Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“”

Mata Kuliah : Usul Fiqih

Disusun Oleh:
Kelompok 1

MUHSINUDDIN HASIBUAN (12320212465)


MESYA AZARI (12320224203)
MUHAMMAD MUKTADIRBILLAH (12320213487)

Dosen Pengampu :

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
TAHUN AJARAN 2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas berkat dan
pertolongan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terima kasih juga saya ucapkan
kepada Bapak Indara Habibi yang telah membimbing kami sehingga bisa menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Terima kasih juga kepada teman-
teman yang turut andil dalam menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam senantiasa saya hanturkan kepada suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW yang selalu kita harapkan syafa'atnya di yaumul mahsyar nanti. Makalah
ini kami buat dalam rangka untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman mengenai
"Wawasan Nuasantara dengan harapan agar para mahasiswa bisa lebih memperdalam
pengetahuan tentang Wawasan Nusantara. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan segala keterbatasan yang ada penulis
telah berusaha dengan segala daya dan upaya guna menyelesaikan makalah ini. Penulis
menyadari bahwasannya makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini. Atas kritik dan sarannya saya ucapkan terima kasih yang
sebanyak-banyaknya.

Pekanbaru, 19 Maret
2024

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami dan
diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia. Umat Islam percaya
bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi
manusia, dan bagian dari rukun iman yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw
melalui perantara Malaikat Jibril.
Tujuan utama diturunkan Al-Qur'an adalah untuk menjadikan pedoman manusia dalam
menata kehidupan supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Agar tujuan itu
dapat direalisasikan oleh manusia, maka Al-Qur'an datang dengan petunjuk-petunjuk,
keterangan- keterangan dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang bersifat
terinci, yang tersurat maupun tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan. Al-
Qur'an mengandung pelajaran yang baik untuk dijadikan penuntun dalam pergaulan antara
satu golongan manusia, antara keluarga dengan sesama, antara murid dengan guru, antara
manusia dengan Tuhan.
Bahasa yang digunakan dalam terjemahan Al-Qur'an tidak seperti bahasa yang
digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, karena Al-Qur'an merupakan wahyu dari
Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk dapat memahami makna
yang terkandung dalam Al-Qur'an, manusia perlu megkaji lebih dalam. Terjemahan
terjemahan Al- Qur'an ada dalam semua bahasa. Terjemahan Al-Qur'an menjadi keinginan
tiap kaum muslim untuk dapat membaca dan memahami Al-Qur'an dalam bahasa yang asli
yaitu bahasa Arab.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II

PEMBAHASAN

A. AL-Qur’an Sebagai Sumber Hukum


1. Pengertian AL-Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Quran berdasarkan segi bahasa merupakan
bentuk mashdar dari kata qara 'a, yang bisa dimasukkan pada wajan fu 'lan, yang berarti
bacaan atau apa yang tertulis padanya, magru, seperti terdapat dalam surat Al-Qiyamah (75):
17-18:

‫ َفِإَذ ا َقَر ْأَناُه َفاَّتِبُع ُقْر آَنُه‬،‫ِإَّن َع َلْيَنا َج َم َع ُه َو ُقْر آَنُه‬

١٨– ١٧ : ‫القيامة‬
Artinya:
"Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya
itu." (QS. Al-Qivamah: 17-18)
Sedangkan pengertian menurut istilah (terminologi) Al-qur’an adalah:” kitab Allah
yang diturunkan kepada utusan Allah, Muhammad SAW. Yang ter maktub dalam mushaf,
dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, tanpa ada keraguan”.
.

Dari definisi di atas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Quran,
antara lain sebagai berikut: (Asy-Syaukani: 26-27)
a. Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dengan
demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Muhammad SAW., tidak
dinamakan Al-Quran, seperti Zabur, Taurat, dan Injil. Ketiga kitab terebut memang termasuk
di antara kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad SAW., sehingga tidak
dapat disebut Al-Quran.
b. Bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat
Al-Quran, antara lain: Asy-Syu'ara (26): 192-195; Yusuf (12): 2; Az-Zumar (39): 28; An-
Nahl (16): 103; dan Ibrahim (14): 4. Maka para ulama sepakat para ulama bahwa penafsiran
dan terjemahan Al-Qur'an tidak dinamakan Al-Qur'an serta tidak bernilai ibadah
membacanya. Dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Quran,
Sekalipun ulama Hanafiyyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini
hanya bersifat rukhshah (keringanan hukum).
c. Al-Quran itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir
(dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak
mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun. (Al-
Bukhari: 24)
d. Membaca setiap kata dalam Al-Quran itu mendapatkan pahala dari Allah, baik bacaan itu
berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushhaf Al-Quran.
e. Al-Quran dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan
surat yang terdapat dalam An-Quran, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan
demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir Al-Quran, tidak termasuk Al-Quran.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa; Al-Qur'an me rupakan kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi saw, dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya
disampaikan secara matrautir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini.
Penukilan secara mutawatir ini di mana Al-Qur'an begitu disampai kan kepada para sahabat,
maka para sahabat menghafal dan men- yampaikannya pula kepada orang banyak, dan dalam
penyam- paiannya tidak mungkin mereka sepakat untuk melakukan kebo hongan. Dengan
demikian, kebenaran dan keabsahan Al-Qur'an terja- min dan terpelihara sepanjang masa
serta tidak pernah berubah.

2. Kehujjahan Al-Qur'an Menurut Pandangan Ulama Imam Mazhab.


Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa kehujjahan Al-Qur'an itu
terletak pada kebenaran dan kepastian is- inya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya.
Dengan kata lain Al-Qur'an itu benar-benar datang dari Allah yang dinukil secara qat'iy
(pasti). Oleh karena itu, hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an merupakan
aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang
menerangkan bahwa Al-Qur'an itu benar-benar datang dari Allah.
a. Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al- Quran merupakan
sumber hukum Islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu Hanifah berbeda
pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Quran itu mencakup lafazh dan maknanya atau
maknanya saja.
Di antara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Quran
hanya maknanya saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain
Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madarat. Padahal
menurut Imam Syafi'i sekalipun seseorang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-Quran
dengan menggunakan bahasa selain Arab.

b .Pandangan Imam Malik


Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafazh dan
maknanya darı Allah SWT. la bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah.
Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak di- katakan makhluk, bahkan dia memberikan
predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluk. Imam
Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan Al-Quran secara murni tanpa memakai atsar,
sehingga beliau berkata, "Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh
seseorang yang menafsirkan Al-Quran (dengan daya nalar murnı), maka akan kupenggal
leher orang itu."Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat
dan tabi'in) yang membatasi pembahasan Al-Quran sesempit mungkin karena mereka
khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Maka tidak heran kalau kitabnya, Al-
Muwatitha dan Al- Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi'in. Dan Mala pun
mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra'yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafazh yang terda pat dalam Al-Quran
terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihot, Ayat-ayat muhkamat adalah
ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-
ayat mustasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat
ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafazh dan nash. Imam Malik menyepakati
pendapat ulama-ulama lain bahwa lafazh nash itu adalah lafazh yang menunjukkan makna
yang jelas dan tegas (quth') yang secara pasti tidak memiliki makna lain, sedangkan lafazh
zhahir adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan
makna lain. Menurut Imam Malik, keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafazh nash
didahulukan daripada lafazh zhahir Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qath 'i,
sedangkan dilalah zhahir termasul zhanni, sehingga bisa terjadi pertentangan antara
keduanya, maka yang didahulukan adalah dilalah nash. Yang perlu diingat adalah makna
zhahir di sini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik.

c.Pandangan Imam Asy-Syafi'i


Imam As-Syafi'i, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Quran
merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok. bahkan beliau berpendapat. "Tidak ada
yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-
Quran." (Asy- Syafi'i, 1309:20). Oleh karena itu. Imam Asy-Syafi'i senantiasa mencantumkan
nash-nash Al-Quran setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang
digunakannya, yakni deduktif.
Namun, Asy-Syafi'i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-
Sunah, karena kaitan antara keduanya sangat crat sekali. Kalau para ulama lain menganggap
bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Quran kemudian As-Sunah, maka Imam
Asy-Syafi'i berpendapat bahwa sumber hukum Islam pertama itu Al-Quran dan As- Sunah,
sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.
Sebenarnya, Imam Asy-Syafi'i pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap
bahwa Al-Quran dan Sunah berada dalam satu martabat, namun kedudukan As-Sunah itu
adalah setelah Al-Quran. Tapi Asy-Syafi'i menganggap bahwa keduanya berasal dari Allah
SWT. Meskipun mengakui bahwa di antara keduanya terdapat perbedaan cara
memperolehnya. Dan menurutnya As-Sunah merupakan penjelas berbagai keterangan yang
bersifat umum yang ada dalam Al-Quran.
Kemudian Asy-Syafi'i menganggap Al-Quran itu seluruhnya berbahasa Arab, dan ia
menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al-Quran terdapat bahasa Ajam (luar
Arab), di antara pendapatnya adalah firman Allah SWT:

‫ َو َك َذ ِلَك َأْنَز ْلَنا ُقْر آَنا َع َر ِبًّيا‬.


Artinya:
"Dan begitulah Kami turunkan Al-Quran berbahasa arab."
Dengan demikian, tak heran bila Imam Asy-Syafi'i dalam ber- bagai pendapatnya
sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat, nikah, dan ibadah-
ibadah lainnya. Dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang
ingin memahami dan meng-istinbath hukum dari Al-Quran. (Abu Zahrah: 191- 197)

d. Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal


Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syariat Islam, yang di dalamnya terdapat
berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan pe- rubahan zaman dan tempat. Al-Quran
juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, di
samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Quran
itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunah. Namun, seperti halnya
Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunah mempunyai kedudukan yang
kuat di samping Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum
itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Quran dahulu atau As-Sunah dahulu, tetapi yang
dimaksud nash tersebut adalah Al- Quran dan As-Sunah.
Dalam penafsiran terhadap Al-Quran, Imam Ahmad betul-betul mementingkan
penafsiran yang datangnya dari As-Sunah (Nabi Muhammad SAW.), dan sikapnya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga:
a. Sesungguhnya zhahir Al-Quran tidak mendahulukan As-Sunah,
b. Rasulullah SAW. saja yang berhak menafsirkan Al-Quran, maka tidak ada
seorang pun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Quran, karena
As-Sunah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
c. Jika tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para
sahabatlah yang dipakai, karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-
Quran dan mendengarkan takwil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-
Sunah, yang mereka gunakan sebagai penafsir Al-Quran.
Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Quran itu tidak ditafsirkan, kecuali dengan atsar, namun
dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak ditemukan dalam
hadis Nabi dan qaul sahabat, diambil dari penafsiran para tabi'in. (Abu Zahrah: 242-247)

3. Petunjuk (Dilalah) Al-Quran


Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara. Mereka
pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut
(penetapannya) adalah qathi. Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan
mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-
nya, yang tidak ada pada qira'ah mutawatir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan
penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW. atau hasil ijtihad mereka
dengan jalan membawa nash mutlaq pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri. Hanya
saja para pembahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qira'at gair mutawatir
yang periwayatannya tersendiri. Di antara para sahabat yang mencantumkan beberapa kata
pada mushaf-nya itu adalah Abdullah Ibnu Mas'ud, ia mencantumkan kata mutatabi'atin pada
ayat 89 surat Al- Ma'idah sehingga ayat tersebut pada mushaf-nya tertulis:

‫َفَم ْن َلْم َيِج ْد َفِصَياُم َثاَل َثِة َأَّياٍم ُم َتَتاِبَع اٍت‬


dan kata dzi ar-rahmi Al-muharrami pada ayat 233, surat Al-Baqarah sehingga ayat itu
tertulis

‫َو َع َلى اْلَو اِر ِث ِذ ي الَّر ِح ِم اْلُمَح َّر ِم‬


Ubay Ibnu Ka'ab mencantumkan kata min Al-ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga
ayat tersebut tertulis pada mushaf-nya:

‫ َو ِإْن َك اَن َر ُجٌل ُيوِر ُث َكاَل َلٌة َأِو اْمَر َأٌة َو َلُه َأْخ َأْو ُأْخ ُت ِم َن اُأْلِّم‬.
(Muhammad Al-Makdur, 1976: 104).
Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak didapati dalam mushaf Utsmani
yang kita pakai sekarang ini.
Dengan demikian, penambahan kata pada sebagian ayat Al-Quran seperti di atas tidak
dapat dikatakan sebagai Al-Quran; dan orang yang mengingkarinya pun tidak dihukumi
sebagai orang kufur. Demikian pula, kata-kata yang merupakan penambah itu tidak dapat
dijadikan hujjah untuk istinbath hukum, kecuali menurut golongan Hanafiyah. Hal ini
berakibat pada perbedaan pendapat antara Jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah dalam
beberapa masalah, yang antara lain sebagai berikut:
a. Hanafiyah mensyaratkan puasa kifarat sumpah dilakukan terus menerus,
karena mereka berpegang kepada qira'ah Ibnu Mas'ud, selangkan selain ulama
Hanafiyah tidak mensyaratkannya, (Al- Ghazali, 1968: 229)
b. Hanafiyah melarang memotong tangan kiri pencuri yang mencuri untuk ketiga
kalinya, karena yang dimaksudkan dengan pemotongan tangan pada ayat 38
surat Al-Maidah adalah tangan kanan pencuri. Pendapat mereka bersumber
pada qira'ah Ibnu Mas'ud, sedangi menurut para ulama selain Hanafiyah,
pencuri yang mencuri ketiga kalinya itu harus dipotong tangan kirinya.
c. Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban memberi nafkah kepada kerabat
zawil Arham itu hanyalah kepada zawil arham yang muhrim, sedangkan
menurut jumhur ulama, zawil arham yang wajib diberi nafkah tidak terikat
dengan muhrim-nya saja, baik muhrim ataupun bukan, mereka tetap diberi
nafkah. (Alj Hasaballah, 1968: 259)
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Quran itu dapat dibagi dalam dua bagian:

1.Nash yang qath'i dilalah-nya


Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai
makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yang
dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris,
pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuraan had zina sebanyak seratus kali dera,
dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan tegas dan
menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad.
(Abdul Wahab Khalaf, 1972:35)

2.Nash yang zhanni dilalah-nya


Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash yang
mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonim) ataupun
karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah isyarat-
nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, selain berbeda pendapat tentang nash Al-Quran mengenai penetapan yang
qath'i dan zhanni dilalah, juga berbeda pendapat mengenai jumlah ayat yang termasuk qath'i
atau zhanni dilalah.
Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa wujud dalil syara' yang dengan sendirinya
dapat menunjukkan dilalah yang qath'i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara' yang
qath'i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang qath'i masih bergantung pada premis-
premis yang seluruh atau sebagiannya zhanni. Dalil-dalil syara' yang bergantung pada dalil
yang zhanni menjadi zhanni pula. (Asy-Syatibi, 1975, 1:35).
Premis-premis yang dimaksud Asy-Syatibi adalah:
a. Proses penggunaan bahasa dan berbagai persoalan Ilmu Nahwu.
b. Keterbatasan dari Isytirak.
c. Keterbatasan dari majaz.
d. Proses penggunaan secara syara' atau tradisi.
c. Persoalan penggunaan dhamir
f. Adanya takhshish terhadap lafazh 'amm Adanya taqyid terhadap lafazh muthlaq.
h. Keterbebasan dari nasikh.
i. Kejelasan taqdim dan ta'khir.
j Ketiadaan pertentangan dengan pemikiran yang logis.
Mengingat dalil syara yang dapat menunjukkan dilalah yang qath'i hanya terwujud
dengan sepuluh premis di atas, maka menemukan dalil yang seperti itu hampir tidak
mungkin. Andaikata ada, jumlahnya pun sangat sedikit. (Asy-Syatibi, 1975, 1:36). Pandangan
seperti ini juga dikemukakan oleh Al-Asnawi dalam kitabnya Nihayah As-Sul. la menyatakan
bahwa redaksi As-Sunnah Al-Mutawatirah, seperti halnya Al-Quran adalah qath'i, sedangkan
dilalah-nya zhanni karena berkaitan dengan: Al-Ihtimalatu Al-Asyrah (Al-Asnawi, t.t: 125).
Agaknya, yang dimaksud dengan Al-Ihtimalatu Al-Asyrah sama dengan sepuluh premis yang
dikemukakan Asy-Syatibi.
Selanjutnya, Asy-Syatibi mengajukan suatu pandangan tentang upaya mencari qath'i
dilalah, vaitu melalui istiqra'. Menurutnya, dalil- dalil syar'i yang dapat diandalkan qath'i
dilalah-nya adalah yang dihasilkan melalui proses istiqra dari seluruh nash syara'. Dalil yang
dihasilkan melalui proses ini disebut syabihu bi Al-mutawatiri Al- ma'nawy, karena ditunjang
oleh makna berbagai nash yang menunjuk pada satu pengertian atau keputusan. (Asy-Syatibi,
1975: 1: 36).
Konsep Asy-Syatibi tentang maqashid As-Syari'ah dirumuskannya berdasarkan
metode istiqra ini, sehingga mempunyai landasan yang gath 'i. Oieh sebab itu, di tempat lain
ia menjelaskan bahwa daiii zhanni dilaian bisa menjadi qath'i dilalah apabila maknanya
sesuai dengan makna yang terkandung pada dalil yang qath'i dilalah-nya (Asy-Syatibi, 1975,
III:16).

4. Sikap Para Ulama ketika Zahir Al-Quran Berhadapan dengan Sunah


Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi karena
adanya dilolah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunah, seperti sunah yang
men-takhshish keumuman dilalah Al- Quran. Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan.
Imam Asy-Syafi'i, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman
Al-Quran itu mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunah, karena Sunah
berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Quran, dan juga sebagai takhsis terhadap ayat-ayat
yang majmal (umum), sehingga artinya menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para
ulama pun bila tidak menemukan penasiran dari Al-Quran itu sendiri akan mencari
penafsirannya dari Sunah.
Dengan demikian, semua lafash amm yang ada dalam Al-Quran jika sudah ada
keterangan dalam hadis, meskipun menyalahı zahir ayat tersebut, harus di-takhsish dengan
sunah.
Adapun Abu Hanifah dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa lafazh umum yang
ada dalam Al-Quran itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap keumumannya. Jika
ada sunnah yang matawatir atau yang masyhur, sunah tersebut yang bisa men-takhshish-nya.
Namun jika sunahnya tidak mutawatir, Al-Quran dipahami berdasarkan keumumannya
karena Al-Quran itu qath'i ke-mutawatir-annya. Menurutnya, hadis Ahad tidak bisa dipakai
men-takisis Al-Quran karena tidak sahih untuk dinisbatkan kepada Nabi.
Dengan demikian dapat dipahami balıwa pendapat para ulama mengenai takhshish
sunah terhadap Al-Quran terbagi dua:
a. As-Sunah sebagai hakim terhadap Al-Quran, yakni As-Sunah se- bagai tafsir
dan penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al- Quran. As-Sunah
dianggap sebagai kunci untuk memahamı Al-Quran yang tidak mungkin
dilepaskan dalam memahami Al-Quran,
b. Al-Quran sebagai hakim bagi sunah, yakni sunah tidak dianggap sahih jika
bertentangan dengan Al-Quran, termasuk di dalamnya khabar Ahad.
Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalah Al- Quran, juga terjadi
pada golongan Sunni dan Syi'i. Kaum Sunni memahami dilolah Al-Quran melalui sunah. Jika
tidak ditemukan dalam sunah, mereka memahaminya melalui ilmu bahasa Arab dan Ilmu
syari'at dengan mengambil maqashid dan tujuan disyariatkannya ayat tersebut.
Sedangkan golongan Syi’i (Imamiyah) berpendapat bahwa tidak seorang pun yang
mampu memahami Al-Quran selain Imam mereka yang dua belas. Mereka beranggapan
bahwa Imam yang dua belas tersebut sebagai kunci dalam memahami Al-Quran, sedangkan
selain mereka tidak ada yang mampu mencapainya. Selain itu, mereka juga dianggap ma
shum, terhindar dari kesalahan. (Abu Zahrah, II: 59-60).1

5. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum


Al-Qur'an merupakan sumber utama dalam pembinaan Hukum Islam, Seluruh fuqaha
dan umat Islam menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah sumber utama dari hukum Islam. Segi
kebenarannya sebagai sumber, maka Al-Qur'an adalah merupakan sumber dari segala
sumber. Dengan kata lain, Al-Qur'an menempati posisi paling awal dari tertib sumber hukum
dalam berhujjah. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari Al-
1
Qur'an. Al-Ghazali2, malah mengatakan, pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu
firman Allah SWT. Sebab,sabda Rasulallah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau
merupakanpemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.
Secara garis besar, hukum-hukum yang dikandung Al-qur’an dalam tiga bidang yaitu
aqidah, akhlak dan hukum-hukum amaliyah. Aqidah mengkaji masalah-masalah yang
berkaitan dengan keimanan. Seperti iman kepada Allah, hari akhir dan lain. Masalah ini
dibahas secara khusus dalam ilmu tauhid atau aqo’id, atau ilmu kalam atau teologi. Akhlak
membahas tentang cara-cara membersihkan dari kotoran-kotoran dosa dan menghiasinya
dengan kemuliaan, secara khusus masalah ini dibahas dalam ilmu akhlak dan tasawuf.
Amaliyah membahas tentang perbuatan orang mukalaf, dan dibahas dalam ilmu fiqh. Secara
garis besar, hukum-hukum amaliyah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah dan muamalah.
Hukum-hukum ibadah didalam Al-qur’an dijelaskan lebih rinci daripada hukum muamalah.
cara yang digunakan Al-qur’an dalam menjelaskan Hukum, AlQur’an menempuh dua
cara, yaitu:
1. Penjelasan secara global (mujmal). Penjelasan secara global mengambil dua bentuk, yaitu:
a. Dengan menyebutkan kaidah dan prinsip-prinsip umum, seperti prinsip
musyawarah (QS.Al-Syura :38, Al Imron: 159), prinsip keadilan (Al-Nahl: 90,
Al-Nisa’: 58) dan lain sebagainya.
b. Dengan menyebutkan ketentuan hukum secara global, seperti perintah zakat
(Al-Taubah: 103), hukuman qishas (Al-baqarah: 178 dan 179). Ayat-ayat
diatas menyebutkan ketentuan hukum secara garis besar, sedang penjelasan
lebih rinci diberikan oleh hadist. Hal ini mengandung hikmah agar ayat-ayat
Volume 4 Nomor 1 Maret 2017 70 tersebut mampu menampung dan
menjangkau kasus-kasus baru yang berkembang menyertai kemajuan yang
dicapai umat manusia. Seandainya semua kasus telah diatur secara rinci
didalam Al-qur’an, niscaya manusia akan terjebak dalam kesempitan, tiap kali
terjadi perkembangan ilmu dan teknologi.
2. Penjelasan secara rinci (tafsil). Hanya sedikit diantara ayat-ayat Al-qur’an yang
menjelaskan hukum secara rinci, seperti pembagian harta waris, kadar hukuman had,
tatacara dan bilangan talak, cara li’an, wanita-wanita yang haram dinikahi dan lain-lain.

2
Al-Ghazali., Loc. Cit.
Sedangkan cara Penunjukan Al-qur’an kepada Hukum, dalam hal penunjukannya
kepada makna, ayat-ayat Al-qur’an terbagi menjadi dua, yaitu ayat-ayat qoth’i dan ayat-ayat
zhonni. Ayat-ayat qoth’i adalah ayat-ayat yang penunjukannya kepada makna bersifat tegas
dan tidak mengandung kemungkinan arti lain selain arti yang disebutkan secara eksplisit
oleh ayat. Kandungan ayat-ayat qoth’i bersifat universal dan berlaku abadi dan anti
terhadap perubahan. Contoh ayatayat qoth’i dalam Al-qur’an adalah ayat mawaris dan ayat
yang menjelaskan wanitawanita yang haram dinikahi. Sedang ayat-ayat zhonni adalah ayat-
ayat yang penunjukannya kepada makna tidak tegas dan mengandung kemungkinan arti
lebih dari satu. Kandungan ayat-ayat zhonni bersifat temporal, berwatak lokal dan tidak anti
terhadap perubahan. Contoh ayat-ayat zhonni adalah ayat 228 surat al-Baqarah tentang
iddah wanita perempuan yang dicerai suaminya.

a. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum


Walaupun Al-Qur'an itu bukan kitab hukum, melainkan mengandung dasar-dasar dan
norma yang menjelaskan tentang hukum yang perlu dipahami dan dirumuskan dalam bahasa
hukum oleh para ahlinya. Penjelasan Al-Qur'an tentang hukum secara sederhana dapat
dipisahkan menjadi tiga bentuk:
1). Al-Qur'an memberikan penjelasan secara sempurna dalam bentuk yang terperinci yang
semua orang dapat memahaminya dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut oleh Nabi.
Penjelasan seperti ini disebut bayan kamil. Umpamanya hak warisan seorang anak
perempuan bila ia hanya sendirian saja yaitu setengah dari harta warisan yang di- tinggalkan.
2). Al-Qur'an memberikan penjelasan secara umum dan garis besar, sedangkan untuk
penjelasan selanjutnya diserahkan Allah ke- pada Nabi, disebut bayan ijmali. Umpamanya
perintah mendirikan shalat dan zakat, yang bentuk, cara ukuran, dan pelaksanaannya
dijelaskan Nabi dengan Hadisnya.
3). Al-Qur'an menjelaskan hukum secara tidak langsung melalui isyaratnya. Isyarat ini ke-
mudian dipahami oleh para ahlinya atau mujtahid, dan merumuskan daripadanya hukum lain
di luar yang secara langsung disebutkan dalam Al-Qur'an. Umpamanya Al-Qur'an melarang
meminum minuman keras yang benama khamar. Dari larangan minum khamar yang jelas itu,
para mujtahid atau ahlinya menetapkan pula hukum haram terhadap minuman lain yang sama
sifatnya dengan khamar itu.
Penjelasan Al-Qur'an dalam bentuk pertama menghasilkan penunjukan yang pasti
terhadap hukum sehingga hukumnya disepakati oleh umat Islam, sedangkan penjelasan
dalam bentuk kedua dan ketiga menghasilkan penunjukan yang tidak pasti sehingga mungkin
timbul beda pendapat dalam memahami dan menetapkan hukumnya.

b. Kekuatan Penunjukan Al-Qur'an Terhadap Hukum


Ahli ushul fiqh sepakat menetapkan bahwa:
1). Al-Qur'an dari segi keautentikannya datang dari Allah SWT adalah pasti dan tidak dira-
gukan (qath'iy tsubut).
2). Al-Qur'an dari segi penunjukannya terhadap hukum ada yang pasti (qath'iy dalalah), se-
hingga tidak mungkin timbul padanya pema- haman lain dan oleh karenanya tidak terdapat
padanya beda pendapat. Termasuk ke dalam bentuk ini adalah yang penunjukannya ter-
hadap hukum dalam bentuk bayan kamil, namun sebagiannya ada pula yang tidak pas- ti
penunjukannya terhadap hukum (zhanni al-dalalah) dalam arti dapat dipahami dalam
berbagai kemungkinan, sehingga timbul pa- danya beda pendapat tentang hukumnya.
c. Kedudukan Al-Qur'an sebagai Sumber dan Dalil Hukum
Ahli ushul fiqh sepakat mengatakan bahwa Al-Qur'an menduduki sumber dan dalil
pertama hukum syara' yang berarti dalam menetapkan hukum, pertama harus mencari
jawabannya da- lam Al-Qur'an, setelah tidak menemukannya da- lam Al-Qur'an baru
mencarinya dari sumber dan dalil lain di bawahnya. Dalam kedudukannya sebagai sumber
utama, maka ia merupakan sumber dari segala sumber hukum oleh karena itu, hukum-hukum
yang ditetapkan melalui da- lil dan sumber lain tidak boleh bertentangan dengan apa yang
ditetapkan oleh Al-Qur'an.

d. Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur'an


Dalam Al-Qur'an terkandung ayat-ayat yang berbicara tentang hukum, yang secara
garis besar dapat dikelompokkan kepada tiga:
1). Hukum-hukum yang berkenaan dengan apa-apa yang harus diyakini oleh umat Islam dan
bagimana cara melakukannya, disebut hukum i'tiqadiyah. Seperti beriman kepada Allah.
2). Hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat dan akhlak yang baik yang harus dilakukan
oleh manusia mukalaf, dan sifat-sifat yang buruk yang harus dijauhi umat disebut hu- kum
khuluqiyah. Umpamanya adab sopan santun.
3). Hukum-hukum yang berkenaan dengan tin- dak tanduk dan amal perbuatan yang harus
dilakukan atau dijauhi oleh umat dalam ke- hidupan dunia, baik dalam hubungannya dengan
Allah Pencipta maupun dalam hu- bungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya
disebut hukum syar'iyah. Atau hukum syara' dalam artian khusus.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 2004. Amir Syarifudin, Ushul
Fiqih, Jakarta: Zikrul Hakim, 2002. Djalil Basiq. Ilmu Ushul Fiqih I dan II, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai