Anda di halaman 1dari 54

Skenario 2

MODUL
MUSKULOSKELETAL

KELOMPOK 32
Skenario
Terjatuh dari Pohon
Seorang laki-laki berusia 24 tahun dibawa
ke puskesmas akibat terjatuh dari pohon.
Penderita terbaring lemah di tempat tidur
puskesmas. Dokter puskesmas yang bertugas
segera melakukan initial assessment, dijumpai
Frekuensi Nadi : 60 x/menit, TD : 90/60 mmHg
serta akralnya dingin. Dokter tersebut segera
memasang infus dan melakukan resusitasi cairan.
Setelah keadaan sirkulasi penderita stabil, dokter melakukan pemeriksaan :

- Dijumpai hilangnya refleks bulbocavernosus.

- Pada tungkai kiri penderita ternyata mengalami deformitas dan memar


di panggul kiri. Kontur sendi panggul kelihatan rata, sakit dan sulit
digerakkan serta tampak mengalami rotasi internal (endorotasi).

- Pada regio cruris dextra tampak luka dibagian anterior berukuran


panjang 3 cm dan lebar 1 cm, deformitas dijumpai, serta tungkai tidak
dapat digerakkan.

Setelah keadaan penderita stabil, penutupan luka dengan kain kasa dan
pemasangan bidai telah dilakukan, penderita direncanakan untuk dirujuk
kerumah sakit.
Te r m i n o l o g i
 Initial assesment : proses evaluasi secara cepat
pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti
dengan tindakan resusitasi.
 Refleks bulbocavernosus (bulbospongiosus
reflex) : kontraksi otot bulbospongiosus sebagai
respon terhadap ketukan pada dorsum penis.
 Deformitas : distorsi salah satu atau seluruh
bagian tubuh.
 Rotasi internal : gerakan kedalam pada sekeliling
sumbu panjang tulang yang bersendi dalam.
Identifikasi Masalah
 A k ral di ngi n .

 Hi l angny a refl ek s bul boc avernosus .

 Deform i tas d a n memar di panggul k i ri .

 Kontur s endi panggul k el i hatan rata, s ak i t


d a n s ul i t di gerak k an .
 Rotas i i nternal ( endorotas i ).

 Tungk ai ti dak dapat di gerak k an .


Analisa Masalah

1. Apa yang menyebabkan akral dingin pada


OS?

Jawab : karena kompensasi tubuh  akibat


hi l a n g n y a c ai r an / p e r d a r a h a n  m e mper t ahank an
aliran darah besar didalam tubuh  darah ke
ot a k , p ar u , gi nj al  m e n g o r b a n k a n pembul uh
darah perifer  vasokontriksi  dingin.
2. Apa yang menyebabkan hilangnya refleks bulbocavernosus?
Jawab : akibat trauma, menyebabkan kompresi pada saraf spinal cord
terutama pada saraf (S1-S3).

3. Mengapa terjadi deformitas dan memar dipanggul kiri?


Jawab :
Deformitas ; karena terjatuh  tulang tidak mampu menahan tekanan
 pergeseran tulang.
Memar ; terjatuh  pecahnya pembuluh darah  pengumpulan darah
dalam jaringan  reaksi inflamasi  menghasilkan makrofag 
makrofag memfagosit eritrosit  menghasilkan Hb  hemosiderin,
biliverdin, hematoidin  memar.
4. Mengapa kontur sendi panggul kelihatan rata,
sakit, sulit digerakkan dan mengalami
endorotasi?
Jawab :
Kontur sendi terlihat rata; kemungkinan karena
terjadi fraktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang.
Sakit ; karena terjatuh  luka  respon inflamasi
 melepaskan prostaglandin  memberi respon di
ssp.
S u l i t d i g e r a k k a n & e n d o r o t a s i ; disklokasi posterior.
5. Apa yang menyebabkan tungkai tidak
dapat digerakkan ?

Jawab : tungkai tidak dapat digerakan akibat fraktur


dan dislokasi pada regio cruris dextra.
Mapping Concept

Terjatuh

Fraktur Dislokasi

1. Initial assesment
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
4. Penatalaksanan awal
Learning Objective
A. Fraktur (Defenisi)
 M e k a n i s m e c e d e r a t e r j a d i n y a f r a k t u r.

 Klasifikasi fraktur berdasarkan etiologi, klinis,


dan radiologi.
 K o m p l i k a s i a k i b a t f r a k t u r.

 M e l a k u k a n i n i t i a l a s s e s m e n t p a d a f r a k t u r.

 P e m e r i k s a a n p e n u n j a n g p a d a f r a k t u r.

 Penatalaksanaan awal, prinsip immobilisasi


dan stabilisasi anggota gerak yang mengalami
f r a k t u r.
B. Dislokasi (Defenisi)
 Melakukan assesment pada penderita dislokasi (primeri,
sekunderi, pemeriksaan fisik).
 Pemeriksaan penunjang pada penderita dislokasi.
 Derajat/tingkat stabilitas sendi : occult joint instability, sublukasi
dan dislokasi.
 Penanganan awal pada penderita dislokasi.
C. Struktur dan ciri-ciri sendi sinovial.
D. Mengidentifikasi berbagai macam mekanisme cedera yang
menimbulkan kelainan pada tulang belakang.
E. Menganalisis berbagai kelainan yang timbul akibat cedera
pada spinal column dan spinal cord pada tulang belakang.
F. Menganalisis gambaran klinis berdasarkan initial assesment
penderita yang mengalami cedera pada ekstremitas/pada
tulang belakang.
G. Menegakkan diagnosis kelainan yang
timbul akibat cedera pada spinal column
dan spinal cord di tulang belakang.

H. Menyusun rencana penatalaksanaan awal,


stabilisasi dan immobilisasi pada
penderita yang mengalami cedera di
tulang belakang.
Belajar Mandiri

Fraktur adalah
terputusnya
kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai
jenis dan luasnya.
Fraktur dapat terjadi
jika tulang dikenai
stress yang lebih
besar dari yang dapat
diabsorbsi.
Mekanisme cedera terjadinya fraktur

Menyebabkan tekanan langsung pada


tulang dan terjadi pada daerah
Trauma langsung tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kuminutif dan jaringan lunak
ikut mengalami kerusakan.
Merupakan suatu kondisi trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh
dari daerah fraktur. Misalnya, jatuh
Trauma tidak
dengan tangan ekstensi dapat
langsung menyebabkan fraktur pada klavikula.
Pada keadaan ini biasanya jaringan
lunak tetap utuh.
Klasifikasi fraktur

 Berdasarkan etiologi :

• Trauma yang tiba-tiba mengenai tulang


Fraktur traumatik dengan kekuatan yang besar.

• Kelemahan tulang sebelumnya akibat


Fraktur patologis kelainan patologis di dalam tulang.

• Trauma yang terus-menerus pada suatu


Fraktur stres tempat tertentu.
 Berdasarkan klinis :
2.
1. 1. Fraktur tertutup (close fracture)
Fraktur di mana kulit tidak
ditembus oleh fragmen tulang.

2. Fraktur terbuka (open fracture)


Fraktur yang mempunyai
hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak.

3. 3. Fraktur dengan komplikasi (complicated


fracture)
Fraktur yang disertai dengan komplikasi.

Fraktur kruris dengan osteomielitis kronis


 Berdasarkan radiologis :
Fraktur transversal Fraktur kominutif

Serpihan-serpihan atau terputusnya


keutuhan jaringan di mana terdapat lebih
dari dua fragmen tulang.
Fraktur yang garis patahnya
tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang.
Fraktur oblik Fraktur segmental

Fraktur yang garis patahnya tegak Dua fraktur berdekatan pada satu
lurus terhadap sumbu panjang tulang yang menyebabkan
tulang. terpisahnya segmen sentral dari
suplai darah.
Fraktur impaksi Fraktur spiral

Terjadi ketika dua tulang Timbul akibat torsi pada


menumbuk tulang yang berada ekstremitas. Fraktur ini khas pada
diantaranya. cedera terputar sampai tulang
patah.
Komplikasi fraktur
Komplikasi awal : Komplikasi dalam waktu lama :
– Kerusakan arteri – Delayed Union
– Compartement Syndrom – Non Union
– Fat Embolism Syndrom – Mal Union
– Infeksi
– Avaskuler nekrosis
– Shock
Initial assesment fraktur

EMERGENCY CASES TIME SAVING IS LIFE SAVING


PENILAIAN PASIEN PADA KONDISI TRAUMA PERSIAPAN PASIEN PADA INITIAL
(INITIAL ASSESMENT/PENILAIAN AWAL) ASSESSMENT, TERBAGI 2

1.FASE PRE- 2. FASE


HOSPITAL HOSPITAL
Koordinasi petugas Perlengkapn airway
lapangan dengan sudah dipersiapkan,
dokter. dan diletakan
Pemberitahuan ke ditempat terjangkau.
rumah sakit untuk Cairan kristaloid
menyiapkan tim sudah dihangatkan
trauma.
Penjagaan airway,
circulation, dan
imobilisasi kerumah
sakit.
Pemeriksaan penunjang pada fraktur
Pemeriksaan radiologi :
 X-ray  mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit.
 CT-scan  bila pemeriksaan radiografi tidak mencapai
kebutuhan diagnosis.

Pemeriksaan laboratorium :
 ↑ Alkalin fosfat  kerusakan tulang, kegiatan osteoblastik dalam
pembentukan tulang.
 ↑ Kalsium serum & fosfor serum  penyembuhan tulang.
 ↑ Enzim otot (Kreatinin Kinase, LDH-5, AST, Aldolase) 
penyembuhan tulang.
Pemeriksaan lainnya :
 Pemeriksaan mikroorganisme kultur & tes sensitivitas
 fraktur dengan komplikasi ; didapatkan
mikroorganisme penyebab penyakit.
 Biopsi tulang & otot  diindikasikan bila terjadi infeksi.
 Elektromiografi  kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
 Atroskopi  jaringan ikat yang rusak/sobek karena
trauma yang berlebihan.
 Indium Imaging  infeksi pada tulang.
 MRI  menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur.
Penatalaksanaan fraktur
Umum :
Pengenalan terhadap fraktur melalui
Rekognisi penegakan berbagai diagnosa.

Reduksi Tindakan mengembalikan posisi


fragmen-fragmen tulang yang fraktur.

4R Retensi Mempertahankan kondisi reduksi


selama masa penyembuhan.

Mengembalikan kondisi tulang yang


Rehabilitasi patah ke keadaan normal.
Ortopedi :  Reposisi diikuti dengan imobilisasi
dengan fiksasi luar.
 Proteksi tanpa reposisi dan
imobilisasi. Untuk fiksasi fragmen patahan
Contoh : fraktur kosta, fraktur tulang.
klavikula pada anak, fraktur  Reposisi secara non-operatif diikuti
vertebra dengan kompresi dengan pemasangan fiksasi dalam
minimal. pada tulang secara operatif.
 Imobilisasi dengan fiksasi. Contoh : reposisi fraktur collum
Contoh : pengelolaan fraktur femur.
tungkai bawah tanpa dislokasi  Reposisi secara operatif diikuti dengan
yang penting. fiksasi patahan tulang dengan
 Reposisi dengan cara manipulasi pemasangan fiksasi interna.
diikuti dengan imobilisasi. Contoh : fraktur femur, tibia,
Contoh : fraktur radius distal. humerus atau lengan bawah.
 Reposisi dengan traksi.  Eksisi fragmen fraktur dan
Contoh : fraktur femur. menggantinya dengan prosthesis
Contoh : fraktur collum femur.
Dislokasi
Dislokasi adalah pindahnya
permukaan sentuh tulang yang
menyusun sendi. Cedera ini
dihasilkan oleh gaya yang
menyebabkan sendi melampaui
batas normal anatominya.

Anamnesa + Pemeriksaan fisik :


1. Look/inspeksi : bengkak, deformitas, kelainan bentuk.
2. Feel/palpasi : nyeri tekan, lokal pada tempat fraktur.
3. Movement/gerakan : gerakan aktif sakit, gerakan pasif sakit krepitasi.
Penatalaksanaan :
1. Lakukan reposisi segera
2. Imobilisasi pasca-reposisi
3. Latihan fisik

Fisioterapi harus segera dilakukan untuk


mempertahankan fungsi otot dan latcher (exercise) yang
aktif dapat diawali secara dini untuk mendorong gerakan
sendi yang penuh.
Pemeriksaan penunjang dislokasi
 Sinar-X (Rontgen)
Pada pasien dislokasi sendi ditemukan adanya pergeseran
sendi dari mangkuk sendi dimana tulang dan sendi berwarna putih.
 CT-scan
CT-scan yaitu pemeriksaan sinar-X yang lebih canggih dengan
bantuan komputer, sehingga memperoleh gambar yang lebih detail dan
dapat dibuat gambaran secara 3 dimensi. Pada pasien dislokasi
ditemukan gambar 3 dimensi dimana sendi tidak berada pada
tempatnya.
 MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang
magnet dan frekuensi radio tanpa menggunakan sinar-X atau bahan
radio aktif, sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh (terutama
jaringan lunak) dengan lebih detail.
Cedera sendi adalah cedera yang terjadi pada sendi, dapat berupa
trauma ligament, occult joint instability, subluksasi dan dislokasi.
Mekanisme cedera sendi dapat terjadi secara langsung ataupun tidak
langsung.

Derajat stabilitas sendi akibat trauma:

1. Occult joint instability  ketidakstabilan sendi hanya dapat ditemukan


dalam pemeriksaan tes stress, pada foto rontgen, tampak sendi yang
normal

2. Subluksasi  terjadi gangguan hubungan kedua permukaan sendi,


namun masih mempertahankan kontak yang cukup.

3. Dislokasi-luksasi  tidak ada lagi hubungan dari kedua permukaan


sendi.
Penanganan awal dislokasi
1.Istirahat
Penatalaksanaan setiap gangguan muskuloskletal adalah istirahat (immobilisasi) hal yang sangat
penting dilakukan untuk menurunkan dampak dari gangguan muskuloskletal. Bertujuan untuk
menurunkan respons inflamasi, menurunkan respon nyeri, dan menghilangkan reflek reduksi. Contoh :
dari intervensi ini seperti penggunaan alat bantu tongkat atau walker dan mitela. Intervesi immobilisasi
kaku menggunakan gips (plaester of paris) sebagai media yang kaku dan dapat digunakan sesuai
bentuk ektremitas.
2. Support
Support (penyokong) dilakukan pada terutama pada kondisi kelemahan otot atau ketidakstabilan dari
sendi. Penggunana brace fungsional dapat membantu mentramisikan pergerakan dari kelemahan otot
ekstremitas. Penggunaan brace tahun terakhir diganti dengan material soft ortostik.
3.Pencegahan dan koreksi
Untuk mengantisipasi perkembangan deformitas sendi serta gangguan otot seperti paralisis atau
spasme maka diperlukan imobilisasi intermiten dalam bentuk removable splint dengan bahan gips,besi
atau material plastik.
4.Melakukan reduksi ringan dengan cara menarik persendian yang bersangkutan pada sumbu
memanjang. Jangan melakukan reposisi jika penderita memgalami nyeri berat.
Sendi Sinovial
Sendi sinovial  sendi yang kompleks, terdiri dari :
 Dua tulang
 Kapsul sendi
 Kartilago sendi
 Membran sinovial
 Cairan sinovial
 Rongga sinovial
Macam-macam sendi sinovial

 Ball and socket


joints.
 Ellipsoidal joints :
jari telunjuk.
 Gliding joints : dua
permukaan flat.
 Hinge joints :
engsel.
 Pivot joints : leher.
 Saddle joints :
jempol .
Pergerakan Sendi

 Gliding/bergeser
Angular  bersudut
 Fleksi : berkurang sudut antara dua tulang
 Ekstensi : bertambahnya sudut antara dua tulang
 Abduksi : pergerakan menjauhi garis tengah tubuh
 Adduksi : pergerakan mendekati garis tengah tubuh
 Sirkumduksi : pergerakan berputar kerucut dari segmen tubuh.
 Rotasi : pergerakan tulang pada sumbunya sendiri
– Pronasi : rotasi dari lengan yang menyebabkan telapak
tangan mengarah ke bawah.
– Supinasi : rotasi dari lengan yang menyebabkan telapak
tangan mengarah ke atas.
Mekanisme cedera yang menimbulkan kelainan
pada tulang belakang

 Yang paling sering menyebabkan cedera pada servikalis


 riwayat trauma lalu lintas.

 Mekanisme trauma pada spinal bisa secara fleksi dan


ekstensi.

 Mekanisme pergeseran aksial (kompresi), dengan suatu


kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada
spina servikal akan menimbulkan kompresi aksial.
Manifestasi distorsi Manifestasi robeknya ligamen
(penyimpangan) spinal akibat longitudinal anterior dan
perubahan dislokasi bagian kompresi pada diskus dan
anterior dan robeknya ligamen ligamen flavum posterior.
longitudinal bagian posterior.
Nukleus pulposus akan mematahkan lempeng vertebra dan
menyebabkan fraktur vertikal pada vertebra; dengan kekuatan
yang lebih besar, badan diskus didorong masuk ke dalam badan
vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture).
Berbahaya  kerusakan neurologis.
Kelainan yang timbul akibat cedera pada spinal column dan
spinal cord pada tulang belakang
Gejala klinis berdasarkan anamnesis, gejala
dan keluhan yang sering muncul adalah :
 Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar
sepanjang saraf yang terkena
 Paraplegia
 Paralisis sensorik motorik total
 Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine,
distensi kandung kemih)
 Penurunan keringat dan tonus vasomotor
 Penurunan fungsi pernapasan
 Gagal nafas
Ta n d a d a n G e j a l a
Tanda dan gejala bervariasi, pada tingkat cidera, derajat syok
spinal, dan fase serta derajat pemulihan :
C1-3 : Quadriplegia dengan kehilangan fungsi pernafasan/ sistem
muskuloskeletal total.
C4-5 : Quadriplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru,
ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari.
C6-7 : Quadriplegia dengan beberapa gerakan lengan/tangan yang
memungkinkan untuk melakukan aktivitas sehari hari.
C7-8 : Quadriplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan,
mengikat kemandiriannya.
T1-L1 : Paraplegia dengan fungsi tangan
dan berbagai fungsi dari otot intercostal
dan abdomen masih baik .

L1-2, dan atau dibawahnya : kehilangan


fungsi motorik dan sensorik, kehilangan
fungsi defekasi dan berkemih .
Defisit neurologis pada cidera spinal cord

a. Complete transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla
spinalis terputus menyebabkan semua fungsi yang melibatkan
medulla spinalis di bawah level terjadinya transection semua
terganggu dan terjadi kerusakan permanen.
 Kehilangan tonus vasomotor area tubuh dibawah lesi
menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak stabil.
 Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering
dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.
b. Incomplete transaction : Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan
motorik lebih banyak pada ekstremitas atas dibandingkan
dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik
yang bervariasi.
 Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah
kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas
dibanding ektremitas bawah.
 Sangat sering dijumpai disabilitas neurologic
permanen.
c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan
kehilangan sensorik disosiasi dengan hilangnya
sensasi nyeri dan suhu.
 Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark
pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh
arteri spinalis anterior.
 Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah
lesi tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan
getaran tetap baik.
d. Brown Sequard Syndrome Sindrome

Ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya


akibat luka tembus.

 Pada kasus murni, sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem


motorik ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya
sensasi posisi (kolumna 20 posterior), disertai dengan
hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu
atau dua level di bawah level trauma (traktus spinothalamikus

 Terjadi gangguan kehilangan sensoris nyeri dan suhu


kontralatetal.
Komplikasi

 Instabilitas dan deformitas tulang


vertebra.

 Fraktur patologis .

 Syringomyelia pasca trauma .

 Nyeri dan gangguan fungsi seksual .


Diagnosa cedera pada spinal column & spinal
cord
1. Anamnesis  keluhan nyeri/kekakuan pada leher atau punggung,
kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinesia defekasi dan
berkemih.

2. Pemeriksaan fisik  menentukan adanya cedera spina tidak stabil,


adanya defisit neurologis dan penurunan kesadaran. Untuk menilai
apakah pasien mengalami spinal syok  teknik colok dubur dengan
menilai refleks bulbocavernosus.

3. Pemeriksaan penunjang  Radiologis didapatkan adanya fraktur-


dislokasi akibat robeknya ligamen dan brust fraktur. Pemeriksaan MRI
untuk mendeteksi dan menilai derajat kompresi korda spina.
Diagnosa spinal cord

1) Risiko disrefleksia otonom


Disrefleksia otonom juga dikenal sebagai hiperrefleksia otonom adalah suatu respon sistem
saraf simpatis yang tidak dapat dihambat dan mengancam kehidupan seseorang. Umumnya
disrefleksia otonom terjadi pada cedera medula spinalis di T6 atau di atas yang terjadi akibat
mekanisme refleks spinal untuk mempertahankan intak meskipun terjadi cedera.
2) Inkontinensia usus/konstipasi
Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi disertai kesulitan atau pengeluaran
feses yang tidak tuntas atau feses kering dan keras. Konstipasi terjadi akibat paralisis flaccid
usus cenderung ada beberapa jam sampai beberapa hari sampai arkus refleks di bawah
tingkatan cedera berfungsi kembali misalnya refleks bulbokavernosus dan refleks regang otot
3) Kerusakan mobilitas fisik
Paraplegia atau paraparesis yang dialami pasien menyebabkan keterbatasan dalam
pergerakan fisik.
4) Risiko ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan merupakan persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
mempengaruhi hasil secara bermakna. Pasien mungkin mengetahui solusi terhadap
masalahnya tetapi percaya bahwa hal tersebut diluar kendalinya untuk mencapai solusi
tersebut.
Penatalaksanaan awal, stabilisasi dan
immobilisasi cedera tulang belakang
1. Mempertahankan kemampuan pasien 5. Pasien mungkin dibius sehingga pasien tidak
untuk bernapas. bergerak dan mengalami kerusakan lebih saat
menjalani tes diagnostik untuk cedera tulang
2. Mencegah shock.
belakang.
3. Immobilisasi leher pasien untuk 6. Pemberian metilprednisolon setelah 8 jam
mencegah kerusakan sumsum tulang kejadian (dosis bolus 30mg/kg berat badan diikuti
belakang lebih lanjut. dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg bbper jam
selama 23 jam atau 48 jam secara infusan.
4. Menghindari kemungkinan komplikasi,
7. Hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis
seperti retensi tinja atau urin, kesulitan sebaiknya diminimalisir dengan mengendalikan
pernapasan atau kardiovaskular, dan status hemodinamik dan oksigenasi. semua
pembentukan bekuan darah vena pasien sebaiknya menerima oksigen tambahan
yang cukup mencapai saturasi oksigen mendekati
dalam (deep vine thrombosis) pada
100%.
ekstremitas.
8. Begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang
belakang harus di imobilisasi untuk mencegah
cedera neurologis yang lebih lanjut.
Referensi
Dorland, W.A.N. 2014. Kamus Kedokteran Dorland Ed: 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Noor, Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Ed: 2. Jakarta: Salemba
Medika.
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Penerbit Yarsif
Watampone.
Wahjoepramono, E.J. 2007. Medula Spinalis dan Tulang Belakang. Fakultas
Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Lippo Karawaci, hal: 131-156.
Dumont et al. 2001. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic Mechanisms.
Clin Neuropharmacol.
Purwadiantoro, A. et al. 1979. Pedoman Penatalaksanaan Praktis Kegawatdaruratan
Medis. Jakarta: Panitia Lulusan Dokter FK UI.
Sjamsuhidajat, Wimde Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Cetakan I Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai