Makalah Usul Fikih KLMPK 1
Makalah Usul Fikih KLMPK 1
“”
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Dosen Pengampu :
Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas berkat dan
pertolongan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terima kasih juga saya ucapkan
kepada Bapak Indara Habibi yang telah membimbing kami sehingga bisa menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Terima kasih juga kepada teman-
teman yang turut andil dalam menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam senantiasa saya hanturkan kepada suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa'atnya di yaumul mahsyar nanti. Makalah
ini kami buat dalam rangka untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman mengenai
"Wawasan Nuasantara dengan harapan agar para mahasiswa bisa lebih memperdalam
pengetahuan tentang Wawasan Nusantara. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan segala keterbatasan yang ada penulis
telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna menyelesaikan makalah ini. Penulis
menyadari bahwasannya makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini. Atas kritik dan sarannya saya ucapkan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya.
Pekanbaru, 19 Maret
2024
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami dan
diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw
melalui perantara Malaikat Jibril.
Tujuan utama diturunkan Al-Qur'an adalah untuk menjadikan pedoman manusia dalam
menata kehidupan supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu
dapat direalisasikan oleh manusia, maka Al-Qur'an datang dengan petunjuk-petunjuk,
keterangan- keterangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang bersifat
terinci, yang tersurat maupun tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan. Al-
Qur'an mengandung pelajaran yang baik untuk dijadikan penuntun dalam pergaulan antara
satu golongan manusia, antara keluarga dengan sesama, antara murid dengan guru, antara
manusia dengan Tuhan.
Bahasa yang digunakan dalam terjemahan Al-Qur'an tidak seperti bahasa yang
digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, karena Al-Qur'an merupakan wahyu dari
Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk dapat memahami makna
yang terkandung dalam Al-Qur'an, manusia perlu megkaji lebih dalam. Terjemahan
terjemahan Al- Qur'an ada dalam semua bahasa. Terjemahan Al-Qur'an menjadi keinginan
tiap kaum muslim untuk dapat membaca dan memahami Al-Qur'an dalam bahasa yang asli
yaitu bahasa Arab.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
١٨– ١٧ : القيامة
Artinya:
"Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya
itu." (QS. Al-Qivamah: 17-18)
Sedangkan pengertian menurut istilah (terminologi) Al-qur’an adalah:” kitab Allah
yang diturunkan kepada utusan Allah, Muhammad SAW. Yang ter maktub dalam mushaf,
dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, tanpa ada keraguan”.
.
Dari definisi di atas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Quran,
antara lain sebagai berikut: (Asy-Syaukani: 26-27)
a. Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dengan
demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad SAW., tidak
dinamakan Al-Quran, seperti Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab terebut memang termasuk
di antara kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad SAW., sehingga tidak
dapat disebut Al-Quran.
b. Bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat
Al-Quran, antara lain: Asy-Syu'ara (26): 192-195; Yusuf (12): 2; Az-Zumar (39): 28; An-
Nahl (16): 103; dan Ibrahim (14): 4. Maka para ulama sepakat para ulama bahwa penafsiran
dan terjemahan Al-Qur'an tidak dinamakan Al-Qur'an serta tidak bernilai ibadah
membacanya. Dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Quran,
Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini
hanya bersifat rukhshah (keringanan hukum).
c. Al-Quran itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir
(dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak
mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun. (Al-
Bukhari: 24)
d. Membaca setiap kata dalam Al-Quran itu mendapatkan pahala dari Allah, baik bacaan itu
berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushhaf Al-Quran.
e. Al-Quran dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan
surat yang terdapat dalam An-Quran, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan
demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir Al-Quran, tidak termasuk Al-Quran.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa; Al-Qur'an me rupakan kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi saw, dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya
disampaikan secara matrautir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini.
Penukilan secara mutawatir ini di mana Al-Qur'an begitu disampai kan kepada para sahabat,
maka para sahabat menghafal dan men- yampaikannya pula kepada orang banyak, dan dalam
penyam- paiannya tidak mungkin mereka sepakat untuk melakukan kebo hongan. Dengan
demikian, kebenaran dan keabsahan Al-Qur'an terja- min dan terpelihara sepanjang masa
serta tidak pernah berubah.
َو ِإْن َك اَن َر ُجٌل ُيوِر ُث َكاَل َلٌة َأِو اْمَر َأٌة َو َلُه َأْخ َأْو ُأْخ ُت ِم َن اُأْلِّم.
(Muhammad Al-Makdur, 1976: 104).
Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak didapati dalam mushaf Utsmani
yang kita pakai sekarang ini.
Dengan demikian, penambahan kata pada sebagian ayat Al-Quran seperti di atas tidak
dapat dikatakan sebagai Al-Quran; dan orang yang mengingkarinya pun tidak dihukumi
sebagai orang kufur. Demikian pula, kata-kata yang merupakan penambah itu tidak dapat
dijadikan hujjah untuk istinbath hukum, kecuali menurut golongan Hanafiyah. Hal ini
berakibat pada perbedaan pendapat antara Jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah dalam
beberapa masalah, yang antara lain sebagai berikut:
a. Hanafiyah mensyaratkan puasa kifarat sumpah dilakukan terus menerus,
karena mereka berpegang kepada qira'ah Ibnu Mas'ud, selangkan selain ulama
Hanafiyah tidak mensyaratkannya, (Al- Ghazali, 1968: 229)
b. Hanafiyah melarang memotong tangan kiri pencuri yang mencuri untuk ketiga
kalinya, karena yang dimaksudkan dengan pemotongan tangan pada ayat 38
surat Al-Maidah adalah tangan kanan pencuri. Pendapat mereka bersumber
pada qira'ah Ibnu Mas'ud, sedangi menurut para ulama selain Hanafiyah,
pencuri yang mencuri ketiga kalinya itu harus dipotong tangan kirinya.
c. Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban memberi nafkah kepada kerabat
zawil Arham itu hanyalah kepada zawil arham yang muhrim, sedangkan
menurut jumhur ulama, zawil arham yang wajib diberi nafkah tidak terikat
dengan muhrim-nya saja, baik muhrim ataupun bukan, mereka tetap diberi
nafkah. (Alj Hasaballah, 1968: 259)
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Quran itu dapat dibagi dalam dua bagian:
2
Al-Ghazali., Loc. Cit.
Sedangkan cara Penunjukan Al-qur’an kepada Hukum, dalam hal penunjukannya
kepada makna, ayat-ayat Al-qur’an terbagi menjadi dua, yaitu ayat-ayat qoth’i dan ayat-ayat
zhonni. Ayat-ayat qoth’i adalah ayat-ayat yang penunjukannya kepada makna bersifat tegas
dan tidak mengandung kemungkinan arti lain selain arti yang disebutkan secara eksplisit
oleh ayat. Kandungan ayat-ayat qoth’i bersifat universal dan berlaku abadi dan anti
terhadap perubahan. Contoh ayatayat qoth’i dalam Al-qur’an adalah ayat mawaris dan ayat
yang menjelaskan wanitawanita yang haram dinikahi. Sedang ayat-ayat zhonni adalah ayat-
ayat yang penunjukannya kepada makna tidak tegas dan mengandung kemungkinan arti
lebih dari satu. Kandungan ayat-ayat zhonni bersifat temporal, berwatak lokal dan tidak anti
terhadap perubahan. Contoh ayat-ayat zhonni adalah ayat 228 surat al-Baqarah tentang
iddah wanita perempuan yang dicerai suaminya.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 2004. Amir Syarifudin, Ushul
Fiqih, Jakarta: Zikrul Hakim, 2002. Djalil Basiq. Ilmu Ushul Fiqih I dan II, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
DAFTAR PUSTAKA