Anda di halaman 1dari 110

IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)

BIDANG SOSIAL TERKAIT PELAKSANAAN


REHABILITASI SOSIAL DI DALAM PANTI

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL
KEMENTERIAN SOSIAL RI
TAHUN 2019
IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)
BIDANG SOSIAL TERKAIT PELAKSANAAN
REHABILITASI SOSIAL DI DALAM PANTI

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL
KEMENTERIAN SOSIAL RI
TAHUN 2019
IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL
TERKAIT PELAKSANAAN REHABILITASI SOSIAL DI DALAM PANTI. Jakarta,- Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan, Penelitian,
dan Penyuluhan Sosial, Kementerian Sosial RI, 2019.
vi + 102; hlm. 14,8 cm x 21 cm.

Tim Peneliti:
Husmiati
Hari Harjanto Setiawan
Setyo Sumarno
Alit Kurniasari
Ruaida Murni
Aulia Rahman
Delfirman
Lucy Sandra Butar-Butar

Cetakan I : Maret 2020

ISBN : 978-623-7806-06-6

Diterbitkan oleh:
PUSLITBANGKESOS KEMENTERIAN SOSIAL RI.
Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur. Telp. (021) 8017126
E-mail: puslitbangkesos@kemsos.go.id; Website: puslit.kemsos.go.id

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau selu-
ruhnya tanpa izin dari Puslitbangkesos, Kementerian Sosial RI.
KATA PENGANTAR

Dalam amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan
pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Menurut
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 urusan pemerintahan konkuren
terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan
Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi,dan
Daerah kabupaten/kota.Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Untuk bidang sosial pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
menggantikan Peraturan Pemerintah sebelumnya Nomor 65 Tahun
2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal.
Ketersediaan data telah menjadi salah satu tantangan besar dalam
merencanakan, menganggarkan, menerapkan dan mengevaluasi
berbagai kebijakan dan program terkait SPM. Penelitian cepat
implementasi standar pelayanan minimal (SPM) bidang sosialdalam
penyelenggaraan rehabilitasi sosial.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
(Puslitbangkesos) dan tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dan menyumbangkan pemikiran dalam

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti iii
pelaksanaan penelitian ini dan memberikan arah sebagai bahan dalam
menyusun kebijakan dan program terkait SPM bidang sosial dalam
penyelenggaraan rehabilitasi sosial.

Jakarta, Desember 2019


Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial
Kepala,

Eva Rahmi Kasim

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


iv Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... iii


DAFTAR ISI ................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Permasalahan .............................................. 5
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................ 5
BAB II KERANGKA TEORI ....................................................... 6
A. Standar pelayanan minimal (SPM) .............................. 6
B. Rehabilitasi Sosial ......................................................... 10
C. Manajemen Pelayanan Sosial ....................................... 12
D. Implementasi Kebijakan ............................................... 16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................... 31
A. Hasil Penelitian .............................................................. 31
B. Pembahasan ................................................................... 90
BAB IV PENUTUP ....................................................................... 98
A. Kesimpulan .................................................................... 98
B. Rekomendasi ................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 102

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial adalah sebagai upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan
yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar
setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Konsekuensinya
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat melainkan juga pemerintah daerah, baik
pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota.
Sedangkan dalam amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah
urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.
Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2014 urusan pemerintahan
konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi,dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib
dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar
dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar.
Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak
konstitusional masyarakat. Pembagian urusan pemerintahan konkuren
antara Daerah provinsi dengan Daerah kabupaten/kota walaupun
Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak dari skala
atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 1
masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan terdapat
hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi
dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk bidang sosial pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal menggantikan Peraturan Pemerintah
sebelumnya Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan
dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Dalam Peraturan ini
disebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal atau disingkat dengan
SPM merupakan ketentuan mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar
yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh
setiap Warga Negara secara minimal. Pelayanan dasar dimaksud adalah
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.
Pelayanan dasar dalam Standar Pelayanan Minimal merupakan urusan
pemerintahan wajib yang diselenggarakan Pemerintah daerah baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Daerah. Pada pasal 12 ayat
(1) menyatakan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) meliputi: Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang, Perumahan Rakyat dan Kawasan permukiman, Ketentraman,
ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, dan Sosial.
Jenis Pelayanan Dasar SPM Bidang Sosial bagi Pemerintah Provinsi
adalah sebagai berikut.
1. Rehabilitasi sosial dasar penyandang disabilitas terlantar di dalam
panti
2. Rehabilitasi sosial dasar anak terlantar di dalam panti
3. Rehabilitasi sosial dasar lanjut usia terlantar didalam panti
4. Rehabilitasi sosial dasar tuna sosial khususnya gelandangan dan
pengemis di dalam panti
5. Perlindungan dan jaminan sosial pada saat dan setelah tanggap
darurat bencana bagi korban bencana provinsi
Kemudian pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) secara

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


2 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
rinci telah diatur oleh Peraturan Menteri Sosial RI nomor 9 tahun
2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan
Minimal Bidang Sosial di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/
Kota. Peraturan memberikan acuan kepada Pemerintah Daerah
provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam menetapkan
Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah mengenai rencana
pemenuhan Pelayanan Dasar pada SPM bidang sosial di daerah provinsi
dan di daerah kabupaten/kota. Selanjutnya peraturan ini mengatur
tentang:
1. Jenis pelayanan dasar bidang sosial di daerah provinsi dan
kabupaten/kota
2. Standar jumlah dan kualitas barang dan/jasa yang harus diterima
PMKS
3. Standar jumlah dan kualitas sumber daya manusia kesejahteraan
sosial
4. Standar minimun sarana dan prasarana
5. Tata cara pemenuhan SPM bidang sosial
6. Pendanaan
7. Pelaporan
8. Pembinaan dan Pengawasan
Perubahan UUD 45 Amandemen dari sentralistik menjadi
desentralistik dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa urusan pemerintahan daerah merupakan urusan wajib
terkait pelayanan dasar dan non pelayanan dasar serta urusan konkuren
(bersama) antara pemerintah pusat, provinsi dan kab/kota.
Urusan wajib terkait pelayanan dasar ditetapkan dengan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang merupakan mutu dan jenis pelayanan
dasar merupakan hak dari setiap warga negara Indonesia, sedangkan
urusan konkuren yang merupakan urusan bersama antara pusat, provinsi
dan kab/kota ditetapkan dengan Norma, Standar, Prosedur, Kriteria
(NSPK) yang ditetapkan Kementerian/Lembaga sebagai Pemerintah
Pusat. Tugas dan fungsi pemerintah pusat sebagai regulator menetapkan
kebijakan diantaranya menetapkan Standar Teknis Penerapan SPM dari
6 (enam) bidang urusan wajib terkait pelayanan dasar, menetapkan NSPK

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 3
melalui Peraturan Menteri Teknis dengan berkoordinasi Kemendagri
sebagai pembina umum daerah. Kementerian Teknis (dalam hal ini
Kemehterian Sosial) melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembina
teknis daerah dengan melakukan pembinaan dan pengawasan urusan
teknis daerah seperti penerapan SPM dan pelaksanaan NSPK.
Fungsi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP)
melaksanakan pembinaan dan pengawasan urusan pemerintahan
daerah kab/kota yang ada di wilayah provinsi tersebut. Regulasi terkait
SPM sebagai berikut: PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal mengamanatkan urusan wajib terkait pelayanan dasar
diantaranya urusan pemerintahan bidang sosial dan pada pasal 298
belanja daerah diprioritaskan untuk membiayai urusan wajib terkait
pelayanan dasar dan Dana Alokasi Khusus (DAK) diperuntukkan
untuk mendukung penerapan SPM tersebut. Selain itu ada PP No. 12
Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Kementerian Dalam Negeri sebagai Pembina
Umum Daerah melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan
pengawasan urusan umum daerah diantaranya perangkat daerah,
keuangan daerah, pelayanan publik di daerah, kelembagaan daerah,
personil daerah. Juga ada PP No. 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kementerian Dalam
Negeri sebagai Pembina Umum Daerah melaksanakan tugas dan fungsi
pembinaan dan laporan juga evaluasi urusan umum daerah diantaranya
perangkat daerah, keuangan daerah, pelayanan publik di daerah,
kelembagaan daerah, personil daerah.
Beberapa regulasi telah banyak disusun untuk mendukung proses
pelayanan dasar rehabilitasi sosial yang diharapkan sesuai dengan SPM.
Terutama setelah terbitnya Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 yang
memberikan wewenang pada pemerintah daerah untuk melaksanakan
SPM bidang sosial. Standar Pelayanan Minimal (SPM) disusun agar
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) pada saat berada didalam
panti mendapatkan layanan sesuai standard yang telah ditetapkan dan
diakhir pelayanan bisa kembali berfungsi sosial dengan baik.
Dari uraian diatas, pada tahun 2019 Puslitbang Kesejahteraan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


4 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Sosial melaksanakan kajian tentang kesiapan pemerintah daerah
provinsi dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial berdasarkan SPM,
khususnya di panti sosial milik provinsi. Peneliti mencoba menggali
bagaimana implementasi standar pelayanan minimal (SPM) bidang
sosial khususnya rehabilitasi sosial di panti sosial provinsi setelah UU
nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan
dan kemudian ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2018
tentang Standar Pelayanan Minimal. Selain itu ada Permensos nomor
9 tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar SPM di Provinsi,
Kabupaten dan Kota. Tentunya dengan tidak mengabaikan landasan
teori yang digunakan.

B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan sebagai berikut:
1. Sejauhmana implementasi SPM di panti sosial provinsi ?
2. Apa sajakah yang jadi faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi SPM ?
3. Bagaimana strategi tindak lanjut rehabilitasi sosial berdasarkan
SPM?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Mengidentifikasi pelaksanaan SPM di panti social provinsi.
2. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam
implementasi SPM.
3. Mengidentifikasi strategi tindak lanjut implementasi rehabilitasi
sosial berdasarkan SPM.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
untuk pemerintah pusat dan daerah dalam membuat kebijakan di
bidang rehabilitasi sosial terkait dengan implementasi SPM.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 5
BAB II
KERANGKA TEORI

A. Standar pelayanan minimal (SPM)


Kebutuhan dasar wajib dipenuhi dan didapat oleh setiap individu,
karena pada hakikatnya kebutuhan dasar merupakan kebutuhan
mutlak harus terpenuhi dan apabila tidak terpenuhi akan membawa
konsekwensi dan mengganggu kelangsungan hidupnya. Namun
dalam pemenuhannya tidak semua warga masyarakat mampu untuk
memenuhinya yang disebabkan berbagai keterbatasan dan hambatan
yang dialami individu dan keluarga. Untuk itu negara hadir dalam
pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga masyarakat yang mengalami
hambatan atau tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan
kebijakan Implementasi Standar Pelayanan Minimal yang menjadi tugas
dan tanggung jawab pemerintahan daerah.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat atau
kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,
dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi
dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Upaya percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat
atau kesejahteraan rakyat tersebut dalam lingkungan strategis globalisasi
dengan menggunakan prinsip pemerataan dan keadilan salah satunya
diwujudkan melalui penetapan dan penerapan SPM.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah maka SPM tidak lagi dimaknai dalam kontekstual
sebagai norma, standar, prosedur, dan kriteria. Batasan pengertian
SPM secara tekstual memang tidak berubah, yaitu SPM merupakan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


6 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
ketentuan mengenai Jenis pelayanan Dasar dan Mutu Pelayanan Dasar
yang berhak diperoleh setiap Warga Negara secara minimal, namun
terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan mengenai Jenis
Pelayanan Dasar dan Mutu pelayanan Dasar, kriteria penetapan SPM,
dan mekanisme penerapan SPM.
Pengaturan mengenai Jenis Pelayanan Dasar ditentukan dengan
tegas dan jelas dalam Peraturan Pemerintah ini dan tidak didelegasikan
lebih lanjut kedalam peraturan perundang-undangan lainnya. Terkait
dengan Mutu Pelayanan Dasar maka pengaturan lebih rincinya
ditetapkan oleh masing-masing menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sesuai dengan jenis SPM. Pengaturan oleh
menteri terkait merupakan pengaturan mengenai standar teknis SPM.
Penetapan SPM dilakukan berdasarkan kriteria barang dan/atau
jasa kebutuhan dasar yang bersifat mutlak dan mudah distandarkan yang
berhak diperoleh oleh setiap warga negara secara minimal sesuai dengan
Jenis Pelayanan Dasar dan Mutu pelayanan Dasar. Untuk mekanisme
penerapan SPM maka tidak lagi ditentukan berdasarkan indikator SPM
dan batas waktu pencapaian tetapi mengutamakan penerapan SPM
dengan berdasarkan: (i) pengumpulan data secara empiris dengan
tetap mengacu secara normatif sesuai standar teknis; (ii) penghitungan
kebutuhan pemenuhan pelayanan Dasar; (iii) penyusunan rencana
pemenuhan pelayanan Dasar; dan (iv) pelaksanaan pemenuhan
Pelayanan Dasar, yang kesemuanya itu dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dan bukan oleh kementerian terkait.
Perubahan paradigma penting lainnya mengenai SPM yaitu dalam
konteks belanja daerah. Belanja Daerah diprioritaskan untuk mendanai
pelaksanaan SPM. Atas prioritas tersebut dan terlaksananya SPM maka
SPM telah menjamin hak konstitusional masyarakat, sehingga bukan
kinerja Pemerintah Daerah yang menjadi prioritas utama apalagi kinerja
kementerian tetap prioritas utamanya yaitu terpenuhinya kebutuhan
dasar Warga Negara.
Selanjutnya, mengingat makna Pemerintah Daerah menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 20l4 tentang Pemerintahan Daerah

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 7
tidak hanya pada Daerah kabupaten dan kota namun juga pada
Daerah provinsi maka SPM tentu juga harus dimaknai tidak hanya
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah kabupaten/kota saja
tetapi juga menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah provinsi. Hal
ini juga mengingat bahwa di Daerah provinsi juga tersedia anggaran
pendapatan dan belanja Daerah provinsi untuk menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
yang meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan
ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat serta sosial. Selain
itu, penetapan dan penerapan SPM Daerah provinsi menjadi penting
mengingat terdapatnya Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar yang tidak lagi menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal menggantikan Peraturan Pemerintah
sebelumnya Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan
dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Dalam Peraturan ini
disebutkan bahwa Standar Pelayanan Minimal atau disingkat dengan
SPM merupakan ketentuan mengenai Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar
yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak diperoleh
setiap Warga Negara secara minimal. Pelayanan dasar dimaksud adalah
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.
Pelayanan dasar dalam Standar Pelayanan Minimal merupakan urusan
pemerintahan wajib yang diselenggarakan Pemerintah daerah baik
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten / Kota. Urusan
Pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang
selanjutnya menjadi jenis SPM terdiri atas :
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
4. Perumahan Rakyat dan Kawasan permukiman

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


8 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
5. Ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarkat, dan
6. Sosial
Tugas dan fungsi pemerintah provinsi dalam SPM Sosial adalah
pelayanan dasar rehabilitasi sosial pada disabilitas terlantar, anak
terlantar, lanjut usia terlantar dan gelandangan pengemis yang
mendapatkan pelayanan didalam panti atau balai. Sedangkan pelayanan
rehabilitasi sosial yang dilaksanakan diluar panti adalah wewenang
pemerintah daerah kabupaten / kota.
Setiap standar pelayanan minimal memiliki standar teknis masing-
masing yang sekurang-kurangnya memuat standar jumlah dan kualitas
barang dan/atau jasa, standar jumlah dan kualitas sumber daya manusia
kesejahteraan sosial, dan petunjuk teknis atau tata cara pemenuhan
standar. Standar teknis tersebut ditetapkan oleh kementerian terkait
dikoordinasikan dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintah dalam negeri dan kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terkait.
Standar Pelayanan minimal diselenggarakan dan diterapkan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan Standar
Teknis yang ditetapkan oleh masing-masing kementerian. Penerapan
SPM dilakukan dengan tahapan :
1. Pengumpulan data;
2. Penghitungan kebutuhan pemenuhan pelayanan dasar;
3. Penyusunan rencana pemenuhan pelayanan dasar;
4. Pelaksanaan pemenuhan pelayanan dasar.
Percepatan penerapan SPM merupakan salah satu kebijakan
prioritas nasional yang perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut
dari Pemerintahan Daerah. Laporan pelaksanaan SPM termasuk dalam
materi muatan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
disampaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan.
Materi muatan laporan penerapan SPM sekurang-kurangnya memuat
hasil penerapan SPM, kendala penerapan SPM dan ketersediaan
anggaran dalam penerapan SPM. Selain itu Bupati/Walikota agar
melaporkan perkembangan pelaksanaan dan pencapaian SPM pada

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 9
tahapan sosialisasi, penghitungan pembiayaan, dan penerapan SPM
dalam perencanaan dan anggaran daerah serta kinerja pencapaian SPM.
Dengan penerapan SPM yang dilakukan oleh Pemerintah daerah, akan
menjadi tolak ukur kinerja pemerintah daerah terhadap mutu dan jenis
pelayanan yang prioritas kepada masyarakat.

B. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi merupakan upaya yang ditujukan untuk
mengitegrasikan kembali seseorang ke dalam kehidupan masyarakat
dengan cara membantu menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat
dan pekerjaan. Seseorang dapat berintegrasi dengan masyarakat
apabila memiliki kemampuan fisik, mental dan sosial serta diberikan
kesempatan untuk berpartisipasi. Misalnya seseorang mengalami
permasalahan sosial seperti gelandangan atau pengemis, maka mereka
akan dicoba untuk dikembalikan kedalam keadaan sosial yang normal
seperti orang pada umumnya. Mereka diberi pelatihan atau ketrampilan
sehingga mereka tidak kembali lagi menjadi gelandangan atau pengemis
dan bisa mencari nafkah dari ketrampilan yang ia miliki.
Saat ini telah banyak panti-panti sosial baik milik pemerintah daerah
maupun panti-panti sosial milik masyarakat yang biasa disebut Lembaga
Kesejahteraan Sosial (LKS). Panti-panti sosial yang ada sekarang banyak
menampung berbagai orang yang mengalami gangguan sosial seperti
panti rehabilitasi sosial anak jalanan, gelandangan dan pengemis, tuna
susila, penyandang disabillitas, lanjut usia, anak terlantar atau anak yang
memerlukan perlindungan khusus, dan lain-lain.
Rehabilitasi sosial mempunyai beberapa tujuan, diantaranya untuk
memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta
tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat
atau lingkungan sosialnya. Selain itu tujuan rehabilitasi sosial adalah
untuk memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
Rehabilitasi sosial mempunyai beberapa fungsi, diantaranya untuk:
1. Pelaksanaan kebijakan teknis penyelenggaraan rehabilitasi sosial

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


10 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
bagi balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial
bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
2. Penyusunan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi
balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial bagi
anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
3. Pemberian bimbingan teknis penyelenggaraan rehabilitasi sosial
bagi balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial
bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
4. Pelaksanaan koordinasi teknis penyelenggaraan rehabilitasi sosial
bagi balita, anak dan lanjut usia terlantar, serta rehabilitasi sosial
bagi anak nakal, korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
5. Pengawasan penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi anak nakal,
korban napza, penyandang cacat dan tuna sosial.
Dalam rehabilitasi sosial terdapat tiga model pelayanan yang
diberikan kepada klien, yaitu sebagai berikut:
1. Institutional Based Rehabilitation (IBR), suatu sistem pelayanan
rehabilitasi sosial dengan menempatkan penyandang masalah
dalam suatu institusi tertentu.
2. Extra-institusional Based Rehabilitation, suatu sistem pelayanan
dengan menempatkan penyandang masalah pada keluarga dan
masyarakat.
3. Community Based Rehabilitation (CBR), suatu model tindakan
yang dilakukan pada tingkatan masyarakat dengan membangkitkan
kesadaran masyarakat dengan menggunakan sumber daya dan
potensi yang dimilikinya.
Institutional Based Rehabilitation atau Panti berdasarkan Permensos
nomor 9 tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada
SPM Bidang Sosial di Daerah, saat ini merupakan tempat memberikan
pelayanan dasar rehabilitasi sosial pada empat kluster anak terlantar,
disabilitas terlantar, lanjut usia terlantar dan gelandangan pengemis
dan menjadi ranah dari pemerintah daerah provinsi. Selanjutnya akan
menjadi lokus dari penelitian ini.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 11
C. Manajemen Pelayanan Sosial
Pelayanan merupakan suatu hal yang penting dan dibutuhkan
dalam hidup manusia. Hal ini didasari bahwa manusia merupakan
makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang
lain. Perlu adanya kerjasama antara individu, kerjasama dalam interaksi
antar manusia. Dan juga tidak hanya kebutuhan yang bersifat fisik saja,
kebutuhan sosial, kebutuhan keamanan, kebutuhan akan penghargaan.
Menurut Ratminto (2005) manajemen pelayanan dapat diartikan
sebagai suatu proses penerapan ilmu dan seni untuk menyusun rencana,
mengimplementasikan rencana, mengkoordinasikan dan menyelesaikan
aktivitas-aktivitas pelayanan demi tercapainya tujuan-tujuan pelayanan
yang tegas dan ramah terhadap konsumen, terciptanya interaksi khusus
dan control kualitas dengan pelanggan. Dengan kata lain, manajemen
pelayanan publik berarti merupakan suatu proses perencanaan dimana
implimentasinya untuk mengarahkan dan mengkoodinasi penyelesaian
aktivitas-aktivitas pelayanan publik demi tercapainya tujuan-tujuan
pelayanan publik yang telah ditetapkan.
Secara substansial kualitas pelayanan didefinisikan sebagai cara
membandingkan persepsi pelanggan atas layanan yang nyata-nyata
mereka terima dengan layanan yang mereka harapkan. Jika kenyataan
lebih besar dari yang diharapkan, maka layanan dapat dikatakan bermutu
(ideal) sedangkan jika kenyataan kurang dari apa yang diharapkan,
maka layanan tidak bermutu (buruk), dan jika kenyataan sama dengan
harapan maka layanan disebut baik dan memuaskan (Nurman, 2005).
Dengan demikian kualitas pelayanan dapat didefinisikan seberapa
jauh perbedaan antara kenyataan dengan harapan para pelanggan atas
pelayanan yang mereka terima. Berdasarkan pendapat diatas, dua faktor
dalam pengukuran kualitas pelayanan adalah kinerja pelayanan dan
pelayanan yang diharapkan pelanggan. Agar pelanggan mempunyai
persepsi yang baik terhadap kualitas jasa yang diberikan, maka
penyedia jasa harus mengetahui apa yang menjadi harapan konsumen,
sehingga tidak terjadi perbedaan (gap) antara kinerja yang diberikan
dengan harapan pelanggan, yang akhirnya pelanggan merasa puas dan
mempersepsikan secara baik atas kualitas jasa yang diterima.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


12 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Pelayanan sosial adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk
memperbaiki hubungan dengan lingkungan sosialnya. Pelayanan
sosial disebut juga sebagai pelayanan kesejahteraan sosial. Menurut
Walter Friedlander, kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir
dari usaha–usaha sosial dan lembaga–lembaga sosial yang ditujukan
untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai
relasi perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka
mengembangkan kemampuan secara penuh, serta mempertinggi
kesejahteraan selaras dengan kebutuhan–kebutuhan keluarga dan
masyarakat (Wibhawa dkk., 2010). Dari definisi di atas dapat dijelaskan
bahwa : 1) Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau
“organized system” yang berintikan lembaga – lembaga dan pelayanan
sosial; 2) Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat
kehidupan yang sejahtera dalam arti singkat kebutuhan pokok seperti
sandang, pangan, papan dan kesehatan, dan juga relasi – relasi sosial
dengan lingkungannya; 3) Tujuan tersebut dapat dicapai dengan
cara meningkatkan “kemampuan individu” baik dalam memecahkan
masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup
layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan
fungsi sosialnya. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat
dari rumusan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial pasal 2 ayat 1
: “Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi
setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah, sosial yang sebaik-baiknya bagi diri,
keluarga serta masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak asasi
serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila” (Muhidin, 1992).
Lingkup pengertian kesejahteraan sosial yang sebenarnya sangat
meluas dan melingkupi berbagai aspek kehidupan. Dalam kesejahteraan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 13
sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial
juga termasuk dari salah satu di dalamnya. Pelayanan sosial diartikan
dalam dua macam, yaitu: a) Pelayanan sosial dalam arti luas adalah
pelayanan sosial yang mencakup fungsi pengembangan termasuk
pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan,
tenaga kerja dan sebagainya, b) Pelayanan sosial dalam arti sempit
atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program
pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung
seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna
sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992).
Fungsi Pelayanan Sosial diklasifikasikan dalam berbagai cara,
tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagi berikut: 1) Peningkatan
kondisi kehidupan masyarakat; 2) Pengembangan sumber-sumber
manusiawi, 3) Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan
sosial dan penyesuian sosial; 4) Mobilisasi dan pencipta sumber-
sumber masyarakat untuk tujuan pembangunan; 5) Penyediaan dan
penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan
pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi. Richard McTimuss
juga mengemukakan fungsi pelayanan sosial ditinjau dari perspektif
masyarakat sebagai berikut: 1) Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-
keuntungan yang diciptakan untuk lebih meningkat kesejahteraan
individu kelompok dan masyarakat untuk masa sekarang dan untuk
masa yang akan dating: 2) Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-
keuntungan yang diciptakan sebagai suatu investasi yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tujan sosial (suatu program tenaga kerja); 3)
Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan
untuk melindungi masyarakat; 4) Pelayanan-pelayanan atau
keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai program kompensasi
bagi orang orang yang tidak mendapat pelayanan sosial (misalnya
kompensasi kecelakaan industri dan sebagainya). Selain itu Alfred J. Khan
menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah sosialisasi
dan pengembangan yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan
dalam diri anak dan pemuda melalui program program pemeliharaan,
pendidikan (non formal) dan pengembangan. Kesatu, pelayanan sosial

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


14 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
tujuannya untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha
pengembangan kepribadian anak. dalam bentuk program penitipan
anak, program kegiatan remaja atau pemuda, program pengisian
waktu luang bagi anak/remaja dalam keluarga. Kedua, pelayanan
sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi, mempunyai
tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang baik secara
individu maupun didalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar
mampu mengatasi masalah-masalahnya. Bentuk-bentuk pelayanan
sosial tersebut antar lain: a) Bimbingan sosial bagi keluarga; b) Program
asuhan keluarga dan adopsi anak; c) Program bimbingan bagi anak nakal
dan bebas hukuman; d) Program-program rehabilitasi bagi penderita
cacat; e) Program bagi lanjut usia; f) Program-program penyembuhan
bagi penderita gangguan mental; g) Program-program bimbingan bagi
anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan; h)
Program-program bimbingan bagi para pasien dirumah-rumah sakit.
ketiga pelayanan akses, kebutuhan akan program pelayanan sosial akses
disebabkan oleh karena : a) Adanya birokrasi modern; b) Perbedaan
tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal hal dan
kewajiban atau tanggung jawabnya; c) Jarak geografis antara lembaga-
lembaga pelayanan dari orang-orang yang memerlukan pelayanan
sosial. Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan
sosial disini mempunyai fungsi sebagai akses untuk menciptakan
hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai program sehingga
program tersebut dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat
yang membutuhkannya.
Pelayanan akses bukanlah semata-mata memberikan informasi
tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang dengan sumber-
sumber yang diperlukan dengan melaksanakan referral. Fungsi
tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota
masyarakat untuk mengatasi masalah sosial. Tujuan dapat berupa
individual dan sosial untuk memberikan kepercayaan kepada diri
individu dan masyarakat dan untuk mengatasi hambatan-hambatan
sosial dalam pembagian politis, yaitu untuk mendistibusikan sumber-
sumber dan kekuasaan. Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi
dari bagaimana program itu diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Ada

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 15
yang memandang partisipasi dan pelayanan merupakan dua fungsi yang
selalu konflik karenanya harus dipilih salah satu. Karena harus dipilih
partisipasi sebagai tanggung jawab masyarakat dan pelayanan sebagai
tanggung jawab program. Pada umumnya sulit untuk meningkatkan
kedua-duanya secara sekaligus.

D. Implementasi Kebijakan
Ripley and Franklin (1990) mengatakan implementasi kebijakan
mengacu pada serangkaian kegiatan atau tindakan yang menyertai
pernyataan tentang tujuan dan hasil program yang ingin dicapai oleh
pejabat pemerintahan. Serangkaian kegiatan atau tindakan yang
dimaksud berlangsung manakala suatu aturan (laws) sudah ditetapkan
untuk melaksanakan program tersebut. Senada dengan pendapat diatas,
Mazmaniah dan Sabatier (dalam Wahab, 2004) menyatakan memahami
apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu keputusan dinyatakan berlaku
atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan,
yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkan pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat/ dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-
kejadian.
Hal penting dari pendapat di atas adalah bahwa implementasi
kebijakan mencakup serangkaian kegiatan yang timbul sesudah disahkan
pedoman kebijakan negara. Selain itu, menurut Wahab (2004), Proses
implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut
perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok
sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan
politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat
mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan maupun
yang tidak diharapkan.
Gunn dan Hoogwood (dalam Sunggono, 1994) mengatakan
bahwa implementasi merupakan “is seen essentially as a technical or

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


16 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
managerial problems”. Berangkat dari pendapat ini maka persoalan
yang perlu diidentifikasi sebelum implementasi kebijakan dimulai
adalah masalah-masalah manajemen dan teknis pelaksanaan kebijakan
oleh para implementor kebijakan. Bila implementor kebijakan yang
dimaksud adalah aparatur birokrasi dan unit-unit kerja birokrasi, maka
yang menjadi persoalan sebelum kebijakan diimplementasikan adalah
bagaimana aparatur atau unit kerja birokrasi tersebut merencanakan dan
mengkoordinasikan berbagai program serta sumber daya program untuk
mengefektifkan implementasi kebijakan. Dalam konteks ini, Sunggono
(1994) mengatakan implementasi kebijakan merupakan suatu upaya
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu
dan dalam urutan waktu tertentu. Dengan demikian, yang diperlukan
dalam implementasi kebijakan ini adalah tindakan-tindakan seperti
umpamanya tindakan-tindakan yang sah atau implementasi suatu
rencana peruntukan.
Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan
dan mempunyai dampak (manfaat) positif bagi anggota-anggota
masyarakat. Dengan perkataan lain, tindakan atau perbuatan manusia
sebagai anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan
oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian, apabila perilaku atau
perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau
negara, maka suatu kebijakan publik menjadi tidak efektif. Dengan
demikian terjadi kegagalan kebijakan.
Gunn dan Hogwood (dalam Wahab, 2004), membagi pengertian
kegagalan kebijakan (policy failure) dalam 2 kategori, yaitu non
impelementation dan unsuccessful implementation. Jika implementasi
kebijakan pengelolaan keuangan negara dianggap tidak efektif,
maka persoalannya adalah bagaimana memahami permasalahan
implementasi kebijakan pada setiap tingkatan implementasi. Menurut
Sunggono (1994), kekurang efektifan implementasi kebijakan publik
juga disebabkan karena kurangnya peran para aktor pelaksana (dan
badan-badan pemerintahan) dalam implementasi kebijakan publik.
Di samping itu, juga disebabkan masih lemahnya peran para aktor
tersebut dalam menyebarluaskan kebijakan-kebijakan publik baru

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 17
kepada warga masyarakat.
Dengan pandangan yang demikian itu, maka dengan sendirinya
perlu dipertimbangkan berbagai faktor yang menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan. Hal ini dapat dipelajari dengan memahami
model-model implementasi kebijakan. Setiap model implementasi
kebijakan publik tentu mempunyai komponen-komponen tertentu yang
diformulasikan secara sistemik. Model implementasi kebijakan yang
mana yang tepat tergantung pada masing-masing sudut pandang dan
kepentingan.
Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh
Edward III dimulai dengan pertanyaan “Apakah prakondisi untuk
implementasi kebijakan yang berhasil? Apakah rintangan primer
untuk implementasi kebijakan yang sukses?”. Menjawab pertanyaan
penting ini, Edward III menunjukkan empat faktor atau variabel kritis
dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu communication,
resources, dispotition or attitude, dan bureaucracy structure. Keempat
variabel tersebut dijelaskan oleh Edward III (2003) sebagai berikut :
1. Komunikasi (communication), agar implementasi menjadi
efektif, maka mereka yang tanggungjawabnya adalah untuk
mengimplementasikan sebuah keputusan mesti tahu apa yang
seharusnya mereka kerjakan. Komando untuk mengimplementasikan
kebijakan mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat,
dan kebijakan ini mesti jelas, akurat, dan konsisten. Jika para
pembuat keputusan kebijakan ini berkehendak untuk melihat yang
diimplementasikan tidak jelas dan bagaimana rinciannya, maka
kemungkinan akan timbul kesalahpahaman di antara pembuat
kebijakan dan implementasinya.
2. Sumberdaya (resources), tidak menjadi soal betapa jelas dan
konsisten komando implementasi dan menjadi soal betapa akuratnya
komando ini ditransmisikan, jika personalia yang bertanggungjawab
dalam melaksanakan semua kebijakan kurang sumber daya untuk
melakukan sebuah pekerjaan efektif, implementasi tidak akan efektif
pula. Sumber daya yang penting meliputi staf yang tepat dengan
keahlian yang diperlukan; informasi yang relevan dan cukup tentang
cara untuk mengimplementasikan kebijakan dan dalam penyesuian

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


18 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
lainnya yang terlibat di dalam implementasi; kewenangan untuk
meyakinkan bahwa kebijakan ini dilakukan semuanya sebagaimana
dimaksudkan, dan berbagai fasilitas (termasuk bangunan, peralatan,
tanah dan persediaan) di dalamnya atau dengannya harus
memberikan pelayanan.
3. Disposisi sikap (disposition), jika implementasi adalah untuk
melanjutkan secara efektif, bukan saja mesti para implementor tahu
apa yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melakukan
hal ini, melainkan juga mereka mesti berkehendak untuk melakukan
suatu kebijakan. Para implementor kebanyakan bias melakukan
seleksi yang layak didalam implementasi kebijakan. Salah satu
dari berbagai alasan untuk ini adalah independensinya dari atasan
(superior) nominal yang merumuskan kebijakan. Alasan lain
adalah kompleksitas dari kebijakan mereka sendiri. Cara dimana
para implementor ini melakukan seleksinya, bagaimanapun juga
bergantung sebagian besar pada disposisinya terhadap kebijakan.
Sikap-sikapnya, pada gilirannya, akan dipengaruhi oleh berbagai
pandangannya terhadap kebijakan masing-masing dan dengan cara
apa mereka melihat kebijakan yang mempengaruhi kepentingan
organisasional dan pribadi.
4. Struktur birokrasi (Bureaucratic Structure), bahkan jika sumber
daya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan
ada, dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakannya, maka
implementasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam
struktur birokrasi. Fragmentasi organisasional mungkin merintangi
koordinasi yang perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses
sebuah kebijakan kompleks yang mensyaratkan kerjasama banyak
orang. Dan mungkin juga memboroskan sumber daya langka,
merintangi perubahan, menciptakan kekacauan, mengarah kepada
kebijakan bekerja dalam lintas-tujuan, dan menghasilkan fungsi-
fungsi yang terabaikan. Sebagaimana unit-unit organisasional
menyelenggarakan kebijakan, mereka mengembangkan SOP untuk
menangani situasi rutin dalam pola hubungan yang beraturan.
Malangnya, SOP yang dirancang untuk kebijakan-kebijakan masa
depan sering tidak tepat bagi kebijakan-kebijakan baru dan mungkin
menyebabkan penghalang terhadap perubahan, penundaan,
pemborosan atau tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. SOP
kadang merintangi bukan membantu implementasi kebijakan.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 19
Dari uraian di atas diketahui bagaimana komunikasi, sumber
daya, disposisi sikap, dan struktur birokrasi menjadi faktor dominan
dalam proses implementasi kebijakan. Edwards (1980) menggambarkan
interaksi faktor-faktor tersebut:
Gambar 1
Direct and Indirect on Implementation

Sumber: Edwars III (1980:148)

Komunikasi yang efektif dalam implementasi kebijakan jelas


diperlukan karena fungsi komunikasi dapat memperjelas isi kebijakan
yang harus dimengerti dan dijabarkan oleh setiap implementor.
Dalam hal komunikasi ini Edward III (2003) mengatakan persyaratan
pertama bagi implementasi kebijakan adalah bahwa mereka yang harus
mengimplementasikan suatu keputusan mesti tahu apa yang mereka
harus kerjakan. Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi mesti
ditransmisikan kepada personalia yang tepat sebelum bisa diikuti. Secara

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


20 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
alami, komunikasi ini membutuhkan keakuratan, dan komunikasi mesti
secara akurat pula diterima oleh para implementor. Banyak rintangan
terletak pada jalur transmisi komunikasi pada proses implementasi,
bagaimanapun juga, dan rintangan-rintangan ini mungkin menganggu
implementasi kebijakan.
Dengan demikian akurasi komunikasi dalam proses implementasi
kebijakan menjadi hal penting. Dalam hal ini, Sunggono (1994)
mengatakan faktor komunikasi menjadi penting dibicarakan,
karena bagaimanapun juga kita harus menyadari bahwa tindakan
pengundangan suatu peraturan hukum itu berkonsekuensi timbulnya
suatu jenis aktivitas tertentu yang sesuai dengan tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan dalam kebijakan. Berpihak dari sini, maka para
aktor pelaksana tidak hanya dipersyaratkan memiliki kemampuan
untuk melaksanakannya, akan tetapi mereka juga harus mempunyai
pengetahuan atau pemahaman akan substansi kebijakan (publik) yang
hendak dilaksanakan.
Dengan demikian komunikasi membantu para implementor
kebijakan untuk memahami substansi kebijakan yang dilaksanakannya.
Searah dengan pendapat ini, menurut Edward III (2003), Jika kebijakan
harus diimplementasikan secara tepat, ukuran implementasi mesti
tidak hanya diterima, namun mereka mesti juga jelas. Jika tidak, para
implementor akan kacau dengan apa yang seharusnya mereka lakukan,
dan mereka akan memiliki diskresi (kewenangan) untuk mendorong
tinjauannya dalam implementasi kebijakan, memandang bahwa
mungkin berbeda dengan pandangan atasannya. Fungsi komunikasi
kebijakan adalah untuk memperjelas isi kebijakan. Dalam hal ini,
Edward III (2003) mengatakan bahwa perintah-perintah implementasi
yang tidak ditransmisikan, yang terdistori dalam transmisi, atau yang
tidak pasti atau tidak konsisten mendatangkan rintangan-rintangan
serius bagi implementasi kebijakan.
Implementasi kebijakan yang melibatkan pemerintah pusat
dan daerah jelas sangat membutuhkan dukungan suatu sistem
komunikasi yang dapat memperjelas tujuan dan sasaran kebijakan
serta prosedur dan program pencapain tujuan dan sasaran kebijakan.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 21
Dengan dukungan suatu sistem komunikasi yang efektif, setiap pihak
tentu dapat diajak untuk memahami isi kebijakan (content of policies),
dan selanjutnya dapat menerjemahkan kebijakan tersebut ke dalam
berbagai kegiatan nyata. Sistem komunikasi yang dimaksud sebaiknya
mencakup keseluruhan model komunikasi yang memungkinkan setiap
pihak yang berperan dan atau yang terkait dengan proses implementasi
kebijakan dapat memahami dan menerjemahkan isi kebijakan.
Setelah fungsi komunikasi dalam proses implementasi kebijakan
dapat dimengerti sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan
implementasi kebijakan, maka persoalan berikutnya adalah bagaimana
dukungan sumber daya untuk mengimplementasikan kebijakan. Dalam
hal sumber daya ini, Edward III (2003) mengatakan tidak menjadi soal
betapa jelas dan konsisten komando implementasi dan menjadi soal
betapa akuratnya komando ini ditransmisikan, jika personalia yang
bertanggungjawab dalam melaksanakan semua kebijakan kurang
sumber daya untuk melakukan sebuah pekerjaan efektif, implementasi
tidak akan efektif pula. Sumber daya yang penting meliputi staf dengan
ukuran yang tepat dan dengan keahlian yang diperlukan; informasi
yang relevan dan cukup tentang cara untuk mengimplementasikan
kebijakan dan dalam penyesuaian lainnya yang terlibat di dalam
implementasi; kewenangan untuk meyakinkan bahwa kebijakan ini
dilakukan semuanya sebagaimana dimaksudkan, dan berbagai fasilitas
(termasuk bangunan, peralatan, tanah dan persediaan) di dalamnya
atau dengannya harus memberikan pelayanan.
Disamping berbagai fasilitas untuk memperlancar pelaksanaan
kebijakan, ternyata kompetensi implementor kebijakan menjadi sangat
penting untuk mengefektifkan implementasi kebijakan. Sumber daya
bisa menjadi suatu faktor kritis dalam implementasi kebijakan publik,
terutama sumber daya staf dengan jumlah yang cukup dan dengan
ketrampilan yang tepat untuk melakukan tugasnya serta informasinya,
otoritas, dan fasilitas yang diperlukan. Dalam konteks ini, Edward
III mengatakan “Insufficient resources will mean that laws will not be
enforced, services will not be provided, and reasonable regulations wail
not be developed.” Dengan demikian fungsi sumber daya dalam proses

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


22 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
implementasi kebijakan, terutama sumber daya manusia (staff), menjadi
penting dan bernilai strategis untuk mengefektifkan pelaksanaan
berbagai peraturan yang menjadi isi kebijakan.
Implementasi kebijakan jelas melibatkan sejumlah aparatur
birokrasi, baik di tingkat administratif maupun di tingkat operasional.
Karena itu, sikap kerja aparatur birokrasi di masing-masing tingkatan
dalam mengimplementasikan kebijakan penting sekali. Mengapa
demikian, karena sikap kerja aparatur ini turut menentukan kinerja
kebijakan. Karena itu, menarik apa yang dikatakan oleh Edward
III, bahwa implementasi memiliki diskresi yang hebat di dalam
mengimplementasikan kebijakan. Komunikasi dari atasan seringkali
tidak jelas atau konsisten, dan kebanyakan implementor menikmati
ketergantungan substansial dari atasannya. Beberapa kebijakan jatuh
di dalam “zona pengabaian” administratur, yang lainnya mendapatkan
sambutan kuat.
Apa yang dikatakan oleh Edward III itu pada dasarnya ingin
menunjukkan bahwa implementor kebijakan bisa cenderung pada
kepentingan pribadi atau kepentingan organisasi. Dan dengan
demikian disposisi atau katakalah kecenderungan sikap aparatur
dalam mengimplementasikan kebijakan merupakan pergeseran sikap
implementor dari yang semestinya sehingga tidak selaras lagi dengan
tujuan dan sasaran implementasi kebijakan. Karena itu, Edward III
(2003) mengatakan bahwa disposisi mungkin merintangi implementasi
ketika implementor begitu saja tidak setuju dengan bahan dari suatu
kebijakan dan penolakannya mengarahkan bukan untuk melakukannya.
Oleh sebab itu, untuk mengefektifkan implementasi kebijakan
diperlukan sikap kerja aparatur yang sepenuh fokus pada tujuan
dan sasaran kebijakan, dan tidak terlalu menonjolkan kepentingan
pribadinya. Pembentukan sikap aparatur dalam proses implementasi
kebijakan merupakan suatu fenomena sosial yang berlangsung dalam
organisasi. Masing-masing organisasi mempunyai struktur dan fungsi
tersendiri. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa implementasi
kebijakan juga tidak lepas dari pengaruh struktur birokrasi yang
terdiri atas sejumlah unit kerja (SKPD). Karena itu, implementasi

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 23
kebijakan jelas membutuhkan suatu pola koordinasi dan prosedur yang
mendukung terjalinnya suatu kerjasama yang harmonis, baik di tingkat
administratif maupun di tingkat operasional. Untuk itu diperlukan suatu
standard operating procedure (SOP), sebagaimana dikatakan Edward III
(2003) berikut SOP tidak hanya mengatur tapi mencegah tindakan yang
tidak tepat, namun juga mungkin menyebabkan personalia mengambil
tindakan yang pejabat senior tidak ingin lakukan. Tujuan tertentu
untuk situasi ini diprogramkan ke dalam sebuah repertoire perilaku
organisasional. Tindakan-tindakan ini mungkin terjadi, bahkan bisa
jadi tindakan ini membahayakan kebijakan para pejabat tinggi. SOP
dengan visibilitas rendah bisa menyebabkan kritis karena para pembuat
kebijakan ini tidak sadar akan implikasinya.
Salah satu implikasi pelaksanaan SOP diantaranya pelaksanaan
prosedur yang lamban dan berbelit-belit serta menimbulkan biaya yang
tidak semestinya. Karena itu, Edward III (2003) berani mengatakan jika
sumber daya yang cukup untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan
ini ada dan para implementor tahu apa yang harus dikerjakannya,
implementasi mungkin masih dicegah karena kekurangan dalam
struktur birokrasi. Fragmentasi organisasional mungkin merintangi
koordinasi yang perlu untuk mengimplementasikan dengan sukses
sebuah kebijakan kompleks yang mensyaratkan kerjasama banyak
orang dan mungkin juga memboroskan sumber daya, merintangi
perubahan, menciptakan kekacauan, mengarah kepada kebijakan
bekerja dalam lintas-tujuan, dan menghasilkan fungsi-fungsi yang
terabaikan. Malangnya, SOP yang dirancang untuk kebijakan-kebijakan
masa depan sering tidak tepat bagi kebijakan baru dan mungkin
menyebabkan halangan terhadap perubahan, penundaan, pemborosan
atau tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. SOP kadang merintangi
bukan membantu implementasi kebijakan.
Dari pemikiran Edward III terungkap pentingnya koordinasi dan
kerjasama untuk mensukseskan implementasi kebijakan di antara
perbedaan struktur birokrasi, karena perbedaan struktur birokrasi
dapat menghambat koordinasi untuk mensukseskan implementasi
kebijakan. Sementara itu, masalah di lingkungan internal birokrasi

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


24 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
bisa disebabkan oleh struktur birokrasi yang terlalu hirarkis. Menurut
Widodo ( 2007) masalah strategis yang berasal dari lingkungan
internal bisa berupa struktur kelembagaan, penataan dan kompetensi
aparatnya, ketatalaksanaan, teknologi administrasi (sarana dan
prasaranan), dan manajemen birokrasi itu sendiri. Masalah yang
berasal dari lingkungan eksternal bisa berupa dinamika masyarakat dan
tumbuh-kembangnya masalah yang dihadapi masyarakat begitu cepat,
perubahan kondisi masyarakat dari kurang berdaya (powerless) menjadi
berdaya bahkan sangat berdaya (power full), terjadinya penggesaran
paradigma berpikir, penggeseran paradigma dalam penyelenggaraan
pemerintahan pembangunan, dan layanan masyarakat, dari sentralisasi
ke desentralisasi (otonomi daerah), dari rule government menjadi good
governance, dan sebagainya. Mengacu pada hal tersebut maka wajarlah
bila faktor struktur birokrasi turut menentukan kinerja kebijakan.
Artinya, keberhasilan implementasi kebijakan bergantung pada fungsi
struktur birokrasi yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Berdasarkan landasan teori diatas, pelayanan dasar yang
dilaksanakan di dalam panti sebagai salah satu sasaran dari implemetasi
SPM bidang sosial khususnya rehabillitasi sosial, tidak lepas dari
komitmen dan peran serta pemerintah. Regulasi yang ada diharapkan
saling melengkapi sehingga dapat mengimplementasi kebijakan yang
telah disusun, dalam hal ini SPM rehabilitasi sosial. Komunikasi,
sumberdaya, disposisi sikap dan struktur birorasi bisa menjadi tolok
ukur keberhasilan penerapan SPM bidang rehabilitasi sosial didalam
panti. Akan tetapi tetap harus mempertimbangkan factor pendukung
dan penghambat yang ada. Oleh sebab itu untuk meminimalisir factor
penghambat dan memaksimalkan factor pendukung, perlu ada strategi
tindak lanjut. Strategi tindak lanjut dilakukan pada unsur kelembangaan,
perencanaan, anggaran, sumber daya manusia, serta pembinaan dan
pengawasan. Sehingga diharapkan pada tahun berikutnya SPM bidang
rehabilitasi sosial terlaksana dengan baik.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan uraian diatas, maka kerangka
pemikiran dari penelitian ini disusun sebagai berikut:

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 25
Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


26 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan


Kuantitatif dan Kualitatif. Dengan kata lain menggunakan pendekatan
kombinasi. Menurut Sugiyono (2011), metode penelitian kombinasi
adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau
menggabungkan antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan
kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam suatu kegiatan
penelitian sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid,
reliable dan objektif.
Teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Angket
Dilaksanakan menggunakan instrumen penelitian agar diperoleh
data sesuai tujuan penelitian. Responden adalah pejabat structural
dan fungsional di lingkungan panti sosial.
b. Diskusi Kelompok Terfokus (FGD)
Diskusi kelompok terfokus dilaksanakan dengan menggunakan
pedoman FGD. Peserta diskusi terdiri dari:
1. Sekretaris Daerah
2. Bapeda Propinsi
3. Bapeda Kabupaten / Kota
4. Dinas Sosial propinsi (Kepala Dinas, Kabid Rehsos, Kasie,
Perencana Program)
5. Dinas Sosial kab/kota (Kepala Dinas, Kabid Rehsos, Kasie,
Perencana Program)
6. Kepala Panti Sosial
c. Observasi
Observasi untuk mendapatkan gambaran data tentang pelaksanaan
rehabilitasi sosial di Panti Sosial

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 27
Informan dan Responden
Informan adalah semua peserta FGD yang telah disebutkan diatas.
Responden adalah unsur struktural dan fungsional di panti sosial serta
pihak-pihak yang menjadi mitra kerja panti.

Lokasi penelitian
Lokasi dipilih secara purposif di delapan provinsi yang memiliki
empat jenis panti. Panti anak, lanjut usia, disabilitas dan gelandangan
pengemis.
1. Rumoh Seujahtera Aneuk “Nanggroe” Banda Aceh.
2. PSAA “ Budi Mulia” Banjarbaru, Kalimantan Selatan
3. UPT Rehabilitasi Sosial Bina Rungu Wicara Pasuruan, Jawa Timur
4. PSBL “Mutmainah” Lombok Tengah, NTB
5. PPSLU “Mappakasunggu” Pare Pare, Sulawesi Selatan
6. BPSTW “Budhi Luhur” Yogyakarta, DIY.
7. PPS PGOT “ Mardi Utomo”, Semarang
8. PPS PGOT “Cisarua” Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


28 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Tahapan dan Jadwal Penelitian
Bulan
Oktober Nopember
No. Tahapan
Minggu Minggu
1 2 3 4 1 2 3 4
A Pelaksaaan Penelitian
1 Identifikasi Kebutuhan
Penelitian
2 Penyusunan rancangan
dan instrument
3 Pembahasan rancangan
dan instrument
4 Pengumpulan data
lapangan)
5 Pengolahan dan Analisis
Data
6 Finalisasi Penelitian
B Penyusunan Laporan
1 Penyusunan Hasil
Penelitian dan Policy Brief
2 Penyusunan Executive
Summary

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 29
Organisasi Penelitian
Pengarah : Kepala Badan Pendidikan, Penelitian dan
Penyuluhan Sosial
Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial
Konsultan : Dr. Karno, MSi.
Koordinator Tim : Husmiati
Anggota Tim : 1. Hari Harjanto Setiawan
2. Alit Kurniasari
3. Ruaida Murni
4. Aulia Rahman
5. Setyo Sumarno
6. Delfirman
7. Lucy Sandra Butar Butar

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


30 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN
Penelitian tentang implementasi Standar Pelayanan Minimal pada
panti sosial di delapan lokasi dengan empat jenis sasaran, yaitu anak
terlantar, disabilitas terlantar, lanjut usia terlantar, dan gelandangan
pengemis. Panti sosial memberikan pelayanan rehabilitasi sosial, dan
berada dalam pembinaan serta pengawasan pemerintah provinsi
setempat, sehingga nama-nama masing-masing panti beragam. Nama-
nama tersebut seperti Balai Pelayanan Sosial, Unit Pelaksana Teknis
(UPT), Panti Perlindungan Sosial, Panti Rehabilitasi Sosial dan Panti
Sosial. Berikut akan diuraikan hasil penelitian tentang profil panti
yang berisi gambaran tentang responden. Selanjutnya akan diuraikan
implementasi kebijakan berdasarkan persepsi responden terhadap
komunikasi, sumber daya, sikap, dan struktur birokrasi.

1. Profil Panti
a. Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi
Luhur Yogyakarta
Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Yogyakarta
adalah Balai Pelayanan Sosial yang mempunyai tugas memberikan
bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat
hidup secara baik dan terawat dalam kehidupan masyarakat baik
yang berada di dalam Balai Pelayanan maupun yang berada di
luar Balai Pelayanan. BPSTW sebagai lembaga pelayanan sosial
lanjut usia berbasis Balai Pelayanan yang dimiliki pemerintah
dan memiliki berbagai sumberdaya perlu mengembangkan diri
menjadi Institusi yang progresif dan terbuka untuk mengantisipasi
dan merespon kebutuhan lanjut usia yang terus meningkat.
BPSTW Yogyakarta sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah
sesuai dengan SK Gubernur DIY Nomor 160 Tahun 2002 yang

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 31
memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada lanjut
usia. BPSTW Yogyakarta diharapkan mampu mengembangkan
komitmen dan kompentensinya dalam memberikan pelayanan
sosial yang terstandarisasi dengan mengacu kepada Kepmen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 193/Menkes Kesos /
III/2000 tentan Standarisasi Balai Pelayanan Sosial, yang telah
direvisi dengan Kepmen Sosial RI Nomor 50/Huk/2004, sekaligus
mengakomudasi potensi lokal di daerah.
Pada saat ini BPSTW Yogyakarta mempunyai 2 (dua) Unit
yaitu BPSTW Yogyakarta Unit Abiyoso di Pakem Kab. Sleman
dan BPSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan, Bangunjiwo,
Kasihan Bantul.

Visi
Lanjut usia yang sejahtera dan berguna

Misi :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan lanjut usia yang meliputi :
a. Kesehatan fisik, sosial, mental dan spiritual.
b. Pengetahuan dan Ketrampilan.
c. Jaminan sosial dan jaminan kehidupan.
d. Jaminan perlindungan hukum.
2. Meningkatkan profisionalisme pelayanan kesejahteraan lanjut usia.
3. Meningkatkan Program Pelayanan Khusus, Day Care Services, Trauma
Services, Home Care Services dan Tetirah.

Tugas pokok dan fungsi


BPSTW mempunyai tugas sebagai pelaksana teknis dalam
perlindungan, pelayanan dan jaminan sosial bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial lanjut usia. Sedangkan fungsinya adalah sebagai
berikut:
1. Penyusunan program Balai Pelayanan,
2. Penyelenggaraan Ketatausahaan
3. Penyusunan pedoman pelaksana teknis dalam perlindungan,

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


32 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
pelayanan dan jaminan sosial bagi penyandang masalah
kesejahteraan sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial
lanjut usia
4. Pelaksanaan identifikasi dan pemetaan perlindungan, pelayanan
dan jaminan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial
lanjut usia
5. Penyelenggaraan rujukan baik pada tahap pra perlindungan,
pelayanan dan jaminan sosial, tahap proses perlindungan, pelayanan
dan jaminan sosial maupun paska perlindungan, pelayanan dan
jaminan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial lanjut
usia
6. Penyelenggaraan jaringan/koordinasi dengan Dinas/Instansi/
Lembaga/ Yayasan/Organisasi Sosial yang bergerak dalam
penanganan lanjut usia
7. Penyelenggaraan rujukan baik pada tahap praperlindungan,
pelayanan dan jaminan sosial lanjut usia
8. Pelaksanaan peningkatan peran serta masyarakat dalam penanganan
lanjut usia
9. Fasilitasi penelitian dan pengembangan perguruan tinggi /lembaga
kemasyarakatan / tenaga kesejahteraan sosial untuk perlindungan
pelayanan dan jaminan sosial bagi lanjut usia
10. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan penyusunan laporan program
Balai Pelayanan
11. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai tugas dan
fungsinya

Tujuan
Tujuan Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi Luhur
adalah Balai Sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan
pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara baik dan
terawat dalam kehidupan masyarakat baik yang berada di dalam panti
maupun yang berada di luar panti.

Sasaran pelayanan
1. Lanjut Usia
2. Keluarga

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 33
3. Masyarakat
4. Instansi Terkait
5. Organisasi Sosial
6. Dunia Usaha

Proses pelayanan

Sarana prasarana
Sarana BPSTW Budi Luhur Yogyakarta
1. Luas Tanah : 6.512 m3
2. Gedung Kantor & Aula : 470 m2
3. Ruang Keterampilan : 90 m2
4. Dapur dan Laundry : 260 m2
5. Poliklinik : 400 m2
6. Ruang Isolasi : 134 m2
7. MCK / WC Umum : 24 km /Toilet
8. Jumlah Kamar : 24 kamar
9. Mesjid : 9 m2
10. Rumah Dinas : 148 m2

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


34 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
11. Garasi : 36 m2
12. Pos Satpam : 6 m2
Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi Luhur
Yogyakarta memiliki kapasitas layanan kepada PPKS sejumlah 110 orang
dan saat ini jumlah penerima layanan 120 orang, sedangkan jumlah
Sumber daya manusianya terdiri dari 26 orang Pegawai dengan rincian
sebagai berikut : 1. Struktural (4 orang) 2. Tenaga Fungsional Umum (17
orang) 3. Tenaga Fungsional Khusus (Pekerja Sosial) (2 orang) 4. Non
PNS / Tenaga Kontrak (7 orang).
Pemeliharaan sarana gedung BPSTW Budi Luhur Yogyakarta
dilakukan 1 kali dalam 1 tahun, sedangkan untuk pemeliharaan
taman/ jalan/ dan halaman dilakukan pemeliharaan 3 kali dalam 1
tahun. Selain itu balai pun memiliki prasarana lain guna menunjang
kebutuhkan seperti jaringan telepon kantor, fax, radio komunikasi, dan
internet. Terkait kebutuhan mobilitas dan urgensi, BPSTW memiliki
sarana 3 kendaraan roda empat dengan biaya pemeliharaan sebesar Rp.
44.392.000 pertahun dan 4 roda dua dengan biaya pemeliharaan sebesar
Rp. 3.748.000 pertahun.
Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Budi Luhur
Yogyakarta menyediakan asrama / kamar dengan dibuatnya 24 kamar
asrama, dengan ukuran diluar standart dari ukuran (4,5 m2/orang),
dengan kamar yang di sesuaikan dengan jenis kelamin penerima layanan
dan setiap kamar diisi oleh 2 tempat tidur. Kamar mandi/toilet dibuat
sesuai standart, namun tidak memiliki pemisah kamar mandi sesuai
jenis kelamin. Ratio kamar mandi yang ada dengan penghuni panti yaitu
1:4. Ventilasi dan penerangan pada asrama, dan kamar mandi sudah
diperhatikan.
Perbekalan sektor kesehatan juga tidak boleh luput dari SPM,
karena merupakan layanan dasar sekaligus penunjang yang harus
dipenuhi dan di adakan dalam balai. Beberapa alat kesehatan yang
sudah dimiliki balai: kursi roda : 23 buah ,kacamata, kruk : 2 buah, lansia
walker : 18 buah, tripod, tongkat : 4buah dan pemeriksaan, pengukuran
untuk penyediaan alat bantu dengar dalam 1 tahun. Dan Penyediaan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 35
Pembekalan Kesehatan berupa obat umum:1 jenis, obat khusus,
tensimeter : 4 buah, timbangan : 2 buah, pengukur gula darah, kolesterol,
asam urat : 3 buah dan kotak P3K.
Pemberian bimbingan-bimbingan dalam bagian dari pelaksaan
proses rehabilitasi sosial dalam panti. Kegiatan bimbingan fisik seperti
olah raga bersama, menari dan berbagai jenis kesenian dilaksanakan
dengan baik. Namun alat peraga dalam proses bimbingan fisik belum
dapat direalisasikan sampai saat ini. Kegiatan bimbingan mental, seperti
bimbingan psikologis, konsultasi, dan pembinaan spirilutal seperti
bimbingan rohani, kegiatan keagaamn, sudah dilaksanakan. Frekuensi
kegiatan spiritual dalam sebulan sebanyak lebih dari 2 kali. Frekuensi
kegiatan pengisi waktu luang yang bersifat situasional, biasanya
dilakukan sebanyak lebih dari 2 kali.
Dalam SPM, untuk kategori klien LANSIA harus dapat di advokasi
dan difasilitasi terkait dengan pembuatan nomor induk kependudukan
oleh pihak Balai dengan bekerjasama dengan Biro Bina Sosial pemda DIY.
Namun terkait dengan biaya transport untuk Peksos yang melaksanakan
advokasi tidak ada. Pemberian layanan reunifikasi keluarga dalam 1
tahun di lakukan 1 kali dengan biaya perjalanan Rp. 25.000. selain itu balai
memiliki program pemulasaran dengan biaya pemulasaran / jenazah
Rp. 1.500.000 dan transport petugas dalam kegiatan pemulasaran yaitu
Rp. 30.000/orang.

b. Panti Perlindungan Sosial Lanjut Usia “MAPPAKASUNGGU”


Pare Pare, Sulawesi Selatan
Panti ini mulai dirintis pada tahun 1980 sampai dengan 1981 sesuai
dengan surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. HUK
3.5-50/107 Tahun 1971 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang
Jompo Terlantar. Diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1983 oleh Menteri
Sosial dengan nama SASANA TRESNA WERDHA PAREPARE Atau tempat
pembinaan/penyantunan (Lembaga Sosial) yang memberikan pelayanan
kesejahteraan sosial kepada lanjut usia yang dilandasi oleh cinta, kasih
dan rasa sayang. Perubahan organisasi dan tata kerja di lingkungan
Depertmen Sosial, Maka nama Sasana Tresna Werdha diubah menjadi

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


36 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
“Panti Tresna Werdha Parepare” dengan tugas melakukan pelayanan
dan perawatan baik jasmani maupun rohani kepada para lanjut usia
yang terlantar, kemudian Panti Tresna Werdha berubah menjadi Panti
Sosial Tresna Werdha yang mempunyai Tugas Pokok yang tak berbeda
dengan tugas-tugas sebelumnya. Dengan berlakunya Otonomi Daerah
terhitung Tahun 2000 Maka Penanganan Pemerintahan Pusat dialihkan
ke daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Melalui Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 38 Tahun 2009
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis (UPTD) Pusat
Pelayanan Sosial Lanjut Usia (PPSLU), mengubah nomenklatur Panti
Sosial Tresna Werdha Parepare menjadi Pusat Pelayanan Sosial Lanjut
Usia (PPSLU) Mappakasunggu Parepare yang mempunyai Tugas Pokok
menyelenggarakan kegiatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia
yang meliputi asuhan dan perlindungan, perawatan dan pemeliharaan
lintas kota/Kabupaten dalam Provinsi Sulawesi Selatan.
PPSLU Mappakasunggu Parepare bertempat di Jalan Jendral
Sudirman no.10 A. Memiliki visi, menjadikan UPTD PPSLU
Mappakasunggu Parepare terbaik dalam pelayanan sosial serta memiliki
misi, memberikan pelayanan sosial yang profesional dan bermutu,
mengaktifkan bimbingan dan penyuluhan perorangan bagi binaan
lanjut usia, menjalin koordinasi yang baik terhadap pihak-pihak terkait
(stakeholders) guna terpenuhinya kebutuhan pelayanan sosial lansia.
PPSLU Mappakasunggu Parepare memiliki 10 kegiatan pelayanan,
yakni: 1) Pelayanan fisik, 2) Pelayanan Keagamaan, 3) Pelayanan Sosial,
4) Pelayanan Keterampilan, 5) Pelayanan Psikologis, 6) Pelayanan
Kesehatan, 7) Pelayanan Pendampingan, 8) Pelayanan Rekreasi, 9)
Pelayanan Pemakaman, 10) Terminasi (kembali ke keluarga). Saat ini
PPSLU Mappakasunggu Parepare memiliki 75 PPKS dari daya tampung
sebanyak 100 orang dengan jumlah pekerja sosial sebanyak 10 orang.

c. UPTD Rumoh Seujahtera Aneuk Nanggroe Provinsi Aceh


Unit Pelaksana Teknis Daerah Rumoh Seujahtera Aneuk Nanggroe
(UPTDRSAN) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di
Lingkungan Dinas Sosial Aceh mempunyai tugas melaksanakan sebagian
kegiatan teknis operasional di bidang penerimaan, pelayanan, pengasuhan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 37
dan perlindungan terhadap anak jalanan, anak terlantar, anak korba tindak
kekerasan atau diperlakukan salah, anak yang berhadapan dengan hukum
dan anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Rumoh Seujahtera Aneuk
Nanggroe Provinsi Aceh berdiri sejak 2003 berlokasi di Lampineung dan
pada 2004 pindah ke desa Lampuuk kecamatan Lok Nga Kabupaten
Aceh Besar. Pada pertengahan tahun 2007 pasca tsunami Aceh UPTD
RSAN ini dibangun kembali di Desa Gue Gajah Kecamatan Darul Imarah
Kabupaten Aceh Besar atas kerjasama Dinas Sosial Aceh dengan Japan
International Cooperation System (JICS).

Sumber daya manusia


Sumber daya manusia yang ada UPTD Rumoh Seujahtera Aneuk
Nanggroe Kepala UPTD,Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi
Penerimaan dan Pelayanan, Kepala Seksi Pengasuhan dan Perlindungan,
Pegawai Negeri Sipil, Pegawai dengan Perjanjian Kerja, Pengasuh,
Pekerja Sosial, Tenaga Medis, Tenaga Operator, Satuan Pengamanan,
Ustaz-Ustazah, petugas masak, petugas cuci dan instruktur

Visi
Menjadikan UPTD RSAN sebagai pusat pelayanan, pengasuhan
dan perlindungan sosial bagi anak-anak yang mengalami masalah sosial
psikologis.

Misi:
1. Melaksanakan pelayanan, pengasuhan dan perlindungan sosial
dengan berbasiskan pendekatan
2. Memberikan keterjaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar
anak.
3. Melakukan system rujukan dan temrinasi sebagai rangkaian dari
kegiatan pelayanan, pengasuhan dan perlindungan khusus.

Fasilitas
Fasillitas di UPTD terdiri dari : Kantor, ruang musik, rumah kepala,
rumah pengasuh, musholla, asrama putra (14 kamar), lapangan bola,

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


38 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
alat transportasi, kolam renang, Selain itu ada ruang belajar, asrama
putri (14 kamar), klinik, dapus dan balai pertemuan. Pos Satpam, aula,
gudang dan ruang makan.

Fungsi
Untuk menyelenggarakan tugasnya, UPTD Rumoh Seujahtera
Aneuk Nanggroe mempunyai fungsi :
1. Penyusunan program perencanaan di bidang penyantunan,
pelayanan ,pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak jalanan, anak
yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami korban
tindak kekerasan
2. Pelaksanaan ketatausahaan dan kerumah tanggaan
3. Pelaksanaan kegiatan rujukan/referal dari intansi dan atau lembaga
terkait lainnya
4. Pelaksanaan pelayanan dan penyantunan terhadap anak jalanan,
anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami
korban tindak kekerasan
5. Pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak jalanan,
anak yang berhadapan dengan hukum dan anak yang mengalami
korban tindak kekerasan
6. Pelaksanaan kegiatan fasilitas pendidikan formal
7. Pelaksanaan bimbingan lanjutan terhadap hasil pembinaan, dan
8. Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan

d. Panti Sosial Asuhan Anak “BUDI MULIA” Banjarbaru,


Kalimantan Selatan
PSAA Budi Mulia mulai beroperasi sejak tanggal 1 Juli 1984 yang
waktu itu berada di bawah Departemen Sosial RI sebagai salah satu Unit
Pelaksanaan Teknis dari Kanwil Departemen Sosial Provinsi Kalimantan
Selatan. Pada tahun 1999 Departemen Sosial dilikuidasi, sehingga dan
terjadi pengalihan pengelolaan kepada Pemerintah Daerah Provinsi
Kalimantan Selatan dan sejak tanggal 2 Mei 2000 PSAA Budi Mulia
masuk di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
sebagai UPTD Eselon IVA. Berdasarkan SK Gubernur No. 075 Tahun
2001 Tanggal 29 Maret 2001 PSAA “Budi Mulia” mendapat kepercayaan
dari Pemerintah Daerah menjadi UPTD Eselon IIIA.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 39
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Budi Mulia yang terletak di Jalan A.
Yani Km. 27.400 Landasan Ulin Banjarbaru, merupakan salah satu Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dari Dinas Sosial Provinsi Kalimantan
Selatan yang memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada
anak yatim, piatu, yatim piatu terlantar dan anak kurang beruntung
lainnya, meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, bakat, kemampuan
serta ketrampilan, agar mereka dapat hidup layak dan penuh tanggung
jawab dan berkembang secara wajar, memperoleh perlindungan,
pengembangan potensi dan kemampuan secara memadai.
PSAA Budi Mulia Banjarbaru memiliki visi: Terwujudnya Pelayanan
Sosial Anak yang Terdidik, Terampil Dan Berkepribadian, serta memiliki
misi, sedangkan Misi yang diemban PSAA Budi Mulia Provinsi Kalimantan
Selatan adalah: Menjamin Tumbuh Kembang Anak berupa pengasuhan,
rawatan, perlindungan, partisipasi dan pembinaan melalui pendidikan
formal, bimbingan fisik, mental keagamaan, sosial, psikologis dan
bimbingan keterampilan; Meningkatkan kemandirian dan kemampuan
anak untuk menolong dirinya sendiri; Meningkatkan sarana dan
prasarana PSAA Budi Mulia; Meningkatkan sumberdaya pekerja sosial
dan petugas PSAA lainnya guna peningkatan profesionalisme pelayanan;
Meningkatkan koordinasi intra dan intersektoral; Mengembangkan
sistim pendataan dan informasi. Saat ini, PSAA Budi Mulia memiliki 105
PPKS dengan jumlah pengasuh sebanyak 10 orang dan pekerja sosial
sebanyak 4 orang serta dilengkapi 4 orang tenaga kesejahteraan sosial.

e. Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi Sosial Bina Rungu Wicara


(UPT RSBRW) Pasuruan, Jawa Timur.
UPT Rehabilitasi Sosial Bina Rungu Wicara Pasuruan berdiri
merupakan unsur pelaksana teknis Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
yang mempunyai tugas dan fungsi dalam pelayanan rehabilitasi sosial
bagi penyandang diabilitas rungu wicara, berdasarkan:
1. Peraturan Gubernur Jawa Timur, Nomor 71 tahun 2016 tentang
Kedudukan Susunan Organisasi Uraian tugas dan fungsi serta tata
kerja Dinaas Sosial Provinsi Jawa Timur
2. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 85 tahun 2018 tentang
Nomenklatur, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi Serta

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


40 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur.
UPT Rehabilitasi Sosial Bina Rungu Wicara Pasuruan beralamat di
Jalan RA Kartini No. 34 Bangil, Berdiri dan mulai operasional tahun 2009.

Visi :
Menyiapkan penyandang cacat rungu wicara menjadi manusia
yang dapat melaksanakan fungsi sosialnya, terampil, dan mandiri.

Misi :
1. Mewujudkan kesamaan kesempatan
2. Menyiapkan klien yang terampil sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja
3. Tersediannya aksesibilitas bagi penyandang cacat rungu wicara
4. Pemerataan jangkauan pelayanan dan tepat sasaran
5. Terciptanya interaksi sosial antara cacat rungu wicara dengan
masyarakat luas

Sasaran kegiatan:
Berdasarkan data BPS Jawa Timur tahun 2010, jumlah PPKS
sebanyak 26.708 orang, Sementara jumlah penyandang cacat rungu
wicara yang mendapat pelayanan di UPT RSBRW Pasuruan Sampai tahun
2018 sebanyak 224 orang. Data yang telah mengikuti proses pelayanan
60 orang (0,27 persen) dan telah menyelesaikan pelayanan 164 orang
(0,73 persen). Adapun jangkauan wilayah pelayanan: Kabupaten dan
Kota seluruh Provinsi Jawa Timur.
Persyaratan sebagai klien UPT Rehabilitasi Sosial Bina Rungu
Wicara:
1. Disabilitas rungu wicara,
2. berusia 15 (lima belas) tahun sampai dengan 35 (tiga puluh lima)
tahun,
3. Tidak cacat ganda (disabilitas mental/netra/tubuh)
4. Tidak mempunyai penyakit kronis/menular (TBC, hepatitis, jantung,
epilepsi, dll)
5. Mampu berkomunikasi dengan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 41
atau bahasa isyarat lokal
6. Bersedia tidak menikah selama masa pelayanan

Jejaring kerja
1. Instansi Terkait :
- Dinas Sosial/ Kesejahteraan Sosial Kab./Kota Se-Provinsi Jawa
Timur
- Dinas Pendidikan / SLB B (SDLB – SMALB)
- Dinas Kesehatan (Puskesmas, RSUD)
2. Perusahaan / Dunia Usaha
- Perusahaan Bordir, Las, Dan Konfeksi Di Wilayah Kab. Pasuruan,
Kab. Sidoarjo , Surabaya Dan Sekitarnya
3. Organisasi Sosial Dan Masyarakat
- BK3S PROV. JATIM
- FKKDAD PROV. JATIM
4. Sekolah Menengah Kejuruan (Jurusan Pekerjaan Sosial) dan
Perguruan Tinggi.

Fasilitas pelayanan dan rehabilitasi sosial :


1. Pelayanan
- Pengasramaan
- Permakanan
- Pakaian seragam
- Sarana kebersihan diri
- Pemeriksaan kesehatan dan obat – obatan
- Sarana pemeriksaan pendengaran (audiometri) dan terapi
wicara
2. Rehabilitasi Sosial
- Mengikuti kegiatan bimbingan
- Penyediaan bahan praktek dan latihan keterampilan
- Kesempatan mengikuti praktek belajar kerja
- Bantuan sosial berupa barang

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


42 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Kegiatan pelayanan sesuai SPM
1. Penyediaan makanan dalam satu tahun
Jumlah permakanan yang diberikan kepada klien dalam satu
tahun sebanyak 60 orang, dan realisasi juga 60 orang. Jumlah hari
pemberian makanan dalam setahun sebanyak 355 hari, dengan
indeks permakanan/SOSH Satu Orang Satu Hari) sebesar Rp.
25.000,-/hari/orang. UPT RSBRW Pasuruan dalam satu tahun juga
menyediakan sarana prasarana dapur, tidak termasuk alat masak,
alat makan dan alat minum. Alat ini akan diganti bila sudah rusak
atau sudah bisa dipakai.
2. Penyediaan Sandang
UPT RSBRW Pasuruan memberikan pakaian kepada klien sebanyak
2 jenis, meliputi 1 stel pakaian olah raga dan seragam RSBRW, namun
RSBRW tidak menyediakan pakaian harian dan pakaian dalam. UPT
RSBRW ini setiap bulan juga memberikan sabun mandi, sikat gigi dan
odol sebanyak 1 kali/bulan, tetapi tidak setiap bulan membelikan
handuk. Pemberian kebutuhan khusus (pembalut, pempers) dan
sepatu juga diberikan untuk kelengkapan seragam, sebanyak 1 kali/
tahun, tetapi tidak untuk pemberian sandal, demikian halnya untuk
perlengkapan ibadah seperti kitab suci dan pakaian ibadah.
3. Penyediaan Asrama/Kamar Yang Mudah Diakses
Pemeliharaan gedung dianggarkan oleh UPT RSBRW Pasuruan
sebesar Rp 15.000.000,- sekali dalam satu tahun, tetapi tidak
menyediakan anggaran untuk pemeliharaan taman, jalan dan
halaman. Kemudian jaringan komunikasi seperti telepon kantor,
fax maupun internet di UPT RSBRW telah tersedia tetapi tidak
tersedia untuk pemeliharaan jaringan tersebut. Sementara untuk
pemeliharaan kendaraan roda empat (mobil) dianggarkan sebesar
Rp 1.200.000,- / tahun. Sedangkan untuk pemeliharaan kendaraan
roda dua (motor) sebesar Rp 200.000,-/tahun. Jumlah kamar yang
dimiliki sebanyak 5 kamar yang dipisahkan sesuai jenis kelamin,
sedangkan jumlah asrama sebanyak 2 asrama yang juga dipisahkan
sesuai jenis kelamin. Jumlah toilet yang dimiliki sebanyak 20 toilet
yang terletak di asrama dan kantor, yang memiliki ukuran standar
dan dipisahkan sesuai jenis kelamin. Ratio jumlah kamar yang
digunakan oleh klien cukup memadai yakni 12 berbanding 60,
artinya setiap toilet yang ada di asrama rata rata digunakan oleh 5

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 43
orang klien. Terkait dengan penerangan dan ventilasi ruangan tidur/
asrama pada kamar-kamar/toilet cukup memadai.
Ketersediaan tempat tidur beserta kelengkapannya (sprei, bantal)
cukup memadai sebanding dengan jumlah penghuninya, artinya
bahwa masing-masing penghuninya mempunyai tempat tidur
sendiri-sendiri. Namun untuk pemeliharaan tempat tidur beserta
perlengkapnnya tidak pernah dilakukan karena tidak tersedianya
anggaran. Terkait dengan penyediaan alat bantu untuk klien sesuai
dengan jenis kecacatan yaitu alat bantu selama ii lebih banyak
berasal dari bantuan CSR, selain dari APBD.
4. Penyediaan perbekalan kesehatan
Penyediaan perbekalan kesehatan yang tersedia di dalam panti hanya
ada tiga jenis alat, yaitu timbangan 1 buah, pengukuran tinggi badan
dan kotak P3 K, alat pemeriksaan Audiometri, dan terapi wicara.
Disamping itu juga tersedia obat-obatan yang disediakan panti untuk
menjaga dan mengobati klien yang jatuh sakit sesuai kebutuhan.
Sedangkan untuk frekwensi kunjungan dokter THT dalam sebulan
dilakukan dua kali oleh dua dokter, sedangkan kunjungan dari dokter
umum dalam sebulan sebanyak 4 kali. Hal ini dilakukan secara rutin
dalam rangka melihat perkembangan klien. Kemudian kunjungan
yang dilakukan oleh psikiater dalam satu bulan lebih dari dua kali,
tetapi untuk kunjungan yang dilakukan dari Peksos Medis menurut
pendapat responden tidak pernah dilakukan, walaupun kenyataan
di panti terdapat seorang tenaga pekerja sosial.
5. Penyediaan kegiatan Bimbingan Fisik, Mental, Spiritual, Sosial dan
keterampilan.
Bimbingan Fisik yang diberikan kepada klien berupa kegiatan olah
raga, baris berbaris dan Outboound. Tidak diperoleh informasi untuk
pembelian alat peraga dalam kegiatan bimbingan fisik tersebut.
Kegiatan bimbingan mental dan psikologis disediakan panti, berupa
bimbingan individu dan kelompok, tetapi tidak memiliki anggaran
untuk kegiatan konsultasi. Sama halnya dengan kegiatan spiritual,
bimbingan rohani, kegiatan keagamaan/ibadah dilakukan secara
rutin dalam sebulan sebanyak lebih dari 2 kali. Sementara untuk
kegiatan mengisi waktu luang tidak dilakukan, karena waktu mereka
sudah padat dengan kegiatan rutin sesuai jadwal yang ada. Untuk
kegiatan keterampilan diberikan berupa kegiatan menjahit, border

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


44 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
dan las listrik, tata boga, handycraft, salon/tata rias, membatik,
menari. Anggaran untuk kegiatan bimbingan tersebut disediakan
sebesar 8 juta/bulan, yang diperuntukkan bagi pembelian bahan-
bahan untuk keterampilan.
6. Penyediaan untuk kegiatan pembuatan Identitas,
Tidak diperoleh informasi bahwa klien di UPT RSBRW Pasuruan
membutuhan pembuatan Nomor Induk Kependudukan (NIK),
karena semua identitas dari semua klien sudah lengkap saat
mendaftar.
7. Akses ke layanan Kesehatan Dasar
UPT melakukan kegiatan pelayanan kesehatan dasar, berupa
layanan kunjungan dokter ke UPT setiap bulan, untuk pemeriksaan
kesehatan dasar, dan akses ke RSUD Bangil bila ada klien yang
memerlukan perawatan (sakit berat). Anggaran untuk pelayanan
kesehatan sebesar Rp. 1 juta/bulan.
8. Pemberian Layanan Penelusuran Keluarga dan reunifikasi keluarga.
Tidak diperoleh informasi bahwa klien di UPT ini, membutuhkan
penelusuran dan reunifikasi dengan keluarga, karena semua latar
belakang keluarga telah diketahui sebelumnya, sehingga UPT
tidak menyediakan anggaran dan pekerja sosial professional untuk
kegiatan dimaksud
Data Kelulusan dan status bekerja klien UPT BSRW Pasuruan
Tahun Kelulusan Sudah Bekerja Belum bekerja
2010 30 29 1
2011 20 19 1
2012 20 17 3
2013 28 21 4
2014 20 18 2
2015 Tidak ada kelulusan
2016 25 21 4
2017 21 18 3
2018 17 13 4

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 45
f. Panti Sosial Bina Laras “MUTMAINAH” Lombok Tengah, NTB
Sejarah berdirinya panti adalah sebagai berikut: Panti Sosial Bina
Laras “Suka Waras” yang berubah nama menjadi Balai Sosial Bina Laras
“Muthmainah” di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat didirikan pada
tanggal 21 April 1997 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Daerah
Tingkat I Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 82 tahun 1997 Tentang
Penyerahan Unit/Saatuan Kerja Rumah Sakit Jiwa Daerah Tingkat I
Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai Balai Sosial Bina Laras.
Balai Sosial Bina Laras “Muthmainah” yang berada di Provinsi
Nusa Tenggara Barat bernama “Muthmainah” yang diartikan sebagai
keinginan untuk memiliki jiwa yang tenang., sehat atau normal kembali
baik secara fisik maupun psikis. Balai Sosial Bina Laras “Muthmainah”
beralamat di Jalan Raya Selebung Kabupaten Lombok Tengah Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Penetapan Balai Sosial Bina Laras “Muthmainah” sebagai unit
pelaksana teknis balai (UPTB) di Dinas Sosial Provinsi NTB dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Sosial Provinsi Nusa
Tenggara Barat berdasarkan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat
Nomor 50 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, Susunan Organisaasi, Tugas
dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas-dinas Daeraah Provinsi NTB. Namun
untuk tahun 2020 akan berubah dari Balai menjadi Panti kembali.
Balai Sosial Bina Laras “Muthmainah” mempunyai tugas pokok
memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan
fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan perilaku, pelatihan ketrampilan,
dan resosialisasi serta pembinaan lajut bagi penyandang cacat mental
bekas psikotik.

g. Panti Rehabilitasi Sosial Bina Karya (PRSBK), Lembang, Jawa


Barat
Panti Rehabilitasi Sosial Bina Karya (PRSBK) Cisarua adalah unit
pelaksana teknis daerah (UPTD) Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat yang
menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi sosial terhadap gelandangan,
pengemis, keluarga miskin rentan menjadi Gepeng, orang terlantar dan
korban traffiking. Awal berdirinya tahun 1991 dengan nama Lingkungan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


46 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Pondok Sosial (LIPOSOS)/Sasana Rehabilitasi Pengemis, Gelandangan
dan Orang Terlantar (SRPGOT) dibawah koordinasi Kantor Wilayah
Departemen Sosial Provinsi Jawa Barat. Kemudian pada tahun 1995
berubah nama menjadi Panti Sosial Bina Karya “Marga Mulya”
Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 52
tahun 2002 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Rincian Tugas pada Unit
Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat
maka berubahlah nomenklatur menjadi Balai Pemulihan Sosial Bina
Karya. Pada tahun 2017, Peraturan Gubernur Nomor 69 Tahun 2017
tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Cabang Dinas dan Unit
Pelaksana Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
nomenklatur berubah menjadi Panti Rehabilitasi Sosial Bina Karya
(PRSBK) Cisarua – Bandung Barat.

Visi
Menjadi Lembaga Rehabilitasi Sosial yang Prima dalam melayani
gelandangan, pengemis dan keluarga miskin rentan menjadi
gelandangan dan pengemis di Provinsi Jawa Barat.

Misi
1. Meningkatkan pelayanan rehabilitasi sosial bina karya bagi
gelandangan, pengemis dan mesyarakat miskin yang rentan menjadi
gelandangan dan pengemis
2. Meningkatkan profesionalisme sumber dya manusia pelaksana
pelayanan dan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis
4. Meningkatkan kualitas dan keterjangkauan pelayanan oleh PPKS
5. Meningkatkan peran serta dan kepedulian masyarakat terhadap
penanganan rehabilitasi sosial gelandangan, pengemis dan
masyarakat miskin yang rentan menjadi gelandangan dan pengemis.

Tugas pokok dan fungsi


Panti Rehabilitasi Sosial (PRSBK) Cisarua, Bandung melaksanakan
sebagian fungsi Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat di bidang Rehabilitasi
Sosial Bina Karya bagi gelandangan, pengemis dan masyarakat rentan
menjadi gelandanga dan pengemis. Dalam tugas pokok tersebut panti

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 47
mempunyai fungsi:
1. Penyelenggaraan penyusunan petunjuk teknis rehabilitasi sosial
bina karya
2. Penyelenggaraan rehabilitasi sosial bina karya meliputi gelandangan,
pengemis, orang terlantar, trafficking, dan masyarakat rentan
menjadi gelandangan dan pengemis.

Struktur Organisasi

Tujuan rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis di PRSBK
adalah untuk membina, merehabilitasi dan memperbaiki sikap mental
para keluarga binaan sosial (KBS), agar mereka dapat merubah kondisi
kehidupannya menjadi lebih baik, berfungsi sosial secara wajar serta
mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Sasaran Pelayanan
Gelandangan, pengemis, dan masyarakat rentan menjadi
gelandangan dan pengemis di Jawa Barat dengan kriteria:
1. Sehat rohani, dalam arti tidak mengidap penyakit/kelainan jiwa

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


48 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
2. Sehat jasmani, dala arti tidak mengidap penyakit menular atau
berbahaya lainnya dan bukan penyandang cacat berat
3. Tidak sedang berurusan dengan aparat penegak hukum
4. Usia produktif antara 17 s/d 56 tahun
5. Status berkeluarga
6. Masih mampu bekerja
7. Bersedia mengikuti program rehabilitasi sampai tuntas sesuai jadual
8. Bersedia kembali ke daerah asal

Proses Pelayanan
a. Penerimaan
b. Pendekatan awal
c. Asesmen
d. Bimbingan sosial, fisik, mental dan spiritual, keterampilan dan
kewirausahaan
e. Resosialisasi
f. Penyaluran
g. Bimbingan lanjut
h. Terminasi

h. Panti Pelayanan Sosial Pengemis Gelandangan Orang Terlantar


“MARDI UTOMO” Semarang, Jawa Tengah
Panti Pelayanan Sosial PGOT Mardi Utomo Semarang terletak di
Jl. Mulawarman , Kramas Tembalang Semarang adalah unit pelaksana
teknis daerah (UPTD) Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah yang
menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial di bidang rehabilitasi
sosial yang berupa bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan
keterampilanserta bimbingan resosialisasi untuk kurun waktu selama
6 – 12 bulan terhadap gelandangan, pengemis dan orang terlantar
agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan di tengah
masyarakat.
Panti ini didirikan pada tanggal 1 September 1985 oleh Departemen
Sosial dengan nama Lingkungan Pondok Sosial (LIPOSOS)/Sasana
Rehabilitasi Pengemis, Gelandangan dan Orang Terlantar (SRPGOT)

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 49
dibawah koordinasi Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Jawa
Tengah. Selama berdiri panti ini mengalami beberapa kali perubahan
nama atau nomenklatur, hingga pada tahun 2016 terbitlah Peraturan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 109 Tahun 2016 tanggal 27 Desember
2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja UPT Dinas Sosial Provinsi Jawa
Tengah Balai Rehabilitasi Sosial Mardi Utomo Semarang berubah
nama menjadi Panti Pelayanan Sosial Pengemis, Gelandangan dan
Orang Terlantar (PGOT) Mardi Utomo Semarang dan mempunyai Unit
Penunjang yaitu Rumah Pelayanan Sosial Disabilitas Grahita Pamardi
Mulyo Demak.

Visi
Terwujudnya penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang
profesional dan berkelanjutan.

Misi
1. Meningkatkan jangkauan, kualitas dan profesionalisme dalam
penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial.
2. Mengembangkan, memperkuat sistem kelembagaan yang
mendukung penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial
pengemis, gelandangan dan orang terlantar.
3. Meningkatkan kerjasama lintas sektoral dalam penyelenggaraan
pelayanan kesejahteraan sosial penegemis, gelandangan dan orang
terlantar.
4. Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup pengemis,
gelandangan dan orang terlantar.
5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
usaha kesejahteraan sosial.

Tugas Pokok dan Fungsi


Panti Pelayanan Sosial PGOT Mardi Utomo Jawa Tengah mempunyai
tugas memberikan pelayananan kepada masyarakat antara lain sebagai
pusat layanan informasi, training, kajian, penelitian dan pengembangan
model pelayanan dan rehabilitasi sosial para PPKS gelandangan pengemis
dan orang terlantar dari anak usia 0 tahun hingga 59 tahun agar dapat
berfungsi kembali berperan aktif di tengah masyarakat.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


50 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Struktur Organisasi

Tujuan Panti Pelayanan Sosial PGOT


Tujuan Rehabilitasi Sosial dalam memelihara kondisi gelandangan
dan pengemis di Panti Pelayanan Sosial PGOT Mardi Utomo adalah :
1. PPKS memiliki kemampuan dan kemauan dalam memelihara kondisi
kesehatan fisik, harga diri dan kepercayaan diri serta tanggung jawab
sosial untuk berintegrasi dalam tatanan hidup bermasyarakat.
2. Terciptanya kondisi PPKS yang menghayati harkat dan martabat
kemanusiaan dalam arti terpulihnya harga diri dan kepercayaan diri.
3. Untuk menumbuh kembang dan meningkatkan kesadaran dan
tanggungjawab sosialnya, berdedikasi dalam kehidupan dan
penghidupan secara nominatif yang diliputi suasana kerukunan dan
kebersamaan /kegotong royongan dalam kemandirian.
4. Terbentuknya karakter PPKS yang jujur, disiplin, tanggung jawab dan
mandiri.

Sasaran Pelayanan
Gelandangan , pengemis, dan orang terlantar warga Provinsi Jawa
Tengah dan daerah lainnya dengan kriteria:
1. Sehat jasmani (tidak berpenyakit kronis dan menular).
2. Sehat rohani ( tidak sakit jiwa).
3. Tidak sedang berurusan dengan pihak berwajib.
4. Usia 20 – 59 tahun
5. Tidak memiliki kedisabilitasan ( penyandang disabilitas fisik,
penyandang disabilitas intelektual, penyandang disabilitas mental,

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 51
penyandang disabilitas sensorik).

Proses Pelayanan
1. Pendekatan awal
2. Asesmen ( Pengungkapan dan Pemahaman Masalah/Asesmen)
3. Tahap Perumusan Permasalahan
4. Tahap Pemecahan Masalah ( Bimbingan sosial, fisik, mental dan
spiritual, keterampilan dan kewirausahaan )
5. Resosialisasi
6. Terminasi
7. Pembinaan Lanjut.

Sarana Prasarana
Sarana PPS PGOT Mardi Utomo Semarang
1. Luas Tanah : 6,8 ha2
2. Kantor : 2 unit
3. Gedung rapat : 2 unit
4. Ruang keterampilan : 7 unit
5. Dapur utama : 1 unit
6. Gudang : 2 unit
7. Poliklinik : 1 unit
10. Perpustakaan : 1 unit
11. TPA/Aula : 1 unit
12. Ruang Pendidikan : 1 unit
13. MCK/WC Umum : 3 unit
14. Asrama /kopel Type 18 :16 unit
15. Rumah Dinas : 11 unit
16. Mushola : 1 unit
17. Lahan pertanian : 2 Ha

Sumber Daya Manusia


Panti Pelayanan PGOT Mardi Utomo memiliki kapasitas layanan
kepada PPKS sejumlah 110 orang dan saat ini jumlah penerima layanan
120 orang, sedangakan jumlah Sumber daya manusianya terdiri dari 26

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


52 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
orang Pegawai dengan rincian sebagai berikut :
1. Struktural : 4 orang
2. Tenaga Fungsional Umum : 17 orang
3. Tenaga Fungsional Khusus (Pekerja Sosial) : 2 orang
4. Non PNS ( Tenaga Kontrak) : 7 orang

2. Matrik Perbandingan Implementasi SPM Rehabilitasi Sosial


Berdasarkan Jenis Panti / Balai
a. Anak Terlantar
UPTDRS
PSAA Budi
NO. Kegiatan Aneuk
Mulia
Nanggroe
1. Penyediaan Makanan (setahun)
Daya Tampung 100 orang 100 orang
Jumlah Penerima 116 orang 46 orang
Jumlah Indeks Permakanan (O/H) Rp50.000 Rp40.000
Pengadaan Sarana & Prasarana Ya Ya
Dapur
2. Penyediaan Sandang (setahun)
Kuantitas jenis pakaian yang 4 Jenis 4 Jenis
disediakan panti (setahun)
Pembelian perlengkapan mandi Ya Ya
Pembelian kebutuhan khusus Ya Ya
(pembalut, pampers) Ya Ya
Pembelian alas kaki
Pembelian perlengkapan ibadah Ya Ya
3 Penyediaan Asrama/Kamar yang Mudah Diakses (setahun)
Pemeliharaan gedung Ya Ya
Pemeliharaan sarana & prasarana Ya Ya
Pemeliharaan jaringan Ya Ya
telekomunikasi
Kepemilikan Kendaraan Roda 2 & Roda 4
Roda 4

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 53
Pemisahan Asrama Sesuai Jenis Ya Ya
Kelamin
Pemisahan Kamar Sesuai Jenis Ya Ya
Kelamin
Jumlah Asrama sesuai standar 7 Asrama 2 Asrama
Jumlah Kamar sesuai standar 40 Kamar 24 Kamar
Jumlah Kamar Mandi/Toilet dalam 40 Kamar 6 Kamar
panti Mandi/ Mandi/
Toilet Toilet
4. Penyediaan Layanan Kesehatan (dalam panti)
Penyediaan Obat umum, tensimeter, Ya Ya
timbangan,
pengukur tinggi badan, termometer,
kotak P3K
Ketersediaan Perawat Ya Ya
Kunjungan Dokter (dalam sebulan) Ya Ya
Kunjungan Psikiater/Psikolog (dalam Ya Ya
sebulan)
Ketersediaan Peksos Medis Tidak Tidak
5. Pemberian Bimbingan Fisik, Mental, Spritual dan Sosial
Kegiatan Bimbingan Fisik Ya Ya
Kegiatan Bimbingan Mental Ya Ya
Kegiatan Spiritual Ya Ya
Kegiatan Pengisi Waktu Luang Ya Ya
6. Pemberian Bimbingan Aktivitas Hidup Sehari-hari
Kegiatan Bimbingan Aktivitas Hidup Ya Ya
Sehari-hari
Penyediaan Alat Pendukung Ya Ya
Kegiatan Aktivitas
Sehari-hari
7. Pembuatan Identitas
Fasilitasi Pembuatan Akte Kelahiran, Ya Ya
NIK & KIA

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


54 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
8. Akses Layanan Dasar
Frekuensi Kunjungan Dokter ke Panti > 2 kali 2 kali
(dalam sebulan)
Frekuensi Kunjungan Psikiater/ > 2 kali 2 kali
Psikolog (dalam sebulan)
Penyediaan Perlengkapan Sekolah Ya Ya
Frekuensi Pemberian Perlengkapan 2 kali > 2 kali
Sekolah (dalam setahun)
9. Pemberian Layanan Penelusuran Keluarga
Kegiatan Penelusuran Keluarga Ya Tidak
(dalam setahun)
Frekuensi Kegiatan Penelusuran 1 kali -
Keluarga (dalam setahun)
10. Pemberian Layanan Reunifikasi Keluarga
Kegiatan Reunifikasi Keluarga Ya Ya
(dalam setahun)
Frekuensi Kegiatan Reunifikasi 1 kali 2 kali
Keluarga (dalam setahun)
11. Akses Layanan Keluarga Pengganti
Kegiatan Akses Layanan Keluarga Tidak Tidak
Pengganti
12. Pengasuhan
Jumlah TKS dalam kegiatan 10 orang 3 orang
pengasuhan anak

Perbandingan pelaksanaan SPM rehabilitasi sosial di PSAA Budi


Mulia dan UPTDRS Aneuk Nanggroe dapat dilihat dari matrik diatas.
Dengan daya tampung yang sama, PSAA Budi Mulia mempunyai klien
melebihi daya tampung (116 orang), sedangkan UPTDRS Aneuk Nanggroe
hanya 46 orang. Akan tetapi PSAA Budi Mulia memiliki asrama yang
cukup banyak dengan kamar dan toilet yang layak dengan perbandingan
1 berbanding 3 orang. Demikian pula dengan UPTDRS Aneuk Nangroe
jumlah kamar yang dimiliki bila dihitung rata-rata satu kamar dihuni
oleh dua anak. Akan tetapi untuk toilet rata-rata 1 toilet digunakan oleh
7 orang anak. Untuk kegiatan reunifikasi, PSAA Budi Mulia melakukan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 55
satu dalam setahun, sedangkan UPTDRS Aneuk Nanggroe sebanyak
dua kali setahun. Jumlah TKS dalam kegiatan pengasuhan anak di Budi
Mulia sebanyak 10 orang, dan di Aneuk nanggroe ada 3 orang. PSAA
Budi Mulia melakukan penelusuran keluarga sekali setahun, sedangkan
UPTDRS Aneuk Nanggroe tidak melakukan penelusuran.
Dari kedua sampel panti anak terlantar sebagian besar telah
melaksanakan SPM yang sama. Walaupun masih ada perbedaan pada
beberapa hal. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor
seperti luas lahan dan bangunan dan jumlah PPKS.

b. Lanjut Usia Terlantar


PSTW BPSTW Budi
No Kegiatan
Mappakasunggu Luhur
1. Penyediaan Makanan (setahun)
Daya Tampung 100 orang 110 orang
Jumlah Penerima 75 orang 120 orang
Jumlah Indeks Permakanan Rp21.000 Rp.21.000
(O/H)
Pengadaan Sarana & Prasarana Tidak 260 m2
Dapur
2. Penyediaan Sandang (setahun)
Kuantitas jenis pakaian yang 2 Jenis 2 jenis
disediakan panti (setahun)
Pembelian perlengkapan mandi Ya Ya
Pembelian kebutuhan khusus Ya Ya
(pembalut, pampers)
Pembelian alas kaki Ya Ya
Pembelian perlengkapan ibadah Tidak Tidak
3. Dukungan Sarpras Asrama/Kamar (setahun)
Pemeliharaan gedung Ya Ya
Pemeliharaan sarana & Tidak Ya
prasarana
Pemeliharaan jaringan Ya Ya
telekomunikasi

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


56 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Kepemilikan Kendaraan Roda 4 Roda 4 &
Roda 2
Pemisahan Asrama Sesuai Jenis Ya Ya
Kelamin
Pemisahan Kamar Sesuai Jenis Ya Ya
Kelamin
Jumlah Asrama sesuai standar 11 Asrama 6 wisma
Jumlah Kamar sesuai standar 11 Kamar 24 kamar
Jumlah Kamar Mandi/Toilet 22 Toilet 6 toilet
dalam panti
Penyediaan Alat Bantu Tidak Ya
4. Penyediaan Layanan Kesehatan (dalam panti)
Penyediaan Obat umum, Ya Ya
tensimeter, timbangan, pengukur
tinggi badan, termometer, kotak
P3K
Ketersediaan Perawat Ya Ya
Kunjungan Dokter (dalam Ya Ya
sebulan)
Kunjungan Psikiater/Psikolog Tidak Ya
(dalam sebulan)
Ketersediaan Peksos Medis Tidak Tidak
5. Pemberian Bimbingan Fisik, Mental, Spritual dan Sosial
Kegiatan Bimbingan Fisik Ya Ya
Kegiatan Bimbingan Mental Ya Ya
Kegiatan Spiritual Ya Ya
Kegiatan Pengisi Waktu Luang Ya Ya
Kegiatan Bimbingan Fisik Ya Ya
Kegiatan Pengisi Waktu Luang Ya Ya

6. Pemberian Bimbingan Aktivitas Hidup Sehari-hari


Kegiatan Bimbingan Aktivitas Ya Ya
Hidup Sehari-hari

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 57
Penyediaan Alat Pendukung Tidak Ya
Kegiatan Aktivitas Sehari-hari
7. Pembuatan Identitas
Fasilitasi Pembuatan NIK Ya Ya
8. Akses Layanan Kesehatan Dasar
Frekuensi Kunjungan Dokter ke 1 kali 2 kali
Panti (dalam sebulan)
9. Pemberian Layanan Reunifikasi Keluarga
Kegiatan Reunifikasi Keluarga Ya Ya
(dalam setahun)
Frekuensi Kegiatan Reunifikasi 2 kali 2 kali
Keluarga (dalam setahun)
10. Pemulasaran (dalam setahun)
Kegiatan Pemulasaran Ya Ya
Anggaran Pemulasaran perorang Rp2.500.000 rp. 1.500.000

Perbandingan pelaksanaan SPM rehabilitasi sosial di panti lansia


terlantar BPSTW Budi Luhur dan PSTW Mappakasunggu dapat dilihat
dari matrik diatas. BPSTW Budi Luhur mempunyai daya tampung sebesar
110 dengan klien yang ada saat ini melebihi daya tampung (120 orang),
sedangkan PSTW Mappakasunggu hanya 75 orang dengan daya tampung
sebesar 100 orang. BPSTW Budi Luhur memiliki 6 asrama dengan 24
kamar (1 kamar dengan 5 penghuni) dan 6 toilet (1 toilet digunakan
untuk 20 orang). Demikian pula dengan PSTW Mappakasunggu yang
memiliki 11 kamar (1 kamar dihuni 7 orang), dan toilet sebanyak 11 (1
toilet digunakan 7 orang). BPSTW Budi Luhur menyediakan alat bantu
dan layanan psikolog/psikiater serta alat pendukung kegiatan sehari-
hari, sedangkan PSTW Mappakasunggu tidak menyediakan. Untuk
kegiatan pemulasaraan, BPSTW Budi Luhur mendapatkan dana lebih
sedikit (rp. 1.500.00) sedangkan PSTW Mappakasunggu sebesar rp.
2.500.000.
Dari kedua sampel panti lanjut usia terlantar sebagian besar telah
melaksanakan SPM yang sama. Walaupun masih ada perbedaan pada
beberapa hal. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


58 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
seperti luas lahan dan bangunan, jumlah PPKS, bantuan yang diterima
dari luar pemerintah (NGO, masyarakat), dan kemampuan pemerintah
daerah.

c. Disabilitas Terlantar
Panti PSBRW
No Kegiatan
Mutmainah Pasuruan
1. Penyediaan Makanan (setahun)
Daya Tampung 100 orang 60 orang
Jumlah Penerima 100 orang 60 orang
Jumlah Indeks Permakanan (O/H) Rp27.000 Rp 25.000
Pengadaan Sarana & Prasarana Tidak Ya
Dapur
2. Penyediaan Sandang (setahun)
Kuantitas jenis pakaian yang 1 Jenis 2 Jenis
disediakan panti (setahun)
Pembelian perlengkapan mandi Ya Ya

Pembelian kebutuhan khusus Ya Ya


(pembalut, pampers)
Pembelian alas kaki Ya Ya
Pembelian perlengkapan ibadah Tidak Tidak
3. Penyediaan Asrama/Kamar yang Mudah Diakses (setahun)
Pemeliharaan gedung, Ya Ya
Pemeliharaan sarana & prasarana Ya Ya
Pemeliharaan jaringan Ya Ya
telekomunikasi
Pemeliharaan Tempat Tidur Tidak Tidak
Roda 2 & Roda 2 & roda
Kepemilikan Kendaraan Roda 4 4
Pemisahan Asrama Sesuai Jenis Ya Ya
Kelamin
Pemisahan Kamar Sesuai Jenis Ya Ya
Kelamin

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 59
Jumlah Asrama sesuai standar 2 Asrama 2 asrama
Jumlah Kamar sesuai standar 10 Kamar 20 kamar
Jumlah Kamar Mandi/Toilet dalam 25 Toilet/KM 13 toilet/KM
panti
4. Penyediaan Layanan Kesehatan
Penyediaan Obat umum, Ya Ya
tensimeter, timbangan, pengukur
tinggi badan, termometer, kotak
P3K
Ketersediaan Perawat Ya Tidak
Kunjungan Dokter (dalam sebulan) Ya Ya
Kunjungan Psikiater/Psikolog Ya Ya
(dalam sebulan)
Ketersediaan Peksos Medis Tidak Tidak
5. Pemberian Bimbingan Fisik, Mental, Spritual dan Sosial
Kegiatan Bimbingan Fisik Ya Ya
Kegiatan Bimbingan Mental Ya Ya
Kegiatan Spiritual Ya Ya
Kegiatan Pengisi Waktu Luang Ya Ya
6. Pemberian Bimbingan Aktivitas Hidup Sehari-hari
Kegiatan Bimbingan Aktivitas Ya Ya
Hidup Sehari-hari
Penyediaan Alat Pendukung Ya Ya
Kegiatan Aktivitas Sehari-hari
7. Pembuatan Identitas
Fasilitasi Pembuatan Akte Tidak Tidak
Kelahiran, NIK & KIA
8. Akses Layanan Dasar
Frekuensi Kunjungan Dokter ke 2 kali 4 kali
Panti (dalam sebulan)
Frekuensi Kunjungan Psikiater/ 2 kali Tidak
Psikolog (dalam sebulan)
Penyediaan Perlengkapan Sekolah Tidak Tidak

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


60 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
9. Pemberian Layanan Penelusuran Keluarga
Kegiatan Penelusuran Keluarga Ya Tidak
(dalam setahun)
Frekuensi Kegiatan Penelusuran 12 kali Tidak
Keluarga (dalam setahun)
10. Pemberian Layanan Reunifikasi Keluarga
Kegiatan Reunifikasi Keluarga Ya Tidak
(dalam setahun)
Frekuensi Kegiatan Reunifikasi 12 kali Tidak
Keluarga (dalam setahun)
11. Pengasuhan
Jumlah TKS dalam kegiatan 30 orang 24 orang
pengasuhan anak
Panti disabilitas milik Pemerintah Daerah, yang menjadi lokasi
penelitian ini, meliputi panti disabilitas mental Mutmainah di Kota
Mataram, provinsi NTB dan Panti disabilitas Rumgu Wicara (PSBRW)
di kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Daya tampung pada
masing-masing panti terdiri dari 100 orang (Panti Disabilitas Mental)
dan 60 orang (Panti Disabilitas Rungu Wicara). Jumlah PPKS (klien)
pada masing-masing panti sudah sesuai dengan daya tampung panti.
Pelaksanaan SPM bidang rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas
pada kedua panti tersebut, meliputi kegiatan :
1. Penyediaan makan pada kedua panti disabilitas tersebut berbeda.
Pada panti disabilitas mental menyediakan anggaran untuk
permakanan sebesar Rp.27.000,-/hari sedangkan panti rungu
wicara sebesar Rp. 25.000,-/hari. Demikian halnya pada penyediaan
sarana prasarana dapur, di panti disabilitas mental tidak disediakan,
sedangkan di panti rungu wicara menyediakan sarana prasarana
dapur.
2. Penyediaan sandang berupa pakaian olah raga atau seragam, pada
panti disabilitas mental hanya 1 (satu) kali sementara di panti rungu
wicara sebanyak 2 (dua) kali, berupa pakaian olah raga dan pakaian
seragam.
3. Penyediaan sarana asrama atau kamar, masing-masing panti
tersedia 2 asrama. Masing-masing asrama, berjumlah 10 kamar di

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 61
panti disabilitas mental dan 20 kamar di panti rungu wicara. Kondisi
ini menunjukkan bahwa ratio jumlah anak yang menghuni kamar di
panti disabilitas mental cukup padat (10 anak /kamar) dibandingkan
dengan panti disabilitas rungu wicara (3 anak/kamar). Berbeda
halnya dengan penyedian KM/toilet, cukup memadai. Penyediaan
kamar mandi/Toilet, di panti disabilitas mental sejumlah 25 KM/
toilet (untuk 100 anak) dan di panti disabilitas rungu wicara sejumlah
13 KM/toilet (untuk 60 anak). Dengan demikian rasio penggunaan
KM/Toilet pada masing-masing panti, cukup memadai, dengan
peruntukkan rata-rata untuk 3 sampai 4 orang bagi satu KM/toilet.
Termasuk sudah ada pemisahan menurut jenis kelamin, baik pada
kamar tidur maupun KM/toilet, pada masing-masing panti tersebut.
4. Penyediaan layanan kesehatan, meliputi penyediaan obat umum,
tensimeter, timbangan, pengukur tinggi badan, termometer, kotak
P3K, pada kedua panti disabilitas tersebut sudah tersedia, termasuk
kunjungan Dokter, dan Psikolog. Kecuali ketersediaan perawat di
Panti disabilitas rungu wicara tidak tersedia, sementara di panti
disabilitas mental tersedia perawat. Demikian halnya ketersediaan
Peksos Medis pada kedua panti tersebut, tidak tersedia.
5. Pemberian Bimbingan, meliputi bimbingan fisik, mental, spiritual,
pengisi waktu luang dan aktifitas hidup sehari-hari (activity daily
living), pada kedua panti tersebut sudah tersedia.
6. Pemberian layanan, meliputi layanan reunifikasi dan penelusuran,
pada kedua panti tersebut berbeda. Pada panti disabilitas mental
Mutmainah, melakukan reunifikasi dan penelusuran, karena diantara
klien yang diperoleh, selain dari kiriman Dinas Sosial juga hasil dari
“garukan” Dinas Soaial beserta Satpol PP setempat. Sementara
kegiatan layanan penelusuran dan reunifikasi tidak dilakukan di
panti disabilitas rungu wicara, karena klien diantar oleh TKSK, staf
Dinsos setempat bahkan dengan orang tua mereka, sehingga jelas
asal usul keluarga mereka.
7. Pemberian layanan pengasuhan pada masing-masing panti,
memiliki jumlah pengasuh berjumlah 30 Pengasuh bagi 100 anak di
panti Disabilitas mental Mutmainah, dan di panti disabilitas rungu
wicara berjumlah 24 Pengasuh untuk 60 anak. Masing-masing
bekerja berdasarkan pembagian waktu, antara siang dan malam.
Kondisi ini menunjukkan bahwa rasio pengasuh di kedua panti

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


62 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
disabilitas tersebut hampir sama mendekati 1 (satu) berbanding 3
(tiga).

d. Gelandangan dan Pengemis


Mardi
No Kegiatan Cisarua
Otomo
1. Penyediaan Makanan (setahun)
Daya Tampung 100 orang 110 orang
Jumlah Penerima 80 orang 118 orang
Jumlah Indeks Permakanan (O/H) Rp.30.000 Rp.22.500
Pengadaan Sarana & Prasarana Ya Ya
Dapur
2. Penyediaan Sandang (setahun)
Jumlah jenis pakaian yang 4 Jenis >4 jenis
disediakan panti (setahun)
Pembelian perlengkapan mandi Ya Ya
dalam sebulan :
Pembelian alas kaki (sandal dan Ya Ya
sepatu/tahun)
Pembelian perlengkapan ibadah Ya Ya
Transport petugas dalam pembelian Tidak Tidak
sandang
3 Penyediaan Asrama/Kamar yang Mudah Diakses (setahun)
Pemeliharaan gedung Ya Ya
Pemeliharaan sarana & prasarana Ya Ya
Pemeliharaan Taman/Jalan/ Ya Ya
Halaman
Pemilikan Jaringan Ya Ya
Pemeliharaan jaringan Ya Ya
Pemeliharaan Tempat Tidur Tidak Ya
Pemeliharaan kendaraan roda 2 dan Ya Ya
4
Frekuensi pemeliharaan kendaraan 2 kali 4 kali
roda 2 dan roda 4dalam setahun

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 63
4 Dukungan Sarana dan Prasarana Ya Ya
Kamar/Asrama
Jumlah kamar yang dimiliki 30 kopel (untuk 52 kamar
100 jiwa)
Ukuran kamar sesuai standar (4,5 Tidak sesuai Ya
M²/orang)
Pemisahan kamar sesuai jenis Ya Ya
kelamin
Jumlah asrama yang dimiliki 15 asrama/ 14 asrama/
cotage cotage
Ukuran asrama sesuai standar (20 Tidak sesuai Ya
orang/asrama)
Ratio jumlah kamar dengan jumlah - -
penghuni panti
Pemisahan Asrama Sesuai Jenis Ya Ya
Kelamin
5 Kamar Mandi/Toilet
Jumlah kamar mandi/toilet dalam - 15 km/
panti toilet -
Ukuran KM/toilet sesuai standar Ya Ya
Pemisahan KM/toilet sesuai jenis Tidak Ya
kelamin
Ratio jumlah KM/toilet dengan 1 berbanding 1
dengan jumlah penghuni 5 berbanding
5
Ventilasi
Penerangan pada KM/Toilet Ya Ya
memadai
Ventilasi pada ruang tidur/asrama Ya Ya
memadai
Ventilasi pada kamar mandi Ya Ya
Tempat tidur
Jumlah tempat tidur yang dimiliki 30 kopel untuk
30 KK (100
jiwa)

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


64 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Jumlah tempat tidur sesuai dengan Ya Ya
jumlah penghuni
Pemeliharaan tempat tidur dan Ya Ya
perlengkapannya dalam setahun
Kelengkapan tempat tidur (sprei, Ya Ya
bantal)
6 Perbekalan Kesehatan
Penyediaan Perbekalan Kesehatan Ya Ya
Honor perawat dalam sebulan/ - Rp. 500.000/
setahun bln-
Biaya kunjungan dokter Rp. 1.200.000/ Rp.
bl 1.000.000/
bln
Frekuensi kunjungan dokter dalam 4 kali/bulan 4 kali/bulan
sebulan
Frekuensi kunjungan/mengunjungi Tidak pernah Tidak
psikiater dalam sebulan pernah
Frekuensi kunjungan peksos medis Tidak pernah Tidak
dalam sebulan pernah
7 Pemberian Bimbingan Fisik , mental, spiritual dan Sosial/sebulan
Kegiatan fisik Ya Ya
Kegiatan Bimbingan mental Ya Ya
Bimbingan psikologi Ya Ya
Konsultasi Ya Ya
Kegiatan spiritual Ya Ya
Bimbingan rohani Ya Ya
Kegiatan keagamaan/ibadah Ya Ya
Frekuensi kegiatan spiritual dalam ˃ 2 kali ˃ 2 kali
sebulan
Kegiatan pengisi waktu luang Ya Ya
Honor pekerja sosial profesional / Gratis -
TKS dalam sebulan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 65
8 Pembuatan Identitas Tidak Tidak
9 Akses ke Layanan Kesehatan Dasar Ya Ya
Kunjungan dokter ke panti dalam ˃ 2 kali ˃ 2 kali
sebulan
Biaya transportasi Peksos/TKS ke Tidak Tidak
layanan dasar
Biaya transport GEPENG ke layanan Tidak Tidak
dasar
Biaya dokter Rp. 1.200.000 -
10 Pemberian layanan Pemulangan Ya Ya
GEPENG ke daerah asal
Biaya transport pemulangan gepeng Rp. 150.000 Rp. 100.000
ke daerah asal

Perbandingan SPM antara PRSBK Cisarua dengan Mardi Utomo


dilihat dalam matrik di atas bahwa, kapasitas tampung yang berbeda
yaitu PRSBK Cisarua 100 orang namun jumlah penerima pelayanan
hanya 80 orang , artinya masih ada tempat yang terisa untuk calon
penerima pelayanan yang akan mendapatkan pelayanan dan
direhabilitasi sosial. Sedangkan PRSBK Mardi Utomo daya tampung 110
orang dengan jumlah penerima pelayanan 118 orang, artinya kapasitas
isi melebihi kasitas tampung panti, mengindikasikan jumlah pemerlu
layanan lebih banyak dari kapasitas penyedia layanan. Jumlah indeks
permakanan masing-masing panti juga berbeda, RPSBK Cisarua sebesar
Rp. 30.000 per orang per hari sedangkan PRSBK Budi Utomo sebesar Rp,
22.500 per orang per hari.
Kedua panti ini menyediakan sandang untuk penerima pelayanan
per tahun dengan jumlah yang berbeda. Kemudian ke dua panti
juga menyediakan asrama/kamar yang mudah diakses, hanya saja
PRSBK Cisarua tidak menyediakan pemeliharaan tempat tidur, dan
menyediakan pemeliharaan kendaraan dengan frekuensi yang lebih
kecil dari PRSBK Budi Utomo.
Demikian juga dengan sarana dan prasarana kamar/asrama,
masing-masing panti menyediakan kamar beserta tempat tidur dengan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


66 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
jumlah yang cukup/sesuai, beserta kelengkapannya (sprei, bantal), dan
masing-masing panti juga menyediakan pemeliharaan tempat tidur
dan kelengkapannya. Ada pemisahan asrama laki-laki dan perempuan,
masing-masing asrama memiliki ventilasi yang cukup namun ukuran
kamar maupun ukuran asarama pada PRSBK Cisarua belum sesuai
standart. Masing-masing PRSBK juga sudah menyediakan kamar
mandi/toilet dengan perbandingan 1 (satu) kamar mandi untuk 5 orang
penerima pelayanan, dan memiliki penerangan dan ventilasi yang
cukup, pada PRSBK Cisarua tidak dipisahkan kamar mandi laki-laki dan
perempuan.
Masing-masing panti juga sudah menyediakan perbekalan
kesehatan dan masing-masing juga menyediakan biaya kunjungan
dokter walaupun dalam jumlah yang berbeda, sedangkan untuk honor
perawat hanya PRSBK Budi Utomo yang menyediakannya. Demikian
juga layanan akses ke kesehatan dasar, dilakukan oleh kedua PRSBK
lebih dari 2 (dua) kali sebulan, namun tidak menyediakan transport
pekerja sosial yang mendampingi penerima pelayanan dan transpor
penerima pelayanan ke layanan dasar. Biaya dokter hanya di sediakan
oleh PRSBK Cisarua. Untuk mendukung kesehatan penerima pelayanan,
kedua PRSBK juga memberikan bimbingan fisik, mental, spiritual dan
sosial yang dilakukan lebih dari 2 (dua) kali dalam sebulan. Kedua
PRSBK tidak melakukan pembuatan identitas bagi penerima pelayanan.
Setelah selesai pelayanan dan rehabilitasi maka penerima pelayanan
akan dipulangkan dengan biaya transport pemulangan ke daerah asal
disediakan oleh PRSBK, PRSBK Cisarua menyediakan transportasi
sebesar Rp. 150.000/orang dan PRSBK Budi Utomo sebesar Rp. 100.000/
orang
Dari kedua sampel PRSBK ini sebagian besar pelayanan dan
rehabilitasi yang dilakukan sudah mengikuti dengan SPM, walaupun
masih terdapat beberapa perbedaan pada kedua panti tersebut seperti
daya tampung, jumlah indek permakanan, luas kamar dan asrama, dan
biaya transport pemulangan.
Berdasarkan matrik perbandingan kegiatan pelayanan didalam
panti bisa dilihat panti-panti ini telah menyediakan dan melaksanakan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 67
pelayanan dasar berdasarkan SOP yang dibuat. Walaupun belum
diketahui pasti apakah telah sesuai dengan SPM yang semestinya karena
sampai saat penelitian dilaksanakan, NSPK belum ada. Panti-panti ini
mencoba memberikan pelayanan semaksimal mungkin sesuai dengan
anggaran, SDM, dan sarana prasarana yang ada.

2. Matrik perbandingan alokasi anggaran pelayanan rehabillitasi


sosial berdasarkan SPM
Matrik Alokasi Anggaran SPM Rehabilitasi Sosial
Di Lokasi Penelitian Pada Tahun 2019 dan 2020
No. Provinsi Tahun 2019 Tahun 2020 Keterangan
1. DI Aceh Rp. 27.971.398.500. Rp. 28.772.651.486. Empat kluster
PPKS
2. Jawa Barat Rp. 39.133.583.150 Rp.43.012.035.604. Empat kluster
PPKS
3. Jawa Tengah Rp.65.075.459.000 Rp.72.563.665.000 Empat kluster
PPKS
4. DI Yogyakarta Rp.21.438.195.296 Rp.49.075.215.305 Empat kluster
PPKS
5. Jawa Timur Rp.90.935.876.330 Rp.110.871.407.530 Empat kluster
PPKS
6. Kalimantan Rp. 40.000.000.000 Rp. 55.000.000.000 Empat kluster
Selatan PPKS
7. NTB Rp.10.099.954.944 Rp.12.446.020.545. Empat kluster
PPKS
8. Sulawesi Rp.3.917.834.000 Rp. 2.529.530.214 Empat kluster
Selatan PPKS

Berdasarkan matrik diatas, dapat dilihat alokasi anggaran


pelaksanaan pelayanan dasar rehabilitasi sosial pada delapan provinsi
lokasi penelitian pada tahun 2019 mengalami kenaikan pada tahun 2020.
Pelayanan dasar diberikan pada empat cluster PPKS yang sesuai dengan
Permensos No. 9 tahun 2018 yaitu: anak terlantar, lanjut usia terlantar,
disabilitas terlantar dan gelandangan pengemis.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


68 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
3. Identitas Responden Dan Persepsi Petugas Panti Terhadap
Implementasi SPM di Panti
a. Identitas responden
Identitas responden dalam penelitian ini dijabarkan dalam
beberapa diagram berdasarkan unit kerja, jabatan atau posisi saat
penelitian dilaksanakan, serta lama menjabat atau berada dalam posisi
atau perannya didalam panti. Unit kerja responden terlihat pada diagram
1 berikut.

Diagram 1. Identitas responden menurut unit kerja


Identitas reponden menurut unit kerja menunjukkan mereka yang
bekerja di panti disabilitas sebanyak 31,3 persen, panti gepeng 25 persen,
panti lanjut usia 23,1 persen dan panti anak sebanyak 20,6 persen yang
tersebar di 8 provinsi. Sedangkan identitas responden berdasarkan
jabatannya dapat dilihat pada diagram 2 berikut.

Diagram 2. Identitas responden menurut jabatan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 69
Diagram 2 di atas menunjukkan bahwa jabatan responden yang
bekerja di panti cukup bervariasi yaitu mulai dari pejabat struktural,
fungsional pekerja sosial dan non pekerja sosial, perawat, psikolog,
instruktur sampai pada staf panti. Dari berbagai posisi jabatan tersebut
panti, prosentase terbanyak pada posisi staf (35,6 persen), kemudian
menyusul pejabat struktural (17,5 persen), dan berturut-turut fungsional
pekerja sosial (14,4 persen), dan lainnya (10 persen). Kemudian
jabatan lainnya dibawah 10 persen terdiri dari istruktur (8,1 persen),
fungsional non peksos (7,5 persen), perawat (5,0 persen) dan psikolog
(1,9 persen). Dengan demikian menggambarkan bahwa semua panti
sampel penelitian mempunyai berbagai jenis tenaga yang menjabat
seperti yang terlihat pada diagram diatas. Tetapi bila dilihat dari jumlah
tenaga di masing-masing panti sesuai dengan profesi dan jenis masalah
yang ditangani sehingga antara panti satu dengan lainnya tidak sama.
Misal, panti A perlu banyak tenaga fungsional pekerja sosial, panti B
lebih membutuhkan tenaga psikolog.
Kemudian identitas responden berdasarkan lama menjabat seperti
pada diagram 3 berikut.

Diagram 3. Identitas responden menurut lama menjabat


Diagram di atas menunjukkan bahwa responden yang menduduki
jabatan lebih dari 4 tahun prosentasenya paling tinggi yaitu 61,9 persen,
artinya bahwa responden yang sudah menjabat lebih dari 4 tahun
sudah banyak pengalaman dalam bekerja dan menangani masalah yang
dihadapi. Responden yang baru menjabat dibawah 1 tahun cukup banyak
yaitu 16,3 persen dan 1 – 2 tahun 14,4 persen. Ini menunjukkan bahwa
pegawai lama yang duduk dalam jabatan tertentu cukup banyak dan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


70 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
pegawai baru yang sudah duduk di dalam jabatan tertentu juga cukup
banyak. Tetapi bila melihat pegawai yang menjabat 2-3 tahun hanya 6,3
persen dan yang menjabat selama 3 – 4 tahun hanya 1,3 persen. Hal ini
bisa diprediksi mereka yang belum lama menduduki jabatan mendapat
peluang untuk duduk di jabatan fungsional tertentu, mengingat untuk
menduduki jabatan struktural peluangnya sangat terbatas.

b. Persepsi Petugas Panti Terhadap Implementasi SPM di dalam


panti
Berikut akan diuraikan implementasi SPM Rehabilitasi Sosial
berdasarkan persepsi petugas panti. Persepsi petugas digambarkan
melalui diagram-diagram yang menjelaskan bagaimana petugas di
lokasi penelitian mempersepsi pelaksanaan SPM rehabilitasi sosial
di dalam panti. Persepsi terhadap komunikasi, sumberdaya, disposisi
sikap dan struktur birokrasi.

1) Komunikasi
Persepsi petugas terhadap komunikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah setempat tentang SPM Rehabsos,
menyatakan setuju (63,8 persen) dan sangat setuju (25,6 persen).
Artinya Petugas panti telah mendapatkan informasi tentang SPM
Bidang Rehabilitasi social. Persepsi petugas terhadap komunikasi
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat tentang SPM
Rehabsos, menyatakan setuju (63,8 persen) dan sangat setuju
(25,6 persen). Artinya Petugas panti telah mendapatkan informasi
tentang SPM Bidang Rehabilitasi sosial.

Diagram 4. Telah mendapatkan informasi tentang SPM bidang


Rehabsos

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 71
Diagram 4 menunjukkan bahwa bahwa sebagian besar
petugas (89,4 persen) sudah mendapatkan informasi tentang SPM,
hanya sebagian kecil petugas yang belum mendapatkan informasi
tentang SPM.
Informasi tentang SPM yang merupakan salah satu dari
implementasi SPM bidang Rehabsos, dapat dilihat pada diagram 5
berikut dalam setiap forum pertemuan

Diagram 5. Implementasi SPM bidang Rehabsos sering disampaikan


dalam setiap forum pertemuan
Pada diagram 5 terlihat sebagian petugas (21,9 persen)
menyatakan sangat setuju dan 57,5 persen menyatakan setuju
bahwa implementasi SPM disampaikan dalam setiap forum
pertemuan. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar petugas
(79,4 persen) mengatakan bahwa implementasi kebijakan tersebut
disampaikan dalam setiap forum pertemuan. Hanya sebagian
kecil (20,7persen) yang tidak setuju bahwa implementasi SPM
disampaikan pada setiap forum pertemuan. Hal ini dapat dipahami
karena implementasi tersebut dapat disampaikan tidak hanya
dalam forum pertemuan yang formal, akan tetapi pada setiap
kesempatan yang melibatkan petugas dan pimpinan serta pemerlu
layanan, implementasi SPM dapat disampaikan. Hal ini terkait juga
dengan pernyataan sebagian petugas bahwa sosialisai tentang SPM
Rehabsos sudah dilaksanakan. Seperti terlihat pada diagram 6.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


72 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Diagram 6. Sosialisasi tentang SPM Rehabsos sudah dilaksanakan
Sebagian petugas (26,1 persen) menyatakan sangat setuju
dan (54,4 persen) setuju bahwa sosialisasi tentang SPM sudah
dilaksanakan. Hanya sebagian kecil yang tidak setuju bahwa
sosialisasi tentang SPM sudah dilakukan, hal ini bisa terjadi karena
tidak setiap pertemuan dihari oleh semua petugas pelaksana
rehabilitasi di panti.
Informasi tentang SPM Rehabsos dikemukakan oleh petugas
sebesar 19,4 persen sangat setuju dan 63,1 persen setuju informasi
tsb telah sesuai dengan pelaksanaan, seperti pada diagram 7
berikut.

Diagram 7. Informasi tentang SPM Rehabsos sesuai dengan


pelaksanaan
Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan ketentuan SPM
maka pelaksanaan Rehabsos di Panti terus diperbaiki sesuai dengan
ketentuan SPM. Diagram 8 terlihat bahwa sebagian Petugas (48,8
persen) menyatakan sangat setuju dan 40,6 persen setuju bahwa
pelaksanaan Rehabsos di dalam Panti terus diperbaiki sesuai
dengan ketentuan dalam SPM Rehabsos no 23 tahun 2014.
Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 73
Diagram 8. Pelaksanaan Rehabsos di Panti terus diperbaiki sesuai
dengan ketentuan SPM.
Pada diagram 9 dibawah, persentase komunikasi terkait
SPM di dalam panti ada sejumlah 85 persen pegawai yang sudah
mendapatkan informasi tentang SPM sehingga sudah mengetahui
hal-hal yang terkait dengan SPM. Dan sebanyak 15 persen yang
tidak mendapatkan informasi terkait SPM. Hal ini dapat dipahami
karena informasi-informasi yang disampaikan ke petugas panti
terkait SPM tentunya di awali dari petugas yang terkait langsung
dengan pemerlu layanan, sementara responden dalam penelitian
ini ada juga dari staf yang bisa jadi terkait langsung dengan
administrasi.

Diagram 9. Total Komunikasi


2) Sumber Daya
Petugas panti merupakan bagian terpenting dalam
pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap masyarakat
yang merupakan PPKS panti sosial. Petugas tersebut juga harus
sesuai dengan kualifikasi kebutuhan panti atau memenuhi

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


74 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
ketentuan Standar Pelayanan Minimal. Pada diagram 10 dapat
dilihat kesesuaian formasi petugas panti dengan kebutuhan
pelayanan dan rehabilitasi sosial di panti.

Diagram 10. Formasi Petugas Panti (sebagaimana ketentuan pd SPM


Rehabsos) Telah Sesuai Dengan Beban Kerja.
Pada diagram 10, menunjukkan bahwa sebagian besar (60
persen) responden setuju bahwa formasi petugas panti telah
sesuai dengan beban kerja panti. Sebagian responden (10,0persen
) juga sangat setuju dengan hal tesebut. Ini menunjukkan bahwa
sebagian besar panti telah memenuhi kualifikasi petugas panti
dalam melaksanakan pelayanan panti terhadap PPKS. Hanya
sebagian kecil yang tidak setuju (18,8persen) dan sebagian kecil lagi
(2,5 persen) sangat tidak setuju bahwa formasi petugas panti telah
Sesuai dengan beban kerja. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
beban kerja yang lebih yang harus dilakukan oleh petugas panti.
Dalam melaksanakan kegiatan panti baik administratif
maupun pada pelayanan dan rehabilitasi, butuh dukungan
anggaran yang memenuhi kebutuhan pelaksanaan pelayanan dan
rehabilitasi terhadap PPKS panti. Untuk itu kebutuhan anggaran
panti perlu dimasukkan ke dalam penganggaran panti. Pada
diagram 12 dapat dilihat anggaran pelaksanaan rehabsos dalam
panti.
Pada diagram 11 terlihat sebagian setuju (53,1 ) dan sangat
setuju (40,0) bahwa anggaran pelaksanaan rehabilitasi sosial
dalam panti telah dimasukkan ke dalam rencana kerja daerah.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 75
Diagram 11. Anggaran pelaksanaan Rehabsos dalam panti telah
masuk kedalam dokumen penganggaran panti (renja
daerah)
Artinya sebagian besar (93,1 persen) responden setuju dengan hal
tesebut. Ketika anggaran pelaksanaan rehabilitasi sosial dalam
panti sudah dimasukkan ke dalam rencana kerja daerah, maka
pelaksanaan rehabilitasi dalam panti diharapkan dapat berjalan
sesuai dengan rencana kerja panti. Hanya sebagian kecil dari
responden yang tidak setuju (5,6persen) dan 1,3 persen sangat
tidak setuju. Hal ini diduga ada beberapa kegiatan yang masih
terkendala dengan anggaran.
Selain anggaran, sarana panti harus sesuai dengan kebutuhan
pelaksanaan rehabilitasi sosial di panti. Berbagai sarana yang harus
dipenuhi dan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang sudah
ditentukan. Pada diagram berikut terlihat keberadaan sarana panti
untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi sosial di panti.

Diagram 12. Sarana yang tersedia untuk pelaksanaan rehabsos sudah


sesuai dengan ketentuan SPM Rehabsos

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


76 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Diagram 12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
setuju (62,5 persen) bahwa sarana yang tersedia sudah sesuai
dengan ketentuan SPM, bahkan sebagain lagi (19,4 persen) sangat
setuju. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (81,9
persen) meyakini bahwa sarana yang tersedia untuk pelaksanaan
rehabilitasi sosial sudah sesuai dengan ketentuan SPM. Sedangkan
sebagian kecil (16,3 persen) tidak setuju dan sangat tidak setuju
(1,9persen) atau sebagian kecil (18,2 persen) tidak setuju, ini
menunjukkan bahwa hanya sebagian sarana panti yang tersedia
belum sesuai dengan ketentuan SPM.
Demikian halnya dengan fasilitas yang tersedia dalam
melaksanakan rehabilitasi sosial di panti, harus sesuai dengan
kebutuhan PPKS. Baik sarana kebersihan, kesehatan maupun
sarana ibadah. Pada diagram 14 dapat dilihat pemenuhan fasilitas
di panti.

Diagram 13. Fasilitas Untuk Rehabilitasi Sosial Dalam Panti Telah


Sesuai Dengan Ketentuan SPM Rehabsos
Pada diagram 13 terlihat sebagian besar responden (56,3
persen) setuju bahwa fasilitas untuk rehabilitasi sosial dalam panti
telah sesuai dengan ketentuan SPM rehabilitasi sosial. bahkan
sebagian lagi (21,9 persen) sangat setuju. Ini dapat dikatakan
bahwa sebagian besar (78,2 persen) mengatakan fasilitas untuk
rehabilitasi sosial dalam panti telah sesuai dengan ketentuan SPM
rehabilitasi sosial. Hanya sebagian kecil (21,3 persen) yang tidak
setuju dan 0,6 persen sangat tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan
bahwa masih ada panti yang fasilitas yang dimiliki belum sesuai

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 77
dengan SPM.
Tersedianya media informasi untuk penyebaran informasi
pada setiap panti merupakan salah satu sarana yang harus
mnyesuaikan dengan SPM. Pada diagram 14 dapat dilihat
ketersediaan media informasi untuk penyebaran informasi yang
sesuai dengan SPM.

Diagram 14. Tersedia media informasi (melalui WA dll) yang


sering digunakan untuk penyebaran informasi terkait
pelaksanaan SPM Rehabsos di Panti

Sebagian besar responden (43,1 persen) setuju bahwa di


panti telah tersedia media informasi baik berupa WA dan lain-lain
, sebagian lagi (41,3 persen ) sangat setuju. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar (84,4persen) panti memiliki ketersediaan
media informasi yang mengikuti ketentuan SPM rehabilitasi sosial
di panti. Sebagian kecil (15,0 persen) tidak setuju bahwa panti
memiliki ketersediaan media iformasi yang sesuai dengan SPM
dan 0,6 persen sangat tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa
sebagian kecil panti memiliki ketersediaan media informasi yang
memerlukan perhatian dari pimpinan panti.
Dalam diagram 15 dibawah, menggambarkan persentasi
sumberdaya dalam pelaksanaan SPM di dalam panti. Sumberdaya
yang dimaksud adalah manusia, sarana, prasarana, informasi.
Sebanyak 83 persen sumberdaya telah terpenuhi, sisanya sebanyak
17 persen belum terpenuhi

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


78 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Diagram 15. Total sumberdaya

3) Disposisi Sikap
Disposisi sikap petugas terhadap pelaksanaan pelayanan
dan rehabilitasi didukung oleh beberapa item, seperti di jelaskan
berikut.

Diagram 16. Memahami Pelayanan sesuai Ketentuan SPM Rehabsos


Diagram 16 menunjukkan pemahaman responden terhadap
pelayanan yang sesuai ketentuan SPM rehabilitasi sosial dengan
kategori sangat setuju 21,9 persen, setuju 69,4 persen, tidak
setuju 8,1 persen dan sangat tidak setuju 0,6 persen. Bila hal ini
dikelompokkan dalam 2 (dua) setuju dan tidak setuju, maka
sebagian besar (91,3 persen) petugas setuju bahwa telah memahami
Pelayanan sesuai Ketentuan SPM Rehabsos, dan hanya sebagian
kecil (8,7 persen) yang tidak setuju bahwa telah memahami

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 79
Pelayanan sesuai Ketentuan SPM Rehabsos.
Kemudian dalam melayani PPKS harus selalu berpedoman
pada SPM, pada diagram 17 berikut dapat dilihat sikap petugas
dalam melayani PPKS.

Diagram 17. Pelayanan Berpedoman pada SPM Rehabsos


Data di atas menunjukkan bahwa responden petugas
melayani PPKS berpedoman pada SPM rehabilitasi sosial paling
banya responden petugas (60 persen) mengatakan setuju dan
32,5 persen sangat setuju dan selebihnya tidak setuju 6,9 persen
dan sangat tidak setuju 0,6 persen. Hal ini dapat dikatakan bahwa
sebagian besar (92,5 persen) petugas dalam melaksanakan
pelayanan terhadap PPKS selalu berpedoman pada SPM. Dan
sebagian kecil (7,5 persen) melaksanakan pelayanan terhadap
PPKS belum berpedoman pada SPM. Kemudian bagi petugas yang
melaksanakan tugasnya dengan baik akan mendapatkan apresiasi.
Pada diagram 18 berikut dapat dilihat seberapa banyak petugas
yang mendapatkan apresiasi.

Diagram 18. Mendapat Apresiasi dalam Melaksanakan Tugas

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


80 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Data di atas menunjukkan bahwa responden pernah
mendapatkan apresiasi dalam melaksanakan tugas. Sebagian besar
mengatakan setuju (56,3 persen) dan sangat setuju (13,1 persen).
Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar petugas (69,4 persen)
setuju mendapatkan apresiasi dalam melaksanakan tugasnya. Dan
sebagian lagi (30,7 persen) tidak setuju atau belum mendapatkan
apresiasi dalam melaksanakan tugas. Hal ini dapat dipahami
karena untuk mendapatkan apresiasi dalam melaksanakan tugas
terkait dengan prestasi atau nilai kerja yang diperoleh oleh petugas
tidak mudah.
Kondisi ini juga terkait dengan komitmen petugas dalam
melaksanakan petugas. Berikut pada diagram 19 dapat dilihat
komitmen petugas dalam menjalankan tugas nya

Diagram 19. Komitmen Melaksanakan Tugas sesuai SPM Rehabsos

Data di atas menunjukkan bahwa responden memiliki


komitmen dalam melaksanakan tugas sesuai SPM Rehabilitasi
Sosial yang dikatakan setuju oleh 59,4 persen petugas dan sangat
setuju 37,5 persen. Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar
setuju (96,9persen) bahwa petugas memiliki komitmen dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan SPM. Sedangkan sebagian kecil
(3,1persen) tidak setuju bahwa petugas melaksanakan tugas sesuai
dengan SPM. Kemudian sebagian petugas tetap melaksanakan
tugas walaupun tidak terlihat oleh pimpinannya. Seperti terlihat
pada diagram 20 berikut.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 81
Diagram 20. Melaksanakan Tugas tanpa Dilihat Pimpinan
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian responden
petugas (68,1persen) mengatakan melaksanakan tugas walaupun
tidak dilihat oleh pimpinan dan sebagian mengatakan setuju (30
persen). Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden
petugas (98,1 persen) setuju bahwa petugas tetap melaksanakan
tugasnya walaupun tidak dilihat oleh pimpinannya. Dan sebagian
kecil tidak setuju 1,3 persen dan sangat tidak setuju 0,6 persen
atau 1,9 persen tidak setuju bahwa petugas tetap melaksanakan
tugasnya walaupun dilihat pimpinan.
Diagram 21 dibawah menggambarkan presentase disposisi
sikap pegawai panti terkait pelaksanaan SPM. Sebanyak 90 persen
petugas panti telah memiliki sikap yang baik yang mengikuti SPM
dan sebagian kecil (10 persen) petugas panti masih belum bisa
berperilaku sesuai SPM.

Diagram 21. Total Disposisi Sikap

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


82 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
4) Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi diperlukan dalam penyelenggaraan suatu
instansi pemerintahan. Gunanya untuk mengatur jalannya suatu
system agar bisa berjalan dengan baik. Dibawah ini adalah data
yang didapat dari responden petugas panti yang mencoba menggali
bagaimana pendapat mereka dalam melaksanakan tugas dibawah
aturan suatu birokrasi.

Diagram 22. Pelaksanaan tugas sesuai dengan perintah pimpinan


Diagram di atas menunjukkan bahwa kategori sangat setuju
sebesar 45 persen, setuju 52,5 persen, bahwa petugas dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan perintah pimpinan. Hal ini
dapat dikatakan bahwa sebagian besar responden petugas (97,5
persen) petugas dalam melaksanakan tugas sesuai dengan perintah
pimpinan. Hanya sebagian kecil yaitu 2,5 persen tidak setuju
bahwa petugas dalam melaksanakan tugas sesuai dengan perintah
pimpinan, ini menunjukkan mereka dalam melaksanakan tugas
tidak sesuai dengan perintah pimpinan mengindikasikan bahwa
bawahan kurang patuh dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
perintah pimpinan sebagai atasannya.
Kemudian pelaksanaan tugas semestinya harus sesuai dengan
tanggung jawab dan kewenangan yang diberikan. Pada diagram
berikut dapat dilihat tanggung jawab dan kewenangan petugas.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 83
Diagram 23. Pelaksanaan tugas sesuai dengan tanggung jawab dan
kewenangan
Pada diagram 23 dapat dilihat bahwa sebagian besar sangat
setuju ( 62,5) dan setuju (35,6). Ini berarti bahwa sebagian
besar responden petugas (98,1 persen) petugas mengatakan
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab dan
kewenangan yang diberikan. Dan hanya sebagian kecil (1,9 persen)
yang tidak setuju bahwa dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
tanggung jawab dan kewenangan yang diberikan.
Kemudian diagram berikut menggambarkan petugas bekerja
sesuai dengan uraian tugas.

Diagram 24. Bekerja sesuai dengan uraian tugas


Demikian halnya dengan diagram di atas, bekerja sesuai
dengan uraian tugas yang menjadi tanggung jawabnya
menunjukkan jawaban yang cukup besar nilainya. Jawaban yang
sangat setuju terhadap pelaksanaan tugas sesuai dengan uraian
tugas sebesar petugas (53,8 persen), kemudian yang menjawab
setuju sebesar 42,5 persen. Dapat dikatakan bahwa sebagian

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


84 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
besar responden petugas (96,3 persen) mengatakan bekerja sesuai
dengan uraian tugas. Dan sebagian kecil (3,7 persen) tidak setuju
petugas bekerja sesuai dengan uraian tugas. Bekerja sesuai dengan
rencana merupakan sesuatu yang akan dicapai sesuai tujuan yang
diharapkan. Dengan perencanaan, pekerjaan yang dilakukan akan
lebih terarah dan terencana sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Namun sebaliknya bekerja tanpa perencanaan akan sulit untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.

Diagram 25. Pelaksanaan rehabsos sesuai dengan SOP panti


Kemudian dalam pelaksanaan rehabsos sesuai dengan SOP
panti yang mengatakan sangat setuju (51,3 persen)dan setuju (46,9
persen).Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar petugas (98,2
persen) setuju bahwa melaksankan rehabsos sesuai dengan standar
operasional prosedur panti. Dan hanya sebagian kecil (1,9 persen)
yang tidak setuju bahwa melaksankan rehabsos sesuai dengan
standar operasional prosedur panti . Ini mengindikasikan bahwa
petugas dalam melaksanakan rehabilitasi sosial mengacu pada
SOP panti. Sedangkan selebihnya petugas dalam melaksanakan
rehabilitasi sosial tidak mengacu pada SOP panti.

Diagram 26. Selalu berkoordinasi dalam pelaksanaan tugas

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 85
Diagram di atas menunjukkan Sebagian besar petugas (52,5
persen) sangat setuju selalu berkoordinasi dalam melaksanakan
rehabsos dan 45,0 persen setuju bahwa selalu berkoordinasi dalam
melaksanakan rehabsos.Hal ini dikatakan bahwa sebagian besar
setuju bahwa dalam melaksanakan rehabsos selalu berkoordinasi,
hanya sebagian kecil (2,5persen) yan tidak setuju bahwa sebagian
besar setuju bahwa dalam melaksanakan rehabsos selalu
berkoordinasi.
Dalam diagram 27 dibawah, persentase total struktur birokrasi
panti sebanyak 98 persen telah memadai dalam mendukung
pelaksanaan SPM, dan sisanya sebanyak 2 persen masih belum
memadai dalam pelaksanaan SPM.

Gambar 27. Total Struktur Birokrasi dalam Pelaksanaan SPM


Dari data yang didapatkan dilokasi penelitian, secara
keseluruhan pelaksanaan SPM di panti rehabilitasi sosial adalah
sebagai berikut :

Diagram 28. Total pelaksanaan SPM didalam panti

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


86 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Dalam diagram 28 diatas, menunjukkan persentase total
pelaksanaan SPM di dalam panti sebesar 89 persen telah
melaksanakannya dengan baik, dan sebanyak 11 persen masih
belum baik.

5) Hasil diskusi kelompok terfokus (FGD)


Sementara itu dari hasil diskusi kelompok terfokus (FGD)
dengan OPD terkait, seperti Sekretaris Daerah atau yang mewakili,
Bappeda, BKD, BPSDM, Birotapem, Dinas Sosial Propinsi, dan
Panti, didapat data faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan
SPM bidang rehabillitasi sosial serta bagaimana strategi tindak
lanjut yang akan mereka laksanakan dalam mengimplementasikan
SPM sesuai dengan yang telah ditentukan.
a. Faktor pendukung dan penghambat
Dalam melakukan pelayanan sosial didalam panti tentunya ditemui
berbagai hambatan dan dukungan, apalagi bila ingin menerapkan
SPM bidang rehabilitasi sosial. Dibawah ini diuraikan hasil FGD
terkait faktor pendukung dan penghambat sebagai berikut :
Faktor Pendukung
- SPM sudah terakomodir dan tercantum dalam dokumen
perencanaan daerah mulai dari RPJMD, Renja dan Rensta di
semua Dinas Sosial Provinsi.
- Pada beberapa Pemerintah Daerah Provinsi telah memiliki
regulasi yang mendukung implementasi SPM di provinsi
diantaranya provinsi Jawa Tengah (Pergub No. 16 th 2019 ttg
Pedoman Pembentukan Tim Penerapan SPM, Keputusan
Gubernur No. 400 /118 Tahun 2019 tentang Tim Koordinasi
Pelaksanaan Penerapan SPM dan Keputusan Setda (sedang
proses) tentang Pembentukan Sekretariat Tim Penerapan
Standar Pelayanan Minimal). Dari data yang didapat pada
delapan lokasi penelitian, provinsi Jawa Tengah dapat
dijadikan contoh dalam penyediaan regulasi dalam mengatur
pelaksanaan SPM.
- Implementasi SPM bidang rehabilitasi sosial di provinsi pada
dasarnya sudah dilaksanakan , hal ini disebabkan karena panti-
panti sosial di daerah telah melaksanakan rehabilitasi sosial

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 87
sesuai dengan SOP. Pelayanan sosial dengan SPM dalam tahap
sekarang minimal sudah mengacu kepada Permensos no. 16
tahun 2019.
- Komitmen daerah khususnya pemerintah daerah provinsi
cukup mendukung terhadap implementasi SPM di Provinsi
Faktor penghambat
- Ketersediaan SDM yang masih kurang di semua lokasi penelitian,
terutama Pekerja Sosial yang menjadi sumber daya penting
dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial dalam panti. Ketersediaan
SDM yang ada serta beban kerja dalam memberikan pelayanan
sosial kepada PPKS masih belum porposional.
- Data PPKS (khususnya yang menjadi sasaran SPM seperti anak
terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang disabilitas terlantar
serta gelandangan pengemis) belum tersedia dengan baik dan
tidak ter-update.
- Pemenuhan hak dasar masih belum optimal, terutama di Panti
Sosial PGOT Mardi Utomo dan Panti Sosial PGOT Lembang,
khusus untuk PPKS gelandangan pengemis belum dapat
mengakses pada kebutuhan memperoleh NIK/KTP, karena
masih ada kesulitan dalam pengurusan adminduk di Dinas
Catatatan Sipil.
- Sarana prasarana panti belum sesuai dengan standar nasional
rehabilitasi sosial dan standar teknis SPM bidang Sosial seperti
yang tercantum dalam Permensos no. 9 tahun 2018.
- Pembinaan dan pengawasan belum dilaksanakan oleh
Kementerian Sosial. Dalam hal ini unit teknis (Ditjen
Rehabilitasi Sosial, Badiklit / Pusdiklat/Balai Besar Diklat Kesos
dan Inspektorat Jenderal).
Belum ada prosedur dan mekanisme yang jelas di dalam SPM
bidang rehabilitasi sosial terkait pasca pelayanan rehabilitasi sosial
dasar bagi PPKS yang harus melanjutkan ke layanan berikutnya
b. Strategi strategi tindak lanjut rehabilitasi sosial berdasarkan SPM
Menyusun strategi dalam pelaksanaan pelayanan didalam panti
yang akan datang perlu strategi yang matang, agar pelayanan yang
diberikan bermanfaat. Adapun strategi tindak lanjut rehabilitasi

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


88 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
sosial berdasarkan SPM yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial maupun
OPD terkait adalah sebagai berikut:
1) Kelembagaan
- Pada saat SPM belum dilaksanakan sepenuhnya, maka
mensiasasti dengan cara menggabungkan layanan dalam
satu lembaga/panti.
- Membentuk satuan pelayanan yang bertujuan untuk
memperluas jangkauan pelayanan dan proses layanannya
sesuai dengan panti.
- melakukan pendampingan dan pelayanan terpadu
- meskipun PERDA/Pergub tentang pelaksanaan SPM belum
ada dapat dibentuk lembaga ad hoc yang diketuai oleh sekda
dan memiliki tugas sebagai coordinator pelaksanaan SPM
yang dilaksanakan oleh masing OPD didaerah.
- Evaluasi pelaksanaan SPM melibatkan semua orang
termasuk Kemensos OPD terkait.
- Melaksanakan sinergitas antar OPD
2) Perencanaan dan anggaran
- Memasukkan SPM kedalam visi misi Dinas Sosial
- Menargetkan percepatan penerapan SPM didaerah paling
lama 5 tahun
- Memasukkan SPM kedalam dokumen anggaran baik
RPJMD, apabila tidak direalisasikan masuk ke RPJMD, maka
dimasukkan dalam RKPD (Rencana Kerja Penganggaran
Dinas) / renstra dinas.
- Mengusulkan tambahan anggaran melalui dana CSR
- pembuatan regulasi pendukung implementasi SPM
rehabilitasi sosial.
- penyiapan data-data pendukung yang valid, seperti data
PPKS di panti misalnya bukti kependudukan sebagai salah
satu hak sipil PPKS.
- Memaksimalkan kerjasama dan anggaran kabupaten / kota
3) Sumber Daya Manusia
- Menambah formasi yang disesuaikan dengan persyaratan
peraturan perundang undangan dan berdasarkan ANJAB
dan ABK

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 89
- Mengakomodir tenaga alumni-alumni kesejahteraan sosial
dan purna bakti sebagai tenaga kontrak di panti.
- Melakukan Kerjasama lintas OPD dan lembaga lain untuk
mengakomodasi ketersediaan tenaga pendukung, contohnya
tenaga dokter, perawat, ahli gizi, instrukutur,
- Menyiapkan Data dukung tentang kebutuhan pekerja sosial
professional di panti
- Menjaga kualitas tenaga kesejahteraan sosial khususnya
pekerja sosial melalui pelaksanaan diklat dan bimtek yang
dilaksanakan oleh BPSDM.
4) Pembinaan dan pengawasan
- Membentuk lembaga ad hoc untuk mengawasi implementasi
SPM di daerah yang diketuai oleh Sekda (Kalsel)
- Duduk bersama semua perangkat daerah untuk mereview
dokumen perencanaan agar semua anggran dipenuhi

B. PEMBAHASAN
1. Implementasi SPM Di Panti Sosial
Pelaksanaan rehabilitasi sosial dalam panti sebagai upaya dari
Pemerintah Provinsi untuk mengintegrasikan kembali PPKS (anak
terlantar, lansia terlantar, disabilitas terlantar dan gelandangan
pengemis) ke dalam kehidupan masyarakat dengan cara membantu
mereka agar mampu menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat
dan pekerjaan. Pelaksanaan rehabilitasi sosial dalam panti bertujuan
untuk memulihkan kembali kemauan dan kemampuan mereka agar
dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Legalitas pelaksanaan
rehabilitasi sosial sebagaimana tercantum dalam UU no 23 tahun 2014,
jelas mengamanatkan bahwa pemda provinsi memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan rehabilitasi sosial dalam panti, Pelaksanaan
rehabilitasi sosial tersebut tentunya sudah harus menyesuaikan dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagaimana telah diatur melalui
Peraturan Presiden no 2 tahun 2018. Kebijakan ini menjadi konsekuensi
pemerintah daerah Provinsi setempat untuk melaksanakan rehabilitasi
sosial dalam panti sesuai dengan SPM dimaksud. Untuk menjawab
sejauhmana implementasi SPM telah dilaksanakan oleh panti sosial,

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


90 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
perlu menelusuri melalui empat unsur, yakni komunikasi, sumber
daya, disposisi sikap dan struktur birokrasi yang berlangsung dalam
pelaksanaan rehabilitasi sosial dalam panti.

a. Komunikasi tentang SPM Rehabilitasi sosial.


Agar implementasi kebijakan tentang rehabilitasi sosial
menjadi efektif, maka informasi tentang SPM perlu dikomunikasi
kepada petugas di panti sosial. Hasil penelitian mendapati ada 85
persen responden menyatakan informasi terkait SPM telah mereka
dapat melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan didalam panti.
Selain itu menurut responden, panti telah berupaya memperbaiki
pelayanan rehabilitasi sosial dalam panti supaya mendekati dengan
ketentuan yang tercantum dalam SPM.
Bila dianalisis data dari hasil pengumpulan data tentang
implementasi SPM pada panti-panti di lokasi penelitian, didapati
persentase persepsi yang tinggi pada petugas di panti mengenai
pelaksanaan SPM. Seperti menurut Kottler (1993) persepsi
adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur,
dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk
menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Persepsi
seseorang terbentuk berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang bersangkutan. Pengetahuan dan pengalaman yang terbatas
dapat menyebabkan pemahaman dan persepsi seseorang tentang
sesuatu menjadi berbeda dengan orang lain. Dalam hal ini para
petugas di Panti boleh jadi kurang memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang utuh dan lengkap mengenai pelaksanaan SPM
sehingga mereka mempersepsi apa yang mereka alami dan rasakan
hanya terbatas dalam konteks panti mereka.

b. Sumberdaya
Hasil penelitian mendapati ada 83 persen responden
menyatakan sumberdaya dalam pelaksana SPM telah terpenuhi.
Implementasi SPM yang sudah dikomunikasikan kepada petugas
panti sosial, dapat berhasil jika didukung oleh sumberdaya yang
memadai. Sumber daya dimaksud meliputi sumber daya manusia,

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 91
anggaran, dan sarana prasarana. Sumber daya manusia meliputi
pengasuh, pekerja sosial, maupun staf penunjang lainnya. Petugas
yang bertanggungjawab dalam melaksanakan rehabilitasi sosial
pada masing-masing panti sosial menurut pandangan responden
telah memadai. Formasi petugas panti sosial telah sesuai dengan
beban kerja mereka, Namun menurut pejabat yang bertanggung
jawab terhadap keberlangsungan panti sosial, formasi tersebut
masih perlu disesuaikan dengan persyaratan peraturan perundang-
undangan dan berdasarkan analisa jabatan (ANJAB) dan analisa
beban kerja (ABK). Selama ini staf di panti sosial berperan sebagai
pengasuh, sekaligus sebagai tenaga pembimbing klien saat
berkegiatan, sehingga sering terjadi rangkap jabatan.
Untuk tenaga penunjang pada semua panti sosial telah
menyediakan tenaga kesehatan seperti Dokter, bahkan memiliki
anggaran tersendiri untuk setiap kunjungan ke panti sosial.
Panti sosial melakukan kerjasama dengan instansi terkait untuk
mengakomodasi ketersediaan tenaga pendukung, seperti tenaga
dokter, perawat, ahli gizi, instruktur. Selain itu ketersediaan
Pekerja Sosial masih kurang dan bahkan belum tersedia di seluruh
panti sosial. Panti sosial sebagian besar menggunakan tenaga
kesejahteraan sosial. Sehingga pengetahuan dan ketrampilannya
harus selalu diperbaharui melalui bimbingan teknis atau
pendidikan dan pelatihan (diklat).
Sarana prasarana pada masing-masing panti sosial
cukup memadai. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ratio
peruntukkannya. Untuk satu kamar di masing-masing panti
sosial, ratio peruntukkannya 1 (satu) berbanding 6 (enam) orang
penghuni. Demikian halnya peruntukkan KM/toilet, rata-rata
ratio peruntukkan pada masing-masing panti sosial 1 berbanding
7 orang. Hal tersebut sudah dengan memperhatikan pemisahan
kamar dan KM/Toilet berdasarkan jenis kelamin. Namun demikian,
pada beberapa panti sosial masih ditemukan terbatasnya anggaran
pemeliharaan tempat tidur. Fasilitas lainnya yang disediakan oleh
panti sosial adalah penyediaan alat bantu dan fasilitasi layanan
kesehatan.
Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial
92 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
Sebagian besar panti sosial telah menyediakan alat bantu
yang sesuai dengan kebutuhan PPKS. Sementara untuk fasilitas
pelayanan kesehatan, sebagian besar panti sosial telah memiliki
akses pelayanan kesehatan dasar bahkan memiliki kerjasama
dengan berbagai pusat kesehatan maupun Rumah Sakit. Demikian
halnya penyediaan sandang bagi PPKS berupa pakaian seragam
dan olah raga pada masing-masing panti sosial sudah menyediakan
minimal 1 atau 3 pasang pakaian.
Sumber daya anggaran, sebagian besar panti sosial telah
merencanakan angggaran untuk rehabilitasi sosial dan menjadi
bagian dari Rencana Kerja Daerah. Meski dalam beberapa hal,
masih terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pembelian
kelengkapan keterampilan, pemeliharaan sarana prasarana,
seperti untuk tempat tidur, biaya untuk kepentingan kegiatan
bimbingan. Selain itu masih ditemukan variasi jumlah anggaran
untuk pemberian permakanan bagi setiap orang/klien.

c. Disposisi sikap
Agar implementasi SPM dapat berjalan efektif, maka para
penentu kebijakan dalam hal ini pihak Dinas Sosial Provinsi
setempat selayaknya mengetahui apa yang harus mereka tampilkan
dalam memahami sikap dari pelaksana pelayanan rehabilitasi
sosial didalam panti. Demikian pula sebaliknya, para petugas
pelaksana pelayanan rehabilitasi sosial didalam panti juga harus
bisa menempatkan sikapnya yang profesional. Hasil penelitian
menunjukkan ada 90 persen responden yang menampilkan sikap
yang baik dalam melengkapi pelaksanaan SPM di dalam panti.
Petugas bekerja menyatakan telah memahami pelayanan sesuai
Ketentuan SPM Rehabsos, melaksanakan pelayanan berpedoman
pada SPM Rehabsos, mendapat apresiasi dalam melaksanakan
tugas, berkomitmen melaksanakan tugas sesuai SPM rehabsos,
dan mereka melaksanakan tugas tanpa dilihat pimpinan.
Kondisi ini menunjukkan petugas memiliki disposisi sikap
tinggi dalam melakukan tugas. Hal ini nampak pada pemberian

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 93
kegiatan baik bimbingan fisik, mental, spiritual maupun kehidupan
sehari-hari sudah menjadi bagian dari pekerjaan mereka.
Namun pandangan yang baik dari petugas terhadap pelaksanaan
rehabilitasi sosial di Panti boleh jadi kurang memiliki pengetahuan
dan pengalaman yang utuh dan lengkap mengenai pelaksanaan
SPM sehingga mereka mempersepsi apa yang mereka alami dan
rasakan hanya terbatas dalam konteks panti mereka.

d. Struktur birokrasi
Sebagai bagian penting untuk keberlangsungan kebijakan yang
masih dianggap baru, maka dalam melaksanakan rehabilitasi sosial
para pelaksana panti perlu untuk menyesuaikan dengan kebijakan
baru tersebut. Hasil penelitian menunjukkan 98 persen responden
ada dalam struktur birokrasi yang mendukung pelaksanaan SPM
rehabsos. Responden mengatakan telah melaksanakan tugas
sesuai dengan perintah pimpinan, sesuai dengan tanggungjawab
dan kewenangan, sesuai dengan uraian tugas, sesuai dengan SOP,
dan selalu berkoordinasi.
Dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, petugas pada umumnya
mengikuti SOP yang selama ini berlaku, mereka bekerja sesuai
dengan tanggungjawab dan kewenangannya. Namun SOP yang
selama ini dilaksanakan, senyatanya harus menyesuaikan dengan
kebijakan baru tentang SPM rehabilitasi sosial, agar implementasi
SPM dapat terlaksana secara optimal.
Bila dianalisis data dari hasil pengumpulan data tentang
implementasi SPM pada panti-panti di lokasi penelitian, didapati
persentase persepsi yang tinggi pada petugas di panti mengenai
pelaksanaan SPM. Seperti menurut Kottler (1993) persepsi
adalah proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur,
dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk
menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Persepsi
seseorang terbentuk berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang bersangkutan. Pengetahuan dan pengalaman yang terbatas
dapat menyebabkan pemahaman dan persepsi seseorang tentang

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


94 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
sesuatu menjadi berbeda dengan orang lain. Dalam hal ini para
petugas di Panti boleh jadi kurang memiliki pengetahuan dan
pengalaman yang utuh dan lengkap mengenai pelaksanaan SPM
sehingga mereka mempersepsi apa yang mereka alami dan rasakan
hanya terbatas dalam konteks panti mereka.

2. Faktor Pendukung Dan Penghambat Implementasi SPM


Faktor Pendukung
- SPM sudah terakomodir dan tercantum dalam dokumen perencanaan
daerah mulai dari RPJMD, Renja dan Rensta di semua Dinas Sosial
Provinsi.
- Pada beberapa Pemerintah Daerah Provinsi telah memiliki regulasi
yang mendukung implementasi SPM di provinsi diantaranya provinsi
Jawa Tengah (Pergub No. 16 th 2019 ttg Pedoman Pembentukan
Tim Penerapan SPM, Keputusan Gubernur No. 400 /118 Tahun
2019 tentang Tim Koordinasi Pelaksanaan Penerapan SPM dan
Keputusan Setda (sedang proses) tentang Pembentukan Sekretariat
Tim Penerapan Standar Pelayanan Minimal). Dari data yang didapat
pada delapan lokasi penelitian, provinsi Jawa Tengah dapat dijadikan
contoh dalam penyediaan regulasi dalam mengatur pelaksanaan
SPM.
- Implementasi SPM bidang rehabilitasi sosial di provinsi pada
dasarnya sudah dilaksanakan , hal ini disebabkan karena panti-panti
sosial di daerah telah melaksanakan rehabilitasi sosial sesuai dengan
SOP. Pelayanan sosial dengan SPM dalam tahap sekarang minimal
sudah mengacu kepada Permensos no. 16 tahun 2019.
- Komitmen daerah khususnya pemerintah daerah provinsi cukup
mendukung terhadap implementasi SPM di Provinsi

Faktor penghambat
- Ketersediaan SDM yang masih kurang di semua lokasi penelitian,
terutama Pekerja Sosial Medis dan Pekerja Sosial yang menjadi
sumber daya penting dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial
dalam panti. Ketersediaan SDM yang ada serta beban kerja dalam
memberikan pelayanan sosial kepada penerima manfaat masih
belum porposional.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 95
- Data PPKS (khususnya yang menjadi sasaran SPM seperti anak
terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang disabilitas terlantar serta
gelandangan pengemis) belum tersedia dengan baik dan tidak ter-
update.
- Pemenuhan hak dasar masih belum optimal, terutama di Panti Sosial
PGOT Mardi Utomo dan Panti Sosial PGOT Lembang, khusus untuk
penerima manfaat gelandangan pengemis belum dapat mengakses
pada kebutuhan memperoleh NIK/KTP, karena masih ada kesulitan
dalam pengurusan adminduk di Dinas Catatatan Sipil.
- Sarana prasarana panti belum sesuai dengan standar nasional
rehabilitasi sosial dan standar teknis SPM bidang Sosial seperti yang
tercantum dalam Permensos no. 9 tahun 2018.
- Pembinaan dan pengawasan belum dilaksanakan oleh Kementerian
Sosial. Dalam hal ini unit teknis (Ditjen Rehabilitasi Sosial, Badiklit/
Pusdiklat/Balai Besar Diklat Kesos dan Inspektorat Jenderal).
- Belum ada prosedur dan mekanisme yang jelas di dalam SPM
bidang rehabilitasi sosial terkait pasca pelayanan rehabilitasi sosial
dasar bagi penerima manfaat yang harus melanjutkan ke layanan
berikutnya

3. Strategi Tindak Lanjut Rehabilitasi Sosial Berdasarkan SPM


a. Kelembagaan
Belum semua daerah memiliki regulasi sebagai dasar pelaksanaan
SPM rehabilitasi sosial. Belum semua daerah memiliki panti
berdasarkan SPM rehabilitasi sosial seperti panti lanjut usia, panti
anak, panti disabilitas, dan panti gepeng. Minimnya pemahaman
aparat OPD terkait SPM.
b. Perencanaan dan Anggaran
SPM belum masuk dalam dokumen perencanaan dan anggaran pada
tahun berjalan, namun dianggarkan pada tahun berikutnya. Selain
itu Pemda terlalu bergantung pada DAK untuk penyiapan sarana dan
prasarana.
c. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya Manusia panti masih banyak yang belum terpenuhi
secara kuantitas dan kualitas / kompetensi, namun panti
mensiasatinya dengan menambah tenaga kontrak yang berasal

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


96 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
dari sarjana kesejahteraan sosial dan purna bakti panti. Serta
mengakomodasi ketersediaan tenaga pendukung panti dengan
bekerjasama lintas OPD dan lembaga lain untuk tenaga seperti
dokter, perawat, ahli gizi dan instruktur.
d. Pembinaan dan Pengawasan
Kementerian Sosial belum pernah melakukan pembinaan dan
pengawasan terkait dengan implementasi SPM.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 97
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Data penelitian menunjukkan persepsi petugas panti mengenai
pelaksanaan SPM prosentasenya tinggi (rata-rata diatas 80 persen).
Walaupun hasil yang didapat tinggi tetapi tidak dapat disimpulkan
petugas panti sepenuhnya memahami SPM. Ada hal yang harus jadi
perhatian, dimana petugas panti sebagai responden hanya menilai
berdasarkan persepsi personal. Para petugas boleh jadi kurang memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang utuh dan lengkap mengenai
pelaksanaan SPM sehingga mereka hanya mempersepsi sesuai dengan
pelaksanaan tugas sehari-hari di panti (business as usual).
Perbandingan data antara panti-panti yang menjadi lokasi,
menunjukkan pelaksanaan SPM yang satu dengan panti yang lain
tidak jauh berbeda, namun belum bisa disimpulkan telah memenuhi
SPM karena belum tersedianya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria
(NSPK) oleh Kementerian Sosial. Selama ini, panti-panti yang menjadi
lokasi penelitian telah berupaya menyediakan pelayanan baik sarana,
prasarana pada penerima pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) dengan
sebaik mungkin. Bahkan di delapan provinsi lokasi penelitian alokasi
anggaran rehabilitasi sosial baik yang diklaim sesuai SPM ataupun tidak
mengalami peningkatan dari tahun 2019 ke tahun 2020.
Selain itu komunikasi antar petugas panti, sumber daya manusia,
sarana prasarana cukup mendukung kegiatan rehabilitasi sosial yang
berpedoman pada SPM, meski keberadaan pekerja sosial masih terbatas.
Ada beberapa aspek pemenuhan hak dasar misalnya pada gelandangan
pengemis, anak dan lanjut usia masih belum terpenuhi. Implementasi
SPM dapat berjalan karena adanya dukungan dari struktur birokrasi pada
masing-masing pemerintah. Adanya regulasi memberi konsekuensi
pada penyediaan anggaran bidang sosial, termasuk pada rehabilitasi
sosial dalam panti. Selain itu perhatian pemerintah daerah dengan

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


98 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
memasukkan agenda pembhasan SPM di kesempatan-kesempatan
penting seperti dalam Musrenbang, dengar pendapat dengan DPRD,
memasukkan dalam Renja, dll.
Terbatasnya Pekerja Sosial pada masing-masing panti menjadi
factor penghambat penerapan SPM. Selain itu belum tersedia data
base tentang PPKS (anak terlantar, disabilitas terlantar, lansia terlantar,
gepeng) yang ter up-date untuk menjadi landasan bagi capaian pelayanan
sosial. Factor penghambat lain yaitu masih terbatasnya pembinaan dan
pengawasan bagi pelaksanaan rehabilitasi sosial, sehingga tidak dapat
diketahui sejauh mana capaian dari pelaksanaan rehabilitasi sosial ini.
Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian agar implementasi SPM dapat
dilaksanakan secara optimal.
Selain itu penyediaan data, sarana prasarana, SDM, regulasi,
komitmen, pembinaan dan pengawasan belum maksimal bahkan belum
dilaksanakan. Kerena SPM rehabilitasi sosial di panti baru mengacu pada
SOP daerah dan belum mengacu sepenuhnya pada Permensos nomor
16 tahun 2019 tentang standard rehabilitasi sosial nasional. Padahal
Permensos ini merupakan salah satu NSPK yang dapat mendukung
pelaksanaan SPM di panti sosial provinsi.
Kesimpulan yang dapat diambil dari data hasil penelitian, secara
umum pemerintah daerah yang menjadi lokasi penelitian pada tahun
2019 masih berada pada tahap persiapan mengimplementasikan SPM
bidang sosial khususnya rehabilitas sosial.

B. Rekomendasi
Berdasarkan temuan-temuan yang didapat dari lapangan, ada
beberapa rekomendasi diajukan oleh peneliti sebagai berikut:
Kelembagaan
Kementerian –– Mengadakan sosialisasi tentang SPM
sosial Rehabilitasi Sosial secara menyeluruh
Pemerintah –– Memperkuat komitmen dalam penyelenggaraan
Daerah SPM bidang sosial dengan menyusun regulasi
seperti: Peraturan Daerah atau Peraturan
Gubernur

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 99
–– Dinas Sosial, Menyediakan layanan panti-
panti sosial yang sesuai dengan permasalahan
daerah dengan memperhatikan Data Terpada
Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data-data
pendukung yang menjadi dasar pembentukan
panti sosial;
Perencanaan dan Anggaran
Pemerintah –– Menyiapkan data-data pendukung seperti data
Daerah PPKS dalam panti yang berdasarkan by name
(Dinas Sosial) dan by address, DTKS, data proyeksi PPKS setiap
tahun, data jumlah personil pekerja sosial dan
tenaga pendukung untuk menjadi landasan
dalam penyusunan anggaran setiap tahun;
–– Menyiapkan alternatif sumber anggaran
lain (non APBD/APBN) untuk mendukung
implementasi SPM di panti, seperti dana CSR.

Sumber Daya Manusia


Kementerian –– Badiklitpensos melalui pusdiklat dan enam
Sosial balai diklat didaerah melaksanakan bimbingan
teknis secara berkala dan rutin pada SDM panti
terkait pelaksanaaan pelayanan rehabilitasi
sosial berdasarkan SPM.
Pemerintah –– Dinas Sosial melakukan analisis kebutuhan
Daerah Provinsi pegawai berdasarkan data, analisis jabatan dan
analisis beban kerja di panti.
–– Komitmen pemerintah daerah melakukan
perekrutan SDM sesuai dengan kebutuhan dan
beban kerja panti.
Pembinaan dan pengawasan
Kementerian –– Kementerian Sosial (cq. Ditjen Rehabilitasi
Sosial Sosial) segera dan rutin melaksanakan
pembinaan dan pengawasan di daerah.
Serta melakukan pendampingan mulai dari
perencanaan dan pelaksanaan.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


100 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
–– Kementerian Sosial merancang untuk
pengadaan fungsional pengawas sosial yang
melekat pada Inspektorat Jenderal. Nantinya
diharapkan menjadi bagian dalam pembinaan
dan pengawasan pelaksanaan SPM bidang
sosial di daerah.
–– Kemendagri membentuk pengawas internal
pemerintah daerah.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti 101
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ainur Rohman, dkk. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Malang:


Program Sekolah Demokrasi.
Edwar III, George C. 2003. Implementasi Kebijakan Publik, Tranformasi
Pemikiran George Edwards. Terjemahan oleh Hessel Nogos
Tangkilisan. Penerbit: Kerjasama Lukman Offset & Yayasan
Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia.
H.A.S.Moenir. 2008. Manajemen Pelayanan Umum Di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Hoogerwerf, A, 1978, Ilmu Pemerintahan, Terj.R.L.L. Tobing, Jakarta :
Erlangga
Kotler, Phillip. (1995). Marketing Management Analysis, Planning,
Implementation& Control. Prentice Hall Int.
Lijan Poltak Sinambela,dkk. 2008. Reformasi Pelayanan Publik, Teori,
Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Manullang. 1985. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2006. Manajemen Pelayanan,
Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter
dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ripley, Randall. B., Franklin, Grace. A. 1990. Policy Implementation
and Bureaucracy (Second Edition). The Dorsey Press : Chicago,
Illnois.
Tachjan, H, 2008, Implementasi Kebijakan Publik, Bandung : AIPI.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Sosial


102 Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di dalam Panti
S
tandar Pelayanan Minimal (SPM) terkait pelaksanaan Rehabilitasi Sosial di
dalam Panti Sosial merupakan upaya pemerintah untuk memberikan
pelayanan yang terbaik pada Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial
(PPKS) agar pada saat berada didalam panti mendapatkan layanan sesuai
standar yang telah ditetapkan, dan diakhir pelayanan bisa kembali berfungsi
sosial dengan baik. Terbitnya Undang Undang No. 23 tahun 2014 memberikan
wewenang pada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan SPM bidang sosial.
Menindaklanjuti regulasi ini, maka disusunlah Peraturan Pemerintah Nomor. 2
tahun 2018 dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2018 yang membagi
urusan antara pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten/kota) dalam
hal melaksanakan layanan rehabilitasi sosial kepada Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS). Kebijakan ini diperkuat dengan keluarnya
Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2019 tentang Standar Nasional
Rehabilitasi Sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan SPM rehabilitasi
sosial di panti, mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat, dan
mengidentifikasi strategi tindak lanjut yang digunakan agar SPM dapat
diimplementasikan dengan baik didalam Balai / Loka / Panti.
Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) di dalam Balai / Loka / Panti
yang dimaksud adalah anak terlantar, lanjut usia terlantar, disabilitas terlantar
dan gelandangan dan pengemis. Saat dilaksanakan penelitian ditemukan semua
Balai / Loka / Panti belum melaksanakan SPM, melainkan melaksanakan
Strandar Operasional Prosedur (SOP) yang mereka buat sendiri berdasarkan
situasi, kondisi dan kebutuhan internal. Balai / Loka / Panti masih dalam tahap
mempelajari dan menyesuaikan SPM dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial.
Implementasi SPM perlu disosialisasikan dan didampingi dalam bentuk
asistensi dan advokasi kebijakan agar pemahaman daerah optimal. Selain itu
komitmen kepala daerah dan jajarannya sangat penting untuk melaksanakan
kebijakan SPM berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2018.
Peningkatan kuantitas maupun kualitas SDM tidak kalah penting dalam
implementasi SPM ini. Peran Kementerian Sosial dalam melaksakan pembinaan
dan pengawasan untuk memperkuat fungsi APIP baik pembina umum daerah,
pembina teknis daerah serta APIP daerah perlu diperhatikan.

Anda mungkin juga menyukai