Anda di halaman 1dari 17

PANDANGAN ISLAM TENTANG PERNIKAHAN DINI

DAN RESIKONYA

Disusun Oleh :

Kelompok 5

 Nazla Revandhita
 Putri Ayu Ramadhani
 Rafi Ardiansyah
 Raya Rabbani
 Rifka Andini
 Riski Pratama

KELAS 11 RPL 2
SMK NEGERI 2 TEBING TINGGI
2024
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Tebing Tinggi, Mei 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI
Cover .........................................................................................................................................1
Kata Pengantar...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Rumusan Makalah...........................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................5
D. Manfaat Penulissan..........................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
PEMBAHASAN........................................................................................................................6
A. Pengertian Pernikahan Dini.............................................................................................6
B. Faktor Penyebab Pernikahan Dini...................................................................................6
C. Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini.................................................................8
D. Pandangan Agama Islam Terhadap Pernikahan Dini....................................................10
E. Hukum yang Bertalian dengan Menikah Dini..............................................................13
BAB III.....................................................................................Error! Bookmark not defined.
PENUTUP................................................................................Error! Bookmark not defined.
A. Kesimpulan....................................................................Error! Bookmark not defined.
B. Saran.............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................Error! Bookmark not defined.

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan dini banyak terjadi dari dahulu sampai sekarang. Kebanyakan para
pelaku pernikahan dini tersebut adalah remaja desa yang memiliki tingkat pendidikan
kurang. Remaja desa kebanyakan malu untuk menikah pada umur 20 tahun keatas.
Anggapan remaja desa lebih memungkinkan untuk menikah diusia muda karena disana
ada anggapan atau mitos bahwa perempuan yang berumur 20 tahun keatas belum
menikah berarti “Perawan Tua”. Persoalan mendasar dari seorang anak perempuan
yaitu ketika dia memasuki usia dewasa, banyak orang tua menginginkan anaknya untuk
tidak menjadi perawan tua. Menjadi perawan tua bagi kebanyakan masyarakat dianggap
sebagai bentuk kekurangan yang terjadi pada diri perempuan. Untuk itu, dalam
bayangan ketakutan yang tidak beralasan banyak orang tua yang menikahkan anaknya
pada usia muda. Kondisi itulah yang menjadikan timbulnya persepsi bahwa remaja desa
akan lebih dulu menikah dari pada remaja kota. Anggapan-anggapan tersebut muncul
karena kurangnya pengetahuan dari masyarakat mengenai pentingnya pendidikan bagi
remaja
Pernikahan usia dini akan berdampak pada kualitas anak, keluarga,
keharmonisan keluarga dan perceraian. Karena pada masa tersebut, ego remaja masih
tinggi.Dilihat dari aspek pendidikan, remaja Di Dusun Nglamuk mayoritas lulusan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kebanyakan
dari mereka tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dikarenakan faktor sosial
budaya dan tingkat pendidikan rata-rata orang tua mereka juga rendah, sehingga kurang
mendukung anak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apa paktor penyebab seseorang melakukan pernikahan dini ?
2. Apa dampak positif dan negative dari pernikahan dini ?
3. Bagaimana pandangan agama islam terhadap pernikahan dini?

4
C. Tujuan Penulisan
1. Agar lebih mengetahui penyebab seseorang melakukan pernikahan dini
2. Agar lebih mengetahui dampak positif dan negative dari pernikahan dini
3. Agar lebih mengetahui Bagaimana pandangan agama islam terhadap pernikahan
dini

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Bagi penulis
Dengan ditugaskannya makalah ini penulis lebih memahami dan mengetahui
tentang pembuatan makalah yang baik dan benar, dan menambah wawasan tentang
pernikahan dini dan dampak yang di timbulkannya.
2. Manfaat bagi pembaca
a. Remaja
Dengan lebih mengetahui dan memahami tentang dampak yang ditimbulkan
oleh pernikahan dini, diharapkan juga dapat menekan angka pernikahan dini di
kalangan remaja.
b. Masyarakat
Dengan adanya makalah ini, masyarakat bisa lebih memahami, mengetahui
dan sadar atas dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan dini.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan Dini


Istilah pernikahan dini atau pernikahan muda ini sebenarnya tidak dikenal dalam
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) tetapi yang lebih popular adalah pernikahan di
bawah umur yaitu pernikahan pada usia dimana seseorang tersebut belum mencapai
dewasa (Koro, 2012: 72). Umumnya pernikahan ini dilakukan oleh pemuda dan pemudi
yang belum mencapai taraf ideal untuk melangsungkan suatu pernikahan. Bisa
dikatakan mereka belum mapan secara emosioal, financial, serta belum siap secara fisik
dan psikis.
Dalam istilah Internasional pernikahan dini dikenal dengan child marriage atau
early marriage, adalah pernikahan yang terjadi pada anak di bawah usia 18 tahun.
Pembatasan dalam angka 18 ini sesuai dengan batas usia perlindungan anak yang
ditetapkan dalam konvensi Hak-hak Anak International (Convention on the Rights of
the Child) pada tahun 1989. (Justice for Iran, 2013: 13)
Majlis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan dini adalah perkawinan yang
dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya, namun satu diatara kedua
mempelainya belum balig dan secara psikis belum siap menjalankan tanggung jawab
kerumahtanggaan (Imron, 2013: 256). Dalam kajian fiqh juga takaran balig bagi laki-
laki yaitu mimpi basah, apabila batasan balig itu ditentukan dengan hitungan tahun,
maka pernikahan diusia muda (belia) adalah pernikahan di bawah umur 15 tahun
menurut mayoritas ahli fiqh, di bawah umur 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.
(Muhammad, 2001: 68)
Sekalipun ada kesepakatan dalam definisi pernikahan, namun batasan usia
masih menjadi hal yang kerap kali diperdebatkan. Mengenai hal ini akan dibahas lebih
jauh pada pembahasan selanjutnya.

B. Faktor Penyebab Pernikahan Dini


Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia
muda adalah:
a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga

6
b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik bagi
mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya
begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.
Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan
oleh:
a. Masalah ekonomi keluarga
b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau
mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis
akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan,
pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).
Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :
a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang
masih dibawah umur.

c. Faktor orang tua


Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki
yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif
terhadap seks.
e. Faktor adat

7
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan
tua sehingga segera dikawinkan.

C. Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Dini


1. Dampak positif
a. Dukungan emosional
Dengan dukungan emosional maka dapat melatih kecerdasan emosional dan
spiritual dalam diri setiap pasangan (ESQ).
b. Dukungan keuangan
Dengan menikah di usia dini dapat meringankan beban ekonomi menjadi lebih
menghemat.
c. Kebebasan yang lebih
Dengan berada jauh dari rumah maka menjadikan mereka bebas melakukan
hal sesuai keputusannya untuk menjalani hidup mereka secara finansial dan
emosional.
d. Belajar memikul tanggung jawab di usia dini
Banyak pemuda yang waktu masa sebelum nikah tanggung jawabnya masih
kecil dikarenakan ada orang tua mereka, disini mereka harus dapat mengatur
urusan mereka tanpa bergantung pada orang tua.
e. Terbebas dari perbuatan maksiat seperti zina dan lain-lain.

2. Dampak negative
a. Dari segi Pendidikan
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa seseorang yang
melakukan pernikahan terutama pada usia yang masih muda, tentu akan
membawa berbagai dampak, terutama dalam dunia pendidikan. Dapat diambil
contoh, jika sesorang yang melangsungkan pernikahan ketika baru lulus SMP
atau SMA, tentu keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi atau menempuh
pendidikan yang lebih tinggi tidak akan tercapai. Hal tersebut dapat terjadi
karena motivasi belajar yang dimiliki seseorang tersebut akan mulai
mengendur karena banyaknya tugas yang harus mereka lakukan setelah

8
menikah. Dengan kata lain, pernikahan dini dapat menghambat terjadinya
proses pendidikan dan pembelajaran.
Selain itu belum lagi masalah ketenaga kerjaan, seperti realita yang ada
didalam masyarakat, seseorang yang mempunyai pendidikan rendah hanya
dapat bekerja sebagai buruh saja, dengan demikian dia tidak dapat
mengeksplor kemampuan yang dimilikinya.
b. Dari segi kesehatan
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan
Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SPOG mengatakan, perempuan yang
menikah di usia dini kurang dari 15 tahun memiliki banyak risiko, sekalipun ia
sudah mengalami menstruasi atau haid. Ada dua dampak medis yang
ditimbulkan oleh pernikahan usia dini ini, yakni dampak pada kandungan dan
kebidanannya. penyakit kandungan yang banyak diderita wanita yang menikah
usia dini, antara lain infeksi pada kandungan dan kanker mulut rahim. Hal ini
terjadi karena terjadinya masa peralihan sel anak-anak ke sel dewasa yang
terlalu cepat. Padahal, pada umumnya pertumbuhan sel yang tumbuh pada
anak-anak baru akan berakhir pada usia 19 tahun.

c. Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan,


Rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah
wanita yang menikah di usia dini atau dibawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk
risiko kebidanan, wanita yang hamil di bawah usia 19 tahun dapat berisiko
pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain,
lanjutnya, hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran,
hamil anggur dan hamil prematur di masa kehamilan. Selain itu, risiko
meninggal dunia akibat keracunan kehamilan juga banyak terjadi pada wanita
yang melahirkan di usia dini. Salah satunya penyebab keracunan kehamilan ini
adalah tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Dengan demikian, dilihat dari segi medis, pernikahan dini akan
membawa banyak kerugian. Maka itu, orangtua wajib berpikir masak-masak
jika ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Bahkan
pernikahan dini bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan psikis dan seks
bagi anak, yang kemudian dapat mengalami trauma.

9
d. Dari segi psikologi
Menurut para psosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat
mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih
labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak
negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur
19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

D. Pandangan Agama Islam Terhadap Pernikahan Dini


Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap
agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu
diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu,
Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap
terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan.
Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur
keturunan) akan semakin kabur.
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini.
Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-undang Perkawinan,
secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi
dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan
yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang
sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali
muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi
antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang
pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial
pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan.
Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan
pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami
masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam
menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun),

10
Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa
ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini.
Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu,
sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda.
Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah
menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah
dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap.
Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah
terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam
kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan
yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami
ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”. Hadis Nabi kedua berbunyi,
”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia
12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut
dibebankan atas orang tuanya”.
Dalam agama Islam, tentang usia pernikahan telah di sebutkan dalam sebuah
hadis yang pernah dikatakan oleh Ibnu Mas ud, Aku pernah mendengar Rosulullah
SAW. Bersabda Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mencapai ba‟ah,
kawinlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan
mata dan kemaluan. Dan barang siap belum mampu melaksanakanya, hendaklah ia
berpuasa karena sesungguhnya puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual”
(HR. Bukhari). Dalam hadis ini, Rasulullah saw. Menggunakan kata syabab yang sering
dimaknai sebagai pemuda. Syabab adalah seorang yang telah mencapai masa aqil
baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Masa aqil baligh umumnya telah
dialami oleh tiap orang pada rentang usia sekitar 14-17 tahun. Generasi yang lahir pada
zaman kita banyak yang telah memiliki kemasakan seksual, tetapi belum meiliki
kedewasaan berpikir. (Adhim, 2002, pp. 46-47)
Menurut yang menganut madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafiiyah
baligh untuk laki-laki adalah ketika sudah mengalami mimpi basah dan untuk
perempuan, ketika sudah mengalami haid dan dapat hamil. Sedangkan menurut Abu
Hanifah, jika tanda-tanda itu belum muncul, maka batasan menurut usia 18 tahun untuk

11
lakilaki, dan 17 tahun untuk perempuan. Sedangkan Imam Syafii memberi batasan 15
tahun untuk laki laki, dan 9 tahun untuk perempuan. Dalam menentukan
diperbolehkanya seseorang melakukan perkawinan, ahli fiqih juga berbeda pendapat
dalam hal syarat baligh. Menurut Imam Maliki dan Syafii, mensyaratkan harus baligh
bagi laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan perkawinan, sedangkan menurut
Imam Hanafi tidak ada syarat baligh dalam perkawinan, karena adanya hak ijbar.
Sedangkan undang-undang perkawinan di Indonesia mensyaratkan batas minimum usia
pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Walaupun
pernikahan itu adalah urusan pribadi yang seharusnya tidak perlu adanya campur
tangan dari pemerintah, namun demi menghindari pertumbuhan penduduk yang tidak
terkontrol dan untuk kestabilan sosial, maka pemerintahpun berhak untuk membuat
peraturan yang berkaitan dengan masalah ini. Melihat kerugian yang timbul akibat
pernikahan usia dini cukup besar utamanya terkait kehidupan rumah tangga yang akan
dijalani serta kehidupan bermasyarakat, maka pemerintah berhak membuat persyaratan
batas minimum pada usia pernikahan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) dan KHI pasal 15 ayat (1) yang
bertujuan untuk menjaga kemaslahatan keluarga pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul maslahah mursalah yaitu dengan asumsi
bahwa hukum ini hanyalah alat yang tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan
kemaslahatan bagi umat manusia. Kesalahan yang fatal manakala hanya
mempertahankan materi hukum yang ada sedangkan kemaslahatan umat terabaikan.
(Rohmat, 2009, pp. 16- 8)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal pernikahan dini. Golongan pertama
menolak dengan tegas pernikahan di bawah umur. Sementara golongan kedua
membolehkan dengan adanya syarat tertentu seperti kafa’ah dan kemaslahatan.
Golongan yang ketiga membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, yakni tidak
boleh bagi anak laki-lakitapi boleh bagi perempuan dengan berdasar pada hadis tentang
usia ‘Aisyah r.a ketika menikah dengan Nabi Saw.
Diantara ulama’ yang masuk golongan pertama adalah Ibnu Syubrumah, Abu
Bakar al A’sham dan al-Butty. Ketiganya menolak pernikahan di bawah umur dengan
berdasar pada surat an-Nisa’ ayat 6 Yang artinya “sampai mereka cukup umur
untuk kawin”. Ketiganya juga berpendapat bahwa pernikahan anak di bawah umur
tidak membawa faidah. Menikahkan anak kecil juga dianggap tidak sah dan batal
pernikahannya ketika mereka sudah balig. (Zuhaili, 2007: 174)

12
Sementara itu, Imam Syafi’i membolehkan pernikahan di bawah umur apabila
didalamnya terdapat kemaslahatan. Lebih lanjut, Imam Syafi’I juga menegaskan
bahwa hanya Ayah dan Kakek yang boleh menikahkan anak usia dini, dan itu pun harus
melalui izin sang anak. Apabila seorang ayah menikahkan anak kecil tanpa seizin anak
tersebut, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
1. Tidak adanya permusuhan atau kebencian yang nyata antara anak perempuan
dengan calon suaminya.
2. Menikahkan dengan laki-laki yang sekufu dengan anaknya.
3. Menikahkannya dengan calon suami yang mampu memberi mahar yang pantas
4. Mahar harus merupakan mata uang Negara tersebut
5. Suami jangan sampai kesulitan memberikan mahar
6. Tidak menikahkan dengan laki-laki yang menjadikannya menderita dalam
pergaulan, seperti dengan laki-laki tuna netra, tua renta, dan sebagainya.
Berbeda dengan Imam Syafi’i yang membolehkan secara bersyarat, Imam
Hanafi berpendapat bahwa para wali berhak untuk menikahkan anak-anaknya yang
masih di bawah umur tanpa perlu meminta izin kepada anak tersebut. Pernyataan ini
senada dengan pendapat beliau yang menyatakan bahwa hak ijbar (paksa) wali hanya
diberlakukan bagi anak di bawah umur, bukan anak yang sudah dewasa ataupun janda.
(Zuhaili, 2007: 174)
Sedangkan diantara ulama yang membedakan antara pernikahan dini bagi anak
laki-laki dan anak perempuan adalah Ibnu Hazm dan Al-Zhahiri. Keduanya hanya
membolehkan pernikahan dini pada anak prempuan karena dalil-dalil yang ada
menurutnya hanya tentang anak perempuan, sedangkan analogi anak laki-laki kecil
dengan anak perempuan kecil menurutnya tidak boleh.
Kajian mengenai pernikahan anak usia dini mendapatkan perhatian yang khusus
dikalangan fuqaha’ baik klasik maupun kontemporer. Sekalipun saling berbeda,
masing-masing pendapat memiliki dasar hukum yang merujuk pada al-Qur’an dan
hadis, dan kesemuanya baik dari kalangan fuqaha’ klasik maupun kontemporer yang
menolak maupun menyetujui pernikahan dini mengarah pada tujuan yang sama yakni
asas kemaslahatan yang menjadi “ruh” dari syari’at Islam.

E. Hukum yang Bertalian dengan Menikah Dini


Menikah dini hakikatnya adalah menikah juga, hanya saja dilakukan oleh
mereka yang masih muda dan segar, seperti mahasiswa atau mahasiswi yang masih
13
kuliah atau mereka yang baru lulus SMA. Hukum yang berkaitan dengan nikah dini
pada umumnya sama dengan pernikahan biasanya, namun ada pula hal–hal yang
memang khusus yang bertolak dari kondisi umum, seperti kondisi mahasiswa yang
masih kuliah yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-
syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjaun fiqih paling
tidak diukur dengan 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Kesiapan ilmu
yaitu kesiapan tentang pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan
urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah
(melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah
nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju`. Syarat pertama ini didasarkan pada
prinsip bahwa fardhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum-
hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera
dilaksanakannya. Selain itu kewajiban menuntut ilmu tidak boleh dilalaikan.
Sebab, di samping menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim (HR. Ibnu Majah),
menuntut ilmu juga merupakan amanat dari orang tua yang wajib dilaksanakan.
Syariat Islam telah mewajibkan kita untuk selalu memelihara amanat dengan
sebaik-baiknya, dan ingatlah bahwa melalaikan amanat adalah dosa dan ciri
seorang munafik. Allah SWT berfirman dan (orang-orang beriman) adalah orang-
orang yang memelihara amanat- amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS Al
Mu`minun: 8)
b. Kesiapan materi/harta
dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (maskawin)
(lihat QS An Nisaa`: 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk
memenuhi kebutuhan pokok/primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa
sandang, pangan, dan papan (lihat QS Al Baqarah: 233, dan Ath Thalaq: 6).
Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil,
namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya
suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib
diberikan dalam kadar yang layak (bi al ma’ruf) yaitu setara dengan kadar nafkah
yang diberikan kepada perempuan lain semisal isteri seseorang dalam sebuah
masyarakat (Al Maliki, 1963: 174- 175).

14
c. Kesiapan fisik/kesehatan
khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai
laki-laki, tidak impoten. Imam Ash Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam juz III
hal. 109 menyatakan bahwa al ba`ah dalam hadits anjuran menikah untuk para
syabab di atas, maksudnya adalah jima’. Khalifah Umar bin Khaththab pernah
memberi tangguh selama satu tahun untuk berobat bagi seorang suami yang
impoten (Taqiyuddin An Nabhani, 1990, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam). Ini
menunjukkan keharusan kesiapan “fisik” ini sebelum menikah (An Nabhani,
1990:163).

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di
kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu
menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah
alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang”
mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama. Wallahu A’lam
Kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat.
Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas.
Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif.
Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.

B. Saran
Agar Pernikahan dini yang terjadi di masyarakat tidak semakin meningkat, sebagai
orang tua perlu terus menerus melakukan pendampingan pada anak agar dapat tumbuh dan
berkembang sesuai dengan usianya. Selain itu juga para orang tua tidak membiarkan anak-
anak perempuannya yang masih belia, dipinangpria pujaan walau diiming-imingi “angin
surga,” yang kemudian ternyata menghancurkan masa depan anak perempuan itu.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/upload-document?
archive_doc=441163489&escape=false&metadata=%7B%22context%22%3A
%22archive_view_restricted%22%2C%22page%22%3A%22read%22%2C%22action
%22%3A%22download%22%2C%22logged_in%22%3Atrue%2C%22platform%22%3A
%22web%22%7D

17

Anda mungkin juga menyukai