kewirausahaan )
5. Resosialisasi
6. Terminasi
7. Pembinaan Lanjut.
Sarana Prasarana
Sarana PPS PGOT Mardi Utomo Semarang
1. Luas Tanah : 6,8 ha2
2. Kantor : 2 unit
3. Gedung rapat : 2 unit
4. Ruang keterampilan : 7 unit
5. Dapur utama : 1 unit
6. Gudang : 2 unit
7. Poliklinik : 1 unit
10. Perpustakaan : 1 unit
11. TPA/Aula : 1 unit
12. Ruang Pendidikan : 1 unit
13. MCK/WC Umum : 3 unit
14. Asrama /kopel Type 18 :16 unit
15. Rumah Dinas : 11 unit
16. Mushola : 1 unit
17. Lahan pertanian : 2 Ha
c. Disabilitas Terlantar
Panti PSBRW
No Kegiatan
Mutmainah Pasuruan
1. Penyediaan Makanan (setahun)
Daya Tampung 100 orang 60 orang
Jumlah Penerima 100 orang 60 orang
Jumlah Indeks Permakanan (O/H) Rp27.000 Rp 25.000
Pengadaan Sarana & Prasarana Tidak Ya
Dapur
2. Penyediaan Sandang (setahun)
Kuantitas jenis pakaian yang 1 Jenis 2 Jenis
disediakan panti (setahun)
Pembelian perlengkapan mandi Ya Ya
1) Komunikasi
Persepsi petugas terhadap komunikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah setempat tentang SPM Rehabsos,
menyatakan setuju (63,8 persen) dan sangat setuju (25,6 persen).
Artinya Petugas panti telah mendapatkan informasi tentang SPM
Bidang Rehabilitasi social. Persepsi petugas terhadap komunikasi
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat tentang SPM
Rehabsos, menyatakan setuju (63,8 persen) dan sangat setuju
(25,6 persen). Artinya Petugas panti telah mendapatkan informasi
tentang SPM Bidang Rehabilitasi sosial.
3) Disposisi Sikap
Disposisi sikap petugas terhadap pelaksanaan pelayanan
dan rehabilitasi didukung oleh beberapa item, seperti di jelaskan
berikut.
B. PEMBAHASAN
1. Implementasi SPM Di Panti Sosial
Pelaksanaan rehabilitasi sosial dalam panti sebagai upaya dari
Pemerintah Provinsi untuk mengintegrasikan kembali PPKS (anak
terlantar, lansia terlantar, disabilitas terlantar dan gelandangan
pengemis) ke dalam kehidupan masyarakat dengan cara membantu
mereka agar mampu menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat
dan pekerjaan. Pelaksanaan rehabilitasi sosial dalam panti bertujuan
untuk memulihkan kembali kemauan dan kemampuan mereka agar
dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Legalitas pelaksanaan
rehabilitasi sosial sebagaimana tercantum dalam UU no 23 tahun 2014,
jelas mengamanatkan bahwa pemda provinsi memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan rehabilitasi sosial dalam panti, Pelaksanaan
rehabilitasi sosial tersebut tentunya sudah harus menyesuaikan dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagaimana telah diatur melalui
Peraturan Presiden no 2 tahun 2018. Kebijakan ini menjadi konsekuensi
pemerintah daerah Provinsi setempat untuk melaksanakan rehabilitasi
sosial dalam panti sesuai dengan SPM dimaksud. Untuk menjawab
sejauhmana implementasi SPM telah dilaksanakan oleh panti sosial,
b. Sumberdaya
Hasil penelitian mendapati ada 83 persen responden
menyatakan sumberdaya dalam pelaksana SPM telah terpenuhi.
Implementasi SPM yang sudah dikomunikasikan kepada petugas
panti sosial, dapat berhasil jika didukung oleh sumberdaya yang
memadai. Sumber daya dimaksud meliputi sumber daya manusia,
c. Disposisi sikap
Agar implementasi SPM dapat berjalan efektif, maka para
penentu kebijakan dalam hal ini pihak Dinas Sosial Provinsi
setempat selayaknya mengetahui apa yang harus mereka tampilkan
dalam memahami sikap dari pelaksana pelayanan rehabilitasi
sosial didalam panti. Demikian pula sebaliknya, para petugas
pelaksana pelayanan rehabilitasi sosial didalam panti juga harus
bisa menempatkan sikapnya yang profesional. Hasil penelitian
menunjukkan ada 90 persen responden yang menampilkan sikap
yang baik dalam melengkapi pelaksanaan SPM di dalam panti.
Petugas bekerja menyatakan telah memahami pelayanan sesuai
Ketentuan SPM Rehabsos, melaksanakan pelayanan berpedoman
pada SPM Rehabsos, mendapat apresiasi dalam melaksanakan
tugas, berkomitmen melaksanakan tugas sesuai SPM rehabsos,
dan mereka melaksanakan tugas tanpa dilihat pimpinan.
Kondisi ini menunjukkan petugas memiliki disposisi sikap
tinggi dalam melakukan tugas. Hal ini nampak pada pemberian
d. Struktur birokrasi
Sebagai bagian penting untuk keberlangsungan kebijakan yang
masih dianggap baru, maka dalam melaksanakan rehabilitasi sosial
para pelaksana panti perlu untuk menyesuaikan dengan kebijakan
baru tersebut. Hasil penelitian menunjukkan 98 persen responden
ada dalam struktur birokrasi yang mendukung pelaksanaan SPM
rehabsos. Responden mengatakan telah melaksanakan tugas
sesuai dengan perintah pimpinan, sesuai dengan tanggungjawab
dan kewenangan, sesuai dengan uraian tugas, sesuai dengan SOP,
dan selalu berkoordinasi.
Dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, petugas pada umumnya
mengikuti SOP yang selama ini berlaku, mereka bekerja sesuai
dengan tanggungjawab dan kewenangannya. Namun SOP yang
selama ini dilaksanakan, senyatanya harus menyesuaikan dengan
kebijakan baru tentang SPM rehabilitasi sosial, agar implementasi
SPM dapat terlaksana secara optimal.
Bila dianalisis data dari hasil pengumpulan data tentang
implementasi SPM pada panti-panti di lokasi penelitian, didapati
persentase persepsi yang tinggi pada petugas di panti mengenai
pelaksanaan SPM. Seperti menurut Kottler (1993) persepsi
adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur,
dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk
menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Persepsi
seseorang terbentuk berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang bersangkutan. Pengetahuan dan pengalaman yang terbatas
dapat menyebabkan pemahaman dan persepsi seseorang tentang
Faktor penghambat
- Ketersediaan SDM yang masih kurang di semua lokasi penelitian,
terutama Pekerja Sosial Medis dan Pekerja Sosial yang menjadi
sumber daya penting dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial
dalam panti. Ketersediaan SDM yang ada serta beban kerja dalam
memberikan pelayanan sosial kepada penerima manfaat masih
belum porposional.
A. Kesimpulan
Data penelitian menunjukkan persepsi petugas panti mengenai
pelaksanaan SPM prosentasenya tinggi (rata-rata diatas 80 persen).
Walaupun hasil yang didapat tinggi tetapi tidak dapat disimpulkan
petugas panti sepenuhnya memahami SPM. Ada hal yang harus jadi
perhatian, dimana petugas panti sebagai responden hanya menilai
berdasarkan persepsi personal. Para petugas boleh jadi kurang memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang utuh dan lengkap mengenai
pelaksanaan SPM sehingga mereka hanya mempersepsi sesuai dengan
pelaksanaan tugas sehari-hari di panti (business as usual).
Perbandingan data antara panti-panti yang menjadi lokasi,
menunjukkan pelaksanaan SPM yang satu dengan panti yang lain
tidak jauh berbeda, namun belum bisa disimpulkan telah memenuhi
SPM karena belum tersedianya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria
(NSPK) oleh Kementerian Sosial. Selama ini, panti-panti yang menjadi
lokasi penelitian telah berupaya menyediakan pelayanan baik sarana,
prasarana pada penerima pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) dengan
sebaik mungkin. Bahkan di delapan provinsi lokasi penelitian alokasi
anggaran rehabilitasi sosial baik yang diklaim sesuai SPM ataupun tidak
mengalami peningkatan dari tahun 2019 ke tahun 2020.
Selain itu komunikasi antar petugas panti, sumber daya manusia,
sarana prasarana cukup mendukung kegiatan rehabilitasi sosial yang
berpedoman pada SPM, meski keberadaan pekerja sosial masih terbatas.
Ada beberapa aspek pemenuhan hak dasar misalnya pada gelandangan
pengemis, anak dan lanjut usia masih belum terpenuhi. Implementasi
SPM dapat berjalan karena adanya dukungan dari struktur birokrasi pada
masing-masing pemerintah. Adanya regulasi memberi konsekuensi
pada penyediaan anggaran bidang sosial, termasuk pada rehabilitasi
sosial dalam panti. Selain itu perhatian pemerintah daerah dengan
B. Rekomendasi
Berdasarkan temuan-temuan yang didapat dari lapangan, ada
beberapa rekomendasi diajukan oleh peneliti sebagai berikut:
Kelembagaan
Kementerian –– Mengadakan sosialisasi tentang SPM
sosial Rehabilitasi Sosial secara menyeluruh
Pemerintah –– Memperkuat komitmen dalam penyelenggaraan
Daerah SPM bidang sosial dengan menyusun regulasi
seperti: Peraturan Daerah atau Peraturan
Gubernur