Anda di halaman 1dari 21

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP 1)

Satuan Pendidikan : SMP Negeri 2 Ngadirojo


Mata Pelajaran : Bahasa Jawa
Kelas/Semester : VIII / Semester Satu
Materi Pokok : Cerita Pendek / Crita Cekak
Alokasi Waktu : 4 pertemuan ( 8 X 40 menit)

A. Kompetensi Inti
1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi,
gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan
kejadian tampak mata.
4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai,
merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca,
menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah
dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi


No Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi
1 1.1 Menghargai dan mensyukuri 1.1.1Berdoa sebelum memulai dan
keberadaan bahasa daerah mengakhiri belajar
sebagai anugerah Tuhan Yang 1.1.2Menyapa dengan bahasa daerah
Maha Esa untuk meningkatan
pengetahuan dan keterampilan
berbahasa daerah, serta untuk
melestarikan dan
mengembangkan budaya
daerah untuk didayagunakan
sebagai upaya pembinaan dan
`pengembangan kebudayaan
Nasional.
2 1.3 Menghargai dan mensyukuri 1.3.1 Mensyukuri keberadaan bahasa
keberadaan bahasa daerah daerah.
sebagai anugerah Tuhan Yang 1.3.2 Bercakap-cakap dengan bahasa
Maha Esa sebagai sarana daerah sebagai rasa syukur pada
menyajikan informasi lisan dan Tuhan Yang Maha Esa.
tulis.
3 2.1 Memiliki perilaku jujur dalam 2.1.1 Membiasakan perilaku jujur dalam
menceritakan sudut pandang berbicara
moral yang eksplisit.
4 2.2. Memiliki perilaku demokratis, 2. 2.1 Memiliki perilaku kreatif dalam
kreatif, dan santun dalam berbahasa daerah.
berdebat tentang kasus atau 2.2.2 Memiliki perilaku demokratis.
sudut pandang. 2.2.3 Membiasakan perilaku santun
dalam berbahasa.
5 3.1 Mengidentifikasi, memahami 3.1.1 Mengidentifikasi struktur teks cerita
dan menganalisis struktur teks, pendek.
unsur kebahasaan, dan pesan 3.1.2 Menganalisis struktur teks cerita
moral cerita fiksi (wayang/ pendek.
cerkak/folklor/ topèng ḍhâlâng) 3.1.3 Menganalisis unsur kebahasaan
secara lisan dan tulis. cerita pendek
3.1.3 Menyimpulkan pesan moral cerita
pendek

C. Tujuan Pembelajaran (ABCD)


Sikap
Sikap Spiritual
1. Dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran (C) , peserta didik (A)
dapat berdoa (B) sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran dengan baik (D).
2. Dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran teks cerita pendek / crita
cekak yang berbasis teks, peserta didik dapat menggunakan bahasa daerah sebagai
sarana memahami informasi tulis dengan tepat.
3. Dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran teks cerita pendek / crita
cekak yang berbasis teks, peserta didik dapat menggunakan bahasa daerah sebagai
sarana menyajikan informasi lisan dan tulis sesuai dengan tata krama/santun.

Sikap Sosial
1. Dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran struktur teks cerita
pendek / crita cekak yang berbasis teks cerita pendek / crita cekak, peserta didik
memiliki sikap bertanggung jawab dalam membuat tanggapan pribadi terhadap
teks cerita pendek / crita cekak agar memiliki perilaku percaya diri dan
tanggungjawab atas karya budaya masyarakat daerah yang penuh makna
2. Dengan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran struktur teks cerita
pendek / crita cekak yang berbasis teks, peserta didik santun dalam menyajikan
tanggapan pribadi terhadap struktur teks cerita pendek / crita cekak

Pengetahuan
1. Melalui kegiatan tanya jawab Explicit Instruction(C), peserta didik (A) dapat
menjelaskan(B) struktur teks cerita pendek / crita cekak dengan tepat (D)
2. Melalui kegiatan tanya jawab Explicit Instruction, peserta didik dapat menentukan
unsur kebahasaan teks cerita pendek / crita cekak dengan benar.
3. Melalui kegiatan tanya jawabExplicit Instruction, peserta didik dapat
menyimpulkan isi teks cerita pendek / crita cekak
4. Melalui kegiatan tanya jawab Explicit Instruction, peserta didik dapat
menyimpulkan pesan moral teks cerita pendek / crita cekak dengan benar.

Keterampilan
1. Setelah belajar tentang isi teks, peserta didik dapat menanggapi isi cerita pendek /
crita cekak dalam bentuk tulisan sesuai kaidah dengan bahasa Jawa yang baik dan
benar.
2. Setelah belajar tentang isi teks, peserta didik dapat membaca hasil tanggapan teks
cerita pendek / crita cekak secara lisan dengan menggunakan bahasa yang santun.
3. Setelah belajar tentang pesan moral dalam teks cerita pendek / crita cekak, peserta
didik dapat merelevansikan pesan moral teks cerita pendek / crita cekak dengan
kehidupan sehari-hari
D. Materi Pelajaran*
1) Teks cerita pendek / crita cekak.
2) Struktur teks cerita pendek / crita cekak
3) Unsur kebahasaan teks cerita pendek / crita cekak
4) Pesan moral dalam teks cerita pendek / crita cekak
5) Teknik menanggapi isi teks cerita pendek / crita cekak.
6) Relevansi pesan moral cerita pendek / crita cekak dengan kehidupan sehari-hari
* Materi terlampir

E. Metode Pembelajaran
1. Pendekatan : Saintifik/ Kontekstual
2. Model : Pembelajaran Berbasis Teks (Genre-based Aproach)
Model pembelajaran kooperatif
3. Metode : Demonstrasi, tanya jawab, diskusi
4. Teknik : Explicit Instruction.

F. KKM : 80

G. Langkah-langkah Kegiatan pembelajaran

Pengorganisasian
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Peserta Alokasi
didik waktu
Pendahuluan  Guru memberi salam dan mengabsen 4 x 10º
 Guru menyiapkan kondisi dan motivasi
siswa dalam belajar.
 Guru melakukan apersepsi dengan
mengulas materi pelajaran minggu yang
lalu melalui kegiatan bertanya jawab dan
demonstrasi.
 Guru menyampaikan tujuan
pembelajaran meliputi aspek sikap (sikap
spirutual dan sikap sosial), pengetahuan,
dan keterampilan.
Peserta didik bersama guru melakukan
Kegiatan inti
pembelajaran berbasis saintifik dengan
langkah-langkah sebagai berikut:

Mengamati:
 Peserta didik membaca teks cerita
pendek.
 Peserta didik mendengarkan pembacaan
cerita pendek.
 Peserta didik menandai/ mencatat hal-
hal penting terkait dengan teks cerita
pendek.

Menanya:
 Peserta didik bertanya jawab tentang
struktur atau unsur intrinsik teks cerita
pendek
 Peserta didik bertanya jawab tentang
unsur kebahasaan teks cerita pendek
 Peserta didik bertanya jawab tentang
pesan moral teks cerita pendek.

Mengumpulkan Informasi:
 Peserta didik mencari teks cerita pendek
dari berbagai sumber.
 Peserta didik mengidentifikasi dan
mendiskusikan struktur (unsur intrinsik)
teks cerita pendek.
 Peserta didik mendiskusikan isi teks
cerita pendek.
 Peserta didik mendiskusikan unsur
kebahasaan teks cerita pendek.
 Peserta didik mendiskusikan pesan
moral teks cerita pendek.

Mengasosiasi:
 Peserta didik menganalisis unsur
intrinsik cerita pendek.
 Peserta didik menyimpulkan isi teks
cerita pendek.

Mengomunikasikan:
 Peserta didik membaca indak teks cerita
pendek.
 Peserta didik menceritakan kembali isi
cerita pendek dengan bahasanya sendiri.
 Peserta didik mengaitkan isi dan pesan
moral dalam cerita pendek dengan
kehidupan sehari-hari.
 Peserta didik mempresentasikan hasil
kerjanya
Penutup  Guru bersama peserta didik melakukan
refleksi hasi lpembelajaran
 Guru memberi tugas sebagai perbaikan
dan pengayaan
 Guru menutup pelajaran

H. Sumber Belajar
1. Bruce, Joice, Caolhun, 2009. Models of Teaching (model Pengajaran). Yogyakarta:
Pustka Pelajar.
2. Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Pedoman Umum Ejaan bahasa Jawa Huruf
Latin yang Disempurnakan. Yogyakarta: Balai Bahasa
3. Mangunsuwito, S.A. 2002.Kamus Bahasa Jawa, Jawa-Indonesia. Bandung: CV.
YramaWidya.
4. Padmosoekotjo, S. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawi 1. Jogjakarta: Hien Hoo
Sing.
5. Padmosoekotjo, S. 1960. Wewaton Panulise Basa Jawa Nganggo Aksara Jawa.
Surabaya: PT. Citra Jaya Murti.
6. Saryono, Djoko. 2011. Sosok Budaya Jawa:Rekonstruksi Normatif Idealistis. Malang:
Aditya Media Publishing.
7. Sasangka Sry Tjatur Wisnu. 2011. Bunyi-bunyi Distingtif Bahasa
Jawa.Yogyakarta:Elmatera Publishing.
8. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia:J.B. Wolter.
9. Majalah Panjebar Semangat
10. Majalah Jaya Baya

I. Media Pembelajaran
1. Alat :
LCD/Laptop CD Interaktif pembelajaran cerita pendek / crita cekak
2. Bahan :
Teks cerita pendek / crita cekak *. (disediakan guru hasil modifikasi dari berbagai
sumber)

J. Penilaian
1. Sikap spiritual dan sosial
a. Tehnik Penilaian : Pengamatan/ Observasi, Penilaian Diri, Penilaian Antar
Peserta Didik, dan Jurnal
b. Bentuk Instrumen : Lembar Observasi, Lembar Angket, Catatan
c. Kisi – kisi :

LEMBAR PENGAMATAN DIRI

No. Sikap/Nilai Indikator Rubrik Butir


Penilaian Pertanyaan
1 1.1Menghargai dan 1.1.3Berdoa sebelum
mensyukuri memulai dan
keberadaan bahasa mengakhiri belajar
daerah sebagai 1.1.4Menyapa dengan
anugerah Tuhan Yang bahasa daerah
Maha Esa untuk
meningkatan
pengetahuan dan
keterampilan
berbahasa daerah,
serta untuk
melestarikan dan
mengembangkan
budaya daerah untuk
didayagunakan
sebagai upaya
pembinaan dan
`pengembangan
kebudayaan
Nasional.
2 1.3 Menghargai dan 1.3.3 Mensyukuri
mensyukuri keberadaan
keberadaan bahasa bahasa daerah.
daerah sebagai 1.3.4 Bercakap-cakap
anugerah Tuhan Yang dengan bahasa
Maha Esa sebagai daerah sebagai
sarana menyajikan rasa syukur pada
informasi lisan dan Tuhan Yang
tulis. Maha Esa.
3 2.1 Memiliki perilaku 2.1.1 Membiasakan
jujur dalam perilaku jujur
menceritakan sudut dalam berbicara
pandang moral yang
eksplisit.

2. Pengetahuan
a. Tehnik Penilaian : Tes tulis/tes lisan, penugasan (produk)
b. Bentuk Isntrumen : Tes Objektif, Tes Uraian Non Objektif/ Uraian Objektif
c. Kisi – kisi :

LEMBAR PENILAIAN PENGETAHUAN

No Indikator Rubrik Butir


Penilaian Instrumen
1 Menjelaskan struktur teks cerita pendek / crita
cekak
2 Menentukan unsur kebahasaan teks cerita
pendek / crita cekak dengan benar
3 Menjelaskan makna kata sukar dalam teks cerita
pendek / crita cekak
4 Menjelaskan makna kata, kalimat dan ungkapan
dalam teks narasi menyimpulkan cerita pendek /
crita cekak
5 Menjawab pertanyaan terkait isi cerita pendek /
crita cekak
6 menyimpulkan isi teks cerita pendek / crita
cekak
7 Menjelaskan pesan moral teks cerita pendek /
crita cekak dengan benar.
Tes lisan:
Menilai pengetahuan peserta didik tentang pesan
moral cerita pendek

3. Keterampilan
a. Teknik Penilaian : P1= Evaluasi Produk Dan P2= Evaluasi Unjuk Kerja/ Tes
Praktik
b. Bentuk Instrumen : Lembar Penilaian
c. Kisi-kisi:
LEMBAR PENILAIAN KETERAMPILAN

No. Indikator Rubrik Butir


Penilaian Instrumen
1. Peserta didik menyajikan hasil apresiasi dalam
bentuk karya tulis sederhana
:
*) Terlampir pada lembar penilaian.

Mengetahui Pacitan, ………………………


Kepala SMPN 2 Ngadirojo Guru Mata Pelajaran

AGUS DJARJONO, S.Pd DONI SETIYANTO, S.Pd


NIP.196808251997031005 NIP.196801042007011022
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
I.LAMPIRAN MATERI :
1. Salah sijine karya sastra sing nganti saiki isih tuwuh ngrembaka yaiku crita cekak.
Ing saben-saben kalawarti (Panjebar semangat lan Jaya baya)mesthi ana rubrik crita
cekak minangka hasil karyane para pangripta wiwit saka pangripta sing isih mudha
apadhene pangripta sing wis sepuh. Crita cekak uga bisa ditemoni ing buku kumpulan
crita cekak kang ana ing perpustakaan.
Maca crita cekak iku kejaba kanggo pelipur, uga kena kanggo golek piwulang lan
pitutur (tuntutan luhur) Tuntutan luhur iku bisa kapetik saka amanat utawa pepeling
kang kinandhut jroning crita cekak kasebut.
2. Crita cekak yaiku crita gencaran kang ngandharake sarining kedadean utawa lelakon
saka wiwitan nganti pungkasan kanthi cekak wae. Lelakon sing dicritakake mung
sakeplasan wae , tumrap sing dadi jejering crita. Kang dadi jalaran lan kedadean lakon
ora dicritakake jero-jero, mung crita wae, lan langsung tamat.
Ciri-cirine crita cekak yaiku:
1. critane ora dawa (critane langsung tamat)
2. Isine padhet
3. Ukarane ringkes
4. Basane mentes
5. Gampang dimengerti
3. Saben crita cekak mesthi nduweni bakune gagasan kang kagambarake lumantar
tumindake serta pacelathone para paraga, mulane sapa wae sing maca utawa
ngrungokake crita cekak kudu bisa mengerteni apa sing dadi bakune gagasan. Bab-
bab sing kudu digatekake nalika ngrungokake utawa maca sawijine crita cekak yaiku:
 Gatekno isine crita kanthi permati kanggo mangerteni bakune gagasan jroning
crita
 Catheten bab-bab sing kok anggep wigati (umpamane : sapa wae paragane,
kepriye watake piwulang apa kang bisa kapetik ngeneni gegambarane para paraga
lan liya-liyane)
4. Cerita cekak iku diwangun saka bageyan-bageyan kang bisa diperang dadi unsur
intrinsik lan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik iku unsur kang ana ing njerone crita
cekak, dene unsur ekstrinsik iku unsur kang ana ing njabane crita cerkak. Ing
piwulang iki, kang bakal diterangake yaiku unsur intrinsik.
5. Unsur intrinsik saka crita cekak yaiku :
1. Tema utawa pokok crita
Yaiku lelandesane utawa dhasar crita. Prekara kang bisa dadi pokoke crita iku
maneka warna, antarane : babagan katresnan, paseduluran, ekanami, politik dan
kebudayaan.
2. Alur utawa urutane crita:
Yaiku gegandhengane kedadean-kedadean kang ana ing crita. Alur iku ana kang
maju lan ana uga kang mundur. Saliyane iku, sawijine crita cekak bisa uga nganggo
alur campuran maju lan mundur. Alur maju yaiku urutane crita saka kedadean
kang wis kepungkur maju ing kedadean saiki. Dene alur mundur yaiku urutan crita
saka kedadean saiki mundur ing kedadean kang wis kepungkur.
3. Tokoh Crita
Yaiku paraga utawa kang dicritakake. Tokoh crita iku ana kang sipate becik lan ana
uga kang sipate ala.
4. Penokohan utawa gambarane watake paraga utawa tokoh crita. Watake tokoh iku
bisa kanggo nggambarake watake tokoh bisa kanthi lumantar ing ngisor iki.
a. Keterangan langsung sing diandarake pangripta jroning crita.
b. Lumantar (aturan/ pirembugan (dialog) ing antarane para paraga).
c. Kelakuan tumindak lan kedadean-kedadean sing dialami paraga.
5. Latar
Yaiku unsur kang ana gegayutankaro panggonan, wektu, lingkungan sosial lan
swasana kang ndasari kedadean ing crita iku. Panggonan, nerangake ing endi
kedadean sing ana ing crita iku. Wektu nerangake kapan dumadine lelakon sing
diceritakake. Lingkungan sosial, nerangake tataran sosial sing dadi bakune
crita,upamane tataran ngisor (golongan wong mlarat utawa kawula cilik) tataran
madya (menengah)lan tataran nduwur (golongane priyayi lan wong ngaluhur).
Swasana gegayutan karo kahanan kang ana ing crita iku, umpamane swasanane
rame utawa kisruh.
6. Sudut Pandang
Yaiku cara pangripta crita iku utawa kepriye dununge utawa jejering(kedudukane)
pengarang ing sajrone crita sing diandarake. Jroning crita cekak jejering
(kedudukane)pengarang bisa dadi paraga utama(utama purusa)lan bisa uga
minangka dadi paraga wong katelu(pratama purusa) jejering (kadudukane)
pengarang minangka dadi paraga utama (dadi tokoh I) tegese jroning crita kasebut
pengarang dadi paraga ing sajroning crita sarana ngunakake tetembungan “aku”
dene jejering (kedudukane) pengarang minangka paraga wong katelu (pratama
purusa) tegese pangripta anggone nyritakake nggunakake tembung sesulihe wong
katelu, kayata : “dhewe”, “piyambake”,piyambakipun panjenengan utawa sarana
langsung nyebutake jenenge paraga.
7. Amanat
yaiku pepeling sarana langsung nyebutake jenenge paraga moral utawa
pendidikan. Amanat bisa kapetik saka crita cekak mula saka iku, maca crita cekak
iku bisa kanggo pepeling kang luhur.
8. Gaya bahasa
yaiku carane pangripta migunakake basa kanggo nyritakake crita iku. Tuladhane
gaya bahasa yaiku citraan utawa gambarane imajinasi kanthi tembung-tembung
tuladha liyane yaiku majas utawa basa kiasan. Majas iku akeh wernane ana majas
personifikasi, hiperbola, metafora lan isih akeh liyane.

Teks cerita pendek:

ENDHOG PITIKE MBAH NUNUK


Dening : Dian D

Mbah Nunuk kuwi priyayi sugih ing Desa Kemuning. Omahe rada mencil jalaran
keletan pekarangane sing amba, ditanduri maneka warna tanduran. Pitike uga akeh,
puluhan cacahe. Senajan sugih lan urip mung karo putune lanang, Mbah Nunuk
kondhang pelite, serakahe ora mekakat, ora merduli tanggane sing urip kesrakat.

S awijining dina Mbah Nunuk niliki pitike sing angrem. Telung minggu kepungkur dheweke
ngengremake endhog limalas. Jebul sing netes mung sanga.
“We lha....., weruh ngene biyen ora taktetesne kabeh, aluwung takdadar apa
takmasak bali endhog senenganku,” grenenge. Ngene iki dheweke bingung, arep dibuwang
eman-eman, tur maneh mengko yen mbledhos ambune mesthi ya ora enak. Dimasak ya ora
mungkin.
“Oh ..... enake diwenehake Yu Jinem wae, dheweke rak bakul, ben didol wae,
mengko aku rak diarani loman.”
Mbah Nunuk banjur njupuk kranjang cilik lan serbet nyang pawon. Endhog pitik sing
jabane katon apik kuwi ditata ana kranjang banjur ditutupi serbet. Enggal-enggal dheweke
nuju omahe Yu Jinem.
Yu Jinem lagi bali saka pasar nalika Mbah Nunuk kledhang-kledhang mlebu
pekarangan omahe.
“Kok kadingaren Mbah tindak ngriki, wonten perlu napa Mbah?” pitakone Yu Jinem
sawise ngacarani Mbah Nunuk.
“Aku mung arep menehi endhog pitik iki lho, kebeneran pitikku ngendhog akeh,
mengko rak bisa didol neng pasar.”
“Oo...ngaten, terus niki reginipun pinten Mbah ?”
“Ora, ora usah koktuku. Endhog iki dakwenehake wae.”
Yu Jinem njomblak. Kelingan nalika njaluk godhong gedhang kanggo mbothok kae,
senajan butuhe sithik kudu dituku, mangka wit gedhange Mbah Nunuk akeh. Wah, sajake
sipate Mbah Nunuk wis malih.
“Wah, matur nuwun sanget Mbah, kula kinten njenengan badhe titip nyadhe teng
peken,” ujare Yu Jinem karo arep mindhahi endhog nyang besek. Nanging karo Mbah Nunuk
dipenggak, kuwatir yen endhoge ana sing pecah, nuli kandha menawa kranjang sak serbete
pisan ora usah dibalekake. Bubar ngono Mbah Nunuk pamitan.
Lagi wae Mbah Nunuk mungkur, Yu Jinem ketekan Bu Darsih saperlu mbalekake
panci sing disilih kanggo bancakan wingi. Weruh endhog ing lincak Bu Darsih takon apa Yu
Jinem nambah barang dagangan, biasane mung janganan lan empon-empon, saiki kathik
nambah dodolan endhog barang.
“Mboten kok Bu, niku wau angsal saking mbah Nunuk. Duka kok kadingaren, kula
dhuwiti mboten purun, malah sanjange wadhahe boten usah diwangsulaken,” jawabe Yu
Jinem.
“Sajake mbah Nunuk wis dadi wong loman saiki. Lha iya ta, apa enake dadi wong
medhit tur galak selawase, marahi didohi tangga,” kandhane Bu Darsih.
“Ning kadose kula mboten saged mbeta niku, wong dagangan kula piyambak mpun
kathah, ajrih nek pecah. Njenengan beta mawon Bu menawi kersa, teng nggriya mboten
enten sing purun. Mbak Tika nika rak remen tigan lumayan damel sarapan,” kandhane Yu
Jinem karo ngulungake kranjang marang Bu Darsih. Putrane bu Darsih sing arane Tika
pancen senenge mangan endhog, prasasat saben dina ora tau lodhang. Mangane akeh,
dhasar bocah pawakane gedhe senajan isih kelas lima SD.
Bu Darsih nampani kranjang nuli digawa mulih. Ing dalan kelingan menawa pirang-
pirang dina iki Tika sambat lara wudhun. Mesthi ora bisa mangan endhog, marahi ora waras-
waras, mangka yen weruh endhog dheweke mesthi nyuwun. Bu Darsih banjur mikir, arep
digawa menyang ngendi endhog iki. Dibalekake menyang Yu Jinem kok sungkan merga
kadung ditampani, digawa mulih mengko marahi Tika ora waras-waras. Wusana banjur
diwenehake marang Bu Puri, idhep-idhep kanggo mbales kiriman roti kukus dhek wingenane.
Bu Puri pancen prigel gawe jajan, malah kerep nrima pesenan. Endhog kuwi rak bahan sing
wigati kanggo gawe jajan.
Nalika tekan omahe Bu Puri sing nemoni mbok Saripah, merga Bu Puri lagi tindak
pasar. Mbok Saripah kuwi bature Bu Puri sing pegaweyane umbah-umbah lan reresik omah,
dalah ngrewangi masak yen pinuju akeh pesenan jajan. Dening mbok Saripah endhog
diseleh ing dhuwur meja makan.
Bu Puri tindhak pasar saperlu blanja bahan kanggo gawe jajan, amerga lagi nrima
pesenan. Bareng tekan omah weruh ana endhog ing dhuwur meja nuli takon marang mbok
Saripah.
“Iki saka sapa, mbok?”
“O...niku wau saking Bu Darsih, sanjange tigan kangge damel roti,” jawabe mbok
Saripah.
“Wo..., lha aku mentas tuku endhog je, lha iki aku wis tuku telung kilo,” Bu Puri
milang-miling endhog ing jero kranjang.
“Endhog pitik jawa lho, mbok. Sampeyan beta mawon, dimasak pa gawe jamu rak
mathuk,” kandhane Bu Puri.
Kabeneran mbok Saripah wis rampung gaweyane lan tata-tata arep mulih. Kranjang
isi endhog dicangking sisan, ora lali matur nuwun, nuli pamit mulih.
Mbok Saripah kuwi randha. Anake telu isih cilik-cilik. Uripe tansah kacingkrangan.
Mangan kurang nyandhang cingkrang wis dadi sega jangan ing saben dinane. Pakaryane
mung dadi buruh menyang tanggane sing mbutuhake tenagane. Omahe nyewa marang
Mbah Nunuk, ing pekarangan sisih wetan, tilas kandhang sapi sing didadekake omah. Anake
ragil wiwit dhek wingi njaluk digorengne endhog, dene dheweke ora duwe dhuwit kanggo
tuku. Anaa dhuwit mung cukup kanggo nempur. Ndilalah kersaning Allah dina iki entuk
rejeki. Wis dadi bejane ragil bisa keturutan kekarepane.
Tekan omah wis awan. Wancine mangan kanggo anak-anake sing sedhela engkas
mulih sekolah. Mbok Saripah nyumet geni ing pawonane, angkane anake digorengake
endhog siji-siji, pisan-pisan ora apa-apa, wong endhog ora tuku wae. Adate yen nggoreng
endhog, siji kanggo bocah telu, didadar sing tipis apa dicampuri pathi. Durung nganti murub
genine, ana swara ngundang jenenge ing ngarep omah. Bareng diparani jebul Mbah Nunuk.
“Mangga pinarak mlebet mriki, Mbah,” pangajake Mbok Saripah.
“Kowe ngerti ora karepku mrene iki?” pitakone Mbah Nunuk.
“Inggih, badhe mundhut arta sewan,” wangsulane mbok Saripah alon. Senajan
omahe cedhak, mbah Nunuk arang kadhing tilik mrana kajaba yen narik sewan.
“Lha iya ta, iki wis meh patang wulang lho. Kowe kok pijer semaya wae.”
“Ning kula saestu boten gadhah yatra, damel bayar sekolah lare-lare mawon kula
nyuwun keringangan, nedha nggih saentene, kula nyuwun mbah Nunuk paring kawelasan.
Benjang menawi wonten arta mesthi kula bayar.”
“Wis saiki ngene wae, sakduwemu apa ?”
“Kula boten gadhah napa-napa.”
“Mosok, ta ?” pitakone mbah Nunuk ora percaya.
“Cobi ta panjenengan pirsani, teng griya niki napa wonten barang ingkang aji ? Kula
mboten nggadhah mas-masan napa barang lintune ingkang saged dipunsade.”
Mbah Nunuk clilang clileng. Pancen ora ana. Omahe mung isi dhipan kayu sithik
sing dhuwure dibeberi klasa, lan lemari cilik ing pojokan. Lawange saka kaca wis semplah
ngatonake isine sing mung gombal sandhangan padinan. Ana maneh meja sithok kursi telu
saka kayu sing wis luntur pliturane. Ing dhuwur meja ana kranjang cilik tutupan serbet.
“Lha kuwi apa ?” pitakone Mbah Nunuk karo nudinge kranjang.
“Niku tigan angsal saking Bu Puri.”
“Endhog apa ?”
“Sanjange nggih tigan pitik kampung.”
Mbah Nunuk mendel wae. Mbok Saripah banjur mikir, amrih Mbah Nunuk ora
murina, endhog kuwi becike diwenehake wae. Perkara mengko mangan apa wis ora perlu
digagas, wong biyasane bisa mangan sega ditutuli uyah, apa rambah godhong luntas neng
pekarangane Bu Ratri dimasak kulub.
“Mpun, ngaten mawon mbah, njenengan beta tigan niki mawon. Eca, saged damel
jamu,” Mbok Saripah nyoba ngrimuk.
Nadyan duwe pitik akeh ing ngomah, mbah Nunuk isih kemecer ndeleng endhog
pitik kuwi. Dhasar wis pikun lan mripate ora pati awas, dheweke ora eling menawa kranjang
isi endhog kuwi dhuweke dhewe.
Kranjang digawa mulih. Lumayan, pikire, kena nggo ijol endhoge sing bosok mau
esuk. Tekan omah langsung mlebu pawon, cethik geni. Ngrajang bawang pre diwadhahi
mangkok, arep nggawe dadar endhog sing kaya martabak kae, ditambahi uyah lan irisan
lombok rawit amrih rada pedhes. Nuli njupuk endhog siji dipecah ing mangkok. Blaik....,
endhog bosok. Mbah Nunuk muring-muring. Endhog nyebar ganda sing ora enak. Ambune
uleng-ulengan, nganti gorokane Mbah Nunuk krasa pait. Endhog enggal dibuwang, ning
ambune durung bisa ilang. Mbah Nunuk njupuk kranjang saka mbok Saripah, ancase arep
digawa bali menyang mbok Saripah sinambi ngunek-ngunekne dheweke sing wis menehi
barang bosok. Bareng diuwasi tenanan, mbah Nunuk banjur kelingan, manawa kranjang
saisine kuwi pancen duweke.
Mbah Nunuk lungguh dheleg-dheleg ing kursi teras. Dheweke ora ngerti kepriye
larah-larahe endhog kuwi nganti bisa tekan omahe maneh. Kamangka maune wis
diwenehake Yu Jinem.
Bareng dipikir jeru Mbah Nunuk ngrumangsani, mbok menawa iki piwalese Kang
Maha Kuwasa, amarga selawase iki tansah medhit lan kikir, ora tau tetulung marang tangga
sing kecingkrangan. Buktine, nadyan weruh mbok Saripah uripe kekurangan, arang mangan
endhog, kok mentala nggawa mulih endhog sing arep dienggo mangan anak-anake.
Kamangka dheweke duwe pitik sapirang-pirang. Mbah Nunuk ngakoni kaluputane. Enggal-
enggal mbah Nunuk njupuk pitik goreng olehe mbeleh mau esuk. Separo diwadhahi piring
cilik, sisane dienggo mangan dhewe. Mbah Nunuk ngeterne lawuh kuwi menyang tangga
sing paling cedhak, yaiku Mbok Saripah.
Wiwit dina iku, mbah Nunuk wis ora medhit maneh. Loman lan gelem srawung karo
tangga teparo.

Kapethik saka Jaya Baya No. 19 Minggu II Januari 2009

 Nggawea kelompok, saben kelompok dumadi saka limang


anggota.
 Temtokna sapa sing dadi ketua kelompok
 Tugase ketua kelompok, mimpin anggota kelompok kanggo
ngayahi kewajibane kanthi jujur, tanggung jawab lan santun.
 Tugase kelompok, diskusi kanggo nggarap kabeh gladhen .
 Asile diskusi ditulis ana lembar kerja lan power point.
 Asile diskusi dipaparake ana ngarep kelas.

GLADHEN
Wangsulana pitakon-pitakon ing ngisor iki kanthi trep !
1. Sapa kang ngarang crita bocah ing ndhuwur mau ?
2. Sapa bae paraga ing crita mau ? Lan kepriye watake para paraga iku ?
3. Kenapa apa Mbah Nunuk wenehake endhog pitik marang Yu Jinem ?
4. Sapa kang diwenehi endhog karo Yu Jinem, kena apa kok diwenehake endhog kuwi
mau ?
5. Karo Bu Darsih banjur endhog nuli diwenehake sapa, amarga apa ?
6. Apa pagaweyane Bu Puri iku ?
7. Dening Bu Puri endhog pitik jawa nuli diwenehake marang mbok Saripah. Sapa mbok
Saripah iku ?
8. Ana ngendi omahe mbok Saripah ?
9. Kenapa apa mbah Nunuk mara menyang omahe mbok Saripah ? Apa kang digawa bali
karo mbah Nunuk ?
10. Saka ngendi wacan ing dhuwur iku kapethik ?

GLADHEN 2

Saka wacan kanthi irah-irahan “Endhog Pitike Mbah Nunuk” ing dhuwur, coba golekana
tetembungan kang durung mangerteni tegese, banjur diskusikna karo kancamu.
GLADHEN 3

Wangsulana pitakon ing ngisor iki


1. Miturut panemumu apa kesimpulan crita ing ndhuwur ? Terangna manut basamu dhewe !

2. Dhiskusikna karo kancamu kelompok apa kaitane isi crita ing ndhuwur karo urip
bebrayan!

Manuk Gagak lan Manuk Merak

Jaman ndhisik kabeh manuk wernane putih. Sing mbedakake mung gedhene. Manuk
Gagak durung ireng. Manuk Merak uga durung maneka warna kaya saiki. Manuk Gagak lan
manuk Merak nalika kuwi kekancan rukun banget. Golek pangan ing alas bebarengan, gojeg
bebarengan, adus ing blumbang uga bebarengan.
Sawijining dina raja kewan yaiku mbah Macan duwe gawe, arep nggelar pesta lan
ngundang kabeh kewan kang ana ing alas, wiwit saka kewan cilik nganti sing gedhe.
Kremi, Tuma, Tengu, ora kelalen. Apamaneh bangsane Gajah, Jerapah, Badhak lan
Bantheng mesthi wae katon. Ora lali, si Gagak lan Merak uga diundang. Kekarone banjur
arep mangkat bareng.
“Gak, awake dhewe mangkat bareng ya!” pangajake Merak marang Gagak.
“Ya sedulurku. Mengko awake dandan dhisik sing apik ya?” semaure Gagak.
“Gak, dandane gentenan ya? Awakmu sing ndandani aku. Yen wis rampung, kowe
mengko dakdandani genten,” pangajake Merak maneh.
“Apik kuwi Rak, ayo saiki awake dhewe golek warna-warna kanggo dandan,” Gagak
nyarujuki kekarepane Merak.
Manuk loro kuwi terus golek tlutuh wit-witan sarta kembang lan gegodhongan kang
warna-warni.
Sakrampunge nglumpuk, manuk loro kuwi banjur padha dandan.
“Gak, aku mbok dandani dhisik ya!” panjaluke Merak. Gagak mung ngiyani wae.
Manuk Merak lungguh anteng, terus awake dirias kanthi tlaten dening Gagak, Dhasar
si Gagak pinter ngrias, mula manuk Merak dadi endah banget rupane. Wulune elok,
buntute mekrok kebak warna- warni.
“Rak, wis rampung, ndang ngiloa ing banyu bening kuwi!” Gagak ngakon Merak ngilo.
Merak atine seneng banget, mangerteni dheweke endah lan ayu banget.
“Gak, saiki giliranmu dakrias.” Merak ngomong marang Gagak karo nyedhaki Gagak.
“Ya Rak, saiki aku riyasen sing apik ya!” panjaluke Gagak.
Merak miwiti ngrias Gagak. Nanging pikirane Merak sajak kurang becik, dheweke
duwe pikiran yen nganti Gagak diriyas apik mengko bisa nyingkirake eloke wernane
dheweke dhewe ing pasamuan raja. Mula Merak banjur duwe niyat ala, supaya kancane si
Gagak kuwi dadi katon ala. Merak duwe kekarepan, amrih kang dadi kembange pasamuan
ing kratone raja mengko mung dheweke dhewe.
Merak ngriyas Gagak nganggo warna ireng wae. Sakwuse rampung, Merak banjur
meling marang Gagak;
“Gak, wis rampung anggonku ndandani, awakmu ndang ngilo ing banyu bening kuwi,
nanging aku arep mangkat ndhisiki ya!” Gagak atine bungah banget, dheweke ndang
pengin weruh asile Merak anggone ndandani awake. Lan nalikane Merak wis lunga adoh,
mula dheweke terus gage ngilo. Nanging kayangapa kagete Gagak, pranyata rupane ora
endah, ora elok, mung ireng thuntheng sakujur awak.
Gagak wusanane mung bisa nangis, bengak-bengok karo mabur nggoleki Merak “Kaok
kaok kaok”……”
Nganti tekan saiki Gagak isih nangis wae, karo bengak bengok yen lagi mabur nggoleki
Merak. Mbuh arep tekan kapan Gagak anggone bengak bengok terus mau….. **
Pangeran Kodhok
Wacan Bocah - Posted by admin on March 10, 2014
Ing jaman biyen ana sawijining kerajaan kang cukup kawentar. Ing kerajaan kasebut ora
nate ana sing jenenge ontran-ontran. Mula para kawulane tansah urip tentrem, adhem
ayem. Kajaba kuwi, sang raja dhewe kondhang adil lan wicaksana.
Sang raja duwe putri cacah telu. Katelune wis ngancik diwasa kabeh. Nanging saka
putri cacah telu mau sing paling ayu dhewe sing wuragil. Dewi Risti, jenenge. Dewi Risti
duwe kasenengan dolan ing alas sing ora adoh saka istana.
Ing sawijining wektu Dewi Risti dolan menyang alas kuwi. Kaya biyasane, ing
sangisore wit gedhe kang edhum, Dewi Risti dolanan bal emas kasenengane. Kanthi cara
diuncalake mendhuwur lan yen wis mudhun dicekel maneh. Ngono kuwi dilakoni bola-bali.
Ndilalah kersaning Allah, ing sawijining kalodhangan bal emase ora bisa dicekel. Bal emas
mau tiba ing lemah banjur ngglindhing menyang tlaga ing cedhake kono. Let sedhela wae
bal emas kuwi kerem ing njero banyu. Ora ketok maneh.
Mangerteni bal emase kerem ing tlaga Dewi Risti dadi sedhih atine. Lan kagawa
sedhihe atine kuwi Dewi Risti banjur nangis. Sansaya suwe sansaya banter tangise.
“Geneya sang Putri nangis?”
Dewi Risti kaget nalika ujug-ujug ana swara sing ngajak omong dheweke. Sang Putri
banjur plingak-plinguk nggoleki asale swara mau. Sawise njlinggengi kahanan ing sakiwa-
tengene pranyata ora ana sapa-sapa. Nanging dumadakan mripate Dewi Risti tumancep
marang sawijining kodhok gedhe ing pinggir tlaga.
“Kodhok, apa sing ngajak omong aku mau kowe?” takone Dewi Risti.
“Iya, sang Putri,” wangsulane kodhok. “Geneya sang Putri nangis?” pitakone sa-
banjure.
“Mangertiya kodhok, bal emas kasenenganku saiki nyemplung ing tlaga kuwi.”
“Aja nangis, sang Putri. Aku bisa mbiyantu nemokake bal emasmu kuwi. Nanging apa
piwalesmu yen aku bisa mbalekake bal emas kuwi?” tembunge kodhok.
Dewi Risti banjur nyaguhi apa penjaluke kodhok ing ngarepe kuwi. Klebu nyaguhi
gelem ngancani nalika mangan lan ngombe, uga nalika turu. Dewi Risti nganti gelem
nyaguhi penjaluke kodhok sing kaya mengkono kanthi pawadan mosok kodhok bisa urip
suwe ing lemah.
“Penjalukmu dakturuti kodhok,” tembunge Dewi Risti, alon.
Krungu wangsulan kaya mengkono, kodhok banjur nyilem menyang njero banyu
tlaga. Ora let suwe wis njedhul maneh kanthi nggawa bal emas, banjur diwenehake sing
duwe. Kaya ngapa senenge Dewi Risti sawise bisa bali nyekel bal emas duweke. Kagawa
senenging ati, Dewi Risti banjur mlayu ninggalake alas lan bali menyang istana. Ora nggagas
kodhok maneh sing wis aweh pitulungan. Dene si kodhok mung bisa kresah-kresuh dhewe
ditinggal sang putri mau. Sabanjure dheweke bali menyang tlaga amor kanca-kancane.
Esuke, nalika Dewi Risti lagi sarapan karo sang raja, dumadakan dikagetake ana ne
swara sing nothok lawang. Alon-alon Dewi Risti mbukak lawang, nanging saiba kagete
merga ing ngarep lawang ana kodhok gedhe sing wis nate nulung nemokake bal emase.
Rumangsa kaget lawang banjur ditutup ngeget lan Dewi Risti banjur nyedhaki sang raja.
“Putriku, geneya kowe kaget lan wedi?” pitakone sang raja.
Dewi Risti banjur crita akeh-akeh marang sang raja. Klebu dheweke nate aweh janji
marang kodhok sing satemene wis nulungi bisa nemokake bal emas.
“Putriku, janji kuwi sabisa-bisa kudu diwujudi. Aja pisan-pisan mlayu saka janji sing
wis nate diucapake dhewe,” pangandikane sang raja maneh.
Durung nganti Dewi Risti wangsulan, dumadakan kodhok sing ana njaba lawang
kandha : “Putri, tulung bukaken lawang iki. Apa kowe lali karo janji sing wis nate
mbokucapake marang aku,” kandhane kodhok rada banter.
Mangerteni kahanan kaya mengkono sang raja banjur mrentahake Dewi Risti mbukak
lawang. Kanthi polatan peteng Dewi Risti manut lan mbukak lawang. Sabanjure kodhok
diajak mlebu.
“Angkaten aku lan aku pengin jejer karo kowe, sang Putri. Aku pengin sarapan
bareng,” kandhane kodhok maneh.
Senajan kanthi rasa kang abot lan jijik sarapan bareng kodhok, nanging dilakoni wae
nganti rampung. Lan sawise rampung sarapan kuwi Dewi Risti cepet-cepet mlayu mlebu
menyang kamare. Ing pangangkah bisa uwal saka trekahe kodhok.
Nanging tanpa dinyana-nyana, nalika Dewi Risti klekaran ing kamare, ing sandhinge
wis ana kodhok kuwi. Saiba kagete lan njalari Dewi Risti nesu.
“Kodhok, wis cukup. Aku wis netepi janjiku!” tembunge Dewi Risti keprungu sora.
“Durung, sang Putri” wangsulane kodhok semu aweh pangece.
Kagawa nesune, Dewi Risti banjur mbanting kodhok kuwi sarosane. Nanging eloke
kahanan, sawise dibanting kuwi wujude kodhok sakala ora ana. Saiki sing ana mung
Pangeran bagus tanpa cacat.
“Putri, aku nelakake panuwun tanpa umpama marang kowe. Awit ya mung kowe sing
bisa nylametake aku saka sihir sing wis njiret awakku. Kanthi cara mbanting aku mau
pranyata sihir kuwi bisa ilang,” tembunge sang Pangeran.
Dewi Risti sajak ora percaya meruhi kahanan kaya mengkono. “Apuranen aku,
Pangeran. Aku wis nyidrani janji marang kowe,” tembunge Dewi Risti ora kalah alon.
Ing wektu candhake antarane Dewi Risti lan sang Pangeran padha ngronce tali-tali
katresnan. Sabanjure sekarone bisa urip bebarengan kanthi sih-sihan lan kebak kabagyan.
****
Toto lan Kroto
- Posted by admin on February 10, 2014

Mulih sekolah Toto salin klambi, sholat, lan terus maem. Tanpa leren dhisik, Toto
banjur njupuk sengget tinggalane bapake. Kanggo apa sengget iku? Ya, sengget mau kanggo
golek kroto, ndhog semut ngangrang.
Sabenere, ibuke ora marengake Toto golek kroto. Nanging, amarga welase Toto
marang ibuke, dheweke kepengin mbiyantu. Amarga saben dinane ibuke mung buruh
ngumbahi ing tanggane. Wondene bapake sewulan kepungkur nembe wae seda.
“Buk, Toto mangkat sik, ya.”
“Mbok ora susah, To! Ibuk kok rasane ora kepenak.”
“Ibu kagungan dhuwit nggo tumbas buku, pa?”
“Ya … wektu iki durung, jare.”
“Mulane, aku takgolek kroto wae. Mengko ben bisa nggo tuku buku,” ujare Toto karo
ninggalake Ibuke.
“Ya wis kana, sing ngati-ati!” pesene Ibuke.
Toto mangkat karo nggawa sengget lan nyangking tas cilik. Tas cilik iku kanggo
nggawa kroto, wedang, lan sarung. Dheweke pancen nggawa sarung barang kanggo sholat
Ashar ing dalan.
Sajrone mlaku turut dalan, Toto tansah nyawang mendhuwur. Sapa ngerti ana susuh
ngangrang ing wit-witan. Bareng sawetara mlaku panas-panasan, Toto lagi nemokake wit
sing dirembeti semut ngangrang.
“Bu, dalem pikantuk mendhet susuh semut?” pitakone Toto kanthi sopan.
“Aja, mengko semute ndhak dha mlayu! Mengko malah dha nyokot anakku, payah!”
wangsulane ibu-ibu kang nduweni wit iku.
“Kula atos-atos kok, Bu,” ujare Toto.
“Wis, pokoke aja dijupuk!”
“Nggih sampun menawai mboten pareng,” pangucape Toto karo ninggalake omahe
ibu-ibu iku. Pancen, ora kabeh wit entuk dijupuki susuh semute.
Sawise mlaku lumayan adoh lan ngeselake, Toto banjur mandheg sedhela. Dheweke
ngeyup sangisore wit sawo sing rungkut. Sikile dislonjorake loro-lorone amrih bisa ngurangi
kesele. Toto banjur mbukak kranjang cilik mau. Botol cilik isi banyu putih dijupuk lan
dibukak. Banyu ing botol banjur diombe kanggo nambani ngelake. Ora lali, dheweke raup
nganggo banyu iku uga. Lumayan, bisa ngurangi panase awak wektu iku.
Ora dinyana-nyana, jebul wit sawo iku akeh banget semut ngangrange. Lan, sawise
dipang, ing pange ana pirang-pirang susuhe semut. Toto banjur thingak-thinguk nggoleki
sing duwe wit iku. Ora patiya suwe, bapak sing duwe wit iku muncul. Sajake bapak iku arep
tindakan. Lha wong rasukane wae wis mlithit.
“Ngapa nang kene?” pitakone bapak iku karo mendelik.
“Anu, anu Pak. Menawi pikantuk, dalem badhe mendhet susuh semut” wangsulane
Toto rada keweden.
“Ya, kana. Ning, mengko pekarangane diresiki maneh, lho!”
“Nggih Pak, mangke kula resiki. Matur nuwun sanget, Pak.” Senajan katone bapak-
bapak mau galak, nanging aten-atene jebul apik. Lega tenan Toto wektu iku. Mengkone
mulih bisa nggawa kroto akeh. Lha wong susuhe katon pating grandhul, jare.
Nembe wae entuk susuh loro, saka pekarangan mburi keprungu asu njegog, guuk …
guk … guuk! ghhrrr …! Jegoge asu mau ndadekake Toto keweden. Asu mau ora mung
njegog, nanging uga ngoyak Toto. Ngerti arep dioyak, Toto banjur mlayu ninggalake
pekarangan iku. Senggete ditinggal semendhe ing wit sawo ngono wae. Senajan kesusu,
Toto isih kelingan karo tas cilike. Tas mau banjur disaut. Nanging amarga mlayune banter
lan ora ndelok dalan, pungkasane Toto tiba kesandhung. Nganti dhengkule mlecet barang.
Tas cilike kontal lan ndadekake krotone padha mawut ing ratan campur lemah. Senajan
dhengkule lara, Toto mbudidaya nylametake krotone. Kroto mau enggal-enggal dijumputi
lan diwadhahi kresek plastik. Nalika diwadhahi, semut ngangrang sing ana ing susuh padha
nyokoti tangan lan sikile Toto.
Sawise krotone nglumpuk kabeh, dheweke banjur nggawa kroto mau nyang Babah
Liem, wong sing duwe ingon-ingon manuk ocehan.
“Kula nuwun, Bah,” panyapane Toto rada seru.
“Oh kowe, To. Ya wis, krotomu dokok kene!” prentahe Babah Liem.
“Niki mung sekedhik je, Bah.” ujare Toto karo nyuntak kroto ing wadhah.
“Wadhuh …! Krotomu kok dha reged ngene, To! Aku ra sida nuku krotomu.”
“Mangke kula resikane, Bah.”
“Wis ora usah! Mengko manukku malah dha lara nek mangan kroto kaya ngene ki.”
“Njur pripun niki, Bah?”
“Ya wis, buang wae! Paling ya ora ana wong sing gelem nuku,” ujare Babah Liem sing
ndadekake Toto nelangsa.
Mulih saka omahe Babah Liem, Toto banjur mampir mesjid amarga wis mlebu wektu
Ashar. Nalikane wudu, Toto ketemu karo Haji Jamal.
“Saka ngendi, To?” pandangune Haji Jamal.
“Saking pados kroto, pak haji.”
“Golek kroto? Lha senggetmu didokok ngendi?”
“Kantun teng griyane tiyang.” Toto banjur nyritakake kedadeyan mau marang pak
haji. Mireng critane Toto, pak haji trenyuh. Pak haji banjur tetulung marang Toto.
“Ya wis kene, krotomu taktukune!”
“Mboten sisah pak haji, wong kroto kula reged.”
“Ora papa …. Mengko diresiki rak ya bisa.”
“Alhamdulillah …. Matur nuwun sanget pak haji.”
“Ya, ya … wis kana ndang Asharan dhisik!”
Lega temenan Toto, mbesuk dheweke bakal bisa tuku buku.
Tekan omah, ibuke katon kaget nalika pirsa tatu ing dhengkule Toto ….
“Nang ngapa dhengkulmu, To?”
“Mung babak kok, Buk. Mengko rak ya mari dhewe.”
“Kene-kene taktambani! Walah, tanganmu kok ya dicokot ngangrang barang ta ….”
Nalika nambani tatune, ibuke Toto katon netesake luh. Ibuke trenyuh amarga wis
ditinggal bapake salawase urip. Nanging ibuke mongkog, amarga Toto duwe tekad gedhe
anggone sekolah.***
Tlaga Warna

Mbiyen ana sawijining kerajaan ing Jawa Barat kang


diperintah dening raja kang arif wicaksana. Negarane
aman sentosa. Rakyate urip sejahtera. Mung emane sang
Prabu lan garwane iki ora diparingi putra. Mataun-taun
anggone ngenteni keturunan engga sang Prabu wusanane
tindak menyang alas lan semedi ing kana. Sang Raja kuwi
nyenyuwun marang Gusti Kang Maha Kuwasa amrih diparingi momongan.
Rakyat sanegara wusanane padha suka-suka sawise mangerteni pandongane sang
Prabu lan Permaisuri mau dikabulake. Gusti Permaisuri kuwi pinaringan bayi wadon kang
ayu banget rupane.
Puteri iki saya suwe dadi kenya kang diwasa. Lan merga dheweke siji-sijine puteri
kraton, mula dimanja banget dening rama ibune. Kabeh pepenginane tansah dituruti.
Saikine sang puteri wis diwasa. Sedhela maneh dheweke bakal nganakake perayaan
mengeti umur pitulas taun. Rakyat kerajaan padha ngumpulake maneka hadiah kanggo
puteri kang ditresnani kuwi. Sang Prabu nampa kabeh hadiah saka rakyat mau lan
kagungan kersa arep ngedum-dumake maneh marang rakyate kabeh.
Sang Prabu mung njupuk perhiasan emas lan berlian sethithik wae. Sang Prabu banjur
utusan tukang kemasan amrih nglebur emas ksb lan ndadekake sawijining kalung mata
berleyan kang endah kanggo puterine.
Ing dina ulang taune sang puteri, Prabu banjur masrahake kalung iku minangka
hadiahe.
“Puteriku, saiki kowe wis diwasa. Delengen kalung kang endah iki. Kalung iki hadiah
saka rakyat kita. Kabeh rakyat ing kene padha nresnani kowe putriku,” mangkono dhawuhe
sang Prabu.
“Ayo agemen kalung iki, nak,” bacute.
Rakyat sakerajaan dina kuwi sengaja teka rame-rame pengin melu mangayubagya
pengetan ulang taune sang puteri junjungane. Rakyat padha pengin ndeleng kalung kang
edi peni mau ngrenggani gulune sang puteri raja.
Nanging emane, Puteri Raja kuwi mung nglirik wae marang kalung endah kasebut.
Prabu lan Permaisuri wis ngojok-ojoki amrih sang Putri gelem menganggo kanggo
nglegakake atine rakyat. Nanging sang Putri tetep ora gelem.
“Aku emoh, aku emoh,” jawabe puteri cekak.
“Ayo ta, nak,” rayune ibu permaisuri sinambi njupuk kalung kuwi saperlu di pasangake
menyang gulune sang puteri.
Nanging sang puteri pranyata malah nyeblak astane permaisuri engga kalung iku
ceblok ing jogan.
“Aku emoh nganggo! Kalung elek ngono kok! Elek!!” jerite sinambi mlayu menyang
kamare.
Permaisuri lan kabeh kang rawuh padha kami tenggengen. Kalung warna-warni kang
endah iku pedhot taline lan montene padha ambyar ing jogan.
Permaisuri mung bisa anyles atine lan suwe-suwe nangis nelangsa. Anehe, para
wanita kang ana ing kono uga banjur padha melu. Kabeh ora ngira yen sang puteri tega
tumindak ngono engga nggelakake atine rakyat kang nresnani.
Luwih aneh maneh, ujug-ujug ing panggonan kalung mau ceblok muncul sawijining
sumber kang saya suwe saya gedhe banyune, engga ngeremake istana. Ora mung iku wae,
banyu kuwi wusanane malah dadi telaga kang amba banget.
Lan senajan telaga kuwi saikine wis ora amba kaya ndhisik, nanging banyune isih
tetep bening, kepara endah werna-werni yen kena wernane langit lan tetanduran ing
sakupenge.
Nanging masyarakat padha percaya yen werna-werni endah telaga kuwi satemene
asale saka kalunge sang puteri kang ana ing dasar tlaga. Tlaga iku sabanjure disebut Telaga
Warna, manggone ing dhaerah Puncak, Jawa Barat.
LAMPIRAN EVALUASI
A. Lembar Pengamatan Diri
1. Wenehana tanda centang (√) ing andharan(pernyataan) sing kokanggep paling pas
karo kanyatan sing koklakoni.
2. Katrangan kanggo mbiji pakulinan (kebiasaan):
5 = ajeg
4 = kerep
3 = arang-arang
2 = tau
1 = blas
3. Lembar pengamatan
No. Aspek penilaian Skala Penilaian
5 4 3 2 1
1 a. Kulina ndonga sadurunge miwiti lan
mungkasipasinaon Basa Jawa.
b. Kulina migunakake Basa Jawa kanggo
ngomong karo sapa bae (guru, kanca)
nalika jam pelajaran.
c. Kulina ngetrapake tatakrama nalika ing
pasrawungan.
2 Jujur nalika mangsuli pitakon-pitakon ngenani
wacan crita manut panemune dhewe.
3 a. Tanggungjawab marang tugas pribadi
b. Tanggungjawab marang tugas kelompok.
4 a. Ngurmati panemune wong liya nalika
diskusi.
b. Migunakake tembung kang pas (ora
kasar lan kemproh) nalika ngomong lan
takon ing diskusi.

Nama : .............................

Kelas/No absen : ................


B. Pengetahuan
Wangsulana pitakon-pitakon ing ngisor iki kanthi trep !
1. Sapa kang ngarang crita bocah ing ndhuwur mau ?
2. Sapa bae paraga ing crita mau ? Lan kepriye watake para paraga iku ?
3. Kenapa apa Mbah Nunuk wenehake endhog pitik marang Yu Jinem ?
4. Sapa kang diwenehi endhog karo Yu Jinem, kena apa kok diwenehake endhog kuwi
mau ?
5. Karo Bu Darsih banjur endhog nuli diwenehake sapa, amarga apa ?
6. Apa pagaweyane Bu Puri iku ?
7. Dening Bu Puri endhog pitik jawa nuli diwenehake marang mbok Saripah. Sapa mbok
Saripah iku ?
8. Ana ngendi omahe mbok Saripah ?
9. Kenapa apa mbah Nunuk mara menyang omahe mbok Saripah ? Apa kang digawa bali
karo mbah Nunuk ?
10. Saka ngendi wacan ing dhuwur iku kapethik ?
11. Miturut panemumu apa kesimpulan crita ing ndhuwur ? Terangna manut basamu
dhewe !
Nama : .............................
Kelas/No absen : ................
C. Lembar Pengamatan portofolio hasil tulisan
Wenehana tandha centhang (√) ing andharan (pernyataan) sing kokanggep
paling pas karo kanyatan sing kokamati, tulisane kancamu.
1. Katrangan kanggo mbiji:
5 = pas banget
4 = pas
3 = cukup pas
2 = kurang pas
1 = ora pas

2. Lembar pengamatan

No. Aspek penilaian Skala Penilaian


5 4 3 2 1
1 Tulisan (hasil tulisan/karya tulis
sederhana)sing pas karo kaidah ejaanlan
penulisan ing tata tulis basa Jawa.
Panulisane vokal
Panulisane konsonan
Panganggo tembung
Ukarane runtut
Kohesi lan kohenrensi paragraf

LEMBAR PENGAMATAN PRAKTIK OLEH GURU


Tulisan (hasil tulisan/karya tulis sederhana) pas karo kaidah pelafalan
No lan penulisan tata tulis ing basa Jawa.
Panulisane Panulisane Pangang-go Ukarane Kohesi lan
Nama vokal konsonan tembung runtut kohenrensi
paragraf
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 A
2 B
3 C

Anda mungkin juga menyukai