“ Akibat Jatuh”
Seorang laki – laki usia 50 tahun sedang berjalan menuruni tangga dan tiba –
tiba terjatuh karena tersandung. Hasil pemeriksaan radiologi dijumpai colles fracture
dextra. Hasil pemeriksaan dokter juga dijumpai memar pada daerah cruris dextra.
TERMINOLOGI
Cruris dextra : bagian anggota gerak bawah mulai dari lutut hingga
pergelangan kaki sebelah kanan.
1
IDENTIFIKASI MASALAH
ANALISA MASALAH
Jawab : pada orang tua, fraktur radius distal sering timbul dari mekanisme energi
yang rendah, seperti terjatuh pada saat berjalan, ataupun terpeleset. Mekanisme
cedera yang paling umum terjadi adalah jatuh ke tangan terulur dengan pergelangan
tangan dalam dorsofleksi
Jawab :
- Anggota gerak atas tulang yang menyusun colles ; radius, ulna, os.
metacarpal, os. phalanges.
- Anggota gerak bawah tulang yang menyusun cruris ; os. femur, os. patella,
os. tibia, os. fibula, os. tarsal, os . metatarsal, os. phalanges.
2
4. Bagian tulang apa yang terkena pada saat OS terjatuh, aksial atau
apendikular?
MAPPING CONCEPT
OS laki – laki
50 tahun
Terjatuh
Fisiologi
Muskuloskeletal
3
LEARNING OBJECTIVE
Fraktur.
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler.
Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui
proses osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel
yang disebut osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan
garam kalsium.
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-
selnya terdiri atas tiga jenis dasar, yaitu; osteoblas, osteosit dan osteoklas.
Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan
matriks tulang. Adapun matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2%
subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan.
Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun.
Selanjutnya, osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam
pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks
tulang). Sementara osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak)
yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Muskuloskeletal
• Otot (muscle)
• Tulang (skeletal)
• Sendi
• Bursae : kantong kecil dari jaringan ikat, antara tulang dan kulit, antara tulang
dan tendon atau diantara otot
6
SISTEM SKELETAL
Sistem skeletal dibentuk oleh 206 buah tulang, yang terbagi dalam 2 bagian
besar : axial dan appendicular
1. Axial skeletal :
– Tulang Kepala
TENGKORAK
Dibagi menjadi 2 :
• 8 tulang kranium
• 14 tulang wajah
Tulang Kranium :
7
– 1 tulang frontal (tulang dahi)
8
Tulang Wajah
Bagian rahang :
– 2 Os maksila
(tulang rahang atas)
– 1 Os mandibula
(tulang rahang
bawah)
– 2 Os zigomatikum
(tulang pipi)
– 2 Os palatum
(tulang langit-
langit)
Bagian Hidung :
– 2 Os nasale (tulang
hidung)
– 1 Os vomer (sekat
rongga hidung)
9
Tulang-Tulang Iga :
Vertebra :
– 7 vertebra servikalis
– 12 vertebra torakalis
– 5 vertebra lumbalis
– 5 vertebra sakralis
– 4 vertebra koksigis
• Skapula 2 buah
• Klavikula 2 buah
– Humerus 2 buah
– Lengan bawah
10
• Radius 2 buah
• Ulna 2 buah
– Tangan
• 8 pasang tulang
karpal
• 5 pasang tulang
metakarpal
• 14 pasang
tulang falang
11
Tulang Ekstremitas Bawah
– Femur : 2 buah
– Patela : 2 buah
12
– Tungkai bawah
• Fibula : 2 buah
• Tibia : 2 buah
– Tulang-tulang kaki :
• Tarsal : 14 buah
• Metatarsal : 10
buah
• Falangus : 28 buah
13
Sel Penyusun Tulang
• Osteosit : sel tulang yang terbenam di dalam matriks tulang. Sel ini berasal
dari osteoblast, memiliki juluran sitoplasma yang menghubungkan antara satu
osteosit dengan osteosit lainnya dan juga dengan bone linning cells di
permukaan tulang.
3 JENIS OTOT
• Otot rangka/otot skelet : otot ini sebagian besar menempel ke tulang. Otot
ini disebut juga otot lurik.
• Otot jantung : dikontrol oleh sistem saraf otonom. Otot ini bereaksi secara
sinkron, dimana sel otot jantung ini mengalami kontraksi dan relaksasi dalam
waktu yang hampir sama
• Otot polos : sering disebut otot tak sadar. Otot ini terdapat pada saluran cerna
dan pembuluh darah, dan diatur oleh sistem saraf otonom.
14
JENIS-JENIS SENDI
15
• Diarthrosis : sambungan antara 2 tulang atau lebih yang memungkinkan
tulang-tulang tersebut bergerak satu sama lain. Diarthrosis disebut juga sendi
sinovial. Berdasarkan bentuknya, diarthrosis dibagi dalam beberapa sendi;
sendi engsel, sendi kisar, sendi telur, sendi peluru dan sendi buah pala.
– Perlengketan otot
– Pengungkit
16
Fisiologi otot :
Fisiologi sendi :
Abduksi – adduksi
Sirkumduksi
Pronasi – supinasi
4. Gerakan khusus
Inversi – eversi
Dorsofleksi – plantarfleksi
Opposisi
17
Protraksi – retraksi
Elevasi – depresi
Fleksi lateral
• Otot yang dapat menggerakkan rangka adalah otot yang melekat pada rangka.
• Garis-garis gelap dan terang pada otot rangka adalah miofibril yang
merupakan sumber kekuatan otot dalam melakukan gerakan kontraksi, karena
massa utamanya adalah serabut.
• Zona Z merupakan bagian tumpang tindih dua molekul protein filamen otot,
yaitu aktin dan miosin. Protein otot yang tersusun atas aktin dan miosin
disebut aktomiosin. Protein kompleks inilah yang merupakan komponen
terbesar dari bahan penyusun otot.
18
19
Pada saat serabut otot berkontraksi terjadilah perubahan panjang zona
Z dan zona H. jika otot berkontraksi maksimum, ukuran otot dapat 20 % lebih
pendek dari ukuran saat berelaksasi.
C. FRAKTUR
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Suddarth, 2002). Sedangkan menurut Linda
Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan fraktur sebagai rusaknya kontinuitas tulang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh
20
tulang. Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2001).
Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah
fraktur bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa
komplikasi. (Handerson, M. A, 1992 dalam Suddarth 2002).
2. Etiologi
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
3. Patofisiologi
21
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, bone marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang.
b. Faktor Intrinsik
22
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
4. Klasifikasi Fraktur
Proses terjadinya fraktur dapat sangat bervariasi, tetapi untuk alasan
yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
23
- Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
- Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
24
3) Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
25
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu :
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
5. Manifestasi Klinik
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
i. Pergerakan abnormal
26
j. Rontgen abnormal
6. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya
trauma.
b.Scan tulang, temogram, CT-scan : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
d. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respons stress normal
setelah trauma.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cedera hati.
7. Penatalaksanaan Medik
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden
period).
Saat kuman belum terlalu jauh meresap, dapat dilakukan langkah-
langkah:
1) Pembersihan luka
27
2) Eksisi
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Selain itu,
reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. (Brunner, 2001)
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum fraktur direduksi dan diimobilisasi, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur. Selain itu, harus diperoleh izin
untuk melakukan prosedur, serta dapat di berikan analgetik sesuai
ketentuan, mungkin perlu dilakukan anestesi. Ekstremitas yang akan
28
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan
lebih lanjut.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, bidai dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar x harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Selain reduksi tertutup, ada pula traksi. Traksi dapat digunakan
untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar x digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika
tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga
aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
29
3) Retensi/Immobilisasi
Retensi atau immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk
menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Sedangkan untuk
fiksasi interna dapat digunakan implan logam yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan
kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (misalnya
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau secara
berkala, jika ada tanda gangguan neurovasuler, segera dilaporkan pada
ahli bedah ortopedi. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan, misalnya meyakinkan pasien,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika. Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
30
disuse dan meningkatkan peredaran darah.
Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap
pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya,
fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan
dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, serta menentukan
tingkat aktivitas dan beban berat badan.
8. Komplikasi
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
kreatinin menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti
gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
31
3)Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5)Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6)Shock
32
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
33
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
34
Disarankan kepada pembaca agar mempelajari lebih banyak dan mendalam
tentang otot, tulang dan sendi dari buku-buku lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A.N. 2014. Kamus Kedokteran Dorland Ed: 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sudoyo, W. Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta: InternaPublishing.
Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Penerbit Yarsif
Watampone.
Sjamsuhidajat, Wimde Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Cetakan I Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Paulsen, F., Waschke, J. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Diana, D. 2011. Patofisiologi Fraktur in BAB II. FK Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id (Diunduh 18 Oktober 2016 Pukul 22.30 WIB)
Harahap, M. 2015. Mekanisme Cedera in BAB II. FK Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id (Diunduh 18 Oktober 2016 Pukul 22.35 WIB)
35