Anda di halaman 1dari 18

PENINGKATAN RESPON IMUN ADAPTIF PADA ASOSIASI DENGAN INFEKSI LATEN Wuchereria bancrofti

Seminar 1 Tanggal 18 Desember 2012

Penyaji

: Drs. Agus Jaya (Guru)

Pembimbing : Dr. Drs. Heri Wibowo, MS. Pembahas : 1. Dra. Eldy Luntungan (Guru) 2. dr. Hendrik Kurniawan (Biokimia)

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA, 2012
1

PENINGKATAN RESPON IMUN ADAPTIF PADA ASOSIASI DENGAN INFEKSI LATEN Wuchereria bancrofti

Pendahuluan Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk . Penyakit ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat menyerang semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara.1,10 Penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit yang sebelumnya terabaikan. Dapat menyebabkan kecacatan, stigma, psikososial dan penurunan produktivitas penderitanya dan lingkungannya. Diperkirakan kerugian ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah (Kementerian Kesehatan, 2009), jika tidak dilakukan Pemberian Obat Massal Pencegahan filariasis.1 Kejadian filariasis limfatik memang belum mendapatkan perhatian luas masyarakat karena pada awalnya penyakit ini tidak bergejala dan perjalanan pada saat penyakitnyapun sampai dengan keluhan kaki gajah berlangsung sangat lambat. Gejala klinis paling sering terlihat pada saat penderita beranjak dewasa, walaupun sebenarnya mikrofilaria sudah ada dalam tubuh sejak anak-anak. Menurut WHO, filariasis limfatik merupakan penyebab kedua kecacatan tertinggi di dunia setelah kusta, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan membuat perasaan malu serta tertekan pada penderitanya. Untuk itu diperlukan penanganan sejak dini agar kecacatan dapat dicegah.2 Dilaporkan juga bahwa filariasis di dunia menghabiskan dana 5 juta US$ setiap tahun untuk penanggulangannnya dan menduduki ranking 3 setelah malaria dan tuberculosis.3 Dengan berbagai akibat tersebut, saat ini penyakit kaki gajah telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi, Di prakarsai oleh WHO sejak 1999, pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a

Public Health Problem by the Year 2020. Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global.1 Filariasis limfatik (FL) Infeksi cacing tropis yang memengaruhi lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia dan dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama. Lebih dari 90% infeksi ini ditimbulkan oleh Wucheria bancrofti dan cacing dewasa berada dalam sistem limfatik melepaskan jutaan mikrofilaria (MF), yang secara periodik beredar dalam darah.4Alat diagnostik baru telah memberikan sebuah metode untuk menentukan pasien tanpa gejala yang amicrofilaremic: subset dari individu yang sejauh ini telah diabaikan tetapi untuk kepentingan khusus karena pasien ini merupakan jalan buntu dalam hal transmisi parasit. Oleh karena itu, para peneliti tertarik dalam menentukan apakah adanya MF dikaitkan dengan profil imunologi yang berbeda dan mengamati respon imun yang terjadi pada pasien dengan MF +. Dari sudut pandang cacing, keseluruhan tekanan respon imun dapat memudahkan penularan MF. Individu-individu laten, menunjukkan peningkatan respon imun spesifik terhadap filarial dan mengekstrapolasi temuan ke host memberikan wawasan baru ke dalam mekanisme perlindungan yang mungkin secara aktif menghambat pelepasan MF dari cacing atau perjalanan mereka ke perifer (darah tepi). Penelitian lebih lanjut aspek ini dapat memperluas berbagai strategi saat ini bekerja untuk mengurangi penularan dan pada gilirannya mengeliminasi filariasis bancroftian.4 Daur hidup Wuchereria bancrofti Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular (manusia dan hewan), Parasit , Vektor, Manusia yang rentan, Lingkungan (fisik, biologik dan social ekonomi budaya). Di dalam tubuh nyamuk mikrofilaria yang diisap nyamuk akan berkembang dalam otot nyamuk.Setelah 3 hari menjadi larva L1, 6 hari menjadi larva L2, 8-10 hari untuk brugia atau 10 14 hari untuk wuchereria akan menjadi larva L3. Larva L3 sangat aktif dan merupakan larva infektif, ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (tetapi tidak seperti malaria). Manusia merupakan hospes definitive. Hampir semua dapat tertular terutama pendatang dari daerah non-endemik.8 Beberapa hewan dapat bertindak sebagai

hospes reservoir. Larva infektif ( larva stadium 3 ) ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah, larva berubah menjadi stadium 4 yang kemudian bergerak dan menuju pembuluh dan kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan / 1 tahun kemudian larva ini berubah menjadi cacing dewasa jantan dan betina, cacing dewasa ini terutama tinggal di saluran limfe aferens, terutama di saluran limfe ekstremitas bawah ( inguinal dan obturator ), ekstremitas atas ( saluran limfe aksila ), dan untuk W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital laki-laki ( epididimidis, testis, korda spermatikus ). Melalui kopulasi, cacing betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk embrionik/mikrofilaria ) dalam jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per hari. Mikrofilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus dinding pembuluh limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan atau terbawa oleh saluran limfe masuk ke dalam sirkulasi darah mungkin melalui duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama sering ditemukan pada malam hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya sedikit atau bahkan tidak ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut mikrofilaria berada di jaringan pembuluh darah paru. Penyebab periodisitas nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai bentuk adaptasi ekologi lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada saat itu pula kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang lebih rendah saat malam hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal. Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap nyamuk, dan dalam tubuh nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 12 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 20 tahun dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun.5 Penyebab utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp., Culex spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. Filariasis limfatik merupakan penyebab utama dari kecacatan didaerah endemic sehingga merupakan masalah kesehatan masyarakat utama dengan penyebab
4

utama W.bancrofti. Pada beberapa tahun belakangan terjadi peningkatan kasus limfatik filariasis di daerah perkotaan ( urban lymphatic filariasis) yang disebabkan oleh peningkatan populasi penderita di per-kotaan akibat urbanisasi dan tersedianya vektor di daerah tersebut.

Gambar: daur hidup Wuchereria bancrofti.9 Patofisiologi Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan produk produk yang akan menyebabkan dilatasi dari pembuluh limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema. Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen parasit mengaktifkan sel T terutama

sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF . Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflamasi dan granulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis.9

Manifestasi Klinis Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis. Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan
6

limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi: 1. Masa prepaten. Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 37 bulan. Hanya sebagian dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik. 2. Masa inkubasi. Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan. 3. Gejala klinik akut. Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik. 4. Gejala menahun. Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya. Filariasis bancrofti. Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis. Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd

yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari. Serangan biasanya terjadi beberapa kali dalam setahun. Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel. Di dalam cairan hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dengan ukuran pembesaran di tungkai dapat lebih 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria dapat terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah. Ukuran pembesaran ektremitas umumnya tidak melebihi 2 kali ukuran asalnya.

Respon imun adaptif pada filarial limfatik. Respons pejamu terhadap infeksi cacing (secara umum) lebih kompleks karena pathogen lebih besar dan tidak terfagosit. Pertahanan terhadap cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE, kemudian IgE berikatan dengan cacing. IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil , selanjutnya eosinofil mengikat IgE yang tadi sudah ada cacingnya. Eosinofil mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Granulnya lebih toksik dibanding neutrofil dan makrofag. Reaksi inflamasi yang timbul mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna. Jika masuk ke saluran cerna akan dirusak IgG, IgE, dan mungkin dibantu ADCC (antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity). Sitokin yang dilepas sel T, yang dipicu antigen spesifik, merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi
8

cacing yang dirusak. Hal ini memungkinkan cacing dapat dikeluarkan melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi oleh mediator sel mast seperti LTD 4 (Leukotrin D)dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin dari sel mast. Cacing terlalu besar untuk difagosit. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan neurotoksin. PMN(Polymorfonuclear) dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.6

Gambar: Peran Th2 pada respon imun terhadap infeksi cacing ( Abbas AK. Cellular and Molecular Immunology)5

Filariasis limfatik (menyumbat saluran limfe) menimbulkan CMI (Cell Mediated Immunity) kronis, fibrosis, akhirnya limfedema berat. Investasi persisten sering disertai pembentukan kompleks antigen parasit dengan antibodi spesifik yang dapat diendapkan di dinding pembuluh darah dan gromerulus ginjal yang dapat menimbulkan vaskulitis dan nefritis. Spektrum gejala filariasis limfatik begitu luas, mulai dari besar jumlah parasit dengan sedikit gejala klinis
9

sampai yang kronis dengan parasit yang sedikit ditemukan. Adanya mikrofilaria dalam darah, sitokin Th2 menjadi dominan, disertai dengan cepat menghilangnya respon sel T dan peningkatan mencolok dalam sintesis IgG4 spesifik parasite. Induksi toleransi sel T terhadap parasite diduga terjadi dalam subset Th1. Saat individu sakit, toleransi dipatahkan dan respons terhadap Th1 dan Th2 meningkat dramatis. Baik respons Th1 maupun Th2 terhadap antigen filaria ditemukan pada individu yang imun terhadap infeksi ulang. Oleh karena itu kedua respons Th dianggap penting pada proteksi pejamu dan patogenesis filariasis.7

10

Hasil Penelitian Studi populasi yang dilakukan oleh Kathrin Arndts dan kawan-kawan (2008) dari University Hospital Bonn, Bonn, Jerman terhadap pasien pria terinfeksi Wuchereria bancrof berjumlah 159 orang (n=159) dengan rincian infeksi paten mikrofilaremik (n = 92 MF+) dan infeksi laten amikrofilaremik (n=62 MF-). Hasil dari mereka dibandingkan dengan relawan sehat berjumlah 22 orang yang berasal dari daerah endemic yang sama dan dari latar belakang social ekonomi yang sama, maka diklasifikasikan sebagai Endemik Normal (n=22 EN). Penelitian dilakukan di daerah endemic LF yaitu 25 desa di Ahanta Distrik Barat, Ghana pada tahun 2008.4 Perhatikan table karakteristik studi populasi di bawah ini: Table 1. Characteristics of study population.

11

Evaluasi klinis pasien filariasis limfatik menunjukkan peningkatan jumlah sarang cacing pada individu MF+. Perhatikan gambar 1 berikut ini.

Gambar 1: Active circulation of MF is associated with the number of worm nests.

Tidak ada perbedaan signifikan dalam pengukuran pelebaran (dilatasi) kelenjar getah bening di sekitar sarang cacing (1A). Jumlah sarang cacing di sekitar skotum pasien MF+ secara signifikan lebih banyak dibandingkan pasien MF(1B). Pelebaran getah bening maksimal terdeteksi dalam jaringan skrotum, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua kelompok, pada kelompok EN dilatasi maksimal antara nilai 0 2 (1C). Filaria-spesifik IL-5 meningkat pada individu yang terinfeksi secara Laten. Untuk mengetahui profil imunologi melalui isolasi PBMC(Peripheral Blood Mononuclear Cells) yang dirangsang dengan anti-CD3/anti-CD28, Bm ekstrak, MSP-1 dan LPS. IL-5 dan IL-13 adalah respon spesifik yang khas pada infeksi cacing. Profil IL-5 disajikan pada gambar 2A-D dan IL-13 disajikan pada gambar 2E-H. Pada gambar 2A dan E menunjukan tingkat sitokin yang sama antara individu terinfeksi dan EN (endemic normal). IL-5 pada MF- lebih tinggi dari individu MF+, sedangkan pada EN tidak ada respon (2B). IL-13 diproduksi oleh semua individu terinfeksi, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok MF+ dan MF-, tapi bila dibandingkan dengan EN kedua kelompok terinfeksi menghasilkan IL-13 lebih tinggi (2F). Respon terhadap MSP-1 dan LPS tidak
12

dapat terdeteksi adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok terinfeksi (2C, D, G, H). Perhatikan gambar 2 berikut ini:

Gambar 2: . Patent infection alters filarial-specific Th2-like responses.

Pasien amikrofilaremia menunjukkan peningkatan respon IL-17. Profil Th1 dan Th17 pada pasien mikrofilaremia dan amikrofilaremia diamati dengan mengukur produksi IFN- (3A-D) dan IL-17 (3E-H). respon IL-17 menunjukkan peningkatan pada kelompok MF- disbanding kedua kelompok lainnya , pada stimulus dengan anti-CD3/anti-CD28 (3E). Meskipun tidak signifikan pada kelompok MF+ median INF- lebih rendah dari salah satu kedua kelompok lainnya (3A). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok terinfeksi cenderung respon Th1 tidak dominan. Perhatikan gambar berikut ini:

Gambar 3: Latent infected patients show elevated IL-17 but not Th1-like responses. 13

Filarial- spesifik IL-10 ditingkatkan pada individu infeksi laten.

Gambar 4: Regulatory responses are enhanced in latently infected individuals.

Pada pembacaan IL-10 menunjukkan responnya lebih rendah pada pasien MF+ dari pasien MF- pada semua stimulus yang diberikan. Sedangkan dalam pelepasan IL-6 terjadi down regulasi pada kelompok mikrofilaremia ketika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terinfeksi apapun stimulusnya (4E-H). Dalam kasus ini aktivasi sel T juga dideteksi secara signifikan terjadi penekanan (supresi) pelepasan IL-6 dari PBMC individu- individu infeksi paten, ini menunjukkan respon down-regulasi pada individu tersebut. Individu mikrofilaremia menunjukkan peningkatan responTNF.

Gambar 5: Circulating microfilariae dampen release of TNF.

14

Setelah stimulasi dengan anti CD3/anti CD28, Bm ekstrak, MSP-1 atau LPS terbukti secara signifikan terjadi penekanan respon TNF pada pasien MF+ dibandingkan dengan kedua kelompok EN dan MF- (5A, B, C, dan D). Tingkat TNF yang lebih tinggi pada individu laten dapat mengindikasikan kemungkinan mekanisme penekanan pelepasan MF atau bahkan penghancuran MF. Penilaian kuantitatif tingkat IgG dan IgE. Disamping IL-5, peningkatan kadar IgE adalah ciri infeksi cacing. Oleh karena itu dilakukan pengukuran kadar IgE total dan IgG subklas dalam plasma dari semua responden (6A-E). Pasien mikrofilaremia memiliki IgE signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan EN dan kelompok laten(6A). Sedangkan IgG subklas, tidak ada perbedaan dalam tingkat IgG1 total dan IgG3 (6B dan D). Tetapi kedua kelompok pasien menunjukkan penurunan yang signifikan dari IgG2 bila dibandingkan dengan EN (6C). Meskipun tidak ada perbedaan tingkat IgG4 (6E) rasio IgG4 dan IgE berkurang secara signifikan pada kelompok mikrofilaremia jika dibandingkan dengan MF- dan EN (6F). Perhatikan gambar di bawah ini:

Gambar 6: Patently infected individuals present elevated levels of total IgE.

Pasien MF+ menampilkan fenotip dominan antigen-spesifik IgG4.


15

Gambar 7: Patent infected patients produce more filarial-specific IgG4.

Tahap akhir, individu pasien dianalisis untuk filaria-spesifik ekspresi IgG dan IgE mereka dan hasil yang ditampilkan sebagai rasio antigen-spesifik IgG4 ke isotypes lain ( Gambar 7 A-D ). Seperti yang diharapkan, kelompok kontrol yang dihasilkan tingkat latar belakang hanya antibodi spesifik filaria (Gambar 7AD ). Rasio antigen-spesifik IgG4/IgE ( 7A Gambar ), IgG4/IgG1 ( 7B Gambar ), IgG4/IgG2 (Gambar 7C ) dan IgG4/IgG3 ( Gambar 7D ) pada kelompok yang terinfeksi itu semua secara signifikan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok EN . Berbeda dengan data yang dihasilkan pada IgE total dan IgG4 ( Gambar 6F ), MF + pasien menunjukkan ekspresi dominan filaria spesifik IgG4 ( 7A Gambar ). Fenotipe IgG4 kuat di pasien MF + tercermin dalam semua rasio ( Angka 7A-D ). Perbedaan signifikan ditemukan antara kelompok MF + dan MF - dalam rasio IgG4/IgE ( 7A Gambar ), IgG4/IgG2 ( Gambar 7C ) dan IgG4/IgG3 ( Gambar 7D ). Singkatnya, individu terinfeksi paten menampilkan ekspresi yang kuat dari filaria spesifik IgG4 menunjukkan bahwa beredarnya MF juga mempengaruhi respon sel B. Kesimpulan Secara ringkas, setelah dibandingkan dengan individu MF+, pasien amikrofilaremia menunjukkan profil peningkatan TNF, IL-17, IL-10, IL-6 dan respon filarial-spesifik Th2-like. Ditemukan pula bahwa usia tidak berkorelasi dengan peningkatan produksi sitokin, tetapi status infeksilah yang menentukan profil kekebalan tubuh. Pola imunosupresif pada pasien MF + dilengkapi dengan rasio tinggi IgG4/IgE tertentu. Prevalensi IgG4 memberikan perlindungan untuk host dan
16

parasite, karena menyediakan mekanisme untuk melawan- mengatur tinggi IgE dan dengan demikian menghindari immunopatologi yang berlebihan. Perbedaan antara kedua kelompok yang terinfeksi, yang tidak menderita patologi klinis, menunjukkan bahwa keberadaan mikrofilaria tampak relevan untuk menginduksi imunosupresi. Penemuan ini memberikan wawasan baru dalam individu amikrofilaremia asimptomatik, dimana sebelumnya pasien ini diabaikan. Respon kekebalan tinggi mereka dapat memberikan kunci pada eludasi alternative terapi pengobatan yang diharapkan dapat memblokir penularan/transmisi yang berakibat dapat membasmi/eradikasi infeksi/penyakit.4

DAFTAR PUSTAKA 1. Subdit Filariasis Kemenkes RI. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis Di Indonesia 2010-2014.Jakarta:April 2010.
17

2. Alam A, Garna H. Buku Ajar Divisi Infeksi Dan Penyakit Tropis. Jakarta: Sagung Seto, 2012.

3. Jan H.F.(et.al) Strategic emphases for tropical diseases research: a TDR

perspective. TRENDS in Parasitology Vol.18 No.10 October 2002. 4. Arndts K, Deininger S, Specht S, Klarmann U, Mand S, et al. (2012) Elevated Adaptive Immune Responses Are Associated with Latent Infections of Wuchereria bancrofti. PLoS Negl Trop Dis 6(4): e1611. doi:10.1371/journal.pntd.000161
5. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology.

Ed.6. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2010. 6. Bratawijaya KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi 10. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2012. 7. Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2010.
8.

Sutanto I, Ismid IS, Syarifudin PK, Sungkar S. Buku ajar parasitology kedokteran. Edisi ke 4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2008.

9. Nutman TB, Kazura JW. Filariasis. Dalam Guerrant RL. et al. Tropical Infectious Diseases. (e-book)
10. WHO. Weekly epidemiological record: Global programme to eliminate

lymphatic filariasis: progress report 2011, 14 september 2012, 87th year. No. 37, 2012, 87, 345356

18

Anda mungkin juga menyukai