Anda di halaman 1dari 50

Peran Organisasi Profesi IBI

dalam Meningkatkan Kepatuhan


Bidan terhadap Kewenangan
dan Kode Etik Profesi

Luh Putu Sukarini, SST, SE, MM, M.Kes


IBI PROVINSI BALI
PENGERTIAN IBI

Ikatan Bidan Indonesia (IBI) sebagai


satu-satunya organisasi Bidan bersifat
netral dijiwai oleh filosofi dan kode etik
bidan Indonesia

2
NILAI, VISI DAN MISI
IKATAN BIDAN
INDONESIA
VISI

Mewujudkan bidan
profesional berstandar
global
Lanjut,,

Meningkatkan kekuatan organisasi

Meningkatkan peran IBI dalam


meningkatkan mutu pendidikan Bidan
MIS

Meningkatkan peran IBI dalam


meningkatakn mutu pelayanan
I

Meningkatkan kesejahteraan anggota

Mewujudkan kerjasama dengan jejaring


kerja
Lanjut,,

NILAI - NILAI

Mengutamakan kebersamaan

Mempersatukan diri dalam satu wadah

Pengayoman terhadap anggota

Pengembangan diri

Peran serta dalam komunitas

Mempertahankan citra bidan

Sosialisasi pelayanan berkualitas


ORGANOGRAM PENGURUS DAERAH/CABANG IBI
MUSDA

Ketua
Sekretaris

Majelis Majelis
Pertimba Pertimbangan Humas dan
ngan Advokasi
Etik Organisasi/Pe
rlindungan
Bidan

Wakil Ketua I Wakil Ketua II Bendahara

Organisasi
Pelati Adm Fund
Pendidikan Pelayanan
han keu
Raising
Hukum TIM TEKNIS
Tugas dan kewenangan
Pengurus Daerah

Salah satunya
adalah:
Mencari alternatif
pemecahan masalah
hukum yg dihadapi oleh
kepengurusan dan
anggota IBI
Majelis Pertimbangan Etik Bidan (MPEB)

Majelis Pertimbangan Etik


Bidan (MPEB) merupakan
suatu komponen dalam
struktur organisasi IBI yang
fungsinya untuk membina
Etika dan Kode etik bidan
Lanjut,,(MPEB)

Melakukan kegiatan dalam rangka


pembinaan etika dan kode etik
bidan

Tugas Memberikan solusi atau saran


berkenaan dengan
etik dan kodepembinaan
etik bidan
MPEB
Penanganan masalah berkenaan
dengan praktik bidan
UU
Permenkes
Kesehatan UU Tenaga
1464 tahun
Kesehatan
2010

Standar UU Rumah
Pendidikan Sakit

Standar UU
PELAYAN
Pelayanan AN Perlindungan
KEBIDAN Konsumen
AN

Kode Etik KUH


Pidana

Standar KUH
Pendidikan Standar Perdata
Profesi
Pelayanan Kebidanan

Adalah bagian integral


dari sistem pelayanan
kesehatan yg diberikan
oleh bidan yang telah
terdaftar (teregister) yg
dapat dilakukan secara
mandiri, kolaborasi atau
rujukan
Adl implimentasi
dari atau ilmu
kebidanan oleh
PRAKTIK bidan yg bersifat
KEBIDANAN otonom, kpd
perempuan, keluarga
dan komunitasnya,
didasari etika dan
kode etik bidan.
Dalam pelayanan
kebidanan ada 2 sisi yang
perlu diperhatikan:

1. Penerima 2. Pemberi
pelayanan
pelayanan/klien
(bidan)
Dalam memberikan pelayanan, bidan mempunyai
kewenangan dalam konteks fisiologi (normal).

Namun dalam prakteknya tidak ada satupun bidan


dalam memberikan pelayanan terbebas dari
berupa kondisi gawat darurat yg berdampak resiko
terhadap kondisi klien.
buruk
Oleh karena itu, kondisi tsb harus dikelola dg baik agar
tidak terjadi gugatan atau tuntutan.

Jika terjadi gugatan atau tuntutan maka hal utama yang


harus dilakukan oleh profesi adalah mengupayakan
negosiasi dan mediasi.
Posisi Bidan sangat rawan terhadap tuntutan
dari pasien atau keluarganya terhadap tindakan
yang dilakukan sesuai dengan pekerjaannya

Perlindungan hukum bagi Bidan Praktik Mandiri


sangat diperlukan agar dalam melaksanakan
tugasnya, bidan merasa aman dan nyaman untuk
memberikan pelayanan kepada
masyarakat kompetensi dan
berdasarkan
sesuai kewenangannya
bidang keilmuan yang dimiliki.
Pasal-Pasal yang terkait
dengan pelayanan
kebidanan
UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG
KESEHATAN PASAL 32

(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan


kesehatan, baik pemerintah maupun swasta,
wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan terlebih dahulu.

(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan


kesehatan, baik pemerintah maupun swasta
dilarang menolak pasien dan/atau meminta
uang muka.
UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
PASAL 58 :

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,


tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang
dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
UU NO. 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA
KESEHATAN PASAL 59

(1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik


pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan pertolongan pertama kepada
Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan
gawat darurat dan/atau pada bencana untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.

(2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1)
dilarang menolak Penerima Pelayanan Kesehatan
dan /atau
PASAL
62

(1)Tenaga Kesehatan dalam menjalankan


praktik harus dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang didasarkan pada
Kompetensi yang dimilikinya.
(2)Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang
memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan
memilikikewenangan profesi sesuai dengan
lingkup dan tingkat Kompetensi,
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai
kewenangan profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
UU NO. 36 TAHUN 2014 TENTANG TENAGA
KESEHATAN
BAGIAN KEENAM
REKAM MEDIS
Pasal 70
1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melaksanakan
pelayanan kesehatan perseorangan wajib
membuat rekam medis Penerima Pelayanan
Kesehatan.
2) Rekam medis Penerima Pelayanan
Kesehatan
segera dilengkapi
sebagaimana setelahpada ayat
dimaksud Penerima
(1)
Pelayanan
harus Kesehatan menerima
selesai pelayanan kesehatan.
LANJUTAN

(3) Setiap rekam medis Penerima Pelayanan


Kesehatan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan atau paraf Tenaga Kesehatan yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
(4) Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
disimpan dan dijaga kerahasiaannya
Tenaga Kesehatan dan pimpinan oleh
Pelayanan Kesehatan. Fasilitas
LANJUTAN

Pasal 71

(1)Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
merupakan milik Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2)Dalam hal dibutuhkan, Penerima Pelayanan
Kesehatan dapat meminta resume rekam medis
kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
LANJUTAN….

UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


Pasal 84 :
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat
yang mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka
berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun.
Sanksi Pidana

Pasal 359 KHUP :


“Barang siapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang
lain mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu
tahun.”
Menurut ketentuan pasal 1365
Perdata bahwa tiap KUH
perbuatan
melanggar hukum yang mengakibatkan
kerugian bagi orang lain, mewajibkan
orang yangkerugian
menimbulkan karena
tersebutsalahnya
untuk
mengganti kerugian.
Ketentuan diatas merupakan salah satu bentuk
perlindungan hukum bagi pasien. Sehingga profesi bidan
rentan untuk dimintakan tanggungjawab jika terjadi
kesalahan atas tindakan profesional yang dilakukannya.

Pasal 1366 KUH Perdata menentukan bahwa setiap


orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa


seseorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang- orang
yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-
barang yang berada di bawah pengawasannya.
BAGAIMANA UPAYA JIKA TERJADI
SENGKETA MEDIS?

1. Litigasi :
Melalui Pengadilan
2. Non Litigasi :
Melalui Mediasi (Lebih diutamakan)
DASAR MEDIASI

UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 29

“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan


kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi.”
KEUNGGULAN MEDIASI

Keunggulan mediasi dalam menyelesaikan sengketa medis


memiliki beberapa karakteristik, antara lain :
a. Voluntary (sukarela)
Keputusan bermediasi diserahkan kepada kesepakatan
para pihak.
b. Informal/fleksibel
Para pihak dapat mendesain sendiri prosedur mediasi.
c. Interest based (dasar kepentingan)
Tidak dicari siapa yang benar atau salah.
LANJUTAN

d. Future looking (memandang ke depan)


Lebih menekankan untuk menjaga hubungan para
pihak ke depan.
e. Parties oriented
Para pihak dapat secara aktif mengontrol proses
mediasi dan pengambilan penyelesaian tanpa
bergantung pada pengacara.
f. Parties control
Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan
keputusan dari masing-masing pihak. Mediator tidak
dapat memaksakan untuk tercapainya kesepakatan.
Keterangan Alur

1. Diawali dengan adanya dugaan pelanggaran praktik atau hasil


pelayanan yang tidak diharapkan (kesakitan, kecacatan,
kematian) yang dilakukan oleh anggota IBI, kemudian
ditindaklanjuti oleh pengurus IBI Ranting dengan
mengklarifikasi kepada Bidan tersebut selanjutnya melaporkan
kepada MPEB cabang.

2. MPEB cabang berkoordinasi dengan Ketua Cabang


melakukan
untuk audit internal profesi yaitu dengan
membandingkan antara Standar Pelayanaan dengan
tindakan yang dilakukan oleh Bidan hasilnya
disampaikan kepada MPO dandandilaporkan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kota/Kab jika diperlukan.
Lanjut
Hasil Audit Internal yaitu
berupa :

1. Tidak 2. Pelanggaran etik


ada Bila melakukan pelanggaran
pelanggaran etik MPEB melakukan:
Bila tidak ada pelanggaran a. Teguran lisan/tertulis
desiminasi
MPEB wajibhasil audit
melakukan b. Pencabutan surat
kepada pengurus rekomendasi
anggota IBI dengan tujuandan izin
sementara (< 3bln), tetap
praktik
(3
supaya tidak terjadi isu-isu bln – 1 tahun), selamanya
yang merugikan Bidan dan (1tahun s/d masa
profesi IBI. berakhirnya SIPB)
LANJUTAN
3.Pelanggaran disiplin
Bila melakukan pelanggaran disiplin MPEB
akan melakukan:
a. Teguran lisan dan tertulis

b. Pernyataan Tertulis

c. Rekomendasi pencabutan ijin praktik


sementara untuk selanjutnya mengikuti
pendidikan dan pelatihan
d. Rekomendasi pencabutan ijin praktik
selamanya.
KESIMPULAN
 Pengurus mempunyai peran penting dalam
memberikan pembinaan dan pengayoman
terhadap anggota.
 Pengurus harus memahami tentang peraturan
– peraturan yang terkait dengan tugas bidan.
 Jika ada masalah hukum yang terjadi pada angota
maka peran pengurus untuk melakukan negosiasi
dan mediasi agar tidak berlanjut pada gugatan
atau tuntutan.
SEJARAH
HUKUM
KESEHATAN
INDONESIA
Tonggak Awal
Sejarah
Perkembangan Dr.
HUKUM SETIANINGRUM
KESEHATAN di
“PATI” yang
Indonesia adalah
berawal dari terjadi pada awal
Kasus : tahun 1979
ALUR KASUS “PATI”

Dr. Setyaningrum Setelah itu Dr.


Pasien menjadi
memiliki pasien Setyaningrum
semakin lemas dan
bernama Ny Rusmini memberikan
(28 tahun) dan suami
tekanan darah
Cortison 2 cc
Kapten Kartono semakin rendah
pada pasien

Dokter memberikan Ternyata menjadi


obat Streptomicin 1 lebih parah dan Rujuk ke RSU
gr pada bokong tidak ada R.A.A. Soewondo
bagian kiri ke pasien perubahan

Pasien tiba-tiba Akhirnya dokter


15 menit tiba di
muntah setelah memberikan
RSU pasien
diberikan obat dan Delladril 0,5 cc
ternyata memiliki
akhirnya
pada bagian paha
alergi penisilin meninggal
depan kiri
Sejak kasus PATI tersebut :

Seolah ada Timbul 2


“INTERVENS pendapat yang
I” saling
dari dunia bertentangan
Hukum tentang hal
terhadap ini dengan
Dunia argumentasi
Kesehatan, masing-
khususnya masing.
Medis.
Pendapat yang PRO/SETUJU ;
Alasannya:

Dokter atau Nakes mempunyai kedudukan


yang sama dengan anggota masyarakat lain
dihadapan hukum.

Dokter atau Nakes tidak mempunyai kekebalan


dihadapan hukum.

Sangat tidak mungkin melepaskan norma


hukum terhadap Profesi Kesehatan yang
rentan terhadap kesalahan dengan akibat pada
fisik dan nyawa orang.
Pendapat KONTRA/TIDAK
SETUJU,
Alasannya :

Bahwa perilaku seluruh


Dokter/Nakes sudah diatur Toh selama ini Etik telah
dalam Kode Etik Profesi menjadi “pagar” baik
masing-masingsehingga untuk mengatur perilaku
tidak perlu lagi diatur oleh mereka !
norma hukum
 Atas kasus PATI pula timbul kesadaran hukum
di masyarakat, kalangan hukum dan kalangan
kesehatan.
 Terdapat perkembangan yang cukup signifikan
terhadap pengungkapan berbagai macam
kasus di media.
2 TOKOH
PENGGAGAS DAN PENGEMBANG
HUKUM KESEHATAN DI
INDONESIA
- Drs. FRED AMELN, SH
- Prof. Dr. OETAMA
POLA HUBUNGAN ANTARA TENAKES –
PASIEN PADA DASARNYA HUBUNGAN
TERSEBUT DIDASARI PADA
“KEPERCAYAAN”

Secara umum dpt dikatakan bahwa Nakes dituntut


memiliki landasan intelektual dan standar kualifikasi yg
lebih tinggi, dan dg sendirinya akan lebih mendapatkan
penghargaan lebih tinggi pula dari masyarakat. Profesi
Luhur/Nakes biasanya menjalin hubungan hukum dlm
model perikatan seperti ini. Sebaliknya, profesi yg tidak
berkategori luhur, lazimnya menggunakan model
perikatan yg menjanjikan hasil
Lanjut,,

Dari perspektif sejarah, hubungan antara bidan dengan klien dikenal dg


hubungan vertical-paternalistik. Dalam hubungan ini, kedudukan klien
dan bidan tidak seimbang, bidan dianggap tahu segala hal tentang
kondisi klien, sedangkan klien tidak tahu apa- apa, sehingga
menyerahkan sepernuhnya di tangan bidan.

Bentuk hubungan diatas melahirkan dampak positif dan


negatif.
1. Positif : sangat membantu klien, dalam hal klien awam
penyakit
2. Negatif : apabila tindakan bidan yg berupa langkah-langkah
dlm mengupayakan penyembuhan klen merupakan tindakan-
tindakan yg membatasi otonomi klien.
Lanjut,,

Dimasa sekarang, bentuk hubungan vertical-


paternalistik telah bergeser pada bentu
hubungan horizontal-contractual. Dimana klien dan
bidan memiliki kedudukan yang seimbang dan
sejajar.

Hubungan hukum antara bidan dan klien merupakan hubungan


yg sangat pribadi krn didasarkan atas kepercayaan dari klien
terhadap bidan u/ memberikan pertolongan medis kepadanya.
Hubungan tersebut disebut transaksi terapeutik, yaitu perjanjian
antara bidan sebagai tenaga kesehatan dan klien berupa hubungan
hukum yg melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak.
Lanjut

Hubungan hukum terapeutik bersumber pada kepercayaan


klien terhadap bidan sehingga klien bersedia memberikan
persetujuan tindakan medis (informed consent).

Hubungan klien dengan bidan adl suatu perikatan berusaha


(inspannings verbintenis), yaitu dimana dalam melaksanakan
tugasnya bidan berusaha u/ menyembuhkan/memulihkan
kesehatan klien. Bidan dalam memberikan jasa ini tdk boleh
dan tidak mungkin dapat memberikan jaminan/garansi kpd
kliennya.Bidan tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila
usahanya itu tdk sesuai dg harapan klien, sepanjang dlm
melakukannya bidan telah memenuhi standar profesi dan
menghormati hak-hak klien.
Sumber-Sumber:

1. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


2. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Permenkes No. 1464 Tahun 2010 tentang Ijin
dan Praktik Bidan
4. Kepmenkes No 369/Menkes/SK/III/2007
tentang
Standar Profesi Bidan (9 kompetensi)
5. Muchtar, Masrudi. 2016. Etika Profesi dan Hukum
Kesehatan (Perspektif Profesi Bidan Dalam
Pelayanan Kebidanan di Indonesia). Yogyakarta:
Pustaka Baru Press

Anda mungkin juga menyukai