Anda di halaman 1dari 9

RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM

   Aqidah
Kata aqidah berasal dari bahasa Arab, yaitu ‫ ا لعقد‬yang berarti‫ا لجمع ب ينأطراف‬
‫( ا لشيء‬menghimpun atau mempertemukan dua buah ujung atau sudut/
mengikat). Secara istilah aqidah berarti keyakinan keagamaan yang dianut oleh
seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktivitas, sikap, pandangan
dan pegangan hidupnya. Istilah ini identik dengan iman yang berarti
kepercayaan atau keyakinan.
Masalah-masalah aqidah selalu dikaitkan dengan keyakinan terhadap
Allah,Rasul dan hal-hal yang ghaib yang lebih dikenal dengan istilah rukun
iman. Di samping itu juga menyangkut dengan masalah eskatologi, yaitu
masalah akhirat dan kehidupan Setelah berbangkit kelak. Keterkaitan dengan
keyakinan dan keimanan, maka muncul arkanul iman, yakni, iman kepada
Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhirat, qadha dan qadar.
Di dunia Islam, permasalahan aqidah telah terbawa pada berbagai pemahaman,
sehingga menimbulkan kelompok-kelompok di mana masing-masing kelompok
memiliki metode dan keyakinan masing-masing dalam pemahamannya. Di antara
kelompok-kelompok tersebut adalah Muktazilah, Asy’ariyah, Mathuridiyah, Khawarij
dan Murjiah.
Menurut Harun Nasution, timbulnya berbagai kelompok dalam masalah aqidah
atau teologi berawal ketika terjadinya peristiwa arbitrase (tahkim) ketika
menyelesaikan sengketa antara kelompok Mu’awiyah dan Ali ibn Abi Thalib. Kaum
Khawarij memandang bahwa hal tersebut bertentangan dengan QS al-Maidah/ 5: 44
yang berbunyi;
‫…ومن لم يحكم بما أنزل هللا فألئك هم الكافرون‬
Siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir
(QS al-Maidah/ 5: 44).
Peristiwa tersebut membuat kelompok Khawarij tidak senang, sehingga mereka
mendirikan kelompok tersendiri serta memandang bahwa Mu’awiyah dan Ali ibn Abi
Thalib adalah Kafir, sebab mereka telah melenceng dari ketentuan yang telah
digariskan al-Qur’an. Dengan berdirinya kelompok ini, juga memicu berdirinya
kelompok-kelompok lain dalam masalah teologi, sehingga masing-masing memiliki
pemahaman yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, perbedaan
tersebut tidaklah sampai menafikan Allah, dengan kata lain perbedaan pemahaman
tersebut tidak sampai menjurus untuk lari dari tauhid atau berpaling pada thâgh ût.
Di antara sumber perbedaan pemahaman antara masing-masing
golongan tersebut antara lain adalah masalah kebebasan manusia dan
kehendak mutlak Tuhan. Ada kelompok yang menganggap bahwa
kekuasan Tuhan adalah maha mutlak, sehingga manusia tidaklah
memiliki pilihan lain dalam berbuat dan berkehendak. Kelompok ini
diwakili oleh kelompok Asy’ariyah. Ada pula kelompok bahwa Tuhan
memang maha kuasa, tetapi Tuhan menciptakan sunnah-Nya dalam
mengatur kebebasan manusia, sehingga manusia memiliki alternatif dan
pilihan dalam berkehendak dan berbuat sesuai dengan sunnah yang
telah ditetapkan. Dengan kata lain manusia bebas dalam berbuat dan
berkehendak. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Muktazilah. Ada pula
kelompok yang mengambil sikap pertengahan antara kedua kelompok
tersebut, namun mereka tetap meyakini bahwa Allah maha kuasa
terhadap seluruh tindak-tanduk dan kehendak manusia. Kelompok ini
diwakili oleh Mathuridiyah.
Ibadah
Ibadah berasal dari kata ‫ ا لعبد‬yang berarti hamba. Kemudian dari kata ini
muncul kata ‫ ا لعبادة‬yang berarti‫( إظهار ا لتذلل‬memperlihatkan/ mendemonstrasikan
ketundukan dan kehinaan). Secara istilah ibadah berarti usaha menghubungkan
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang disembah.
Ulama fiqh mendefenisikan ibadah sebagai ketaatan yang disertai dengan
ketundukan dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Redaksi lain menyebutkan
bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan atau dipersembahkan untuk
memperoleh keredhaan Allah dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat
kelak.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa ibadah berawal dari suatu hubungan dan
keterkaitan yang erat antara hati dengan yang disembah. Kemudian hubungan
dan keterkaitan tersebut meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya
perasaan hati kepada-Nya. Kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi
kecintaan yang kemudian meningkat pula menjadi keasyikan. Sehingga akhirnya
membuat cinta yang amat mendalam yang membuat orang yang mencitai
bersedia melakukan apa saja demi yang dicintai. Oleh karena itu, betapapun
seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan demikian
tidak dapat disebut sebagai ibadah sekalipun antara anak dan bapaknya.
Menurut Nazaruddin Razak, dalam konteks ibadah yang dikerjakan,
terdapat lima pokok ibadah, yakni: shalat, zakat, puasa dan naik haji
serta disusul dengan thaharah, di mana thaharah merupakan kewajiban
yang menyertai shalat, zakat, puasa dan naik haji.
Yusuf al-Qaradhawiy menjelaskan lima persyaratan agar suatu
perbuatan dapat bernilai ibadah, yaitu:
1) Perbuatan yang dimaksud tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2) Perbuatan tersebut dilandasi dengan niat yang suci dan ikhlas.
3) Untuk melakukan perbuat tersebut, yang bersangkutan harus
memiliki keteguhan hati dan percaya diri bahwa perbuatan yang
dilakukan akan membawa kepada kebaikan.
4)Harus memperhatikan garis-garis atau aturan-aturan Allah SWT, tidak
ada unsur kelaliman, khianat, penipuan dan lain-lain.
5)Perbuatan-perbuatan duniawi yang dilakukan dengan niat ibadah
tidak boleh menghalangi kewajiban-kewajiban agama seperti berjual
beli yang membuat diri lalai mengerjakan shalat dan sebagainya.
 
Akhlak
Akhlaq merupakan bentuk jamak dari‫( ا لخلق‬al-khuluq) yang berarti ‫ا لقوىوا لسجايا‬
‫( ا لمدركة ب ا لبصيرة‬kekuatan jiwa dan perangai yang dapat diperoleh melalui
pengasahan mata bathin). Dari pengertian lughawi ini, terlihat bahwa akhlaq dapat
diperoleh dengan melatih mata bathin dan ruh seseorang terhadap hal yang baik-baik.
Dengan demikian dari pengertian lughawi ini tersirat bahwa pemahaman akhlaq lebih
menjurus pada perbuatan-perbuatan terpuji. Konsekuensinya adalah bahwa
perbuatan jahat dan melenceng adalah perbuatan yang tidak berakhlaq (bukan akhlâq
al-madzmûmah).
Secara istilah akhlaq berarti tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja,
tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Sedangkan Nazaruddin Razak,
mengungkapkan akhlak dengan makna akhlak islam, yakni suatu sikap mental dan laku
perbuatan yang luhur, mempunyai hubungan dengan Zat Yang Maha Kuasa dan juga
merupakan produk dari keyakinan atas kekuasaan dan keeasaan Tuhan, yaitu produk
dari jiwa tauhid.
Dari pengertian ini terlihat sinergisitas antara makna akhlaq dengan al-khalq yang
berarti penciptaan di mana kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama. Dengan
demikian pengertian ini menggambarkan bahwa akhlaq adalah hasil kreasi manusia
yang sudah dibiasakan dan bukan datang dengan spontan begitu saja, sebab ini ada
kaitannya dengan al-khalq yang berarti mencipta. Maka akhlaq adalah sifat, karakter
dan perilaku manusia yang sudah dibiasakan.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlaq manusia terhadap Allah SWT
bertitik tolak dari pengakuan dan kesadarannya bahwa tidak ada Tuhan Selain
Allah yang memiliki sifat terpuji dan sempurna. Dari pengakuan dan kesadaran
itu akan lahir tingkah laku dan sikap sebagai berikut:
1) Mensucikan Allah dan senantiasa memujinya.
2) Bertawakkal atau berserah diri kepada Allah setelah berbuat dan berusaha
terlebih dahulu.
3) Berbaik sangka kepada Allah, bahwa yang datang dari Allah kepada makhluk-
Nya hanyalah kebaikan.
Adapun akhlaq kepada sesama manusia dapat dibedakan kepada beberapa
hal, yaitu:
1) Akhlaq kepada orang tua, yaitu dengan senantiasa memelihara keredhaannya,
berbakti kepada keduanya dan memelihara etika pergaulan dengan keduanya.
2) Akhlaq terhadap kaum kerabat, yaitu dengan menjaga hubungan
shilaturrahim serta berbuat kebaikan kepada sesama seperti mencintai dan
merasakan suka duka bersama mereka.
3) Akhlaq kepada tetangga, yaitu dengan menjaga diri untuk tidak menyakiti
hatinya, senantiasa berbuat baik (ihsân) dan lain-lain sebagainya.
 
Mu’amalah
Secara etimologi muamalah semakna dengan ‫ مفاعلة‬yang berarti saling berbuat. Kata
ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan orang lain atau
beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara terminologi kata
ini lebih dikenal dengan istilah fiqh muamalah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan tindak-tanduk manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. Misalnya dalam
persoalan jual beli, utang-piutang, kerjasama dagang, persyarikatan, kerjasama dalam
penggarapan tanah, sewa menyewa dan lain-lain sebagainya.
Di samping itu, juga terdapat beberapa keistimewaan ajaran muamalah yang
bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, antara lain yaitu:
1) Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan
kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini terlihat perbedaan
muamalah dengan persoalan aqidah, akhlaq dan ibadah. Dalam persoalan aqidah,
syariat Islam bersifat menentukan dan menetapkan secara tegas hal-hal yang
menyangkut masalah aqidah tersebut dan tidak diberikan kebebasan bagi manusia
untuk melakukan suatu kreasi. Dalam bidang akhlaq juga demikian, yaitu dengan
menetapkan sifat-sifat terpuji yang harus diikuti oleh umat Islam serta sifat-sifat
tercela yang harus dihindari. Selanjutnya di bidang ibadah dan bahkan prinsip
dasarnya adalah tidak boleh dilakukan atau dilaksanakan oleh setiap muslim jika tidak
ada dalil yang memerintahkan untuk dilaksanakan.
2) Bahwa berbagai jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh sampai
ditemukan dalil yang melarangnya. Ini artinya, selama tidak ada dalil yang
melarang suatu kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan.
Namun demikian, walau pada prinsipnya muamalah dibolehkan selama
tidak ada dalil yang melarangnya, tetapi semua itu tidak boleh lepas dari
sikap pengabdian kepada Allah SWT, di mana terdapat kaidah-kaidah umum
yang mengatur dan mengontrolnya, antara lain yaitu; Tidak boleh terlepas
dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan; Berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan pribadi dan masyarakat; Menegakkan prinsip
kesamaan hak dan kewajiban sesame manusia; Seluruh perbuatan kotor
adalah haram dan seluruh tindakan yang baik adalah halal, dan lain-lain.
Secara umum mu’amalah mencakup antara lain yaitu; hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak dan hal lain yang terkait dengannya; Hal-hal yang
berkaitan dengan harta seperti hibah, sedekah dan sebagainya; Hal-hal yang
berkaitan dengan perdagangan seperti jual beli, khiyâr, ihtikâr, syirkah,
mudhârabah dan sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian
amanah kepada orang lain seperti hiwâlah, ijârah, ariyah, al-rahn dan
sebagainya; Hal-hal yang berkaitan dengan lahan pertanian seperti
muzâra’ah, musâqah, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai