Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

PERITONITIS UMUM E.C PERFORASI DUODENUM

Oleh : dr. Intan Charina

Pendamping : dr. Jose Rizal

SUPERVISOR : dr. Eko,Sp.B


Identitas Pasien
IDENTITAS PASIEN
• Nama : Tn. NH
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Tanggal Lahir : 21-07-1972
• Umur : 47 Tahun
• Agama : Islam
• Alamat : Talang Padang
• Tgl Masuk : 21-02-2019
ANAMNESIS
• Keluhan Utama
Nyeri perut

• Anamnesis Terpimpin
Nyeri perut sejak 1minggu. Nyeri perut
dirasakan diseluruh lapang perut dan hilang timbul.
Os mengatakan perut mengeras 1 hari terakhir.
Sebelumnya os megeluhkan nyeri perut kanan
bawah (+) . Keluhan disertai demam, mual, dan
muntah sebanyak 1x. Makan hanya masuk sedikit.
BAK (+) N, BAB (-) 1 hari, flatus (-).
ANAMNESIS
Riwayat penyakit dahulu :
• Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang
serupa sebelumnya
• Pasien rutin mendapatkan terapi dari RSJ
dengan gangguan depresi.
Riwayat Penyakit keluarga:
• Tidak ada anggota keluarga yang memiliki
keluhan yang serupa dengan pasien
PEMERIKSAAN FISIK
• Kesadaran : Compos mentis
• Keadaan umum : tampak sakit sedang
• Tanda vital :
TD : 90/70mmhg
HR : 107 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 37,9oC
• Mata : Kunjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik
(-/-), pupil isokor OD±2,5 mm OS ±2,5mm

• Telinga : DBN
• Hidung : DBN
• Mulut : DBN
• Leher : Pembesaran KGB (-)
• Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : redup
Auskultasi : S1S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
• Paru :
Inspeksi
• Statis : bentuk dada dalam batas normal, simetris
• Dinamis :gerakan paru simetris (+), ketertinggalangerak
(-), retraksi iga (-)
Palpasi
• Deviasit rakea (-), pembesaran KGB (-) ,fremitus Taktil kanan
= kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Suara napas dasar vesikuler +/+, suara napas,
tambahan : rhonki (-/-) wheezing (-/-)
• Abdomen :
– Inspeksi : Tampak distensi, tidak terdapat
sikatrik, darm countour (-), darm steifung (-)
– Auskultasi : Bising usus melemah, metallic sound (-
)
– Palpasi : defans muskular (+), nyeritekan (+)
seluruh lapang perut.
– Perkusi : Hipertimpani
• Ektremitas: akral hangat, capillary refill time < 2
detik
• Oedema tungkai -/-
Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 12,6 11 – 17 g/dl
Hematokrit 38,1 37,0 – 48,0 %
MCV 87,6 80 – 97 fl
MCH 29,0 26 – 34 pg
MCHC 33,1 31,0 – 35,5 g/dL
Leukosit 6170 4.000 – 10.000 ul
Trombosit 428.000 150.000 – 400.000 ul
Limfosit 5,2 20 – 40 %
Monosit 10,5 2 -8 %
Neutropil 84,3 50 -70 %
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Ureum 30,29 8 -50 mg/dL
Creatinin 1,17 0,8 – 1,2 mg/dL
GDS 118 < 140 mg/dL
SGOT 25 6 – 30 U/l
SGPT 18 7 – 32 U/I
CT 2’30” 2-6 menit
BT 1’30” 1 – 3 menit
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologi
Pemeriksaan Penunjang
• Radiologi
Resume
Tuan NH, laki-laki, usia 47 tahun, datang ke RSUD karena
mengalami Nyeri perut sejak 1minggu. Nyeri perut dirasakan
diseluruh lapang perut dan hilang timbul. Os mengatakan
perut mengeras 1 hari terakhir. Keluhan disertai demam,
mual, dan muntah sebanyak 1x. Makan hanya masuk sedikit.
BAK (+) N, BAB (-) 1 hari, flatus (-). Os sering mengkonsumsi
obat dari dokter di RSJ.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen dan nyeri
tekan di seluruh lapang perut, dan bising usus yang melemah.
DIAGNOSIS MASUK

Peritonitis Generalisata e.c


Perforasi Hollow Viscus
PENATALAKSANAAN
• Non medikamentosa
Pemasangan NGT, DC
pasien dipuasakan
Infus cairan RL 20 tetes permenit

• Medikamentosa
inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
infs. Metronidazole 500mg/8jam
inj. Ketorolac 1amp/8jam
inj. ranitidine 1 amp/12 jam
PROGNOSIS :

– Quo ad Vitam : bonam


– Quo ad Functionam : bonam
– Quo ad Sanactionam : bonam
LAPORAN OPERASI
DIAGNOSIS POST OP

Peritonitis e.c Perforasi Duodenum


Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
24/02/2019 S : Nyeri pada luka operasi, pusing, flatus (+) - RL : D5% : Aminofluid
1 :1 :1
O : KU : Baik, CM - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 100/68 mmhg RR : 22 x / menit
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
N : 107x / menit S : 37,9 - Inj. Ranitidin/12jam
Abdomen : Bising usus (+) N - Inj. Omeprazol 2x40mg
A: Post Op Laparatomi Explorasi H1 e.c
Perforasi Duodenum
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
25/02/2019 S : Nyeri pada luka operasi, pusing, flatus (+) - RL : D5% : Aminofluid
1 :1 :1
O : KU : Baik, CM - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 99/62 mmhg
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
RR : 22 x / menit - Inj. Ranitidin/12jam
N : 102x / menit - Inj. Omeprazol 2x40mg
S : 34,7
Abdomen : Bising usus (+) N
ALBUMIN : 2,2
A: Post Op Laparatomi Explorasi H2 e.c
Perforasi Duodenum
- hipoalbuminemia
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
26/02/2019 S : Nyeri pada luka operasi, pusing, flatus (+) - RL : D5%
- 2 :1
O : KU : Baik, CM - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 90/60 mmhg
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
RR : 22 x / menit - Inj. Ranitidin/12jam
N : 93x / menit - Inj. Omeprazol 2x40mg
S : 34,7 - Tranfusi albumin 1kolf
Abdomen : Bising usus (+) N
ALBUMIN : 2,2
A: Post Op Laparatomi Explorasi H3 e.c
Perforasi Duodenum
- hipoalbuminemia
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
27/02/2019 S : keluhan (-) - RL : D5%
- 2 :1
O : KU : Baik, CM - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 100/62 mmhg
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
RR : 25 x / menit - Inj. Ranitidin/12jam
N : 88x / menit - Inj. Omeprazol 2x40mg
S : 34,7 - Minum 1 sendok/jam
Abdomen : Bising usus (+) N
ALBUMIN : 2,2
A: Post Op Laparatomi Explorasi H4 e.c
Perforasi Duodenum
- hipoalbuminemia
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
28/02/2019 S : keluhan (-) - RL : D5%
- 2 :1
O : KU : Baik, CM - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 100/62 mmhg
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
RR : 25 x / menit - Inj. Ranitidin/12jam
N : 88x / menit - Inj. Omeprazol 2x40mg
S : 34,7 - Diit susu : air putih
Abdomen : Bising usus (+) N - 1 : 1/jam
ALBUMIN : 2,3
A: Post Op Laparatomi Explorasi H5 e.c
Perforasi Duodenum
- hipoalbuminemia
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
27/02/2019 S : keluhan (-) bab (+) - RL : D5%
- 2 :1
O : KU : Baik, CM - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 100/62 mmhg
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
RR : 25 x / menit - Inj. Ranitidin/12jam
N : 88x / menit - Inj. Omeprazol 2x40mg
S : 34,7 - Minum susu 1 sendok/jam
Abdomen : Bising usus (+) N
NGT : 30cc, hijau
ALBUMIN : 2,3
A: Post Op Laparatomi Explorasi H6 e.c
Perforasi Duodenum
- hipoalbuminemia
- Susp leakage
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
27/02/2019 S : flatus (-) BAB (-) - RL : D5%
- 2 :1
O : KU : Baik, CM - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 100/62 mmhg
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
RR : 25 x / menit - Inj. Ranitidin/12jam
N : 88x / menit - Inj. Omeprazol 2x40mg
S : 34,7 - Minum susu 1 sendok/jam
Abdomen : Bising usus (+) N
ALBUMIN : 4,3
DRAIN 200cc, edema(+)
A: Post Op Laparatomi Explorasi H7 e.c
Perforasi Duodenum
- hipoalbuminemia
-susp.leakage
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
27/02/2019 S : demam, sesak, batuk - RL : D5%
- 2 :1
O : KU : TSB - inj. Ceftriaxone/12 jam
- Metronidazol infs
TD : 60/40 mmhg
- Inj. Ketorolac/8 jam (KP)
RR : 30 x / menit - Inj. Ranitidin/12jam
N : 90 / menit - Inj. Omeprazol 2x40mg
S : 34,7 - Minum 1 sendok/jam
Abdomen : Bising usus (+) lemah
ALBUMIN : 4,3
A: Post Op Laparatomi Explorasi H9 e.c
Perforasi Duodenum
- Hipoalbuminemia
- Susp leakage
Observasi Drain
• 17.00 : 270cc
• 18.00 : 280cc
• 19.00 : 290cc
• 20.00 : 300cc
• 21.00 : 300cc
• 22.00 : 300cc
• 23.00 : 300cc
Follow Up
Tanggal Catatan Perkembangan P (Planing)
S (Subyective) O (Obyektive) A (Assesment)
27/02/2019 Kondisi pasien memburuk, pupil midriasis
Pukul 00.20 TD : 50/palpasi

Pukul 00.30 Nadi tidak teraba.


Pupil midriasi total, Pasien menghembuskan
nafas terakhirnya.
Pembahasan
Peritonitis adalah peradangan yang
disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut (peritonieum).

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu


bentuk penetrasi yang komplek dari dinding
lambung, usus halus, usus besar akibat dari
bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.
Klasifikasi Peritonitis Terbagi menjadi 3 yaitu :
(1) Peritonitis primer
(2) Peritonitis Sekunder
(3) Peritonitis tersier

Pada pasien ini jenis peritonitis sekunder


karena terjadi akibat proses patologik karena
peritonitis yang disebabkan oleh perforasi
Perforasi Intestinal terbagi menjadi 2 yaitu :
(1) Perforasi non trauma, misalnya pada ulkus
peptik, tifoid dan apendisitis.
(2) Perforasi oleh trauma (tajam dan tumpul).
ANATOMI DUODENUM
• Merupakan bagian pertama dari usus halus,
berbentuk C, melekat pada caput pankreas,
panjang 20-25 cm
• Terdiri dari 4 bagian:
– Pars I (superior) Intraperitoneal
– Pars II (desenden)
– Pars III (horizontal/inferior) Retroperitoneal
– Pars IV (asenden)
Duodenum Pars I (Superior)
• Memanjang dari orificium piloricum gaster hingga collum
vesica felea, tepat di sisi kanan corpus vertebra L1.
• Panjang  5 cm.
• Batas:
– Posterior oleh ductus biliaris komunis, arteri
gastroduodenalis, vena porta, dan vena cava inferior.
– Anterior oleh lobus quadratus hepar.
– Superior oleh foramen epiploica
– Inferior oleh caput pankreas
• Setengah bagian proksimalnya bebas bergerak dan setengah
bagian distalnya terfiksasi
• Sebagian besar ulkus duodenum terjadi pada bagian ini.
Duodenum Pars II (Desenden)
• Berada tepat di sisi kanan linea mediana dan memanjang dari
collum vesica fellea hingga batas inferior dari vertebra L3.
• Panjangnya sekitar 7,5 cm.
• Batas:
– Anterior oleh kolon transversum, lobus hepar dekstra, dan
jejunum,
– Posterior oleh ginjal kanan,
– Medial oleh caput pankreas,
– Lateral oleh kolon asenden dan fleksura kolika dekstra.
• Di pertengahan pars II (sisi posteromedial) terdapat traktus
pankreatikobiliaris  terdapat papila duodeni mayoris (muara
dari duktus biliaris dan duktus pankreatikus) serta papila
duodeni minoris (muara duktus pankreatikus asesorius).
• Batas antara foregut dan midgut tepat di distal papila duodeni
mayoris
Duodenum Pars III (Horizontal/Inferior)

• Bagian duodenum terpanjang, memanjang dari sisi kanan


vertebra lumbal 3 atau 4 ke sisi kiri aorta
• Panjangnya 10 cm.
• Batas:
– Superior : caput dan prosessus uncinatus pankreas,
dengan arteri pankreatikoduodenalis inferior terletak pada
sulkus di antara pankreas dan duodenum.
– Anteroinferior : jejunum.
Duodenum Pars IV (Asenden)
• Panjangnya sekitar 2,5 cm
• Melengkung secara oblik ke atas, atau ke sisi kiri aorta
hingga kira-kira batas atas dari vertebra lumbal II dan
berakhir pada duodenojejunal junction. Sambungan ini
berada sekitar 4 cm di inferomedial dari ujung kartilago
costa IX, dikelilingi oleh lipatan peritoneum yang
mengandung kumpulan serabut otot yang disebut
muskulus/ligamentum suspensoria (ligamentum Treitz).
• Ligamentum Treitz merupakan sisa dari mesenterium
dorsalis yang memanjang dari fleksura duodenojejunal ke
crus dekstra diafragma.
• Batas posterior dari pars IV adalah trunkus simpatikus
sinistra, muskulus psoas serta arteri/vena renalis dan
gonadalis.
Vaskularisasi Duodenum
• Duodenum pars I divaskularisasi oleh
– arteri supraduodenalis
– cabang pankreatikoduodenalis superior posterior dari
arteri gastroduodenalis (cabang utama dari arteri hepatika
komunis).
Pada beberapa individu, bagian proksimal dari 1 cm pertama
juga disuplai oleh arteri gastrika dekstra.
• Arteri gastroduodenalis mempercabangkan
– Arteri supraduodenalis,
– Arteri retroduodenalis
– Arteri pankreatikoduodenalis superior posterior.
Arteri ini berakhir dengan membentuk percabangan
menjadi arteri gastroepiploica dekstra dan
pankreatikoduodenalis superior anterior.
• Ketiga bagian duodenum yang lain divaskularisasi oleh arkade
anterior dan posterior.

• Arteri yang mensuplai arkade vaskular pankreatikoduodenalis


adalah:
– Arteri pankreatikoduodenalis superior anterior
– Arteri pankreatikoduodenalis superior posterior
(retrododenalis)
– Arteri-arteri pankreatikoduodenalis inferior anterior dan
posterior keluar dari arteri mesenterika superior atau dari
cabang jejunal pertama,
• Vena pada duodenum pars 1 bagian distal dan pilorus
biasanya bermuara ke vena gastroepiploica dekstra (disebut
juga vena subpilorikum).
• Duodenum pars 1 bagian proksimal mengalir ke vena
suprapilorikum, yang bermuara ke vena porta dan vena
pankreatikoduodenal superior posterior.
• Arkade vena meninggalkan duodenum dengan mengikuti
arkade arteri dan cenderung terletak lebih superfisial.
• Vena-vena superior anterior bermuara ke vena
gastroepiploica dekstra sedangkan vena-vena superior
posterior biasanya menyilang di posterior duktus biliaris
komunis sebelum memasuki vena porta.
• Vena-vena inferior bermuara ke vena mesenterika superior,
mesenterika inferior, splenikus dan vena jejunalis pertama.
Inervasi Duodenum
• Di dalam dinding duodenum dikenal dua macam pleksus
neural traktus gastrointestinal:
– Pleksus Meissner berada di submukosa, sedangkan
– pleksus Auerbach berada di jaringan ikat di antara lapisan
muskularis eksterna sirkularis dan longitudalis.
• Serabut parasimpatik preganglionik di dalam pleksus awalnya
dibawa oleh nervus vagus.
• Serabut simpatik postganglionik keluar dari corpus sel yang
terletak di ganglia mesenterika superior dan seliaka, pada
ganglia rantai simpatik antara T6 sampai T12, atau tersebar
sepanjang nevus splannikus.
• Nervus ekstrinsik yang mempersarafi duodenum terkadang
meliputi serabut yang keluar dari pleksus hepatikus anterior di
dekat tepat keluarnya arteri gastrika dekstra.
Perforasi Duodenum
• Trauma:
– Tajam
– Tumpul
• Non-trauma  ulkus duodenum
Perforasi Duodenum Traumatik
• seringkali tak terdiagnosis dan mematikan.
• umumnya terjadi bersamaan dengan cedera
intraabdomen yang lain.
• Trauma pada gaster dan duodenum jarang
menimbulkan perforasi (sekitar 5,3% dari seluruh
trauma tumpul abdomen), namun memiliki tingkat
komplikasi hingga 27-28%
• Lokasi anatomi duodenum yang paling sering
cedera adalah duodenum pars 2 (33%), pars 3
dan 4 (20%),

• Cedera pars 1 adalah cedera duodenum yang


paling jarang terjadi, yaitu sebesar 14%.
Cedera multipel terjadi pada 14% kasus.
Perforasi Duodenum Nontraumatik
• Ulkus duodenum dan ulkus gastrik tetap
menjadi penyebab tersering perforasi
gastroduodenal.
• dengan insidensi antara 2-10% pasien
• Lokasi tersering terjadinya perforasi ulkus
adalah duodenum pars I (35-65%), di pilorus
(25-45%) dan di gaster (5-25%).
Etiologi ulkus gastroduodenal:
• Terkait dengan sekresi asam lambung dan
pepsin
• Dikombinasi dengan infeksi Helicobacter
pylori & penggunaan obat-obat anti-inflamasi
non steroid (OAINS).
• Penyebab lain  obstruksi, iskemia, dan
keganasan
Diagnosis
Klinis dari ulkus duodenum:
• Nyeri abdomen  terlokalisir di mid-epigastrium, tolerable,
awalnya timbul episodik & kemudian menetap jika ulkus
sudah semakin dalam
• Perforasi  nyeri peritoneal difus, mendadak, demam,
takikardi, dehidrasi, ileus. Defans muskular (+), nyeri tekan (+).
Gambaran udara bebas (+) secara radiologis.
• Perdarahan  masif jika terjadi jika penetrasi ulkus ke a.
gastroduodenalis (jarang), sebagian besar ulkus terletak
superfisial & menmbulkan perdarahan minor
• Obstruksi  terjadi pada inflamasi akut duodenum, dapat
disertai dengan gastric outlet obstruction (anoreksia, mual,
muntah, pengosongan lambung lambat)  inflamasi kronis
menimbulkan stenosis duodenum.
Klinis dari trauma duodenum:
• Riwayat benturan di daerah mid-epigastrium (misal :
terkena setir, jatuh dari ketinggian ekstrim)
• Tanda klinis dapat tidak manifes pada awalnya, tapi
dapat juga ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan
atas/mid-epigastrium, defans muskuler.
• Ruptur duodenum di retroperitoneal tidak akan
manifes sampai sekresi duodenum masuk ke
intraperitoneal
Radiologis
• Rontgen thorax posisi tegak
• DPL/FAST
• CT-scan abdomen
Manajemen
Ulkus duodenum:
• 50% kasus perforasi ulkus akan menutup sendiri 
terapi konservatif, jika :
– Onset < 24 jam
– Nyeri perut ringan
– Hemodinamik stabil
– Tidak ada tanda-tanda sepsis pada pasien usia < 70 th
• Dekompresi dengan pipa nasogastrik, resusitasi cairan,
pemberian obat-obatan PPI (proton pump inhibitor),
profilaksis tromboembolik, dan terapi antibiotik yang
sesuai, biasanya memberikan perbaikan dalam waktu
12 jam
Indikasi laparotomi emergensi:
• Pasien dengan hemodinamik tidak stabil,
• Onset gejala lebih dari 24 jam,
• Adanya tanda peritonitis dan sepsis,
• Pasien berusia lebih dari 70 tahun (biasanya tidak
berespons baik terhadap terapi non-operatif)
• Dengan pemberian antibiotik terhadap H. pylori, dan
obat-obat penurun asam lambung, hampir 90%
perforasi dapat ditangani dengan simple suture
dengan atau tanpa omental patch (Graham patch).

 Rekurensi menurun drastis dengan pemberian


medikmentosa paska operasi
• Untuk ulkus dengan ukuran kecil (kurang dari 1 cm) dan besar
(1-3 cm) cukup dilakukan simple suture dan omental patch

• Untuk ulkus dengan ukuran sangat besar (lebih dari 3 cm, atau
yang ukuran defeknya terlalu besar sehingga omental patch
saja dinilai tidak cukup aman untuk menutup defek tersebut)
perlu dilakukan operasi lain:
– reseksi bagian duodenum yang perforasi,
– gastrektomi parsial, dengan rekonstruksi Billroth I atau II.
– Konversi dari perforasi menjadi piloroplasti atau
penutupan perforasi dengan serosal patch atau graft
pedikel dari jejunum,
– Gastrojejunostomi proksimal dan/atau vagotomi
Trauma gastroduodenal tumpul maupun tajam:
• Ditangani dengan simple suture, tanpa perlu direseksi
• Jika didapati jaringan rusak yang luas pada duodenum pars II
dan III akibat trauma tumpul, maka perlu dilakukan reseksi
dan rekontruksi.

Perforasi akibat keganasan umumnya memerlukan reseksi dalam


penanganannya
TERIMA KASIH
Referensi
1. Mitchell AWM, Drake RL, Vogl Wayne, Gray H. Gray’s Anatomy for Students, 2nd edition.
Churchill Livingstone; 2007.
2. Skandalakis JE, Skandalakis PN, Colborn GL, Weidman TA, et al. Skandalakis’s Surgical
Anatomy. The McGraw-Hill Companies; 2006
3. Dardinski VJ. The anatomy of the major duodenal papilla of man, with special reference to
its musculature. J Anat 1935;69:469
4. Watts DD, Fakhry SM. Incidence of hollow viscus injury in blunt trauma: an analysis from
275,557 trauma admissions from the East multi-institutional trial. J Trauma
2003;54(2):289–294
5. Demetriades D. Asensio JA. Trauma Management. Landes, USA; 2000
6. Behrman S. Management of complicated peptic ulcer disease. Arch Surg 2005;140:201–
208
7. Svanes C, Salvesen H, Stangeland L, Svanes K, Soreide O. Perforated peptic ulcer over 56
years. Time trends in patients and disease characteristics. Gut 1993;34:1666–1671
8. Townsend CM. Sabiston Textbook of Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical
Practice, 18th edition. Saunders; 2007
9. Higham J, Kang J, Majeed A. Recent trends in admissions and mortality due to peptic ulcer
in England: increasing frequency ot haemorrhage among older subjects. Gut
2002;50:460–464
10. Gisbert J, Legido J, Garcia-Sanz I, et al. Helicobacter pylori and perforated peptic ulcer:
prevalence of the infection and role of non-steroidal anti-inflammatory drugs. Dig Liver
Dis. 2004;36:116–120
11. Lui FY, Davis KA. Gastroduodenal perforation: Maximal or Minimal Intervention.
Scandinavian Journal of Surgery. 2010; 99:73-77
12. Oosting SF, Peters FT, Hospers GA, Mulder NH. A patient with metastatic melanoma
presenting with gastrointestinal perforation after dacarbazine infusion: a case report. J
Med Case Reports 2010;4(1):10
13. Jacobs DG, Angus L, Rodriguez A et al. Peritoneal lavage white count: A reassessment. J
Trauma 1990;30:607
14. Rozycki GS, Ballard RB, Feliciano DV et al. Surgeon-performed ultrasound for the
assessment of truncal injuries. Ann Surg 1998;228:557
15. Malhotra AK, Fabian TC, Katsis SB et al. Blunt bowel and mesenteric injuries: the role of
screening computed tomography. J Trauma 2000;48:991–1000
16. Fakhry S, Watts D, Clancy K et al. Diagnosing blunt small bowel injury (SBI): an analysis of
the clinical utility of computerized tomography (CT) scan from a large multi-institutional
trial. J Trauma 2001;51:1232
17. Crofts TJ, Kenneth GM, Park MB, Stelle RJC, Chung SSC, Li AKC. A randomized trial of
nonoperative treatment for perforated duodenal ulcer. N Engerapi antibil J Med
1989;320:970–973
18. Marshall C, Ramaswamy P, Bergin FG, Rosenberg IL, Leaper DJ. Evaluation of a protocol for
the nonoperative management of perforated peptic ulcer. Br J Surg 1999;86:131–134
19. Hentschel E, Brandstatter G, Dragosics B, et al. Effect of ranitidine and amoxicillin plus
metronidazole on the eradication of Helicobacter pylori and the recurrence of duodenal
ulcer. N Engl J Med 1993;328:308–312
20. Blomgren LGM. Perforated peptic ulcer: long-term results of simple closure in the elderly.
World J Surg 1997;21:412–415
21. Gupta S, Kaushik R, Sharma R, Attri A. The management of large perforations of duodenal
ulcers. BMC Surgery. 2005; 5-15

Anda mungkin juga menyukai