Anda di halaman 1dari 14

Telaah Jurnal

Ascariasis di Kalimantan
Selatan

Miftahuljannah Ali
11120192146
Abstrak

Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, salah satunya adalah ascariasis yang disebabkan
oleh cacing Ascaris lumbricoides. Ascariasis menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan menghambat tumbuh kembang anak
karena mengambil sari-sari makanan yang dibutuhkan oleh tubuh lebih lanjut dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia .
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran sebaran Ascariasis di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian observasional
dengan desain potong lintang dilakukan di tiga belas kabupaten kota Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010 dan 2011 dibagi
berdasarkan ekosistem hutan, rawa, perkotaan dan pantai. Populasi penelitian adalah seluruh anak sekolah dasar di Provinsi
Kalimantan Selatan. Sampel penelitian adalah anak sekolah dasar yang bersekolah pada sekolah dasar yang terpilih sebagai sampel.
Pemilihan sampel sekolah dilakukan secara purposive sampling. Penelitian dilakukan dengan cara survei lapangan yaitu penjelasan
informed consent, pembagian dan pengumpulan pot tinja dan pemeriksaan parasitologi telur cacing secara langsung. Keberadaan
Ascariasis tersebar di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Selatan baik di ekosistem hutan dan pertambangan, rawa, perkotaan
maupun pantai dengan prevalensi tertinggi di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong dan Balangan. Diperlukan
promosi kesehatan guna peningkatan kesadaran perorangan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan serta sanitasi lingkungan
yang buruk khususnya penggunaan jamban keluarga dan pemberian obat kecacingan secara kontinyu di daerah endemis.
Kata kunci : kecacingan, ascariasis, Kalimantan Selatan.
Pendahuluan

Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.


Prevalensinya berkisar antara 45-65% hingga 80% pada daerah- daerah tertentu dengan
sanitasi yang buruk. Cacing nematoda yang tergolong Soil Transmitted Helminth (STH)
adalah golongan terbesar yang menginfeksi manusia, akan tetapi golongan Cestoda dan
Trematoda tidak jarang dijumpai.
Kecacingan umumnya termasuk ascariasis dapat menyerang semua golongan umur dan
jenis kelamin namun paling sering ditemukan pada anak usia belum sekolah dan anak
sekolah dasar yang berusia 4-10 tahun, dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh
dan menghambat tumbuh kembang anak karena cacing mengambil sari makanan yang
dibutuhkan oleh tubuh
Pendahuluan

Kecacingan intestinal yang terjadi di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan umumnya


disebabkan oleh cacing yang biasa menginfeksi penduduk daerah tropis dan subtropik,
termasuk Ascariasis. Hasil survey kecacingan Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu tahun 2008-
2009 di 13 kabupaten/ kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan total sampel 1.964 siswa
sekolah dasar menunjukkan adanya infeksi kecacingan sebesar 23%. Jenis cacing yang
menginfeksi adalah A. lumbricoides sebanyak 10% selanjutnya T. trichiura 8%, Hookworm
3%, Hymenolepis 1,1% dan Enterobius vermicularis sebanyak 1%. Kasus Ascariasis yang
menjadi penyebab kecacingan terbanyak di Kalimantan Selatan, perlu dilakukan
pemantauan terhadap kasus kecacingan guna menentukan strategi pencegahan ascariasis.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran sebaran ascariasis di Provinsi
Kalimantan Selatan. Data kasus diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk
menentukan jenis dan pola intervensi yang efektif dan efisien.
Metode

Penelitian ini adalah penelitian


observasional dengan desain
rancangan potong lintang (cross
sectional). Penelitian
dilaksanakan pada tahun 2010
dan 2011 di 13 kabupaten/ kota
Provinsi Kalimantan Selatan
dengan pembagian ekosistem
seperti pada Tabel 1
Metode

• Populasi penelitian adalah seluruh anak sekolah dasar di Provinsi Kalimantan Selatan. Sampel
penelitian adalah anak sekolah dasar (kelas 1-6) pada sekolah dasar yang terpilih sebagai sampel.
Pemilihan sampel sekolah dilakukan secara purposive sampling. Kriteria inklusi adalah anak
sekolah dasar yang berusia 6 – 15 tahun, tanpa menilai berat badan, status gizi dan jenis kelamin
• Pengumpulan data dilakukan dengan cara survei lapangan. Kegiatan yang dilakukan yaitu
memberikan penjelasan kepada anak sekolah tentang manfaat keikutsertaan dalam penelitian,
pembagian pot tinja yang telah diisi formalin 10% dan lembar penjelasan untuk orangtua murid.
Penjelasan berisi tujuan penelitian, cara pengambilan sampel feses, keuntungan dan kerugian,
kerahasiaan data bagi responden penelitian serta bahan kontak yang akan diberikan bagi anak
sekolah yang bersedia mengumpulkan tinjanya. Lembar penjelasan yang telah ditandatangani
orang tua murid dikembalikan bersama pengembalian pot tinja yang telah diisi dengan feses anak
murid. Pengembalian/ pengumpulan feses dilakukan keesokan hari hingga 3 hari berikutnya.
Metode

• Pemeriksaan parasit telur cacing dilakukan dengan metode pemeriksaan


langsung yaitu tinja sebanyak ±0,2 gr diambil menggunakan osse
diletakkan pada kaca benda. Ditambahkan 1-2 tetes larutan garam
fisiologis dan diratakan, untuk memberikan warna pada tinja agar telur
cacing tampak lebih jelas digunakan 1 tetes lugol 2%. Sediaan selanjutnya
ditutup dengan kaca penutup dan langsung diperiksa di bawah mikroskop
binokuler dengan perbesaran 10x dan 40x. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif jika ditemukan telur cacing pada spesimen yang diperiksa.
Hasil Penelitian
Hasil Penelitian
Frekuensi ascariasis tertinggi diderita oleh anak-
anak sedangkan orang dewasa frekuensinya
rendah. Hal ini disebabkan, kesadaran anak-anak
akan kebersihan dan kesehatan masih rendah
ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap
tersebut sehinga anak-anak lebih mudah
terinfeksi telur cacing A. lumbricoides melalui
makanan. Faktor host merupakan salah satu hal
Pembahasan yang penting karena manusia sebagai sumber
infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun
tanah tercemar oleh telur cacing yang berasal
dari kotoran manusia. Prevalensi Ascariasis di
daerah pedesaan lebih tinggi, hal ini terjadi
karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di
pedesaan, tidak adanya jamban yang
menyebabkan tinja manusia tidak terisolasi
sehingga telur cacing mudah menyebar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Litbang P2B2 Tanah
Bumbu pada anak sekolah dasar, ditemukan kasus ascariasis
hampir di semua kabupaten, terkecuali Kabupaten HST, HSU,
Banjar dan Kota Banjarmasin. Tidak ditemukannya kasus
ascariasis di empat kabupaten tersebut dapat disebabkan oleh
3 faktor yaitu: (1) pada kabupaten HST dan HSU sampel murid
sekolah dasar tersebut berada pada ekosistem rawa yang
lingkungan hidup para responden berada di atas rawa sehingga
kontak fisik dengan tanah sangat jarang. Lingkungan fisik
Pembahasan berupa rawa tersebut menurunkan risiko untuk penularan
ascariasis. (2) Sampel yang diambil pada Kota Banjarmasin dan
Banjarbaru hanya murid pada satu sekolah dasar, penambahan
jumlah sampel memungkinkan akan ditemukannya kasus
positif ascariasis. (3) Pemeriksaan telur cacing dilakukan hanya
secara langsung. Pemeriksaan secara langsung mempunyai
risiko untuk tidak menemukan telur cacing pada kasus infeksi
ringan dikarenakan adanya kemungkinan telur cacing tidak
terambil pada jumlah sampel yang diperiksa.
Kasus ascariasis terdapat di kabupaten
Tanah Bumbu, Tabalong, Balangan, Tapin,
Kotabaru, Tanah Laut, Batola, HSS dan
Banjarbaru. Kasus tertinggi ascariasis
terdapat di tiga kabupaten yaitu Kabupaten
Tanah Bumbu, Tabalong dan Balangan, ke
tiga kabupaten tersebut memiliki
karakteristik tanah berupa tanah liat dengan
Pembahasan ekosistem pantai, hutan dan pertambangan
dan beriklim tropik. Seperti diketahui
perkembangan telur dan larva cacing sangat
cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal
23oC-30oC. Jenis tanah liat merupakan
tanah yang sangat cocok untuk
perkembangan telur cacing ascaris.
Penanganan ascariasis lebih diarahkan pada pemenuhan dan
penggunaan jamban keluarga dan penerapan personal hygiene
yang baik berupa kebiasaan/ perilaku mencuci tangan sebelum
makan atau memegang makanan dan penutupan/ pengemasan
makanan yang baik.
Ketersediaan dan penggunaan jamban keluarga dipengaruhi
oleh jenis jamban dan perilaku penggunaan jamban. Jamban
terdiri atas berbagai jenis antara lain jamban cemplung, leher
angsa, dan lain-lain. Sedangkan ketidaktersediaan jamban

Pembahasan
keluarga membuat masyarakat berperilaku buang air di pantai
pada daerah dengan ekosistem pantai. Ketersediaan jamban
belum tentu diiringi oleh penggunaan jamban oleh masyarakat,
seperti fenomena yang biasa terjadi di ekosistem pantai di
Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu, masyarakat
lebih memilih buang air di pantai dari pada di jamban,
sehingga feses akan terbawa ombak ke pinggir pantai dan
menyatu dengan pasir, yang memungkinkan kontak langsung
antara feses dengan anak yang bermain di pantai.
Kesimpulan

• Keberadaan ascariasis tersebar di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Selatan baik di


ekosistem hutan dan pertambangan, rawa, perkotaan maupun pantai dengan prevalensi
tertinggi di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong dan Balangan.
Keberadaan ascariasis di sebabkan oleh personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang
buruk karena tidak tersedianya jamban keluarga yang memenuhi syarat.
• Peningkatan promosi kesehatan tentang pentingnya personal hygiene dan sanitasi
lingkungan yang baik serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh ascariasis sangat
diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat guna pencegahan ascariasis.
Program pemberian obat kecacingan perlu dilakukan secara kontinyu setiap 6 bulan
sekali khususnya pada daerah endemis guna pengendalian kecacingan.

Anda mungkin juga menyukai