Anda di halaman 1dari 7

Tragedi Penyimpangan Makna Toleransi Yang Dilakukan

Oleh Hizbiyyah

Al Ustadz Muhammad Umar as Sewed

Toleransi Ekstrim

Di era globalisasi ini toleransi cenderung ekstrim. Manusia tidak begitu


memperhatikan masalah yang bersifat prinsip (menurut agama). Akhirnya dengan
alasan toleransi mereka meruntuhkan al wala’ wal bara’. Padahal masalah cinta dan
benci ini merupakan prinsip dasar agama Islam.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menjelaskan prinsip ini dalam ucapan
Beliau : “Barangsiapa yang cinta karena Allah, benci karena Allah, memberi karena
Allah dan tidak memberi karena Allah, maka ia telah menyempurnakan
keimanannya.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah
no. 380)

Juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda bahwa siapa yang telah
mencintai Allah dan RasulNya dan tidak cinta kepada siapapun kecuali karena Allah
dan benci untuk kembali kepada kekufuran seperti bencinya dia untuk dilempar ke
dalam api neraka, maka dia akan merasakan kelezatan iman, sebagaimana hadits
berikut :

”Tiga perkara, jika ada tiga perkara tersebut pada seseorang maka ia akan
mendapatkan kelezatan iman, yaitu : Menjadikan Allah dan RasulNya yang paling
dicintai daripada selain keduanya, dan mencintai seseorang dan tidak mencintainya
kecuali karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekufuran seperti bencinya dia
untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Persaudaraan Antar Agama


Dengan toleransi ekstrim tersebut, mereka bersaudara dengan Yahudi dan Nashrani.
Bahkan bisa bersaudara dengan kaum musyrikin sekalipun.

Dengarlah apa yang dikatakan pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna, tentang
orang-orang kafir. Dia berkata : [ “Ikhwanul Muslimin tidaklah ditegakkan untuk
menghadapi akidah-akidah lain, agama-agama lain atau kelompok-kelompok lain.
Karena perasaan yang mendominasi jiwa para tokoh-tokohnya adalah : Kaidah dasar
dalam semua risalah (agama) sama-sama terancam -pada hari ini- oleh paham
atheisme. Maka bagi para pemeluk yang beriman kepada agamanya, hendaklah
saling bahu-membahu dan saling mengerahkan segenap usahanya untuk
menyelamatkan umat manusia dari bahaya ini. Ikhwanunl Muslimin tidak membenci
orang-orang asing (kafir) yang tinggal di negeri-negeri Islam bahkan Yahudi yang
tinggal menetap di negeri ini. Tidak ada antara kita dan mereka kecuali hubungan
yang baik.” (Qalifatul Ikhwan oleh As Sisi 1/211) ] (TahafutusySyi’arat, Abdul Aziz
bin Sabib, hal. 19 – 20 )
Dalam kesempatan lain, ketika berbicara tentang Palestina, Hasan Al Banna
berkata :

[ “Saya menetapkan bahwa pertikaian kami dengan Yahudi bukanlah pertikaian


agama, karena Al Qur’anul Karim menganjurkan kita untuk bersatu dan berteman
dengan mereka. Islam adalah agama ‘kemanusiaan’ sebelum dikatakan ‘kebangsaan’.
Al Qur’an telah memuji mereka dan menjadikan antara kita dan mereka
kesepakatan : “Janganlah kalian membantah ahli kitab kecuali dengan jalan yang
lebih baik.” (Al Ankabut : 46). Dan ketika Al Qur’an akan menghukumi Yahudi dalam
satu masalah, ia menghukuminya dari sisi ekonomi. Allah berfirman : “Karena suatu
kedhaliman dari orang-orang Yahudi, Kami haramkan kebaikan-kebaikan yang
tadinya dihalalkan untuk mereka.” (Ikhwanul Muslimin Ahdats Shana’atit Tarikh
1/409 ]. ( Mauridul Adzbuz Zallal, Ahmad An Najmi, hal. 142 )

Demikianlah, tidak heran kalau tokoh-tokoh Ikhwan yang lain pun mengucapkan
kalimat yang senada, bahkan lebih berani. Ucapan Dr. Hasan At Turabi, tokoh
Ikhwan, adalah contoh yang paling jelas dalam masalah ini. Ia mulai
mengkampanyekan pemikiran ‘reaktualisasi’-nya dengan mengusulkan adanya
‘agama dunia’ yang menyeluruh, mencakup tiga agama samawi : Islam, Kristen,
Yahudi. Bahkan ia telah mengadakan berbagai muktamar dalam upaya
kampanyenya. Di antaranya muktamar di Sudan pada bulan Oktober 1994 di mana
ia mengusulkan untuk membuat Hizb Ibrahimi (partai Ibrahim), dengan alasan tiga
agama tersebut sama-sama termasuk milah Ibrahim (agama Nabi Ibrahim).

Oleh karena itu, Dr. At Turabi terus mengadakan usaha pendekatan tiga agama
tersebut, di antaranya ia berkata : [ “Sesungguhnya persatuan nasional adalah salah
satu dari program-program penting kita. Sesungguhnya kita dalam garis Islam dapat
mencapai persatuan nasional tersebut melalui dasar-dasar ‘agama Ibrahim’, yang
dapat mengumpulkan kita dengan masihiyyun (orang-orang Kristen) dengan warisan
sejarah yang satu. Dengan pantauan sejarah keyakinan dan akhlak, kita tidak
menginginkan agama ashabiyah / fanatik dan permusuhan. Tetapi kita menginginkan
agama persatuan, persaudaraan dalam ketuhanan Allah yang satu. “ ( Majalah Al
Mujtama’ no. 736 tgl. 8 – 10 – 1985 ] ( Munaqasyah Hadi’ah, Muhammad Ahmad hal.
146 )

Sesungguhnya dakwah seperti ini pernah juga didengungkan oleh Muhammad Abduh
di Mesir, sebagaimana dikatakan oleh Al Ustadz Muhammad Husein : [ “…
Bahwasanyya jalan Muhammad Abduh untuk menegakkan peranannya dalam
memberi semangat dalam pemakmuran adalah ‘membuka pintu ijtihad’ dakwah ini
memberikan dukungan yang besar tehadap perkembangan Islam dan pendekatan
kemajuan dan modernitas Barat. Pendekatan yang dimaksud adalah : Pendekatan
antara Islam dan pemikiran Barat serta kemajuan mereka. Usaha ini telah mencapai
puncaknya ketika Muhammad Abduh masuk dalam (muwafadhat) bersama pendeta
dari Inggris –Ishak Tablur – dalam mengupayakan pendekatan Islam dan Kristen.”
(Tarikh Al Ustadz Al Imam, 2/5698) ] (Ibid)

Jadi Dr. Hasan At Turabi tidak membawa sesuatu yang baru. Dia hanya taqlid
kepada kaum modernis yang mencita-citakan reaktualisasi hukum-hukum Islam. Al
Ahya’ Minhum Wal Anwat.

Di antara pendahulu kaum modernis adalah Dr. Muhammad Ammarah seperti yang
diceritakan oleh Al Ustadz Jamal Sulthan : [ “… kemudian Dr. Muhammad
mengemukakan pandangannya yang baru. Pandangan yang sungguh mengerikan.
Ide yang dia umumkan di bawah bendera ‘persatuan agama Tuhan’. Inilah awal
penolakan terhadap pembagian manusia menjadi kafir dan Mukmin di atas dasar
yang sesat tadi. Karena pembagian tersebut – katanya – hanya terkait dengan
jaman-jaman pertengahan, yaitu jaman-jaman kegelapan.” (Muhammad Amarah
dan Misi Kebangkitan Islam, hal. 80 ] (Ibid)

Lihatlah ucapan ini, betapa miripnya istilah-istilah mereka dengan istilah ‘tiga agama
satu Tuhan’, dan Abdurrahman Wahid yang mengajak untuk tidak mengkafirkan
orang kristen.

Ucapan mereka ini sudah sangat jauh dari prinsip-prinsip Islam dan kaidah-kaidah Al
Wala’ wal Bara’. Seakan-akan mereka lupa kalau Yahudi dan Nashrani telah
mengucapkan kalimat yang sangat besar, kekafiran yang sangat dahsyat. Hampir-
hampir langit terpecah dan gunung-gunung runtuh serta bumi terbelah karena
ucapan mereka.

“Besar sekali ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka. Mereka tidak
mengucapkan kecuali kedustaan.” (Al Kahfi : 5)

“Hampir-hampir langit terp[ecah, bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh ketika


mereka menganggap bahwa Allah telah memiliki anak.” (Maryam : 90-91)

Lupakah mereka kalau Yahudi menganggap Uzair anak Allah?


Lupakah mereka kalau Nashrani mengatakan Isa anak Allah?
Lupakah mereka kalau Yahudi dan Nashrani telah menghina Allah Yang Maha Tinggi,
Maha Besar?

Apakah pantas orang-orang seperti mereka dianggap sebagai saudara? Diajak


bersatu, bekerja sama, apalagi mengganggap sebagai satu agama, yaitu agama
Ibrahimiyyah?

Dengarlah nasehat dan fatwa dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam
Majmu’ Fatawa-nya : [ “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk mensifati orang-
orang kafir –macam apapun kekafirannya, apakah dia Nashrani, Yahudi, Majusi atau
pun Atheis– tidak boleh mensifati mereka dengan istilah ‘saudara’ sama sekali. Maka
hati-hatilah wahai saudaraku dengan istilah ini. Karena sama sekali tiada
persaudaraan antara orang-orang Mukmin dengan orang-orang kafir. Disebut
persaudaraan ialah persaudaraan iman sebagaimana Allah katakan : “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (Al Hujurat : 10)

Kalau persaudaraan nasab (keluarga) dapat lenyap karena perbedaan agama, maka
bagaimana mungkin persaudaraan akan terwujud tanpa keIslaman dan kekeluargaan
sekaligus. Allah Azza Wa Jalla berfirman tentang Nabi Nuh ‘Alaihis Sallam : “Wahai
Rabb, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku. Dan sesungguhnya janjimu
adalah benar dan Engkau Maha Bijaksana. Allah berfirman : ‘Wahai Nuh,
sesungguhnya ia bukan keluargamu. Sesungguhnya amalan dia adalah tidak baik.”
(Hud : 45-46)

Maka selamanya tidak akan ada persaudaraan antara mukmin dan kafir. Bahkan,
kewajiban bagi seorang Mukmin adalah tidak mengambil mereka sebagai wali,
sebagaiman firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mengambil musuhku dan musuh kalian sebagai wali-wali yang kalian berikan pada
mereka rasa kasih sayang. Padahal mereka telah kafir dengan kebenaran yang telah
datang kepada kalian.” (QS. Mumtahanah : 1)

Siapakah musuh-musuh Allah? Musuh Allah adalah orang-orang kafir. Allah Ta’ala
berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil Yahudi dan Nashrani
sebagai wali-wali, sebagian kalian menjadi wali sebagian yang lain. Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai wali, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.” (Al
Maidah : 51)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Barangsiapa menjadi musuh bagi Allah dan
malaikat-malaikatnya, Jibril dan Mikail, maka Allah adalah musuh bagi orang-orang
kafir.” (Al Baqarah : 98) ] (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 3/43)

Demikianlah pernyataan beliau yang melarang mensifati mereka dengan ‘saudara’.


Maka bagaimana pandangan Anda terhadap orang yang mengatakan tidak kafir, atau
‘mereka itu orang beriman’ atau istilah yang populer di negeri kita, ‘semua agama
baik’ ? Apalagi yang membebaskan manusia untuk memilih agamanya, sedangkan
yang mengatakan harus Islam dikatakan ashabiyyah!

Tentang ucapan yang terakhir ini, Syaikh Utsaimin berfatwa : [ “Sesungguhnya


orang yang membebaskan manusia unntuk meyakini agama yang dikehendakinya,
maka ia telah kafir. Karena barangsiapa mengatakan bahwa manusia boleh memilih
agama selain agama Muhammmad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka ia telah kafir
kepada Allah Azza Wa Jalla. Karena Allah telah berfirman :

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima dan ia di
akhirat menjadi orang-orang yang rugi.” (Ali Imran : 85)

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran : 19)

Maka dengan ini, tidak boleh seseorang meyakini bahwa agama selain Islam boleh,
yakni boleh bagi manusia untuk beribadah dengan cara agama tersebut. Bahkan jika
seseorang memang meyakini demikian, para ulama telah menegaskan bahwa yang
demikian adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama.” ] (Fatawa Syaikh Ibnu
Utsaimin 3/99)

Maka nasehat yang perlu kita perhatikan adalah ucapan beliau di halaman 83 juz 3
dalam buku yang sama : [ “Dengan ini aku mengulangi yang ketiga kalinya agar
orang yang mengucapkan seperti ini bertaubat kepada Allah dan agar menerangkan
kepada manusia seluruhnya bahwa Yahudi dan Nashrani semuanya kafir, karena
hujjah telah ditegakkan atas mereka dan risalah telah sampai kepada mereka, tetapi
mereka menantang terang-terangan.

Dulu orang Yahudi telah disifati dengan al maghdubi (yang dimurkai) karena mereka
mengetahui yang haq tetapi menyelisihinya. Dan orang-orang Nashrani telah disifati
dengan adh dhalin (yang sesat) karena mereka menginginkan al haq tetapi tersesat.
Sedangkan sekarang semuanya telah mengetahui kebenaran dan mengenalinya,
tetapi menyelisihi kebenaran tersebut. Maka mereka semuanya berhak untuk disebut
sebagai al maghdubi ‘alaihim. Saya mengajak Yahudi dan Nashrani untuk beriman
kepada Allah dan rasulNya seluruhnya serta mengikuti Nabi Muhammad Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam karena memang inilah yang diperintahkan kepada mereka dalam
kitab-kitabnya.” ] Demikian ucapan Syaikh Al Utsaimin.

Toleransi Aliran
Kita lihat betapa beraninya mereka mengadakan pendekatan dengan agama-agama
lain dan meruntuhkan prinsip al wala’ wal bara’. Maka, tentunya mereka lebih berani
lagi mengadakan pendekatan dengan aliran-aliran sesat yang masih mengaku Islam.

Dengan dalih ‘mereka Muslimin’ mereka menganggap semua aliran baik dan sama-
sama mencari keridhaan Allah. Maka runtuhlah al wala’ wal bara’ dan prinsip amar
ma’ruf nahi munkar.

Sebagai contoh, kita lihat apa yang dikatakan barisan mudzab-dzab tentang Syiah
Rafidhah yang secara jelas mereka telah sesat dan keluar dari garis Islam:

Ismail As Syathi berkata : “Syiah adalah umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa


sallam, sedangkan Syiah Iran adalah memegang bendera Majusi. Maka tidaklah
termasuk al haq kita mendukung umat Majusi dan meninggalkan umat Muhammad.”
(Majalah Al Mujtama’ no. 455)

Jasim Al Muhallil. Dia adalah seorang tokoh gerakan islam ketika berbicara tentang
rencana politiknya dalam pemilu dan parlemen : [ “Akan terjadi nanti penyesuaian
yang kuat dengan segala macam kelompok-kelompok Islam yang ada di medan
dakwah. Dan akan terjadi pula beberapa tanazulat (pengorbanan prinsip) demi
tercapainya ‘persatuan’. “ (Jaridatul Anba no. 6693, tgl. 24-12-1994) ] (Tahafutus
Syi’arat, Abdul Aziz bin Syahib, hal. 35)

Bahkan dia mengatakan lebih tegas lagi siapa yang dimaksud dengan golongan-
golongan Islam : [ Mengapa tidak diadakan pertemuan-pertemuan antara gerakan-
gerakan Islam dan gerakan-gerakan kemanusiaan? Demikian pula antara kelompok-
kelompok Sunni (Ahlus Sunnah) dengan kelompok-kelompok Syiah? Pertemuan ini
dimaksudkan untuk bekerjasama dan saling membantu dalam bidang kemanusiaan
yang kita sepakat dengan mereka. Agar dengan ta’awun ini amal lebih meluas,
karena gerakan Islam ini bekerja untuk ‘kebaikan’ dan karena ‘kebaikan’ ” ]. Sampai
kepada ucapan dia selanjutnya, [ “… kalau di antara kita dan mereka ada beberapa
perbedaan seperti masalah Imam Mahdi, wali, pampasan perang yang 1/5 dan lain-
lain dari macam-macam perkara yang sulit untuk disepakati oleh kedua belah pihak,
maka sesungguhnya di antara kita ada persamaan dan kesepakatan dalam beberapa
sisi yang lain. Seperti fahisyah (dosa-dosa khususnya zina) diharamkan oleh semua
pihak, riba, dan kejahatan dalam masalah harta, yakni memakan harta manusia
dengan kebatilan dan seterusnya, telah disepakati oleh kedua belah pihak
keharamannya. Maka apa yang menghalangi gerakan-gerakan Islam Sunni untuk
mengadakan kerjasama dengan Syiah dalam masalah-masalah ini.” (Jaridatu Anba’
no. 6707 tgl. 9-1-1995 ]. (Tahafutus Syi’arat, Abdul Aziz bin Syahib, hal. 35-36)

Ini hanyalah satu contoh ucapan mereka yang menunjukkan prinsip mereka dalam
ber – ‘toleransi’. Toleransi ekstrim yang mengutamakan ‘persatuan, ukhuwah,
ikhwaniyah’ lebih daripada aqidah dasar Islam dan prinsip al wala’ wal bara’ .
Adapun bukti pebuatan mereka lebih banyak lagi seperti pertemuan-pertemuan,
acara-acara bersama, perayaan-perayaan bersama, atau ceramah-ceramah yang
diisi oleh kedua belah pihak.

- Apakah mereka tidak menyadari bahwa perbedaan antara kaum Muslimin dengan
Syiah sangatlah prinsip?

- Apakah perbedaan kita dengan mereka hanya yang disebut oleh Muhallil di atas?

- Tidakkah kita ingat bahwa mereka merubah-rubah Al Qur’an, menambahnya


dengan surat wilayah dan mengurangi surat Al Lahab?

- Bukankah mereka menganggap imam-imamnya mengetahui yang ghaib?

- Bukankah mereka telah mengkafirkan sahabat-sahabat Rasul shalallahu ‘alaihi wa


sallam kecuali beberapa orang saja dari mereka?

- Bagaimana dengan laknat mereka terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah
dan lain-lain?

- Bagaiman dengan tuduhan mereka terhadap Aisyah dengan tuduhan pezina,


pelacur, dan lain-lain?

- Apakah fahisyah diharamkan oleh Syiah? Bukankah mereka membolehkan mut’ah


(kawin kontrak), bukankah mereka membolehkan homo dan lesbian?

Lihatlah akibat yang fatal dari ucapan bid’ah yang kelihatannya sederhana : “Kita
saling tolong menolong dalam apa yang kita sepakati dan saling memaklumi pada
apa yang kita berbeda padanya.”

Akhirnya lahirlah dari prinsip tersebut ucapan-ucapan berikut :

“Kita memaklumi perbedaan kita dengan Syiah agar kita bersatu melawan orang-
orang kafir.” Seperti ucapan Ikhwanul Muslimin.

“Kita memaklumi Yahudi dan Nashrani yang sama-sama menyembah Allah untuk
melawan orang-orang musyrik.” Seperti ucapan Turabiyyun.

“Kita memaklumi perbedaan kita dengan semua agama karena mereka sama-sama
menyembah Tuhan untuk bersatu menghadapi bahaya atheisme.” Seperti ucapan
Hasan Al Banna.

Berikutnya, tentu saja memaklumi para atheis juga dalam rangka berta’awun
dengan mereka dalam bidang yang disepakati yaitu : “kemanusiaan”.

Apa sisanya? Kepada apa kalian mengajak? Tidak mengajak kepada agama tertentu,
madzhab tertentu, ataupun prinsip tertentu.
Pernah saya baca di sebuah tanggalan (kalender) yang dikeluarkan oleh salah satu
pondok pesantren terkenal di Ponorogo, “Kami berdiri di atas semua golongan.”
Ucapan ini sama bahanya dengan prinsip Ikhwan di atas.

Seharusnya kita berprinsip : “ta’awun ‘alal birri wat taqwa.”

Jika ada perbedaan kita berprinsip : “Kembalikanlah perselisihan kepada Allah dan
RasulNya.”

Dan jangan kita katakan kita berdiri di atas semua golongan, melainkan : “Berdiri di
atas golongan yang telah dipastikan selamat oleh Allah dan RasulNya shalallahu
‘alaihi wa sallam dan pasti mendapat keridhaan Allah.”

“Dan orang-orang yang terdahulu dalam beriman dari kalangan Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka.”
(QS. At Taubah : 100)

Sedang dalam hadits :

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang mengikuti mereka dan


kemudian yang mengikuti mereka.” (HR. Bukhari)

Dengan ini kami menasihatkan kepada kaum Muslimin dan seluruhnya untuk
meninggalkan prinsip-prinsip bid’ah dan kembali pada prinsip-prinsip yang pasti
kebenarannya dari Allah dan RasulNya, buang slogan-slogan dan jargon-jargon
bid’ah dan ucapkanlah syiar-syiar Islam :

“Tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan.”

“Kembalikanlah perselisihan kepada Allah dan RasulNya.”

“Apa yang berbeda kita harus saling mengingatkan dengan kebenaran dari Al Qur’an
dan As Sunnah.”

“Perintahkanlah kebenaran dan laranglah kemungkaran.”

“Kami berdiri di atas golongan yang selamat yaitu para shahabat.”

Dengan prinsip-prinsip ini kita ajak yang kafir kepada Islam dan kita ajak yang sesat
dan yang menyimpang kepada jalan sunnah. Wallahuu A’lam Bish Shawab.

(Dikutip dari Majalah SALAFY Edisi 32/1420 H/1999 M. Judul asli : Toleransi Para
Ekstrimis. Tulisan al Ustadz Muhammad Umar as Sewed.)

Anda mungkin juga menyukai