Abu Lahab berkata, "Demi Allah, ini adalah kabar buruk. Ambillah
tindakan terhadap dirinya sebelum orang lain yang melakukannya." Abu
Thalib menimpali, "Demi Allah kami tetap akan melindungi selagi kami
masih hidup."
Kisah di Balik Dakwah Terang-
terangan Rasulullah
Setelah Rasulullah saw berhasil membimbing para sahabat di fase dakwah sembunyi-
sembunyi dan membangun masyarakat Muslim generasi awal yang sudah memiliki
basis akidah cukup kuat, turunlah ayat yang menyerukan agar beliau berdakwah
secara terang-terangan,
َو َأنِذ ۡر َع ِش يَر َتَك ٱَأۡلۡق َر ِبيَن َو ٱۡخ ِفۡض َج َناَح َك ِلَمِن ٱَّتَبَع َك ِم َن ٱۡل ُم ۡؤ ِمِنيَن
Sesuai perintah Allah Swt, Rasulullah kemudian mengumpulkan kabilah dan kerabat
sendiri terlebih dahulu, Bani Hasyim. Mengajak mereaka secara terbuka untuk
beriman kepada Allah, memberi peringatan akan pedihnya siksa neraka bagi yang
bermaksiat, mengajak untuk menyelamatkan diri mereka dari api neraka dan
menjelaskan tanggung jawab diri masing-masing sebagai seorang hamba. (lihat as-
Shlallabi, Sirah an-Nabawiyah, hal. 120)
Dari ajakannya itu, beberapa orang menyambut dengan baik dan mengikuti ajakan
Nabi Muhammad saw. Mereka adalah dari Bani al-Muthalib bin Abdi Manaf. Jumlah
mereka sekitar 45 orang laki-laki.
Di tengah-tengah penyampaian dakwah itu, Abu Lahab-lah orang yang pertama kali
menentang. Namun Abu Thalib melindungi Rasulullah dan meminta untuk
melanjutkan misinya. Abu Thalib setuju dengan apa yang Nabi serukan. Hanya saja,
ia tidak ikut beriman; masih bersikukuh dengan agama warisan nenek moyangnya.
Bangsa Arab terkenal dengan ruh kesukuannya. Sehingga wajar target pertama dalam
dakwah terang-terangan adalah kerabat dan kabilahnya Nabi saw sendiri. Dengan
demikian, memudahkan Nabi dalam membangun loyalitas dan solidaritas akidah
berbasis kesukuan. (lihat as-Shlallabi, Sirah an-Nabawiyah, hal. 121)
Rasulullah sampaikan kepada mereka tentang pedihnya api neraka bagi orang-orang
yang bermaksiat. Tiba-tiba, Abu Lahab datang dan mengancam Rasulullah saw.
Kelakuan Abu Lahab ini diabadikan dalam al-Qur’an,
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS. Al-
Lahab [111]: 1)
Pada tahap berikutnya, kemudian turun ayat yang menyerukan agar Rasulullah
melebarkan sayap dakwah lebih luas lagi.
Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw menyampaikan dakwah secara terang-terangan
dengan jangkauan lebih luas lagi. Beliau datangi kabilah-kabilah, tempat-tempat
berkumpul dan pertemuan kaum musyrikin.
Dakwah beliau disambut dengan baik. Namun masih banyak juga mereka yang belum
menerima ajakannya. Sehingga terjadi ‘gap’; saling membenci dan menjauhi antara
dua pihak; pihak yang menerima dakwah dengan yang menolak. Melihat kondisi ini,
orang-orang Quraisy merasa terganggu.
Seruan dakwah secara terang-terangan ini dimulai dari kerabat Rasulullah sendiri,
yaitu Bani Hasyim. Dengan demikian, sebelum menyampaikan kepada orang lain,
wahyu yang turun betul-betul tertanam dalam diri sendiri terlebih dahulu. Sehingga
lebih siap menerima dasar-dasar, aturan, dan hukum-hukum Allah. (lihat Said
Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal. 76)
Ini merupakan pesan penting. Bahwa sebelum mengajak orang lain, terlebih dahulu
diri kita yang diperbaiki. Mulailah dengan diri sendiri.
Seorang bapak bahasa Arab dari Bani Kinanah, Abul Aswad Ad-Dua’liy (w. 688 M.)
berkata dalam syairnya:
َيا َأُّيَها الَّرُجُل اْلُمَع ِّلُم غيره *** َهَّال ِلَنْفِس َك َك اَن َذ ا الَّتْع ِلْيِم
َأَتَر اَك ُتَلِّقُح ِبالَّرَش اِد ُع ُقْو َلَنا *** ِص َفًة َو َأْنَت ِم َن الَّرَش اِد َع ِد ْيُم
َال َتْنَه َع ْن ُخ ُلٍق َو َتْأِتي ِم ْثَلُه *** َعاٌر َع َلْيَك ِإَذ ا َفَع ْلَت َع ِظ ْيُم
ِاْبَد ْأ ِبَنْفِس َك َفاْنَهَها َع ْن َغ ِّيَها *** َفِإَذ ا اْنَتَهْت َع ْنُه َفَأْنَت َحِكْيُم
َفُهَناَك َيْنَفُع ِإْن َو َع ْظَت َو ُيْقَتَدى *** ِباْلَقْو ِل ِم ْنَك َو َيْنَفُع الَّتْع ِلْيُم
“Wahai orang yang mengajari orang lain. Tidakkah kau mengajari dirimu dulu
(sebelum orang lain).”
“Pantaskah kau tanamkan pada akal kami “sifat mulia”. Tapi ternyata, engkau
kosong dari sifat mulia itu.”
“Janganlah engkau melarang akhlak (yang buruk), tapi kau sendiri melakukannya.
Sungguh sangat tercela, jika kau seperti itu.”
“Mulailah dari dirimu, dan lepaskanlah dosanya. Karena engkaulah sang bijaksana,
jika kau telah lepas darinya.”
“Saat itulah, nasihat dan didikanmu kan berguna. Begitu pula ucapanmu, akan
menjadi panutan.”
Ini juga mempengaruhi persepsi dan kepercayaan kaum Quraisy nantinya. Jika Nabi
Muhammad berhasil menyampaikan dakwah di lingkungan keluarganya, tentu akan
menjadi penilaian baik bagi orang Quraisy. Sebaliknya, jika Nabi saw gagal di
keluarga sendiri, orang Quraisy pasti meragukan; dakwah di keluarga sendiri saja
gagal, bagaimana mungkin mau mengajak orang lain?
Namun terbukti, Rasulullah berhasil mengajak orang-orang terdekatnya, baik saat fase
dakwah sembunyi-sembunyi ataupun fase awal dakwah terang-terangan.
Ini adalah pesan penting untuk para dai dan ulama, bahwa di samping memiliki
tanggung jawab akidah pada diri dan keluarga sendiri, tanggung jawab berikutnya
adalah menjaga akidah masyarakat secara luas. Bagaimanapun, ulama adalah para
pewaris Nabi.
Orang-orang Quraisy Mekah yang kafir adalah mereka yang taklid buta pada nenek
moyang mereka untuk memuja berhala. Padahal, secara rasional tidak bisa diterima.
Mereka menyembah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa memberi
manfaat dan mudharat. Mereka ciptakan sendiri, lalu mereka pula yang menyembah.
Ini merupakan bentuk taklid buta yang nyata.
Islam datang untuk menyudahi taklid buta yang tidak masuk akal itu. Islam mengajak
untuk menyembah pada Allah swt. Tuhan yang telah menciptakan mereka sendiri.
Tuhan yang memberikan pahala bagi hamba yang taat dan siksa neraka bagi hamba
yang bermaksiat. Tuhan yang mampu memberi manfaat dan kemudharatan.
Ini bukti bahwa Islam adalah agama rasionalis. Aturan-aturan syariat yang di bawah
oleh Islam bersifat rasional. Memiliki tujuan logis yang sesuai dengan akal sehat
manusia. Hanya saja, kadang akal manusia belum sampai untuk menangkap hikmah di
baliknya, sehingga sekilas terkesan tidak rasional dalam beberapa aturan agama. (lihat
Said Ramadhan al-Buthi, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal. 76)
“Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara:
214)
Rasulullah tak putus asa meskipun pertemuan pertama gagal. Beliau pun
mengundang mereka lagi. Kali ini, beliau mendapat dukungan dari Abu Thalib,
meskipun Abu Lahab masih sama menampakkan permusuhannya.
“Wahai Bani Fihr, Wahai Bani Adi!” Rasulullah menyeru suku-suku Quraisy
hingga mereka berdatangan. “Bagaimana menurut pendapat kalian bila
kuberitahukan bahwa di balik bukit ini ada segerombolan pasukan berkuda yang
akan menyerang kalian? Apakah kalian mempercayaiku?”
“Ya, kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran,” jawab mereka.
Dan hendaklah ini yang perlu dijaga oleh para dai. Senantiasa jujur dan
menjauhi dusta. Sebab integritas adalah modal utama. Jika integritasnya cacat,
bagaimana orang-orang akan percaya kepadanya. Jika integritasnya rusak,
mereka akan mudah membalik perkataan dai dan menyerangnya.
ِفي ِج يِدَه ا َح ْبٌل ِمْن َمَس ٍد. َو اْم َر َأُتُه َح َّماَلَة اْلَح َط ِب. َس َي ْص َلى َن اًر ا َذ اَت َلَه ٍب. َم ا َأْغ َن ى َع ْن ُه َم اُلُه َو َم ا َك َس َب. َت َّب ْت َي َد ا َأِبي َلَه ٍب َو َت َّب
Binasalah kedua tangan Abu lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah
berfaedah kepadanya harta benda dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan
masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu
bakar. Yang dilehernya ada tali dari sabut. (QS. Al Lahab: 1-5)
Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah bangkit menyerang berbagai khurafat dan
kebohongan syirik. Juga menyebutkan kedudukan berhala dan hakikatnya yang
sama sekali tak bernilai, tak bisa memberikan manfaat dan madharat.
Makkah pun mulai memanas. Mereka yang tadinya menganggap lalu dakwah
Muhammad saat fase sembunyi-sembunyi, mulai pasang badan setelah
Rasulullah mengumpulkan berbagai suku di bukit shafa, dan kini mereka mulai
memusuhi dengan permusuhan yang sengit.
Orang-orang kafir Quraisy marah saat mengetahui dakwah Rasulullah adalah
menafikan seluruh penyembahan kepada selain Allah. Mereka menyadari
datangnya revolusi yang tak bisa dikompromikan dengan penyembahan
berhala. Mereka juga khawatir kehilangan kekuasaan seiring semakin
banyaknya orang yang masuk Islam.
Yang membuat mereka bingung, Rasulullah tidak ada celanya. Mereka sendiri
yang memberikan gelar al amin karena beliau adalah orang terpercaya yang
tidak pernah berdusta. Mereka juga tahu silsilahnya yang berasal dari
keturunan mulia. Mereka tahu integritas dan keagungan akhlaknya.
Namun Abu Thalib menolak mereka dengan halus. Para pemuka Quraisy itu pun
pulang dengan tangan hampa. Rasulullah tetap melanjutkan dakwah.
Digelarlah rapat di rumah Walid bin Mughirah untuk menyatukan suara. Agar
mereka seragam memberikan stigma status Rasulullah guna menghadang
dakwah beliau.
Berbagai usulan dikemukakan. Ada yang mengusulkan menyebut Rasulullah
sebagai dukun. Ada yang mengusulkan sebutan orang gila. Ada yang
mengusulkan sebutan penyair. Ada yang mengusulkan sebutan penyihir.
Awalnya semua usulan itu ditolak oleh Walid. Namun karena tidak menemukan
kata yang tepat, akhirnya ia menyetujui menyebut Rasulullah membawa sihir.
Dengannya terpisah anak dan orangtua, dengannya terpisah suami dan istri.
ِإْن َه َذ ا. َفَقاَل ِإْن َه َذ ا ِإاَّل ِس ْح ٌر ُيْؤ َث ُر. ُثَّم َأْد َبَر َو اْس َت ْك َبَر. ُثَّم َع َبَس َو َبَس َر. ُثَّم َن َظ َر. ُثَّم ُقِتَل َك ْي َف َقَّد َر. َفُقِتَل َك ْي َف َقَّد َر. ِإَّن ُه َفَّك َر َو َقَّد َر
ِإاَّل َقْو ُل اْلَب َش ِر
Mereka pun memperingatkan para jamaah haji dengan stigma yang sama.
Mereka mengatakan, ajaran yang dibawa Muhammad adalah sihir. Banyak
orang yang karena kata-kata Quraisy itu menjadi takut kepada Rasulullah.
Namun ada juga orang-orang yang justru penasaran dan kemudian mencari
tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Di antaranya adalah Thufail bin Amr Ad Dausi. Dialah tokoh terkemuka Bani
Daus. Sosok penyair cerdas, arif dan bijaksana. Ketika tokoh-tokoh Quraisy
mendekatinya dan menakut-nakuti bahwa Rasulullah membawa sihir, ia sempat
khawatir.
“Thufail, ada orang yang mengaku Nabi. Ia telah merusak dan mencerai
beraikan kami. Jangan sampai bencana itu menimpa kepemimpinanmu. Kami
menyarankan, jangan bicara dengannya dan jangan mendengar apa pun
darinya. Kata-katanya berbisa laksana sihir yang memisahkan anak dari
ayahnya dan suami dari istrinya,” kata mereka.
Thufail sempat menutup telinganya dengan kapas agar tak mendengar apa
yang dikatakan Rasulullah. Namun takdir berkata lain. Di dekat Ka’bah, lama-
lamat ia mendengar apa yang dikatakan Rasulullah.
“Thufail, engkau orang yang cerdas. Penyair hebat. Bagaimana mungkin engkau
takut dengan kata-kata. Coba dengarkan saja. Jika kata-katanya baik, engkau
bisa menerimanya. Jika kata-katanya tidak baik, engkau bisa
meninggalkannya,” demikian suara hati Thufail. Ia pun membuang kapas yang
menutupi telinganya.