Anda di halaman 1dari 40

PSIKOLOGI INDUSTRI

KEPEMIMPINAN DALAM
PERUSAHAAN
1. PENGANTAR
Kepemimpinan merupakan tema yang populer tidak saja dibicarakan
& diteliti oleh para sarjana ilmu-ilmu sosial, ilmu perilaku, tapi
dibicarakan pula oleh masyarakat pada umumnya. Telah banyak teori
kepemimpinan yang dikembangkan belum ada satu teori yang
dirasakan paling sempurna.

Stogdill (1974) menyatakan jumlah macam batasan tentang


kepemimpinan dapat dikatan sama dengan jumlah orang yang telah
mencoba membuat batasan tentang pengertian tersebut. Pernyataan ini
menggambarkan kemajemukan pengertian kepemimpinan.
Manajemen sering dikacaukan dengan kepemimpinan. Bennis
dan Nanus (1985) melihat perbedaan mendasar antara
manajemen dan kepimpinan. To manage, berarti to bring about, to
accomplish, to have charge of or responsibilty for, to conduct.
Sedangkan leading adalah influencingm guiding in direction
course, action, opinion.

Kepimpinan lebih berhubungan dengan efektivitas, sedangkan


memanajemeni lebih berhubungan dengan efisiensi.
Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting bagi manajer.
Para manajer merupkan pemimpin (dalam organisasi mereka),
sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer.
Kepemimpinan merupakan pengertian yang meliputi segala macam
situasi yang dinamis, yang berisi :
a. Seorang manjer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang
untuk memimpin.
b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan
tugas mereka masing-masing.
c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-
sama dengan bawahannya.
Pembahasan yang akan dibahas kali ini yakni mengenai pola hubungan
kerja antar tenaga kerja dalam perusahaan yang menentukan gaya
kepemimpinan seorang manajer, ciri-ciri pribadi manajer (sebagai
pemimpin) dalam mencapai keberhasilan manajerial, perilaku yang
menggambarkan berbagai gaya manajemen/kepimpinan, pendekatan
kepemimpinan berdasrkan coran interaksi pemimpin dengan
bawahannya
2. POLA HUBUNGAN ANTAR TENAGA KERJA DALAM
PERUSAHAAN
o Dalam organisasi formal dibedakan 2 macam manajer sebagai pemimpin :
1. Mengepalai keseluruhan organisasi.
2. Mengepalai satu bagian atau satu unit dari organisasi.
o Pemimpin yang mengepalai seluruh organisasi adalah manajer puncak (direktur
utama, direktur, general manager). Pemimpin yang mengepalai suatu unit dalam
organisasi merupakan para manajer madya dan manajer pertama (supervisor).
o Tenaga kerja sebagai komponen dalam sistem organisasi berhubungan dengan para
tenaga kerja lainnya. Setiap tenaga kerja memiliki pola hubungan antartenaga
kerjanya:
1. Manajemen puncak
2. Manajemen madya
3. Manajemen pertama
4. Tenaga kerja produktif
POLA HUBUNGAN ANTAR TENAGA KERJA DALAM PERUSAHAAN

2.1 Pola Hubungan Antartenaga Kerja Tingkat Manajemen Puncak


Manajer puncak lebih banyak berhubungan dengan orang-orang yang
bekerja di luar organisasi perusahaannya.
Manajer puncak harus peka dan tanggap terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi di sekitar perusahannya yang mempengaruhi kelancaran
perkembangan usaha.
Manajer puncak secara tidak langsung memimpin keseluruhan kelompok
tenaga kerja yang bekerja pada perusahannya.
2.2 Pola Hubungan Antar tenaga Kerja Tingkat Manajemen Madya
Manajer madya mempunyai hubugan dengan atasan, rekan setingkta
dan bawahan yang menduduki jabatan kepemimpinan.
Manajer madya mempunyai peranan ganda. Berperan sebagai
bawahan, rekan, atasan, dan wakil dari perusahaan.
Manajer madya merupakan penghubungan yang sangat penting dan
yang kreatif antara tingkat-tingkat manajemen rendah dan tinggi.
Kepemimpinannya lebih bercorak perorangan, manajer madya lebih
banyak menghadapi manajer bawahannya secara sendiri-sendiri
daripada secara kelompok.
Pengaruh kepemimpinan akan dirasakan oleh seluruh kesatuan kerja
yang dipimpinnya.
2.3 Pola Hubungan Antartenaga Kerja Tingkat Manajemen Pertama
 Manajer pertama memiliki pola hubungan antartenaga kerja yang serupa dengan pola
hubungan antartenaga kerja tingkat manajemen madya. Bedanya ialah bawahannya bukan
memegang jabatan pimpinan.
 Manajer pertama disebut tenaga kerja-yang-berada-di tengah antara manajemen dan para
pekerja.
 Pada umumnya tingkat interaksi antarpekerja bawahanya lebih besar daripada tingkat
interaksi antartenaga kerja pada tingkatan organisasi yang lebih tinggi.
2.4 Pola Hubungan Antartenaga Kerja Tingkat Tenaga Kerja Produktif
 Pekerja, tenaga kerja produktif, yang menduduki jabatan terendah dalam organisasi
perusahaan, berhubungan dengan rekan dan atasannya saja. Untuk jabatan tertentu, mereka
berhubungan dengan orang atau tenaga kerja di luar perusahan.
 Peran utamanya ialah sebagai bawahan. Namun, dapat memberikan pengaruh yang nyata
pada keberhasilan kepemimpinan atasannya.
Pola hubungan antartenaga kerja bersifat hubungan ketergantungan.
Ketergantungan ini dapat merupakan ketergantungan yang seimbang
(masing-masing tenaga kerja memerlukan tenaga kerja lain dalam derajat
yang sama), dapat pula merupakan hubungan yang tidak seimbang
(tenaga kerja yang satu lebih memerlukan tenaga kerja lain daripada
sebaliknya).

Hubungan antara atasan-bawahan, pada semua tingkat organisasi,


merupakan hubungan ketergantungan yang tidak seimbang. Atasan
mempunnyai kewenangan kedudukan yang lebih besar daripada
bawahannya. Bawahan pada umumnya akan merasa lebih tergantung
pada atasannya daripada sebaliknya.
Corak hubungan ketergantuagan antartenaga kerja, selain
ditentuka oleh corak pekerjaan masing-masing, juga ditentukan
oleh bagaimana masing-masing mempersepsikan keadaannya
(persepsi yang ditentukan oleh faktor-faktor dalam pribadi
seseorang).

Corak hubungan ketergantungan antartenaga kerja tidak


bersifat menetap tapi dapat berubah-ubah coraknya sesuai
dengan tuntutan keadaan sesaat, dapat secara sadar dan sengata
diciptakan atau dapat tanpa sengaja terjadi.
3. CIRI-CIRI PRIBADI
3.1 Ciri-ciri Seorang Pemimpin yang Berhasil
Efektivitas kepemimpinan dianggap ditentukan oleh kepribadian pemimpin.
Pemimpin mempunyai kualitas yang lebih baik dari para pengikutnya.
Marat (1982) mengutip Carter, menemukan ciri-ciri perilaku pemimpin yang
berhasil dari penelitian yang dilakukan pada Angkatan Darat Amerika Serikat :
1. Performing professional and technical speciality
2. Knowing subordinates and showing consideration for them
3. Keeping channels of communication open
4. Accepting personal responsibility and setting an example
5. Imitating and directing action
6. Training
7. Making decisions
Andreas Dananjaya (1985) menemukan adanya perbedaan dalam nilai
operatif pada manajer yang berhasil dengan manajer yang kurang
berhasil.
• Para manajer yang berhasil memiliki nilai-nilai operatif yang
berhubungan dengan kondisi atau sumber daya yang dibutuhkan oleh
suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan dan nilai-nilai yang
menunjukkan pandangan jauh ke depan dan sikap yang selalu
waspada.

• Para manajer yang kurang berhasil memiliki nilai-nilai operatif yang


berhubungan dengan prestise atau “gengsi” seseorang.
De Bono (1986) berdasarkan wawancara dengan 50 pria dan
wanita yang sangat berhasil dalam bidangnya masing-masing
berkesimpulan bahwa ada 4 macam faktor (2 ciri pribadi dan 2
lainnya faktor di luar dirinya)
a. Kedua ciri pribadi itu adalah :
- A little madness
- Very talented
b. Kedua faktor lainnya :
- Rapid growth field
- Luck
a. Ciri-ciri Pemimpin dari Bidang Manajemen Fungsional
o Di setiap bidang manajemen fungsional dapat ditemukan jabatan-
jabatan manajemen pada tingkat tinggi, madya, dan pertama.
Berdasarkan tugas-tugas & wewenangnya, jabatan-jabatan
manajemen dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis
kelompok jabatan, sesuai dengan bidang manajemen
fungsionalnya. Kelompok jabatan manajemen yang berbeda-beda
menuntut kelompok ciri-ciri pribadi yang berbeda-beda pula.

o Hasil penelitian Huttner, Levy, Rosen, dan Stopol (1959) dan studi
Munandar (1977) menunjang pandangan bahwa kelompok jabatan
manajer yang berbeda-beda memerlukan kelompok ciri-ciri
pribadi yang berbeda-beda.
b. Ciri-ciri Pemimpin pada Tingkat Organisasi yang Berbeda
o Ghiselli (1971) menemukan 9 ciri-ciri pribadi yang dinamakan bakat
manajerial (managerial talent) yang berperan penting dalam
keberhasilan seorang manajer :
1. Supervisory ability
2. The need for occupational achievement
3. The need for self-actualization
4. Intelligence
5. Self-assurance
6. Decisive-ness
7. The lack of the need for security
8. The lack of the working class affinity
9. Initiative
c. Ciri-ciri Manajer Puncak yang Berhasil
Bennis dan Nanus (1985) menemukan dalam penelitiannya terhadap 90 pemimpin
(semuanya adalah manajer puncak) yang berhasil 4 macam keterampilan dalam
menangani manusia, yakni :
1. Attention through vision. Pemimpin harus mempunyai vision.
2. Meaning through communication. Pemimpin harus dapat dikomunikasikan oleh
pemimpin kepada bawahannya.
3. Trust through positioning. Positioning adalah perangkat tindakan yang diperlukan
untuk mengimplementasikan vision dari pemimpin. Melalui penetapan
kedudukannya, kepemimpinan memantapkan kepercayaan.
4. The deployment of self through positive self-regard and through the Wallenda factor.
Faktor utama pemimpin yang berhasil ialah peluasan kreatif diri yang dilakukan
melalui menghargai diri secara positif.
Menurut bennis dan Nanus menghargai diri secara positif bukan
merupakan pemusatan pada diri yang egoistik, melainkan terdiri dari 3
komponen :
1. Pengetahuan tentang kekuatan-kekuatannya.
2. Kemampuan untuk merawat dan mengembangkan kekuatan
tersebut.
3. Kemampuan untuk secara tajam melihat perbedaan antara
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dengan kebutuhan-
kebutuhan organisasi.

Peluasan diri melalui faktor Wallenda berarti dalam melakukan


berbagai macam hal kita harus memusatkan perhatian pada yang akan
dilakukan dan tidak memikirkan tentang kemungkinan akan
kegagalan.
o Sandiwan Suharto melaporkan hasil survei, yang dilakukan Bernadette
Setiadi, tentang ciri-ciri pemimpin yang oleh para manajer puncak
dianggap berhasil, yang disajikan dalam ‘Leadership Seminar’ tahun
1998 di Jakarta, dalam majalah Manajemen (1998). Bernadette Setiadi
menemukan 4 ciri yang paling sering disebut oleh para CEO, ialah :
(1) Integritas (3) Memiliki keterampilan komunikasi yang baik
(2) Memiliki visi (4) Mampu memberdayakan bawahan
(empowerment)
o Kajian lain oleh majalah ‘SWA’, majalah bisinis, bersama-sama dengan
‘Asia Market Intelligence Indonesia’, tentang ciri-ciri kepemimpinan
para CEO yang sering disebut : (1) Memiliki visi, (2) Memiliki perhatian
besar terhadap SDM, (3) Memiliki pengenalan situasi yang luas. Dan
ciri-ciri kepribadian pemimpin yang paling sering disebut : (1) Jujur, (2)
Berpendidikan, (3) Memiliki rasa sosial yang tinggi.
SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
a. Ada ciri-ciri pribadi yang secara umum diperlukan oleh
setiap jabatan manajemen dengan derajat kualitas yang
berbeda-beda sesuai dengan tingkatan manajemennya.
b. Ada sekelompok ciri pribadi yang menentukan
keberhasilan seorang manajer puncak.
c. Setiap bidang manajemen fungsional memerlukan
seperangkat ciri pribadi yang khas, yang sesuai untuk
dapat berhasil dalam kepemimpinannya.
4. PERILAKU PEMIMPIN YANG
EFEKTIF-GAYA MANAJEMEN
Ditemukannya berbagai gaya kepemimpinan/gaya manajemen, diduga semula bahwa ada
satu gaya manajemen yang paling efektif (kelompok dari Ohio State University, 1956; Blake
& Mouton, 1964). Terbukti bahwa tidak ada satu gaya manajemen yang efektif untuk setiap
situasi kepemimpinan/manajemen.

Corak masalah yang dihadapi manajer menentukan gaya manajemennya dalam mengatasi
masalah dan pengambilan keputusan
4.1 Kajian Ohio State University
Tahun 1956, sekelompok peneliti (Stogdill, Fleishman, dll) mulai dengan serangkaian
penelitian kepemimpinan untuk menemukenali dimensi-dimensi dari perilaku pemimpin.

Dalam berbagai penelitian, mereka selalu menemukan 2 dimensi utama dari perilaku
pemimpin yang kemudian dikenal sebagai Penenggangan (Consideration) dan Memprakarsai
Struktur (Initiating Structure).

Dengan 2 dimensi tersebut dapat diperoleh 4 macam gaya kepemimpinan :


1. Penenggangan rendah, Memprakarsai Struktur rendah
2. Penenggangan tinggi, Memprakarsai Struktur rendah
3. Penenggangan tinggi, Memprakarsai Struktur tinggi
4. Penenggangan rendah, Memprakarsai Struktur tinggi
4.2 Garida Manajerial
o Blake dan Mouton (1964) dalam mengembangkan garida manajerial mereka, menggunakan 2
dimensi
- Garis tegak (dibagi ke dalam 9 bagian sama besar) adalah dimensi perhatian terhadap
Manusia (PM).
- Garis mendatar (dibagi ke dalam 9 bagian sama besar) adalah dimensi perhatian terhadap
Produksi (PP)

o Garida Manajerial mereka terdiri dari 9 x 9 = 81 sel. Setiap sel mencerminkan perilaku
pemimpin berdasarkan kedua dimensi tersebut. Namun, mereka hanya membedakan lima gaya
manajemen.
1.1 : Penggunaan upaya yang minimum untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang dituntut telah
cukup untuk mempertahankan keanggotaan organisasi.

9.1 : Efisiensi dalam organisasi dihasilkan dari pengaturan kondisi kerja sedemikian rupa sehingga
unsur manusi hanya sedikit sekali berpengaruh.

9.9 : Pencapaian kerja yang berhasil diperoleh dari orang yang terikat; saling ketergantungan melalui
suatu kepentingan bersama dalam tujuan organisasi mengarah pada hubungan-hubungan dari
kepercayaan dan hormat
1.9 : Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kebutuhan orang unutk hubungan yang
memuaskan mengarah kepada satu suasana organisasi dan tempo kerja yang ramah dan
menyenangkan.

5.5 : Prestasi kerja organisasi yang serasi mungkin melalui penyeimbangan dari keperluan
untuk kerja dengan semangat kerja dari orang pada tingkat yang memuaskan.
4.3 Teori “Contingency”
o Model contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967).
Menurut model ini, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem
motivasi dai pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan
mempengaruhi suatu situasi tertentu.

o Situasi yang menguntungkan, yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan
mempengaruhi situasi tertentu, ditentukan oleh 3 variabel situasi, yaitu :
1. Hubungan pemimpin-anggota (leader-member relations).
2. Struktur tugas (task structure).
3. Kekuasaan kedudukan (position power).
Dalam meneliti kembali kajian kepemimpinan yang lampau & menganalisis kajian baru, Fiedler
menemukan bahwa :
1. Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk
berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan/sangat tidak
menguntungkan pemimpin.

2. Pemimpin dengan skor LPC tinggi (pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk
berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sedang derajat keuntungannya.
o Kedua kesimpulan di atas berlaku terutama untuk kelompok interaksi. Fiedler membedakan
antara kelompok-kelompok interaksi, koaksi, dan konteraksi.
a) Kelompok interaksi dituntut koordinasi yang ketat dari para anggota kelompok
dalam melaksanakan tugas-tugas utama mereka.

b) Kelompok koaksi juga bekerja sama pada satu tugas bersama. Namun, setiap anggota
kelompok berdiri sendiri dan prestasi kerjanya tergantung pada kecakapan,
keterampilan, dan motivasinya sendiri.

c) Kelompok konteraksi terdiri dari orang-orang yang bekerja sama untuk tujuan
perundingan dan perujukan dari tujuan dan pandangan saling bertentangan.
4.4 Teori Tiga Dimensi
Reddin (1970) mengembangkan teori tiga dimensinya dengan menambahkan dimensi ketiga
pada dimensi dari Orientasi-Tugas (OT) dan dimensi Orientasi-Hubungan (OH). Dimensi
ketiga merupakan dimensi efektivitas.

Dengan menggunakan OH sebagai sumbu tegak dan OT sebagai sumbu mendatar, ia


menemukenali 4 gaya dasar dari perilaku manajerial, yaitu :
1. Separated : Perilaku OT dan OH digunakan sedikit sekali.
2. Related : Perilaku OH yang terutama digunakan.
3. Integrated : Perilaku OH dan OH banyak yang digunakan.
4. Dedicated : Perilaku OT yang terutama digunakan.
Dapat disimpulkan bahwa menurut teori tiga dimensi, seorang manajer harus dapat
menggunakan gaya manajerial sesuai dengan tuntutan situasi sesaat, mengubah gaya jika
memang diperlukan & mempertahakan gaya jika situasi tidak menuntut perubahaan.

Supaya berhasil maka Reddin menyarankan agar para manajer dilatih dalam 3 keterampilan,
yaitu :
1. Situational sensitivity skill (keterampilan menanggap situasi).
2. Style flexibilty skill (keterampilan melenturkan gaya).
3. Situational management skill (keterampilan memanajemeni situasi)
4.5 Teori Kepemimpian Situasional
Teori kepimpinan situasional, yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1982), yang
merupakan pengolahan dari model efektivitas pemimpin yang tiga dimensi, didasarkan atas
hubungan kurvalinear antara perilaku tugas dan perilaku hubungan dan kedewasaan.

Teori ini berusaha untuk memberikan pemahaman kepada pemimpin tentang kaitan antara gayat
kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya.

Hersey dan Blancgard berasumsi bahwa tingkat kedewasaan dari para bawahan tidak tetap.
Bawahan yang tidak dewasa berubahan untuk menjadi lebih dewasa. Salah satu tanggung jawab
manajer ialah membantu bawahan untuk meningkatkan tingkat kedewasaanya.
4.6 Kepemimpinan dan Pengambilan Keputusan
 Teori kepemimpinan merupakan salah satu teori yang termasuk teori contingency. Teori ini
dikembangkan oleh Vroom dan Yetton (1973) & disebut model normatif tentang
kepemimpinan karena mengarah ke pemberian suatu rekomendasi tentang gaya
kepemimpinan yang sebaiknya digunakan dalam situasi tertentu.

 Model ini dapat digunakan sebagai alat untuk :


a. Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan secara berkelompok.
b. Menyarankan gaya-gaya kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap
situasi.
PERANGKAT PARAMATER KEPEMIMPINAN
a. Klasifikasi Gaya Kepemimpinan
Parameter yang pertama meliputi suatu klasifikasi dari gaya kepemimpinan. Mulai dari gaya
kepemimpinan yang sepenuhnya otokratik sampai yang demokratik, digolongkan ada 5 pola
umum dari kepemimpinan pengambilan keputusan :
 A-I : Memecahkan persoalan/mengambil keputusan sendiri dengan
menggunakan informasi yang pada waktu itu ada.
 A – II : Memperoleh informasi yang diperlukan dari bawahan lalu memutuskan
pemecahan sendiri.
 C–I : Memberitahukan persoalan kepada beberapa bawahan yang
relevan secara pribadi, memperoleh gagasan dan saran tanpa
mengumpulkan mereka dalam satu kelompok.
 C – II : Memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok,
memperoleh gagasan dan saran mereka secara kolektif.
 C – III : Memberitahukan persoalan kepada bawahan sebagai satu kelompok.
Bersama mereka menghasilkan pemecahan dan berusaha untuk mencapai suatu kesetujuan
untuk satu pemecahan
b. Kriteria Efektivitas Keputusan
Parameter yang kedua meliputi kriteria yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan
efektivitas dari keputusan-keputusan yang diajukan dalam setiap situasi. Kriteria ini mencakup
mutu dari keputusan, penerimaan keputusan oleh bawahan atau kesediaan mereka untuk
melaksanakan keputusan, dan jumlah waktu yang diperlukan untuk sampai pada
pemecahannya.
Vroom dan Yetton mengembangkan 7 aturan yang dapat digunakan untuk menentukan
gaya kepemimpinan :
1. Aturan Informasi-Pemimpin 5. Aturan Konflik
2. Aturan Kesesuaian-Tujuan 6. Aturan Kewajaran
3. Aturan Persoalan-Tidak Berstruktur 7. Aturan Prioritas-Penerimaan
4. Aturan Penerimaan
c. Kriteria Penemukenalan Jenis Situasi Pemecahan Persoalan
Komponen ketiga yang penting meliputi suatu perangkat dari kriteria dasar yang
mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan.
Dengan menggunakan perangkat pertanyaan Vroom dan Yetton telah mengenali adanya 14
macam situasi pemecahan persoalan. Untuk setiap macam situasi pemecahan persoalan mereka
memberikan rekomendasi tentang gaya-gaya kepemimpinan mana yang sesuai/layak untuk
digunakan.
5. CORAK INTERAKSI PEMIMPIN
DENGAN BAWAHANNYA
 Hubungan antara pemimpin dengan pengikutnya, hubungan antara manajer dengan
bawahannya, merupakan hubungan saling ketergantungan yang pada umumnya tidak
seimbang.

 Dalam proses interaksi yang terjadi antara pimpinan dan bawahan, berlangsung proses saling
mempengaruhi di mana pemimpin berupaya mempengaruhi bawahannya agar berperilaku
sesuai dengan harapannya.

 Corak interaksi inilah yang menentukan derajat keberhasilan pemimpin dalam


kepemimpinannya.
5.1 Kepemimpinan Transaksional
Dalam bentuk kepemimpinan ini pemimpinan berinteraksi dengan bawahannya melalui
proses interaksi. Bass dan Avolio (1994) membahas 4 macam transaksi, yaitu :
1. Contingent Reward
Jika bawahan berprestasi tinggi, ia akan mendapat imbalan yang memuaskan dirinya.
Transaksinya ialah : “Jika Anda bekerja baik akan saya beri imbalan yang baik”.

2. Management By Exception-Active
Manajer secara aktif dan ketat memantau pelaksanaan tugas pekerjaan bawahannya
agar mereka tidak membuat kesalahan atau tidak gagal dalam melaksanakan pekerjaan,
agar kesalahan & kegagalan tersebut dapat secepatnya diketahui untuk diperbaiki.
3. Management By Exception-Passive
Manajer baru bertindak setelah terjadi kegagalan bawahan untuk mencapai tujuan atau setelah
benar-benar timbul masalah serius. Transaksinya : “Silakan melaksanakan tugas pekerjaan Anda.
Jika timbul masalah atau jika Anda bertindak salah, usahakan mengatasi masalah atau memperbaiki
kesalahan Anda sendiri. Saya baru akan membantu Anda, jika saya lihat Anda tidak mampu
mengatasi masalahnya atau memperbaiki kesalahannya”.

4. Laissez-Faire
Manajer membiarkan bawahannya melakukan tugas pekerjaannya tanpa ada pengawasan dari
dirinya. Transaksinya : “Silakan Anda melakukan tugas pekerjaan Anda secara mandiri, Anda
mampu melakukannya dan harus bertanggung jawab sendiri atas hasil kerja Anda”.

 Dari keempat ciri kepemimpinan transaksional di atas dapat disimpulkan adanya derajat kepercayaan
dari atasan/pemimpin terhadap bawahannya yang berbeda-beda.
5.2 Kepemimpinan Transformasional
Interaksi antara pemimpin dan pengikutnya, manajer dengan bawahannya ditandai oleh pengaruh
pemimpin/manajer untuk mengubah perilaku pengikutnya/bawahannya menjadi seseorang yang
merasa mampu dan bermotivasi tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi dan bermutu.
Lima aspek kepemimpinan transformasional, ialah :
1. Attributed Charisma
Pemimpin mendahulukan kepentingan perusahaan dan kepentingan orang lain dari kepentingan diri. Ia
sebagai pimipinan perusahaan bersedia memberikan pengorbanan untuk kepentingan perusahaan.

2. Inspirational Leadership/Motivation
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya antara lain dengan menentukan standar-
standar tinggi, memberikan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai.
3. Intellectual Stimulation
Bawahan merasa bahwa pimpinan mendorong mereka untuk memikirkan kembali cara kerja mereka, untuk
mencari cara-cara baru dalam melaksanakan tugas, merasa mendapatkan cara baru dalam mempersepsi
tugas-tugas mereka.

4. Individualized Consideration
Bawahan merasa diperhatikan dan diperlakukan secara khusus oleh pimpinannya. Pemimpin
memperlakukan setiap bawahannya sebagai pribadi dengan kecakapan, kebutuhan, keinginannya masing-
masing.

5. Idealized Influence
Pemimpin berusaha, melalui pembicaraan, mempengaruhi bawahan dengan menekankan pentingnya nilai-
nilai dan keyakinan, pentingnya keikatan pada keyakinan perlu dimilikinya tekad mencapai tujuan, perlu
diperhatikan akibat-akibat moral dan etik dari keputusan yang diambil.

Anda mungkin juga menyukai