Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah
munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada
sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan)
adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas
dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan
dalam firman Allah Ta’ala berikut,
ْهمْ إِنَّا ُب َرآ ُءِ مِ قو َ ِقالُوا لَ ذ ُْ ع
ْ ِه إ َ مَ ين َْ ذ ِ َّوالَ م
َْ هي ِ س َنةْ فِي إِب َرا َ ح
َ ةْوَ كمْ ُأس ُ َكانَتْ ل َ
َ ْقد
ضا ُْء َ والبَغ َ ةُ
ْو َ ع
َ دا َ م ال ُ وبَي َن
ُْ ك َ دا بَي َن َنا َ َوب َ ْكمُ ِفرنَا ب َ ك
َ ّللا
ِْ َّ ِْ منْ ُدو
ن َْ ما تَع ُب ُد
ِ ون َّ م َ ْكم
ِ و ُ منِ
ُه َ َ
ْ اّلل وحد ِ َّ
ْ ِمنوا ب ُ ُ َّ
ِ أبدا حتىْ تؤ َ ً َ َ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas
diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-
lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-
mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal
ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala
secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali
Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah
al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-
wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-
mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang
dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ
ْهللا ُ وال
حبْ فِي َ ،هللا
ِ ُْ د
اة فِي َ عا َ م
ُ وال
َ ،هللا
ِ ة فِي ُْ َ واال ُ ال:ن
َ م َ إلي
ِْ ما ِ ع َرى ا ُْ َأَوث،
ُ ق
ِْ
هللا ض فِيُْ وال ُبغ
َ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah,
mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul
Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri
seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci
dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini
kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
1. Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
2. Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-
Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak
puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
3. Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci
Allah Ta’ala.
4. Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah
Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat
syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus
merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala
wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran,
sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita
selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’
(mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia,
dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin
yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan
meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak
mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan
maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan
yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu
anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama
‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu
hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum
khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada
seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa
menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُْ َسول
ه ُ و َر
َْ هللا
َْ ْحب ُْ َّت أَن
ِ ه ُي َ ما
ُْ علِم َ هللا
ِْ و َ ه
َ ف ُْ ع ُنو
َ ال َ تَل
ْ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-
Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia
dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
{وقد نزل عليكم في الكتاب أن إذا سمعتم آيات هللا يكفر بها ويستهزأ بها فال تقعدوا
]140: إذا مثلهم[ }النساء
ً معهم حتى يخوضوا في حديث غيره إنكم
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an bahwa apabila kalian
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kalian duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisaa’ : 140)
Segala puji hanyalah milik Allah semata. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi yang tiada lagi nabi sesudah beliau, Muhammad bin ‘Abdillah,‘alaihis sholatu was
salaam. Wa ba’du:
Allah Ta’ala berfirman tentang bapak para nabi, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
َّللا َكف َْرنَا ِب ُك ْم َو َبدَا َب ْي َننَا ِ ِيم َوا َّلذِينَ َم َعهُ ِإذْ قَالُوا ِلقَ ْومِ ِه ْم ِإنَّا ب َُرآَ ُء مِ ْن ُك ْم َومِ َّما تَ ْعبُدُونَ مِ ْن د
ِ َّ ُون َ َت لَ ُك ْم أُس َْوة ٌ َح
َ سنَةٌ فِي ِإب َْراه ْ دْ كَان
ُ َّ
ِ َّ ِضا ُء أبَدًا َحتى تؤْ مِ نُوا ب
ُاَّلل َو ْحدَه َ ْ ْ ْ ُ
َ َوبَ ْي َنك ُم العَدَ َاوة ُ َوالبَغ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri
kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkar kepadamu, dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu beriman
kepada Allah semata” (QS. Al Mumtahanah : 4)
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, prinsip al wala’ wal baro’, loyalitas kepada kaum
muslimin dan kebencian kepada orang kafir, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim
‘alaihis salam seperti termaktub dalam ayat di atas pada masa-masa ini seolah-olah telah redup
di hati-hati kaum muslimin. Padahal prinsip al wala’ wal baro’adalah salah satu prinsip dalam
agama Islam dan sebab tegaknya kemuliaan agama Islam di atas seluruh agama di dunia ini.
Di dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala melarang kaum muslimin untuk memberikan sikap wala’,
loyalitas kepada orang kafir, dan menjadikan mereka sebagai teman setia. Allah Ta’ala
berfirman,
عد َُّو ُك ْم أ َ ْو ِليَا َء َ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا ََل تَتَّخِ ذُوا
َ عدُ ِّ ِوي َو
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia” (QS. Al Mumtahanah : 1)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani
menjadi pemimpin-pemimpinmu. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain.
Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim” (QS. Al Ma-idah : 51)
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, setelah membawakan dalil terlarangnya memberikan
loyalitas kepada orang kafir, berikut ini kami bawakan beberapa contoh bentuk loyalitas kepada
orang kafir –dengan memohon taufik dari Allah- agar kita tidak terjatuh ke dalamnya.
Ini merupakan perkara yang sangat berbahaya yang dapat mengeluarkan seorang muslim dari
agamanya. Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mencintai orang kafir karena kekafirannya
(artinya: cinta akan kekafiran mereka, ed), maka dia keluar dari Islam. Lihat Al Wala’ wal Bara’
fil Islam, hal. 232.
2. Meyakini sebagian akidah kafir yang mereka anut atau berhukum dengan kitab suci
mereka
“Tidakkah kamu lihat orang-orang yang Allah berikan mereka bagian dari kitab?Mereka
beriman dengan setan dan thoghut, dan mereka berkata kepada orang-orang kafir : ‘Mereka
adalah orang-orang yang lebih lurus jalannya daripada orang-orang yang beriman’” (QS. An
Nisaa’ : 51)
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, bukankah dapat kita saksikan saat ini sebagian dari
orang yang ber-KTP Islam, bahkan dianggap ‘cendikiawan muslim’, tapi meyakini akidah-
akidah sesat yang dimiliki orang kafir seperti komunisme, sekulerisme, dan liberalisme?
Wallahul musta’aan.
3. Menjadikan orang kafir penolong setia atau pelindung[1], menyerahkan urusan yang
berkaitan dengan kaum muslimin kepada mereka, dan menjadikan mereka sebagai orang
kepercayaan
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai penolong setia atau
pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman yang lain. Barangsiapa yang
melakukannya, maka dia telah lepas dari Allah.Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka.Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-
Nya.Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Ali ‘Imron : 28). Lihat Al Irsyad ila Shahihil
I’tiqod, hal. 360
Ini adalah perkara yang sangat berbahaya. Hal ini termasuk pembatal keislaman jika maksudnya
adalah menolong orang kafir untuk menindas kaum muslimin disertai dengan kecintaan pada
agama atau ajaran mereka. Allah Ta’ala berfirman,
Sedangkan jika tidak ada pilihan lain (artinya: dipaksa) untuk melakukan seperti itu, namun tidak
disertai dengan rasa cinta pada kekufuran mereka, maka ini dikhawatirkan saja dapat keluar dari
Islam. Adapun jika masih punya pilihan (tidak dipaksa), namun ia masih benci pada agama
kekafiran, maka ia terjerumus dalam dosa besar. (tidak Lihat Al Irsyad ilaa Shahihil I’tiqod, hal.
360 dan penjelasan Syaikh Sholih Al Fauzan dalam Durus fii Syarh Nawaqidil Islam, hal, 157-
158.
Allah Ta’ala berfirman ketika menerangkan sifat dari hamba-hamba Allah yang beriman,
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri az zuur” (QS. Al Furqan : 72). Makna ayat di atas, di
antara sifat hamba Allah adalah tidak menghadiri hari besar orang kafir. Lihat Al Irsyad, hal.
362.
ِيرتَ ُه ْم
َ عشَ سولَهُ َولَ ْو كَانُوا آَ َبا َءهُ ْم أَ ْو أ َ ْبنَا َءهُ ْم أَ ْو ِإ ْخ َوانَ ُه ْم أَ ْو َ ْ اَّلل َو ْال َي ْو ِم
َ َّ َّاْلخِ ِر ي َُوادُّونَ َم ْن َحاد
ُ َّللا َو َر ِ َّ ََل ت َِجدُ قَ ْو ًما يُؤْ مِ نُونَ ِب
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al
Mujadilah : 22)
7. Duduk bersama mereka ketika mereka sedang menghina Islam dan kaum muslimin
غي ِْر ِه إِنَّ ُك ْم إِذًا ٍ َّللا يُ ْكف َُر ِب َها َويُ ْست َ ْهزَ أ ُ بِ َها فَ َل ت َ ْقعُدُوا َم َع ُه ْم َحتَّى يَ ُخوضُوا فِي َحدِي
َ ث ِ َّ ت ِ علَ ْي ُك ْم فِي ْال ِكت َا
َ ب أ َ ْن إِذَا
ِ سمِ ْعت ُ ْم آَيَا َ َوقَدْ ن ََّز َل
ُ ْ
مِ ثل ُه ْم
“Sungguh Dia telah menurunkan kekuatan kepada kalian di dalam kitab bahwa jika kalian
mendengar ayat-ayat Allah diingkari atau dihina (oleh orang kafir), maka janganlah duduk
bersama mereka sampai mereka membicarakan hal lain. Karena sesungguhnya (jika kalian tetap
duduk bersama mereka), sungguh kalian seperti mereka” (QS. An Nisaa’ : 140)
Tasyabbuh dengan orang kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka, kebiasaan
mereka, ibadah mereka, akhlak mereka (seperti mencukur jenggot dan memanjangkan kumis),
pakaian mereka, gaya makan dan minum mereka, dan selainnya yang termasuk ciri khas orang
kafir hukumnya adalah haram. LihatAl Irsyad, hal. 359.
Dan yang dimaksud dengan ciri khas orang kafir adalah : jika ada orang yang melakukan sesuatu
atau memakai sesuatu, maka orang yang melihatnya akan mengira bahwa dia adalah orang kafir.
9. Tinggal di negeri kafir dan tidak mau pindah ke negeri Islam padahal mampu
“Sesungguhnya orang-orang yang dimatikan oleh malaikat dalam keadaan menzhalimi diri
sendiri,malaikat bertanya kepada (mereka), ‘Dalam keadaan bagaimana kalian ini?!’.Mereka
menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi ini (Mekkah)’. Malaikat
menjawab, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian bisa berhijrah?!’. Mereka itulah yang
tempat kembalinya adalah jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Kecuali mereka yang tertindas dari kalangan laki-lak ,perempuan, dan anak-anak yang tidak
berdaya dan tidak tahu jalan (untuk hijrah)” (QS. An Nisaa’ : 97-98)
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ini adalah ancaman keras bagi orang yang tidak mau
hijrah (dari negeri kafir) sampai meninggal dunia padahal mampu untuk hijrah” (Taisir Karimir
Rahman hal. 176).
Jika berpergian dalam rangka pengobatan, belajar ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk kaum
muslimin yang tidak didapatkan di negeri-negeri Islam, atau alasan yang dibenarkan syari’at,
maka diperbolehkan asalkan syaratnya terpenuhi. Namun jika bepergian dalam rangka wisata
atau pleasure saja ke negeri kafir, maka ini jelas bukan suatu yang urgent dan dinilai berdosa.
12. Menyanjung mereka karena takjub dengan kemajuan peradaban dan teknologi yang
mereka miliki tanpa melihat akidah mereka yang rusak
ع ْي َنيْكَ ِإلَى َما َمتَّ ْعنَا ِب ِه أَ ْز َوا ًجا مِ ْن ُه ْم زَ ْه َرةَ ْال َح َياةِ الدُّ ْن َيا ِلنَ ْفتِنَ ُه ْم فِي ِه َو ِر ْز ُق َر ِبِّكَ َخي ٌْر َوأَ ْبقَى
َ َو ََل ت َ ُمد ََّّن
“Janganlah kalian mengarahkan pandangan kalian kepada kenikmatan yang Kami berikan
kepada golongan-golongan mereka sebagai bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka
dengannya.Dan rizki Rabb-mu lebih baik dan lebih kekal” (QS.Thaha : 131)
13. Bertemu dengan mereka dengan wajah berseri-seri dan hati gembira
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mulai memberikan salam
kepada orang yahudi dan nasrani. Jika kalian berpapasan dengan mereka di jalan, paksalah
mereka untuk minggir” (HR. Muslim)
16. Memintakan ampunan untuk mereka dan mendo’akan rahmat bagi mereka
ْ َي َوالَّذِينَ آ َ َمنُوا أ َ ْن يَ ْست َ ْغف ُِروا ل ِْل ُم ْش ِركِينَ َولَ ْو كَانُوا أُولِي قُ ْربَى مِ ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَ ُه ْم أَنَّ ُه ْم أ
ص َحابُ ْال َجحِ ِيم ِِّ َما َكانَ لِلنَّ ِب
“Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk meminta ampunan bagi orang
musyrik meskipun mereka adalah kerabat dekatnya setelah jelas bagi mereka bahwa orang
musyrik itu adalah penduduk neraka jahim” (QS. At Taubah : 113)
Kalender masehi adalah bentuk mengenang kelahiran Nabi ‘Isa ‘alaihis salamyang bid’ah ini
dibuat-buat oleh orang Nashrani sendiri dan bukan berasal dari agama Nabi ‘Isa ‘alaihis salam.
Maka penggunaan kalender ini menunjukkan adanya keikut sertaan menyebarkan syi’ar-syi’ar
dan hari besar mereka (lihat Al Irsyad, hal. 362).
Akan tetapi, seandainya terpaksa menggunakan kalender masehi, maka cantumkanlah kalender
hijriyyahnya juga.
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, meskipun kita diwajibkan untuk membenci orang yang
Allah benci, yakni orang-orang kafir, namun hal itu bukanlah alasan untuk berbuat sewenang-
wenang terhadap orang kafir. Islam adalah agama yang indah dan penuh keadilan. Oleh karena
itulah, Allah Ta’ala tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik kepada orang kafir yang
tidak memerangi kaum muslimin, terlebih lagi jika hal itu dapat membuat mereka tertarik
memeluk agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,
ََّللا يُحِ بُّ ْال ُم ْقسِطِ ين ُ ار ُك ْم أ َ ْن تَبَ ُّروهُ ْم َوت ُ ْق ِس
َ َّ طوا إِلَ ْي ِه ْم إِ َّن ِ ع ِن الَّذِينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي ال ِد
ِ َِّين َولَ ْم يُ ْخ ِر ُجو ُك ْم مِ ْن ِدي َّ ََل يَ ْن َها ُك ُم
َ َُّللا
“Allah tidaklah melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil terhadap orang kafir yang tidak
memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung kalian.Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Wallahu a’lam.
Referensi:
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang
Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama
sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka.
Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan
adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian
perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk
agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-
Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim
dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
ْكمْ أَن ُ ِمنْ ِديَارِ ْوكم ُ ج ُ ر ِ ولَمْ ُيخ َ ين
ِْ د ِِّ وكمْ فِي ال ُ ُقاتِل َ ين لَمْ ُي َْ ذِ َّن ال
ِْ ع ُْ َّ م
َ ّللا ُ ه
ُْ اك َ ال يَن
َ
ِْ ّللا ع
ن ُ
ْ مَّ ُ ُ
ْ هاك َ ما يَن َّ
َ ين إِن
َْ ط ِ س ِ حبْ المقُ ُ َْ
ِ ّللا ي َّ َّ
ْ ِهمْ إ
ن َ ُ ُ ُ
َ ْتَبَروهم
ِ سطوا إِلي ِ وتق
ْكم ُ ج
ِ علَى إِخ َرا َ اه ُروا َ َوظ َ ْكم ُ منْ ِديَا ِر ُ ج
ِ ْوكم ُ وأَخ َر َ ين
ِْ د ِِّ وكمْ فِي ال ُ ُقاتَل َ ين َْ ذ ِ َّال
ُ ِم الظَّال ُ ك ُ َ ْولَّ ُهم ُ ولَّو َ َأَنْ ت
َْ م
ون ُْ ه َْ ِفأولَئ َ منْ يَ َت َ و َ ْهم
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama
dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah
memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada
pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada
semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam,
serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
َ م
ْن ِ س َ ك
َْ فلَي َ ْعل
َْ ِذل َ منْ يَف
َ و
َ ين
َْ ِمن
ِ مؤ ِْ منْ ُدو
ُ ن ال ِ ين أَولِيَا َْء
َْ ر
ِ ِكاف َْ م ُن
َ ون ال ُ ذ ال
ِ مؤ ِ ال يَ َّت
ِْ خ َْ
شي ْء َ ّللا فِيِْ َّ
ُْ ص
ير ِْ َّ وإِلَى
َ ّللا ال
ِ م ُْ س
َ ه ُْ َّ م
َ ّللا نَف ُْ ك ِِّ ح
ُ ذ ُر َ و ُي ًْ ق
َ اة َ ُمن ُهمْ ت ُ ال أَنْ تَ َّت
ِ قوا َّْ ِإ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS.
Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum
mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena
tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan
bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan
Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam
mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah
keduniaan.[2]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal
bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan
mengambil manfaat dari mereka.
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia
dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-
Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir
yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal
dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada
perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang
suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang
memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki: