Anda di halaman 1dari 41

Urgensi RUU PKS

URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual


No.   Nama & Usia Nama & Usia Pelaku Wilayah Kekerasan
Korban Seksual yang
Dialami
1.   2013 X, 60 tahun Taufik Erwansyah, 37 Tulangbawang Barat Perkosaan dan
tahun pembunuhan
2.  2016 HY, 67 tahun OK, 37 tahun Paal Merah, Kecamatan Diperkosa 3
Jambi Selatan, Jambi hari berturut-
turut
3.  2018 AP, 73 tahun ST, 13 tahun (cucu Desa Air Merbau, Perkosaan dan
AP) Kecamatan pembunuhan
Tanjungpandan, Belitung
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
No.  Tahun Nama & Usia Nama & Usia Wilayah Kekerasan
Korban Pelaku Seksual yang
Dialami
4.   2019 AS, 58 tahun TM, 18 tahun Dusun Jang, Desa Perkosaan hingga
Lalang, Kecamatan perdarahan,
Tayan Hilir, Sanggau, pencekikan leher
Kalbar
5.   2019 Z, 62 tahun Yuda Efendi, 38 Dukuh Boro Masjid, Perkosaan 2x
tahun Kelurahan Boro Kulon
Banyuurip, Purworejo,
Jateng
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
No.  Tahun Nama & Usia Nama & Usia Wilayah Kekerasan
Korban Pelaku Seksual yang
Dialami
6. 5 2019 Air, 60 tahun Iwan, 20 tahun Jl. Pangeran Perkosaan
. Bendahara, Kelurahan
Masjid, Samarinda
Seberang, Samarinda
7. 2019 NY, 75 tahun belum diketahui Belakang Kampung Perkosaan 5x.
Salak, Distrik Sorong Suami korban
Barat, Sorong, Papua dibunuh
Barat
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
 Dalam 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792%
(hampir 800%) = meningkat hampir 8 kali lipat.
 Komnas Perempuan mencatat 2011 – 2019, tercatat 46.698 kasus
kekerasan.
i. 23.021 kasus terjadi di ranah publik, berupa:
• perkosaan (9.039 kasus),
• pelecehan seksual (2.861 kasus),
• cybercrime bernuansa seksual (91 kasus).
ii. 23.677 kasus terjadi di ranah privat
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016,
yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA).
 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama
hidupnya, dan
 sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam
12 bulan terakhir.
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016,
yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA).
 Kekerasan fisik dan/atau seksual cenderung lebih tinggi dialami
perempuan yang tinggal di daerah perkotaan (36,3%) dibandingkan
yang tinggal di daerah pedesaan (29,8%).
 Kekerasan fisik dan/atau seksual lebih banyak dialami perempuan usia
15–64 tahun dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas (39,4%)
dan status pekerjaan tidak bekerja (35,1%).
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
1. Dampak pada Kesehatan Fisik atau Psikis
 menganggu kesehatan fisik, seperti luka-luka atau kerusakan fisik yang memerlukan
penanganan medis segera,
 pengaruh pada kondisi kejiwaan atau setidaknya pada kesehatan emosional seseorang.
2. Dampak Ekonomi
 Korban/keluarganya harus mengeluarkan biaya untuk penanganan gawat darurat,
 perawatan rawat inap/jalan,
 pemulihan serta obat-obatan.
 Korban yang memilih penyelesaian kekerasan melalui jalur hukum, perlu mengeluarkan
biaya selama proses penyidikan - persidangan
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
3. Dampak pada Pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan Relasi Sosial
 Dampak fisik dan psikis yang dialami korban sering diperburuk oleh reaksi
masyarakat terhadap korban.
 korban mengalami kesulitan untuk membina relasi dengan orang lain baik
dengan lingkungan terdekat seperti keluarga ataupun dengan lingkungan
yang lebih luas. Kesu
 Pada ksus ekstrim, menyebabkan korban kemudian akan lebih merasa
“aman” berdiam dengan dunia yang dibangunnya sendiri.
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
1. Substansi UU yang Ada Belum Memadai
• KUHP) hanya mengenal istilah perkosaan, pencabulan dan persetubuhan
• Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) seperti: pendekatan untuk
memperdayai (cyber grooming), merekrut korban untuk perdagangan orang
(cyber trafficking ), pelecehan siber (cyber harrashment), peretasan (hacking),
konten bertentangan dengan hukum (illegal content), pornografi siber (cyber
pornography), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution),
penghinaan/pencemaran nama baik (online defamation), penggunaan teknologi
untuk mendownload dan mengedit gambar asli korban tanpa izin (morphing),
pemalsuan identitas (impersonation/cloning), menguntit (cyber stalking), layanan
pornografi online (online prostitution), penyebarluasan foto/video tanpa
persetujuan (nonconsensual disseminate intimate image) dan mengirimkan
gambar/foto/video porno ke orang lain (sexting)
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
2. Budaya Kekerasan, bentuknya seperti
 menyalahkan korban (victim blaming) yang dinilai
menginginkan atau bertanggungjawab atas kekerasan seksual
yang menimpanya,
 mentoleransi pelecehan seksual
 mendefinisikan "keperempuanan" sebagai penurut dan pasif
 membangun mitos-mitos terkait kekerasan seksual.
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
3. Belum Ada Peraturan Untuk Penanganan Hukum yang Terintegrasi
dengan Sistem Pemulihan Korban, pada 2019 tercatat terdapat
 121 lembaga layanan swadaya masyarakat,
 427 unit pelayanan bagi perempuan dan anak di kepolisian,
 337 pusat krisis terpadu di fasilitas kesehatan,
 419 pusat layanan terpadu di bawah koordinasi Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA)
URGENSI RUU tentang Kekerasan Seksual
4. Jumlah Aparatur Penegak Hukum (APH) Masih Terbatas dan Belum
Berperspektif Perempuan dan Korban.
 penafsiran substansi hukum terkait bentuk kekerasan seksual masih dilatarbelakangi cara
pandang APH ataupun akademisi yang belum berpersfektif perempuan dan korban.
 sikap sebagian besar aparat penegak hukum terhadap korban dipengaruhi oleh budaya yang
menyalahkan korban sehingga korban dinilai bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang
menimpanya (viktimisasi)
 subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) terbatas pada Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Padahal, dalam penanganan kasus kekerasan
seksual diperlukan pihak lain yaitu “lembaga penyedia layanan” untuk memberikan bantuan
pendampingan, pelayanan psikologis dan/atau pelayanan kesehatan, dan penyediaan
perlindungan bagi korban, baik berupa tempat tinggal sementara (shelter) maupun rumah
aman.
Lapisan Pembungkaman Perempuan
• Diskriminasi, termasuk kekerasan
• Tidak adanya pemulihan terhadap diskriminasi
• Persoalan perempuan menjadi nomor dua
• Tidak diakuinya fakta atau pengalaman perempuan = tidak
ada
Perempuan sebagai Alat Pengendalian Politik
• Serangan kepada tubuh perempuan = serangan kepada masyarakat =
menebarkan ketakutan
• Genosida: memaksa kehamilan atau pengguguran kehamilan,
pencegahan kehamilan
• Penundukan perempuan pejuang menggunakan fungsi reproduksi
perempuan
Apakah memiliki UU
Penghapusan Kekerasan
Seksual suatu pilihan bagi
Indonesia?
Hukum Internasional HAM = Hukum
Indonesia
Argumentasi Konstitusi
• Pasal 1(3) Indonesia negara hukum
• Pasal 28I (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah
• Pasal 28H (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
• Pasal 28I (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan
Hukum Internasional HAM = Hukum
Indonesia
Argumentasi UU 39/1999
 Pasal 7 (2): Ketentuan hukum internasional yang telah diterima
negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia
menjadi hukum nasional.
 Pasal 67: Setiap orang yang ada diwilayah negara Republik Indonesia
wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak
tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang
telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Hukum Internasional HAM = Hukum
Indonesia
Argumentasi UU 39/1999
 Pasal 72: Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaiman
diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
keamanan negara, dan bidang lain.
 Pasal 72: Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sebagaimana
diatur pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
keamanan negara, dan bidang lain.
Hukum Internasional HAM = Hukum
Indonesia
• Kovensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan: UU 7/1984
• Kovenan Hak Ekosob: menjadi hukum Indonesia dengan UU 11/2005
• Kovenan Hak Sipol: menjadi hukum Indonesia dengan UU 12/2005
Kewajiban Negara
PRINSIP HAK LEGISLASI & KEBIJAKAN PEMULIHAN PEMBATASAN
Sipol Ekosob
Tanpa pembedaan Menghormati Menjamin untuk Apabila belum diatur Setiap orang yang dilanggar hak- Tidak membatasi hak
apapun berdasarkan dilaksanakan mengambil langkah-langkah hak atau kebebasannya atau kebebasan dengan
alasan apapun untuk menetapkan memperoleh upaya pemulihan alasan instrumen HAM
ketentuan perundang- yang efektif internasional tidak
undangan atau kebijakan mengakui hak-hak
untuk memberlakukan hak- tersebut,
hak Setiap orang yang menuntut upaya Tidak membatasi hak
  pemulihan harus ditentukan hak- atau kebebasan dengan
Menjamin haknya oleh alasan instrumen HAM
a. peradilan, internasional
b. lembaga administratif, mengakuinya sebagai hak
c. legislatif, atau yang lebih rendah
d. lembaga berwenang lainnya
yang diatur oleh sistem
hukum Negara

Negara mengembangkan segala


kemungkinan upaya penyelesaian
peradilan
Jaminan tentang putusan/
keputusan pemulihan akan
dilaksanakan
Kewajiban Non diskriminasi
• Pasal 3 Kovenan Hak Ekosob
Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki
dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang
tercantum dalam Kovenan ini.
• Pasal 3 Kovenan Hak Sipil & Politik
Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki
dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam
Kovenan ini.
• Pasal 4 CEDAW
Pemberlakuan kebijakan khusus sementara (temporary special measures) yang
bertujuan untuk mempercepat kesetaraan de facto harus tidak diartikan sebagai
diskriminasi
Kewajiban Ina sebagai Negara Pihak CEDAW
Pasal 2: LANGKAH KEBIJAKAN UNTUK MENGHAPUS DISKRIMINASI
a) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam Undang-
Undang Dasar Nasional mereka atau perundangundangan yang tepat lainnya jika
belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis dari azas ini,
melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat;
b) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan-peraturan
lainnya termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang semua diskriminasi
terhadap perempuan;
c) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang
sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional
yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum
perempuan yang efektif terhadap segala tindakan diskriminasi;
Kewajiban Ina sebagai Negara Pihak
CEDAW
d) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap
perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan
lembaga-lembaga negara bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;
e) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-
undang, untuk mengubah dan menghapuskan undangundang, peraturan-
peraturan, kebiasaan-kebiasaan dan praktekpraktek yang diskriminatif
terhadap perempuan;
f) Mencabut semua ketentuan pidana yang diskriminatif terhadap perempuan.
Prinsip HAM
Vienna Declaration & Programme of Action mengatakan: seluruh HAM adalah
universal, tidak bisa dibagi-bagi, saling tergantung, saling terkait.
• Berlaku di manapun manusia itu berada
• Hak harus diberlakukan seluruhnya, tidak bisa dipilih hanya mau menjalankan hak
A dan tidak hak B
• Suatu hak akan tergantung dari pemenuhan hak lain
• Pelanggaran terhadap suatu hak akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak
lainnya
Penjelasan
• Hak politik misalnya tergantung dari hak atas pendidikan. Mengapa
demikian? Karena umumnya syarat duduk di posisi politik
mensyaratkan jenjang pendidikan tertentu.
• Artinya jika hak pendidikan dilanggar maka hak politik orang tersebut
potensial akan terlanggar pula
• Misal: disabilitas dihambat masuk perguruan tinggi dan syarat
menjadi anggota dewan misalnya minimal S1. Maka menghambat hak
pendidikan orang disabilitas = melanggar hak politik mereka.
Penjelasan
• Hak kesehatan misalnya tergantung dari hak atas lingkungan yang bersih dan
sehat
• Atau hak kesehatan sangat ditentukan oleh kebebasan politik. Bagaimana
ini bisa terjadi?
• Seseorang yang dinyatakan sebagai anggota organisasi terlarang,
kemungkinan besar akan dihambat untuk masuk dalam pekerjaan-pekerjaan
tertentu sehingga peluang dia untuk mendapatkan hak atas pekerjaan yang
layak menyempit. Oleh karena itu sangat besar kemungkinannya ia akan
mendapat pekerjaan yang standar kesejahteraannya rendah. Karena tidak
memiliki upah yang cukup atau standar lingkungan kerja yang baik, maka
kesehatan orang ini dapat terganggu.
Kekerasan Seksual sebagai Pelanggaran Hak
• JAKARTA, KOMPAS.com — Anak pemulung berinisial RI (11) yang meninggal dunia
di RSUP Persahabatan bisa dikategorikan korban kejahatan seksual. Hal tersebut
berdasarkan hasil otopsi sementara bahwa luka di alat kelaminnya akibat virus
penyakit menular seksual (PMS). "Ada kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang
lain hingga anak ini tertular virus yang hanya ditularkan dari hubungan seksual,"
kata M Ihsan, Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) kepada wartawan
di Ruang Jenasah RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Jumat (13/1/2013) siang.

https
://nasional.kompas.com/read/2013/01/11/17145725/anak.pemulung.yang.mening
gal.itu.korban.kejahatan.seksual

Kekerasan Seksual sebagai Pelanggaran Hak
 Kekerasan seksual yang mengambil hak hidup
 Dua anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD),
menjadi korban kekerasan seksual dan penganiayaan. Kedua korban
itu, adalah D (10) dan I (11). D meninggal dunia dalam keadaan
tertelungkup dan bersimbah darah. Peristiwa tragis tersebut terjadi di
Sungai Ciloseh, Kampung Dalem, RT 01/05 Kelurahan Sukaasih,
Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (30/6). 
https://kumparan.com/@
kumparannews/anak-sd-korban-kekerasan-seksual-meninggal-dunia-se
telah-dianiaya
Kekerasan Seksual sebagai Pelanggaran Hak
• Polisi masih terus mendalami kasus percobaan pemerkosaan dan penggorokan
terhadap siswi SMP berinisial KS, 13, di Pancurbatu, Medan, Sumut, Selasa (31/7).
Polisi belum bisa maksimal meminta keterangan korban karena kondisinya masih
alami trauma psikologis. https://
www.jpnn.com/news/siswi-smp-korban-percobaan-pemerkosaan-itu-takut-lihat-pria
• Juga mengganggu hak atas rasa aman korban dan keluarganya
• Kasus kekerasan seksual mengganggu hak pendidikan
• Begitu hak atas pendidikan terganggu maka potensi hak atas pekerjaan yang layak
terganggu
Kekerasan Seksual sebagai Pelanggaran Hak
• 3 kasus di atas tidak hanya soal hak hidup tetapi juga hak atas a rasa
aman bagi keluarga bahkan masyarakat
• Kasus no.3 terkait pula dengan hak atas pendidikannya yang pasti
terlanggar karena korban butuh pemulihan yang lama
• Ada kemungkinan korban trauma seumur hidup untuk bertemu orang
sehingga terhambat untuk bersekolah seperti semula dan bekerja saat
ia dewasa
• Biaya pengobatan besar kemungkinan harus dibiayai keluarga korban
setidaknya sebagian
Kekerasan Seksual sebagai Pelanggaran Hak

• Pelanggaran HAM: pengabaian negara


• Hukum yang sesuai
• Kebijakan, sistem yang memadai untuk pencegahan
kekerasan seksual
• Kebijakan, sistem yang memadai untuk pemulihan
korban
Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual
1. Pelecehan seksual
2. Eksploitasi seksual
3. Pemaksaan kontrasepsi
4. Pemaksaan aborsi
5. Perkosaan
6. Pemaksaan perkawinan
7. Pemaksaan pelacuran
8. Perbudakan seksual
9. Penyiksaan seksual
KS Berbasis Online
• Dipersamakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual dalam hal
dilakukan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik,
termasuk tapi tidak terbatas pada mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Pemaksaan perkawinan (Pasal 7)

1) perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau rangkaian


kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, tipu muslihat,
pengambilan manfaat ekonomi maupun non-ekonomi, pembatasan
ruang gerak, penyekapan, atau penculikan, sehingga seseorang tidak
dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya, melakukan
perkawinan yang bertentangan dengan hakikat perkawinan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. perkawinan anak;
b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya;
c. pemaksaan perkawinan pelaku dengan korban tindak pidana kekerasan seksual.
Permaksaan kontrasepsi & Sterilisasi (Pasal
8)
1) perbuatan memasang, menyuruh memasang, atau menyuruh
seseorang memasang alat kontrasepsi kepada orang lain, dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan,
penyesatan, penipuan, ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan
orang tersebut, yang membuat orang itu kehilangan fungsi
reproduksinya untuk sementara waktu.
2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemaksaan
sterilisasi, apabila menghilangkan fungsi reproduksi orang lain
secara tetap.
Pemaksaan aborsi (Pasal 9)
1) perbuatan menghentikan kehamilan seorang perempuan dengan kekerasan,
ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan,penyesatan, penipuan,
ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan perempuan tersebut.
2) Tidak dipidana:
a. seorang perempuan yang menjadi korban pemaksaan aborsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1);
b. seorang perempuan yang menjalani aborsi karena indikasi kedaruratan
medis;
c. seorang perempuan yang menjalani aborsi karena kehamilan akibat
perkosaan atau kekerasan seksual lainnya.
3) Dalam hal korban adalah anak, unsur dengan kekerasan, ancaman kekerasan,
penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, ketidakberdayaan, atau
tanpa persetujuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak relevan.
Eksploitasi seksual (Pasal 11)

• perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat,


kebohongan, keadaan palsu, penyalahgunaan wewenang, atau
ketergantungan seseorang, agar seseorang melakukan hubungan
seksual dengan pelaku atau orang lain, dan/atau memanfaatkan
tubuh seseorang tersebut dengan maksud mendapatkan keuntungan
bagi diri sendiri.
Perbudakan seksual (Pasal 13)

Perbuatan satu atau lebih tindak pidana kekerasan seksual dalam


Undang-Undang ini disertai membatasi ruang gerak atau akses
terhadap dunia luar atau sumber daya, atau mencabut kebebasan
seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani
kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain secara terus-menerus
atau berulangkali.
Penyiksaan Seksual (Pasal 14)

a. pejabat negara yang melakukan satu atau lebih tindak pidana, atau
menyuruh, menghasut, menyetujui atau membiarkan kekerasan
seksual untuk tujuan intimidasi, paksaan, hukuman, atau
mendapatkan informasi atau pengakuan, atau untuk segala alasan
berdasarkan diskriminasi;
b. orang yang melakukan satu atau lebih tindak pidana kekerasan
seksual, yang dilakukan atas penggerakan, hasutan, persetujuan
atau pembiaran oleh pejabat negara, untuk tujuan intimidasi,
paksaan, hukuman, atau mendapatkan informasi atau pengakuan,
atau untuk segala alasan berdasarkan diskriminasi; atau
Penyiksaan Seksual (Pasal 14
c. orang yang melakukan persekusi atau memberikan penghukuman
atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun
oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan
martabatnya dan/atau tujuan lain yang didasarkan pada
diskriminasi

Anda mungkin juga menyukai