Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deksametason
2.1.1 Rumus Bangun

Gambar 1. Struktur kimia Deksametason
2.1.2 Sifat Fisikokimia
Rumus molekul : C
22
H
29
FO
5

Berat molekul : 392,47
Nama kimia : 9-Fluoro-11,17,21-trihidroksi-16-
metilpregna-1,4-diena-3,20-dion
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai praktis putih,
tidak berbau, stabil diudara. Melebur pada
suhu lebih kurang 250 disertai peruraian
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut
dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan
dan dalam methanol; sukar larut dalam
kloroform ; sangat sukar larut dalam eter
(Ditjen POM, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi
dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamine (Anonim
1
,2009).
Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh.
Kemampuannya dalam menaggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh
kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone (Katzung, 1998). Penggunaan
deksametason di masyarakat sering kali kita jumpai, antara lain: pada terapi
arthritis rheumatoid, systemik lupus erithematosus, rhinitis alergika, asma,
leukemia, lymphoma, anemia hemolitik atau auto immune, selain itu
deksametason dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindroma cushing.
Efek samping pemberian deksametason antara lain terjadinya insomnia,
osteoporosis, retensi cairan tubuh, glaukoma dan lain-lain ( Suherman, 2007).
Kegunaan kortikosteroid pada gangguan fungsi adrenal merupakan suatu
fungsi kemampuan mereka untuk menekan respons inflamasi dan imun. Pada
kasus dengan respons inflamasi atau imun, penting dalam mengontrol proses
patologis, terapi dengan kortikosteroid dapat berbahaya, tetapi dipertimbangkan
untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dari suatu respons
inflamasi jika digunakan dalam hubungannya dengan terapi khusus untuk proses
penyakit tersebut (Katzung, 2002).
Deksametason adalah kortikosteroid kuat dengan khasiat immunosupresan
dan antiinflamasi yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi peradangan
( Samtani, 2005). Menurut Mutschler (1991), makna terapeutik kortikosteroid
terletak pada kerja antiflogistiknya (antireumatik), antialergi, dan imunsupresiv,
bila terapi substitusi pada insufiensi korteks adrenal diabaikan.
Universitas Sumatera Utara
Kortikosteroid seperti deksametason bekerja dengan cara mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel jaringan melalui
membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan
reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan membentuk
kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologik steroid ( Suherman, 2007).
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup
baik. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah
penyuntikan IV, sebagian besar dalam waktu 72 jam diekskresi dalam urin,
sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit
70% kortisol yang diekskresi mengalami metabolisme di hepar
( Suherman, 2007).
Efek terapeutik glukokortikoid seperti deksametason yang paling penting
adalah kemampuannya untuk mengurangi respons peradangan secara dramatis dan
untuk menekan imunitas. Telah diketahui bahwa penurunan dan penghambatan
limfosit dan makrofag perifer memegang peranan. Juga penghambatan fosfolipase
A
2
secara tidak langsung yang menghambat pelepasan asam arakidonat, prekursor
prostaglandin dan leukotrien, dari fosfolipid yang terikat pada membran (Mycek,
2001).
Glukokortikoid memiliki efek antiinflamasi dan ketika pertama kali
diperkenalkan dianggap sebagai jawaban terakhir untuk pengobatan artritis yang
Universitas Sumatera Utara
beradang (Daniel dan Tino, 2002). Deksametason (dexamethasone) merupakan
glukokortikoid sintetis yang memiliki efek antiinflamasi, antialergi, antirematik,
dan antishock yang sangat kuat (Anonim
2
, 2010). Menurut Suherman (2007),
penggunaan klinik kortikosteroid sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif,
dalam hal ini penyebab penyakit tetap ada hanya gejalanya yang dihambat. Hal
inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk berbagai penyakit,
bahkan disebut sering disebut life saving drugs, tetapi juga mungkin menimbulkan
reaksi yang tidak diinginkan.

2.2 Nasib Obat Dalam Badan
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada
pemberian secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik
tanpa mengalami absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular
umumnya obat mengalami absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik,
obat akan didistribusikan, sebagian mengalami pengikatan dengan protein plasma
dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas selanjutnya didistribusikan sampai
ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ
ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan
serentak (Zunilda,.dkk, 1995).



Universitas Sumatera Utara
2.3 Farmakokinetika
Farmakokinetika dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan
tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam
arti sempit farmakokinetika khususnya mempelajari perubahan-perubahan
konsentrasi dari obat dan metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi
dari waktu (Tjay dan Rahardja, 2002).
Profil keberadaan bahan obat dalam darah sebagai fungsi dari waktu
menggambarkan interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya.
Selain itu profil tersebut juga mengungkapkan nasib obat di dalam tubuh. Oleh
karena fenomena penyerapan zat aktif dari darah menuju jaringan dapat terjadi
secara bolak-balik (reversible), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara
konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah
(Aiache, 1993).
Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau tempat ekstravaskular
yang lain bergantung pada bentuk sediaan, anatomi dan fisiologi tempat absorpsi.
Faktor-faktor seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan pengosongan
lambung, pergerakan saluran cerna dan aliran darah ke tempat absorpsi, semuanya
mempengaruhi laju dan jumlah absorpsi obat (Shargel, 2005).
Absorpsi merupakan suatu fenomena yang memungkinkan zat aktif
melewati jalur pemberian obat menuju sistem peredaran darah, dan penyerapan
obat terjadi secara langsung dengan mekanisme perlintasan membran. Tanpa
mengabaikan masalah ketersediaan hayati, maka harus dibahas pentingnya bentuk
sediaan, perlunya zat aktif berada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus
Universitas Sumatera Utara
membran dan pentingnya kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat
(Aiache, 1993).
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat, dan mengalami
metabolisme dihati menjadi bentuk inaktif (Anonim
2
, 2010). Menurut Widodo
(1993), ikatan protein plasma deksametason yaitu 70% (pada dosis yang lebih
tinggi lebih kecil), terikat pada transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan
pada albumin (afinitas rendah, kapasitas besar).
Informasi tentang kecepatan dan tingkat absorpsi obat jarang mempunyai
kepentingan klinis. Namun, absorpsi biasanya terjadi selama dua jam pertama
setelah dosis obat dan bervariasi menurut asupan makanan, posisi tubuh dan
aktivitas. Oleh karena itu tidak boleh mengambil darah sebelum absorpsi lengkap
(kira-kira 2 jam setelah dosis oral) (Holford, 1998).
Proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan
ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti
kinetika orde pertama (first order), artinya kecepatan proses-proses tersebut
sebanmding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang
diabsorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit,
sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut
(Setiawati, 2005).
Absorpsi obat adalah perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke
daerah target aksinya. Untuk memasuki aliran sistemik (darah), obat harus dapat
melintasi membran (barier) yang merupakan faktor terpenting bagi obat untuk
mencapai tempat aksinya (misalnya otak, jantung, dan anggota badan yang lain).
Universitas Sumatera Utara
Obat harus dapat melewati berbagai membran sel (misalnya sel usus halus,
pembuluh darah, dan sel saraf ) (Shargel, 2005).
Penyebaran zat aktif tergantung pada berbagai parameter, terutama sifat
fisiko-kimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi
apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam
cairan biologi setempat. Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap
penentu pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam jumlah yang diserap
maupun laju penyerapannya (Aiache, 1993).
Pada distribusinya khususnya melalui peredaran darah, obat yang telah
melalui hati bersamaan dengan metabolitnya disebarkan secara merata ke seluruh
jaringan tubuh. Melalui kapiler dan cairan ekstrasel (yang mengelilingi jaringan)
obat diangkut ke tempat kerjanya didalam sel (cairan intrasel), yaitu organ atau
otot yang sakit. Tempat kerja ini hendaknya memiliki penyaluran darah yang baik
karena obat hanya dapat melakukan aktivitasnya bila konsentrasi setempatnya
cukup tinggi selama waktu yang cukup lama ( Tjay dan Rahardja, 2002).
Pada tahap distribusi ini penyebarannya sangat peka terhadap berbagai
pengaruh yang terkait dengan tahap penyerapan dan tahap yang terjadi
sesudahnya yaitu peniadaan, serta terkait pula dengan komposisi biokimia serta
keadaaan fisiopatologi subyeknya, disamping itu perlu diingat kemungkinan
adanya interaksi dengan molekul lainnya. Pada tahap ini merupakan fenomena
dinamik yang selalu terdiri dari fase peningkatan dan penurunan kadar zat aktif
(Aiache, 1993).
Obat yang digunakan secara oral akan melalui lever (hepar) sebelum
masuk ke dalam darah menuju ke daerah lain dari tubuh (misalnya otak, jantung,
Universitas Sumatera Utara
paru-paru, dan jaringan lainnnya). Di dalam lever terdapat enzim khusus yaitu
sitokrom P-450 yang akan mengubah obat menjadi bentuk metabolitnya.
Metabolit umumnya menjadi lebih larut dalam air (polar) dan akan dengan cepat
diekskresi ke luar tubuh melalui urin, feses, keringat, dan lain-lain. Hal ini akan
secara dramatik mempengaruhi kadar obat dalam plasma dimana obat yang
mengalami first pass metabolism akan kurang bioavailabilitasnya sehingga efek
yang dihasilkan juga berkurang (Hinz, 2005).
Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan
dengan farmakokinetikanya. Efek obat terhadap tubuh dasarnya merupakan akibat
interaksi obat dengan reseptornya, maka secara teoretis intensitas efek obat baik
efek terapi maupun efek toksik tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau
tempat kerjanya. Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur,
maka sebagai gantinya diambil kadar obat dalam plasma/serum yang umum dalam
keseimbangan dengan kadarnya di tempat kerja (Setiawati, 2005).
Pada umumnya zat aktif suatu obat akan menunjukkan efek farmakologik
pada titik tangkap jaringan bila bahan tersebut telah mencapai tempat tersebut
dengan perantaraan darah. Peredaran darah bagaikan lempeng berputar dari
perjalanan obat. Fenomena penyerapan sebagai tahap awal farmakokinetika,
ditentukan oleh penembusan zat aktif ke dalam darah yang selanjutnya oleh darah
dihantarkan menuju sasaran kerja farmakologik, mengalami perubahan hayati dan
selanjutnya ditiadakan (Aiache, 1993).
Tipe metabolisme dibedakan menjadi dua bagian yaitu Nonsynthetic
Reactions (Reaksi Fase I) dan Synthetic Reactions (Reaksi Fase II). Reaksi fase I
terdiri dari oksidasi, reduksi, hidrolisa, alkali, dan dealkilasi. Metabolitnya bisa
Universitas Sumatera Utara
lebih aktif dari senyawa asalnya. Umumnya tidak dieliminasi dari tubuh kecuali
dengan adanya metabolisme lebih lanjut. Reaksi fase II berupa konjugasi
(glukoronidasi dan sulfatasi) yaitu penggabungan suatu obat dengan suatu
molekul lain. Metabolit umumnya lebih larut dalam air dan mudah diekskresikan
(Hinz, 2005).
Faktor yang mempengaruhi metabolisme obat yaitu induksi enzim yang
dapat meningkatkan kecepatan biotransformasi dirinya sendiri, atau obat lain yang
dimetabolisme oleh enzim yang sama yang dapat menyebabkan toleransi. Selain
itu, inhibisi enzim yang merupakan kebalikan dari induksi enzim, biotransformasi
obat diperlambat, menyebabkan bioavailabilitasnya meningkat, menimbulkan efek
menjadi lebih besar dan lebih lama. Kompetisi (interaksi obat) juga berpengaruh
terhadap metabolisme dimana terjadi oleh obat yang dimetabolisir oleh sistem
enzim yang sama. Perbedaan individu juga berpengaruh terhadap metabolisme
karena adanya genetic polymorphism, dimana seseorang mungkin memiliki
kecepatan metabolisme berbeda untuk obat yang sama (Hinz, 2005).
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh, terutama dilakukan oleh
ginjal melalui air seni disebut ekskresi. Lazimnya tiap obat di ekskresi berupa
metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan asli yang utuh. Tapi
adapula beberapa cara lain, yaitu melalui kulit bersama keringat, paru-paru
melalui pernapasan, melalui hati dengan empedu (Tjay dan Rahardja, 2002).
Untuk dapat menilai suatu obat secara klinis, menetapkan dosis dan skema
penakarannya yang tepat, perlu adanya sejumlah keterangan farmakokinetki.
Khususnya mengenai kadar obat di tempat tujuan kerja (target site) dan dalam
darah, serta perubahan kadar ini dalam waktu tertentu. Pada umumnya besarnya
Universitas Sumatera Utara
efek obat tergantung pada konsentrasinya di target site dan ini berhubungan erat
dengan konsentrasi plasma (Waldon, 2008).
Turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada kecepatan
metabolisme dan ekskresi. Kedua faktor ini menentukan kecepatan eliminasi obat
yang dinyatakan dengan pengertian plasma half life eliminasi (waktu paruh =t
1/2
)
yaitu rentang waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi
menurun sampai separuihnya. Kecepatan eliminasi obat dan plasma t
1/2
-nya
tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme
cepat half life-nya juga pendek. Sebaliknya zat yang tidak mengalami
boitransformasi atau yang diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan sendirinya
t
1/2
-nya panjang (Waldon, 2008).

Dasar-Dasar Perhitungan Farmakokinetika
Hal-hal yang penting dalam rangka penelitian farmakokinetika untuk parameter-
parameter tertentu adalah :
a. Bioavailability (BA, Ketersediaan Hayati)
Bioavailability dari suatu sediaan obat adalah persentase obat yang secara
utuh mencapai sirkulasi umum untuk melakukan kerjanya. Selama proses absorpsi
dapat terjadi kehilangan zat aktif akibat misalnya tidak dibebaskannya dari
sediaan pemberiannya. Atau karena penguraian didalam usus atau dindingnya dan
dalam hati selama peredaran pertama di system porta, sebelum tiba di peredaran
umum. Karena firs pass effect (FPE) ini, maka BA obat menjadi rendah dari pada
persentase yang sebenarnya di absorpsi (Tjay dan Rahardja, 2002).

Universitas Sumatera Utara

b. Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi (Vd) menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh
dengan kadar plasma atau serum. Vd tidak perlu menunjukkan volume
penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi
hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang
terdiri dari plasma atau serum, dan Vd menghubungkan jumlah obat dalam tubuh
dengan kadarnya dalam plasma atau serum (Setiawati, 2005).
V
d
=jumlah obat didalam tubuh
C

Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara
ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai
distribusi lebih besar, dengan ikatan pada protein plasma, yang meningkatkan
konsentrasi plasma dan membuat volume distribusi menjadi lebih kecil.
Perubahan-perubahan dalam ikatan dengan jaringan ataupun dengan plasma dapat
mengubah volume distribusi yang ditentukan dari pengukuran-pengukuran
konsentrasi plasma (Holford, 1998).
c. Tetapan laju eliminasi dan waktu paruh dalam plasma
Waktu paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam
darah (plasma) menurun hingga separuh nilai seharusnya. Pengukuran t
memungkinkan perhitungan konstanta laju eliminasi dengan rumus :
K
el
=0,693
t
Waktu paruh eliminasi sering digunakan sinonim dengan waktu paruh dalam
Universitas Sumatera Utara
plasma. Waktu paruh merupakan besaran farmakkokinetika yang sangat penting.
Waktu paruh memberi dasar untuk perhitungan dosis pada pemakaian ulang bahan
obat, pada setiap terapi jangka panjang (Mutschler, 1991).
d. Konsentrasi maksimum (C
maks
)
Konsentrasi plasma puncak menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam
plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu
hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma.
Konsentrasi plasma puncak memberi suatu petunjuk bahwa obat cukup diabsorpsi
secara sistemik untuk memberi suatu respons terapetik. Selain itu konsentrasi
plasma puncak juga memberi petunjuk dari kemungkinan adanya kadar toksik
obat (Shargel, 2005).
e. Area Under Curve (AUC)
Area Under Curve (AUC) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC
dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas
suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing
plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan.
Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan
langsung (Tjay dan Rahardja, 2002).
f. Waktu konsentrasi plasma puncak (t
maks
)

Waktu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu
yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian
obat. Pada t
maks
absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan
laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah t
maks
tercapai, tetapi pada laju
Universitas Sumatera Utara
yang lebih lambat. Harga t
maks
menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang
diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat
menjadi lebih cepat (Shargel, 2005).
g. Klirens
Klirens suatu obat adalah suatu ukuran eliminasi obat dari tubuh tanpa
mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya jaringan tubuh atau organ
dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume
distribusi) dimana obat terlarut didalamnya (Shargel, 2005).

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh
suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase
atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
tertentu dan didalamnya zatzat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan
adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul
atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut
terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya
bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, sehingga
zat tersebut terpisah dari zat terlarut lain, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir.
Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut
berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen (Depkes RI, 1995).
Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah yang
dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi
Universitas Sumatera Utara
operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom,
kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007).
Metode KCKT merupakan metode yang sangat populer untuk menetapkan
kadar senyawa obat baik dalam beuntuk sediaan atau dalam sampel hayati. Hal ini
disebabkan KCKT merupakan metode yang memberikan sensitifitas dan spesifitas
yang tinggi (Rohman, 2007).
Banyak senyawa yang dapat dianalisis dengan KCKT mulai dari senyawa
ion anorganik sampai senyawa organik makromolekul. Untuk analisis dan
pemisahan obat/bahan obat campuran rasemis optis aktif dikembangkan suatu fase
pemisahan kiral (Chirale Trennphasen) yang mampu menentukan rasemis dan
isomer aktif (Putra, 2007).














Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai