Anda di halaman 1dari 14

RIBA

NAMA : LISA RAHAYU


NIM : 126102202169
KELAS : HKI 2D
PENGERTIAN RIBA
Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2017), hal.150-151.

Riba menurut bahasa berarti ziyadah


(tambahan),secara umum riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam meminjam tanpa diimbangi oleh suatu
transaksi yang dibenarkan oleh syari’ah. Maksud
transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi
adanya penambahan tersebut secara adil, seperti
transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil
proyek. Misal Dalam transaksi simpan pinjam dana
(utang piutang), secara konvensional, pemberi
pinjaman menggambil tambahan dalam bentuk
bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang
diterima si peminjam kecuali kesempatan dan
faktor waktu yang berjalan selama proses
peminjaman, ketidak adilan disini adalah si
peminjam diharuskan untuk selalu-tidak boleh
tidak-memberikan tambahan kepada si pemberi
pinjaman dan pihak pemberi pinjaman pasti
DASAR HUKUM PELARANGAN RIBA
Elpianti Sahara Pakpahan, Pengharaman Riba dalam Islam, Al-Hadi, Volume IV No. 02 Januari-Juni 2019, hal 872-875.

Ada empat tahapan pengharaman riba, yaitu :


 QS. Ar-Rum: 39 yang Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya).”

 QS. An Nisa: 160 – 161 yang artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang
Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan
harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. “

 QS. Ali Imran: 130 – 131 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka,
yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
LANJUTAN
 QS. Al Baqarah: 275 – 280 yang artinya:

275. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. “

276. “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”

277. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,


mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. “
LANJUTAN
 QS. Al Baqarah: 275 – 280 yang artinya:

278. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. “

279. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya. “

280. “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”
MACAM-MACAM RIBA
1. Riba Nasi’ah (terjadi pada utang piutang 2. Riba Fadhl (terjadi dalam jual beli
disebut juga riba duyun) (barter) disebut riba buyu’)
merupakan riba yang timbul akibat utang riba yang timbul akibat pertukaran barang
piutang yang tidak memenuhi kriteria untung sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama
muncul bersama resiko (al-ghunmu bil kualitasnya, sama kuantitasnya, dan sama
ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama waktu penyerahannya. Pertukaran
biaya (al-kharaj bi ad-dhaman). Pada semacam ini mengandung gharar, yaitu
kenyataannya, riba jenis inilah yang terkenal ketidakjelasan bagi kedua belah pihak
di zaman jahiliyah. Dalam praktiknya, salah akan nilai masing-masing barang yang
seorang dari mereka memberikan hartanya dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat
kepada orang lain sampai waktu tertentu menimbulkan tindakan zhalim terhadap
dengan syarat dia mengambil tambahan salah satu pihak, kedua pihak, atau pihak-
tertentu dalam setiap bulannya sedangkan pihak lain
modalnya tetap dan jika telah jatuh tempo ia
akan mengambil modalnya, dan jika ia
belum sanggup membayar, maka waktu dan
bunganya akan bertambah terus.

Rusdan, Fiqh Riba; Kajian ‘Illat Hukum (Kausa Legal) Riba, Volume VIII Nomor 2 Juli - Desember 2015, hal.354-355.
PENDAPAT ULAMA TENTANG ‘ILLAT RIBA
Rusdan, Fiqh Riba; Kajian ‘Illat Hukum (Kausa Legal) Riba, Volume VIII Nomor 2 Juli - Desember 2015, hal.356-361.
 Menurut ulama mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal, riba fadhl ini hanya berlaku
dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran
adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadhl.
 Pendapat mereka ini didasarkan kepada sabda Nabi SAW., yang artinya, “(Memperjualbelikan) emas dengan
emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam
dengan garam haruslah sama, seimbang, dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda, maka juallah
sesuai dengan kehendakmu (boleh yang satu lebih banyak dari yang lain) asal dengan tunai” (HR. Muslim dari
Ubadah bin Shamit). Dua jenis yang pertama, emas dan perak, menurut mereka, diperjualbelikan dengan cara
timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan dengan cara kiloan (al-kail). Dalam
riwayat lain, Rasulullah SAW., bersabda, “Janganlah kamu memperjualbelikan emas dengan emas, kecuali jika
seimbang (sama beratnya) dan jangan kamu melebihkan yang satu dari yang lainnya, dan jangan pula kamu jual
sesuatu yang ada dengan yang belum ada” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri).
 Berdasarkan kedua hadits di atas, ulama mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal
menetapkan bahwa yang menjadi illat keharaman riba fadhl adalah kelebihan barang atau harga dari benda
sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur al-wazn dan al-kail. Berdasarkan illat ini, mereka tidak
mengharamkan kelebihan pada jual beli rumah, tanah, hewan, dan benda lain yang dijual dengan satuan,
sekalipun sejenis, karena benda-benda seperti itu dijual berdasarkan nilainya, bukan berdasarkan al-wazn dan al-
kail. Lebih lanjut, ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa dasar keharaman riba fadhl ini dititikberatkan kepada
sadd az-zari’ah, yaitu menutup segala kemungkinan yang dapat membawa kepada riba yang berakibat mudarat
bagi umat manusia.
LANJUTAN
 Illat dalam keharaman riba nasi’ah menurut ulama mazhab Hanafi adalah kelebihan dari harga barang yang ditunda
pembayarannya pada waktu tertentu. Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba nasi’ah.
Unsur kelebihan pembayaran yang bisa berlipat ganda apabila uang tidak bisa dibayar pada saat jatuh tempo,
menurut mazhab Hanafi, merupakan sesuatu kelaliman dalam muamalah. Kelaliman, bagaimana pun bentuknya,
menurut mereka, adalah haram. Itulah sebabnya Allah SWT., menyatakan di akhir surat al-Baqarah [2]: 279 dari
rangkaian ayat riba, “.... kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
 Ulama mazhab Maliki dan Syafi’i berpendirian bahwa illat keharaman riba fadhl, khususnya emas dan perak adalah
disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk, seperti cincin atau
kalung, maupun belum, seperti emas batangan. Oleh sebab itu, apa pun bentuk emas dan perak, apabila sejenis,
tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih tinggi dari yang lain.
 Menurut ulama mazhab Maliki, illat jenis makanan yang terdapat dalam riba nasi’ah berbeda dengan illat yang
terdapat pada riba fadhl. Dalam riba nasi’ah, illat pada jenis makanan adalah karena sifatnya yang bisa
dikonsumsi. Apabila satu jenis makanan dijual dengan jenis makanan yang sama, maka harus satu takaran,
seimbang, dan adil. Dengan prinsip ini, maka riba nasi’ah bisa berlaku pada seluruh jenis makanan.
 Sedangkan illat pada riba fadhl, menurut ulama mazhab Maliki adalah makanan pokok dan tahan lama. Namun
begitu, ulama mazhab Maliki tidak memberikan batasan waktu yang pasti. Alasan mereka adalah agar manusia
tidak tertipu dan harta mereka terhindar dari spekulan. Tujuan seperti ini, menurut mereka, paling tidak dan
terutama berkaitan erat dengan makanan pokok setiap manusia. Oleh sebab itu, untuk memelihara makanan pokok
manusia tersebut, diperlukan suatu hukum yang mengantisipasi agar tidak terjadi unsur penipuan yang berlebihan,
yaitu dengan mengharamkan riba fadhl pada makanan pokok tersebut, sesuai dengan hadits Nabi SAW., yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Ubadah bin Shamit.
LANJUTAN
 ulama mazhab Syafi’i mengatakan bahwa illat riba pada jenis makanan adalah semata-mata karena benda itu
bersifat makanan, baik makanan pokok, makanan ringan (buah-buahan dan sebagianya), maupun makanan untuk
obat, yang semuanya bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh. Apabila kelebihan pembayaran pada jenis
makanan ini dibarengi dengan tenggang waktu, maka mejadi riba nasi’ah. Sedangkan apabila tidak dikaitkan
dengan tenggang waktu, maka kelebihan harga dari salah satu benda sejenis yang diperjualbelikan menjadi riba
fadhl. Oleh sebab itu, seluruh jenis makanan apabila diperjualbelikan secara barter, harus seimbang dan tunai.
Apabila berbeda jenis, boleh diperjualbelikan sesuai dengan keinginan pemilik masing-masing, asal tunai. Artinya,
jenis yang satu boleh lebih mahal dari jenis yang lain. Alasan mereka, empat jenis benda yang disebutkan dalam
hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ubadah bin Shamit di atas tidak membedakan jenis makanan tersebut,
apakah mengenyangkan, tahan lama, atau makanan pokok. Yang diketahui secara umum, keempat jenis benda itu
adalah jenis makanan. Oleh sebab itu, menjadikan makanan sebagai illat terjadinya riba fadhl dalam benda-benda
yang disebutkan dalam hadits itu lebih tepat daripada mengaitkannya dengan makanan pokok dan tahan lama,
atau jenis benda yang ditimbang atau dikilo.
 Illat riba di kalangan mazhab Hambali terdapat tiga riwayat, yaitu: (1) al-wazn dan al-kail, seperti yang
dikemukanan ulama mazhab Hanafi; (2) untuk jenis makanan sama dengan pendapat ulama mazhab Syafi’i, yaitu
karena sifat makanannya, sedangkan untuk emas dan perak karena keduanya merupakan harga dari sesuatu; dan
(3) sifat al-wazn dan al-kail untuk jenis makanan dan harga dari sesuatu bagi emas dan perak. Menurut mereka,
menjadikan sifat al-wazn dan al-kail sebagai illat riba, baik riba nasi’ah maupun riba fadhl, sejalan dengan sabda
Nabi SAW., yang artinya, “Tidak ada (riba) terhadap sesuatu yang dikilo (al-kail) dan ditimbang (al-wazn)” (HR. Ad-
Daruquthni dari Sa’id bin Musayyab).
LANJUTAN
 Menurut mazhab Zhahiri, riba itu tidak ada illat-nya. Hal ini sejalan dengan prinsip mereka yang menolak mencar-
cari illat suatu hukum yang ditetapkan Allah SWT., dan Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, apabila Rasulullah SAW.,
telah menyatakan bahwa berlaku riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Muslim dari Ubadah bin Shamit di atas, maka seorang Mujtahid cukup menyatakan riba hanya pada enam
jenis itu, tanpa mencari apa illat keharamannya. Implikasi dari pendapat mereka ini adalah tidak ada riba pada
selain dari enam jenis komoditas tersebut
HIKMAH PENGHARAMAN RIBA
Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta Riba akan menyebabkan terputusnya sikap
orang lain tanpa mengganti. Sebab orang yang yang baik (ma’ruf) antara sesama manusia
meminjamkan uang 1 Dirham dengan 2 dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab
Dirham misalnya, maka dia dapat tambahan 01 03 kalau riba itu diharamkan, maka seseorang
satu Dirham tanpa imbalan ganti. Sedangkan akan merasa senang meminjamkan uang
harta orang lain itu merupakan standar hidup satu Dirham dan dengan tambahan satu
dan mempunyai kehormatan yang sangat Dirham juga. Tetapi apabila riba itu
besar, dihalalkan, maka seseorang akan
menganggap berat dengan meminjam uang
satu dirham dengan mengembalikan dua
dirham. maka
hal tersebut akan menyebabkan
terputusnya kasih sayang di antara umat
Riba dapat menghalangi manusia dari Islam.
kesibukan bekerja. Sebab kalau sipemilik uang
yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan
memperoleh tambahan uang, baik kontan Pada umumnya pemberi piutang adalah
ataupun berjangka, maka dia akan orang yang kaya, sedang
mempermudah persoalan mencari peminjam adalah orang yang tidak
penghidupan, sehingga dia tidak mau
02 04 mampu. Maka pendapat yang
menanggung beratnya usaha, dagang dan membolehkan riba, berarti memberikan
pekerjaan-pekerjaan yang berat. jalan kepada orang kaya untuk mengambil
harta orang miskin yang lemah sebagai
UIN Suska Riau, Bab Iii Tinjauan Teoritis Tentang Riba Dan Bunga Bank, hal 44-45.
tambahan.
KAITAN BUNGA BANK DAN RIBA
bunga bank keberadaannya masih menjadi polemik dikalangan para ulama Islam. Ada yang mengatakan bunga bank
sebagai riba ada pula yang mengatakan bukan termasuk riba. Riba dan bunga nampaknya berbeda. Sesuatu
dikatakan riba jika sesuatu itu mengandung unsur keuntungan yang berlipat ganda. Sementara sesuatu dikatakan
bunga jika keuntungan dari sesuatu itu tidak berlipat ganda.
o Berkaitan dengan bunga bank yang dianut oleh sistem perbankan secara garis beras melahirkan dua pendapat.
Pertama, menurut ijma ulama di kalangan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala bentuknya termasuk
kategori riba. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa bunga tidak termasuk kategori riba.
o Menurut Quraish Shihab, kalimat ad’afan mudha’afatan pada ayat ini bukan merupakan syarat. Jadi walaupun
tidak berlipat ganda berarti bunga tetap tidak halal. Penafsiran ini, diperkuat dengan ayat-ayat tentang riba yang
lainnya, yaitu Q.S. al-Baqarah/2: 275-276 dan 278-279 yang secara tegas menyatakan setiap tambahan melebihi
pokok pinjaman termasuk riba. Hal ini berlaku bagi setiap bunga, baik bersuku rendah, berlipat ganda, maupun
yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan yang terjadi pada suku bunga.
o Beberapa tokoh berbeda pendapat tentang riba yang diharamkan adalah riba yang bersifat ad’afan mudha’afatan
atau berlipat ganda. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad, yang menafsirkan
riba sebagai usury yang berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang tinggi dan bukan
interest (bunga yang rendah). Jika merujuk kepada pendapat tafsiran Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad,
maka bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan.

Achmad Saeful, Riba Dan Bunga Bank Dalam Perspektif Islam, Madani Syari’ah, Vol. 4, No. 1 - Februari 2021, hal 48.
LANJUTAN
 Persoalan halal tidaknya bunga (interest) sebagai instrumen keuangan merupakan sumber kontroversi di seluruh
dunia Islam sejak lama. Sumber kontroversi ini adalah ayat-ayat al-Qur‟an yang melarang riba sebuah praktik Arab
kuno, yakni apabila seseorang berhutang, maka hutangnya akan berlipat jika ia menunggak lagi. Selama berabad-
abad, banyak kaum Muslimin yang menyimpulkan bahwa ayat-ayat mengenai kontrak pinjaman yang menetapkan
keuntungan tertentu bagi si pemberi pinjaman adalah perbuatan yang tidak bermoral, tidak sah atau haram,
terlepas dari tujuan, jumlah pinjaman, maupun lembaga yang terlibat.
 Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional
kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga kepada
deposan (yang memiliki simpanan) dan kreditur (nasabah yang memperoleh pinjaman) yang harus dibayar kepada
bank.
 Institusi bunga bank yang dalam hal ini adalah bunga yang bukan termasuk riba, atau dapat dikatakan dengan
bagi hasil menurut syariat Islam (perbankan syariah) telah menjadi bagian penting dari sistem perekonomian
bangsa Arab seperti halnya sistem ekonomi di negara-negara lain (non Muslim). Bunga telah dianggap penting
demi keberhasilan pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam mempertimbangkan
bunga itu sebagai kejahatan yang menyebabkan kesengsaraan dalam kehidupan.

UIN Suska Riau, Bab Iii Tinjauan Teoritis Tentang Riba Dan Bunga Bank, hal 47-48.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai