Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH PERLAKUAN PRA PROSES TERHADAP KETAJAMAN WARNA MINYAK ATSIRI KAYU MANIS Nirmala Yulisningati, Prima Bagus,

Rizaldi Adhisky, Cindy Eva Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Abstract Cinnamomum burmannii is one of Laurace family which is choosen to this research. Cinnamon esential oil is an organic compound which is got from secondary metabolite of plant that has chemistry compound. It depends from kind of plant, place to grow, climate, and part of oil extraction. The result of this research is to determine the difference in roasting treatment to the sharpness of the color of cinnamonessential oil. The materials are cinnamon and water. While the tools are knife, frying pan, distillator, coloreader and bottles. The procedure is used fresh cinnamon and cinnamon roasted are extracted by distillationthen essential oil sarecalculatedits color degree using coloreader. The results are essential oil of a fresh cinnamon has color sharpness 20.81.09 and essential oil of roasted cinnamon has color sharpness 20.90.47. The conclusion is roasting has significantly affect the color of cinnamon and essential oil and the color sharpness of essential oil of roasted cinnamon is higher than essential oils of fresh cinnamon. Key word: essential oil, extraction and color sharpness. Abstrak Kayu manis (Cinnamomum burmannii) merupakan salah satu jenis dari famili Lauraceae yang dipilih untuk penelitian ini. Minyak atsiri adalah senyawa organik yang diperoleh dari hasil metabolit sekunder tanaman yang komposisi kimia minyak atsiri tergantung pada jenis tumbuhan, daerah tempat tumbuh, iklim, dan bagian yang diambil minyaknya. Hasil penelitian ini untuk mengetahui perbedaan perlakuan penyangraian terhadap ketajaman warna minyak atsiri kayu manis. Bahan yang digunakan adalah kayu manis dan air. Sedangkan alat yang digunakan adalah pisau, wajan, destilator, coloreader dan botol. Prosedur kerja yang digunakan adalah kayu manis segar dan kayu manis sangrai diekstraksi dengan cara destilasi kemudian minyak atsiri dihitung derajat warnanya menggunakan coloreader. Hasil yang diperoleh adalah minyak atsiri dari kayu manis segar memiliki ketajaman warna 20,8 1,09 dan minyak atsiri dari kayu manis sangrai memiliki ketajaman warna 20,9 0,47. Kesimpulan yang diperoleh adalah penyangraian berpengaruh terhadap warna kayu manis dan minyak atsiri yang dihasilkan dan nilai chroma minyak atsiri dari kayu manis sangrai lebih tinggi daripada minyak atsiri dari kayu manis segar.

Kata kunci: minyak atsiri, ekstraksi dan ketajaman warna. 1. PENDAHULUAN Kayu manis(Cinnamomum burmannii) merupakan salah satu jenis dari famili Lauraceae yang dipilih untuk penelitian ini. Tumbuhan ini banyak terdapat di daerah sub tropis dan tropis. Penelitian terhadap minyak atsiri dari Cinnamomu burmannii menghasilkan komponen mayor minyak atsiri yang terkandung adalah transsinamaldehid (60,72%), eugenol (17,62%) dan kumarin (13,39%). Minyak atsiri adalah senyawa organik yan diperoleh dari hasil metabolit sekunder tanaman yang komposisi kimia minyak atsiri tergantung pada jenis tumbuhan, daerah tempat tumbuh, iklim, dan bagian yang diambil minyaknya (Guanther,2006). Daun kayu manis kecil dan kaku dengan pucuk berwarna merah. Umumnya tanaman yang tumbuh di dataran tinggi warna pucuknya lebih merah dibanding di dataran rendah. Kulitnya abu-abu dengan aroma khas dan rasanya manis. Selain hanya dalam bentuk kering, kulitnya tersebut pun dapat didestilasi atau disuling untuk diambil minyak atsirinya. Komoditas kayu manis digunakan sebagai rempah, sedangkan hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak dimanfaatkan dalam industry-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, rokok, dan lain-lain. Komponen utama minyak atsirinya adalah sinamaldehida (Cinnamic Aldehide). Pada praktikum ini akan dilakukan ekstraksi kayu manis. Proses ekstraksi ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap ketajaman warna minyak kayu manis. 2. BAHAN DAN METODE 2.1 Alat dan bahan Alat yang digunakan diantaranya adalah pisau yang digunakan untuk memotong atau memperkecil ukuran sampel, timbangan sebagai alat untuk mengukur berat sampel, wajan sebagai tempat sampel ketika dilakukan proses penyangraian dengan kompor sebagai sumber pemanasnya. Untuk mempermudah proses penyangraian maka digunakan spatula. Destilator digunakan untuk mendestilasi sampel, sedangkan untuk mengukur derajat warna minyak atsiri digunakan coloreader. Dalam proses penyimpanan digunakan botol berwarna gelap agar mutu minyak atsiri tetap terjaga. Selain itu digunakan refrigerator untuk pendingin saat penyimpanan. Bahan yang digunakan dalam proses produksi minyak atsiri yaitu air dan kayu manis sebagai bahan dasar dari pembuatan minyak atsiri. 2.2 Prosedur Kerja Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan minyak atsiri yaitu 200 g kayu manis yang dipotong 1x1 cm, pemotongan tersebut bertujuan untuk memperluas permukaan sampel agar dalam proses ekstraksi hasilnya lebih maksimal. Dari 200 g sampel dibagi menjadi 4 bagian dengan masing-masing bagian 50 g. Dari ke-4 bagian sampel tersebut masing-masing diberi perlakuan yang berbeda-beda, yaitu untuk sampel yang pertama dan kedua sampel tidak disangrai sedangkan sampel ketiga dan keempat diberi perlakuan penyangraian.

Perbedaan perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh penyangraian terhadap hasil minyak atsiri yang didapat. Lalu diberi penambahan air sebanyak 100 ml untuk memaksimalkan proses ekstraksi yang setelah ini dilakukan. Setelah minyak atsiri didapat, diletakkan pada gelas transparan untuk mengidentifikasi warna minyak atsiri. Untuk menyimpan minyak atsiri dimasukkan ke dalanm botol yang berwarna gelap agar mutu dan dan kualitasnya tetap terjaga. Selain itu, minyak atsiri juga disimpan di dalam refrigerator dengan suhu 10 oC karena minyak atsiri mudah rusak oleh suhu yang tinggi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang mudah menguap (volatil) dan bukan merupakan senyawa murni tetapi tersusun atas beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid (Guenther, 2006).
35 30 Nilai Rata-rata 25 20 15 10 5 0 Kayu Manis Segar Kayu Manis Tidak Sangrai Kayu Manis Sangrai Ekstrak KM Tidak Sangrai Ekstrak KM Sangrai Lightness Chroma

Gambar 1. Derajat kecerahan (lightness) dan chroma pada kayu manis dan ekstrak kayu manis Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa kecerahan paling tinggi pada kayu manis adalah kayu manis segar. Hal ini diduga karena pada kayu manis segar belum melalui proses perlakuan pendahuluan, atau pun proses-proses yang mengakibatkan warna kayu manis menjadi gelap, sedangkan warna yang paling gelap adalah kayu manis yang tidak disangrai. Hasil tersebut menyimpang, karena yang seharusnya warna paling gelap pada kayu manis yang disangrai mendapat perlakuan pemanasan sehingga kandungan volatile dan zat warna keluar selain itu sel-sel kayu manis rusak selama penyangraian, dan komponen di dalamnya termasuk minyak atsiri manis kayu manis yang memiliki peranan sebagai anti mikroba terekstrak keluar. Tingkat kerusakan ini berbanding lurus dengan derajat penyangraian yang meliputi suhu dan waktu (Joko, 2009).

Sedangkan kecerahan paling tinggi yaitu pada ekstrak kayu manis sangrai dari pada ekstrak kayu manis tidak sangrai. Hasil ini menyimpang, karena yang seharusnya paling cerah yaitu pada ekstrak kayu manis tidak disangrai. Ini dikarenakan kandungan volatile dan zat warna tidak banyak yang keluar karena tidak mendapatkan perlakuan pemanasan sehingga warnya lebih cerah. Terdapat perbedaan nilai chroma antara kayu manis segar dengan residu kayu manis hasil ekstraksi, baik pada residu kayu manis segar dan residu kayu manis sangrai. Residu memiliki tingkat ketajaman (chroma) warna lebih rendah dari pada kayu manis segar. Hal ini karena kayu manis memiliki sifat higroskopis yaitu kemampuan untuk menyerap dan melepaskan air, baik dalam bentuk cairan maupun uap air. Diduga ketika ekstraksi, kayu manis menyerap air yang sengaja ditambahkan untuk mengoptimalkan proses ekstraksi. Perubahan kadar air kayu akan berpengaruh terhadap dimensi dan sifat-sifat kayu, seperti tekstur dan warna. (Bowyer, 2003) Perbedaan ketajaman warna juga terdapat pada ekstrak kayu manis yang dihasilkan berdasarkan perbedaan perlakuan pendahuluan. Seperti pada Gambar 1, kayu manis yang disangrai menghasilkan ekstrak kayu manis dengan ketajaman warna 20,9 0,47, sedangkan ekstrak dari kayu manis segar memiliki ketajaman warna 20,8 1,09. Ekstrak dari kayu manis yang disangrai memiliki ketajaman lebih tinggi daripada ekstrak dari kayu manis segar. Hal ini diduga karena pigmen alami kayu manis mengalami perubahan kimia. Menurut Sari (2011), pigmen sangat peka terhadap pengaruh kimia dan fisik selama pengolahan terutaman panas. Perubahan warna menjadi coklat tua disebabkan karena karamelisasi gula menjadi warna cokelat tua. Selain itu perubahan warna dapat ditimbulkan dari reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein yang dikenal sebagai reaksi pencoklatan non-enzimatik atau reaksi Maillard. Hubungan antara kecerahan (lightness) dengan chroma yaitu berbanding lurus, semakin tinggi nilai lightness tinggi maka nilai chromanya tinggi namun yang ditunjukan data pada Gambar 1 ini tidak berbanding lurus karena perbedaan dari masing-masing perlakuan.
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Kayu Manis Segar Kayu Manis Tidak Sangrai Kayu Ekstrak Ekstrak Manis KM Tidak KM Sangrai Sangrai Sangrai

Nilai

Flavour Warna

Gambar 2. Nilai warna dan flavour secara organoleptik pada kayu manis dan ekstraknya

Pada uji sensori aroma kayu manis nilai paling tinggi terdapat pada ekstrak kayu manis tidak sangrai yang artinya aromanya paling menyengat dibandingkan perlakuan ekstrak kayu manis sangrai. Hal ini dikarenakan kayu manis masih segar berbeda dengan proses ekstrak kayu manis sangrai dimana kandungan volatilenya semakin hilang, karena saat perebusan komponen volatilnya larut dalam air. Untuk pengaruh aroma ini tergantung dari adanya senyawa volatil yang masih terdapat dalam kayu manis setelah diberikan perlakuan, sedangkan nilai warna ekstrak kayu manis yang tidak disangrai warnanya tidak segelap warna ekstrak kayu manis yang sangrai. Hal ini karena kandungan volatile dan zat warna keluar pada saat penyangraian selain itu sel-sel kayu manis rusak selama penyangraian, sehingga kandungan-kandungannya termasuk minyak atsiri yang memiliki peranan sebagai anti mikroba terekstrak keluar. 4. KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: 1) Penyangraian berpengaruh terhadap warna kayu manis dan minyak atsiri yang dihasilkan. 2) Kayu manis yang disangrai menghasilkan minyak atsiri dengan nilai chroma 20,9 0,47, sedangkan minyak atsiri dari kayu manis segar memiliki nilai chroma 20,8 1,09. 3) Ketajaman warna minyak atsiri dari kayu manis sangrai lebih tinggi daripada minyak atsiri dari kayu manis segar. 4) Aroma kayu manis nilai paling tinggi terdapat pada ekstrak kayu manis tidak sangrai yang artinya aromanya paling menyengat dibandingkan perlakuan ekstrak kayu manis sangrai. DAFTAR PUSTAKA Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction. Edisi Keempat. Iowa: Iowa State Press. Guenther, E., 2006. Minyak Atsiri. Jilid 1 penerjemah Ketaren S. Jakarta: Penerbit UI Press Rusli, S. & A. Abdullah. 1988. Prospek pengembangan kayu manis di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Penelitian 8 (3): 75-79. Sari, L. I., 2001. Skripsi: Mempelajari Proses Pengolahan Biji Kopi Bubuk Alternatif dengan Menggunakan Suhu dan Tekanan Rendah. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai