Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum
SKRIPSI
Oleh :
• Sumpah adalah menyertakan nama Tuhan sebagai penjamin kebenaran pernyataan seseorang.
Oleh karenanya, di negara-negara yang penduduknya memiliki kepercayaan terhadap Tuhan
dan agama, sumpah digunakan dalam berbagai peristiwa, terutama untuk memulai suatu
jabatan (sumpah jabatan) dan untuk menjadi saksi di pengadilan.
• Kewajiban saksi di pengadilan untuk mengucapkan sumpah ditentukan dalam Pasal 160 ayat
(3) KUHAP, yaitu, “Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya
• Dalam Pasal ini disebutkan tentang kewajiban mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing. Di sini diberikan alternatif antara sumpah atau janji. Hal ini
berkenaan dengan adanya agama yang tidak membenarkan umatnya untuk mengucapkan
sumpah dalam arti menyertakan nama Tuhan sebagai penjamin kebenaran kata-katanya,
melainkan hanya membolehkan umatnya untuk mengucapkan janji. Janji menurut cara
agama, tetap dengan menyertakan nama Tuhan, tetapi yang dikatakan hanyalah berbentuk
permohonan agar Tuhan menolong agar saksi itu memberikan keterangan yang benar, yaitu
ditutup dengan kata-kata: semoga Tuhan menolong saya.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam sub bab sebelumnya dapat dirumuskan
masalah-masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana cakupan tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242
KUHPidana?
2.Bagaimana wewenang hakim dalam Menghadapi Kesaksian Palsu?
Tujuan Penulisan
1.Adapun hal-hal yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
2.Untuk mengetahui bagaimana cakupan tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242
KUHPidana
3.Untuk mengetahui bagaiaman syarat-syarat untuk diberikannya perintah hakim agar menahan
saksi karena kesaksian palsu dan Bagaimana prosedur penanganan kesaksian palsu di depan
pengadilan
Metode Penelitian
Pada tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, yang disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (Lembaran negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Penjelasan dalam TLN Nomor
3209). Sejak itu KUHAP merupakan kodifikasi hukum acara pidana yang berlaku
untuk pemeriksaan perkara pidana di lingkungan peradilan umum, menggantikan
ketentuan-ketentuan acara pidana dalam Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad
1941 No.44) yang merupakan kodifikasi peninggalan Pemerintah Hindia Belanda.
B. Sistem Pembuktian Dalam KUHAP
Dalam sejarah hukum acara pidana dikenal adanya empat macam sistem pembuktian.
Keempat macam sistem pembuktian tersebut adalah:
• Sistem keyakinan belaka;
• Sistem keyakinan berdasarkan alasan yang rasional;
• Sistem menurut undang-undang belaka; dan,
• Sistem menurut undang-undang sampai suatu batas.
Keempat macam sistem pembuktian tersebut, akan diuraikan secara singkat berikut ini.
Sistem keyakinan belaka.
Wirjono Prodjodikoro memberikan keterangan tentang sistem ini sebagai berikut,
Ada aliran, sangat sederhana, yang sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang
pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu kepada kebijaksanaan dan kesan Hakim, yang
bersifat perseorangan (subjectief). Menurut aliran ini dianggap cukuplah bahwa Hakim
mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh
suatu peraturan (bloot gemoedelijke overtuiging, conviction intime). Dalam sistem ini
Hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apa suatu keadaan harus
dianggap telah terbukti.
C. Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa alat bukti yang sah ialah :
•keterangan saksi;
•keterangan ahli;
•Surat;
•Petunjuk;
•Keterangan Terdakwa
Dari segi urutan alat bukti, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama. Ini
menunjukkan bahwa keterangan saksi merupakan alat bukti paling penting dalam hukum
acara pidana.
PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana Sumpah Palsu Dalam Pasal 242 KUHPidana
Buku II Bab IX KUHPidana yang berjudul “Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu” atau
“Keterangan palsu di bawah sumpah dan keterangan palsu”, semula terdiri dari dua
pasal, yaitu Pasal 242 dan Pasal 243. Tetapi dengan Staatsblad 1931 No. 240, Pasal 243
KUHPidana ditiadakan. Dengan demikian yang masih berlaku tinggal Pasal 242
KUHPidana saja. Pasal ini menjadi satu-satunya pasal dalam Buku I Bab IX tersebut
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm.99.
P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,
1983, hlm.103.
B. Wewenang Hakim Dalam Menghadapi Kesaksian Palsu
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Bab II sub A skripsi ini, kesaksian palsu di
sidang pengadilan hanya mungkin terjadi dalam hal suatu perkara diperiksa dengan
menggunakan:
• Acara pemeriksaan biasa;
• Acara pemeriksaan singkat;
• Acara pemeriksaan tindak pidana ringan, tetapi hanya apabila Hakim memerintahkan
saksi yang bersangkutan untuk disumpah, karena saksi dalam acara pemeriksaan ini
umumnya tidak disumpah.
Dasar penahanan pada ketentuan hukum yang berlaku sebagai dasar obyektif,maka tindakan
penahan terhadap tersangka/terdawa juga didasarkan pada kepentingan perluasan
keperluan untuk kepentingan penyidikan
Kesimpulan