Disusun Oleh:
TINGKAT II B
Amalia Dwi Margiyati
Retno Novaliana Martono
Sherly Melinda
Tusni Syarifati
P17320312004
P17320312059
P17320312066
P17320312075
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirohim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan HidayahNya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul Asuhan keperawatan pada
klien dengan cedera kepala dan medula spinalis. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah KMB III.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada Bu Camelia selaku dosen dan pembimbing Mata kuliah KMB III. Penulis berharap
semoga amal baik yang diberikan mendapat balasan yang berlipat. Amin
Penulis menyadari tugas makalah ini masih jauh dari sempurna dan
terdapat
kekurangan atau kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan, dan
kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas makalah ini untuk perbaikan
dimasa yang akan datang.
Semoga tugas Makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Bogor,
Maret 2014
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... ii
BAB I...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
A.
Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................................. 1
C.
Tujuan............................................................................................................ 1
BAB II..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN......................................................................................................... 3
A.
B.
C.
D.
Gejala Klinis.................................................................................................. 11
E.
Penatalaksanaan Medis..................................................................................... 11
F.
Pengkajian.................................................................................................. 13
2.
Diagnosa keperawatan................................................................................... 18
3.
Rencanan Keperawatan..................................................................................18
4.
Implementasi............................................................................................... 22
5.
Evaluasi..................................................................................................... 23
G.
H.
Etiologi......................................................................................................... 23
I.
Patofisiologi................................................................................................... 23
J.
K.
Gejala Klinis.................................................................................................. 25
L.
Penatalaksanaan Medis..................................................................................... 25
M.
1.
Pengkajian.................................................................................................. 29
2.
Diagnosa Keperawatan.................................................................................. 31
3.
Rencana Keperawatan....................................................................................34
BAB III.................................................................................................................. 46
PENUTUP.............................................................................................................. 46
A.
Kesimpulan.................................................................................................... 46
3
LAMPIRAN............................................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 48
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada
kepala di Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cedera kepala
dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala,
walaupun secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai gradasi respons
Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu
cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat
trauma
yang
mencederai
kepala,
maka
perawat
perlu
mengenal
BAB II
PEMBAHASAN
atau tertutup. Pada fraktur tengkorak terbuka terjadi kerusakna pada dura mater
sedangkan pada fraktur terttutup keadaan dura mater tidak rusak.
a. Gejala klinis
Gejala-gejala yang timbul bergantung pada jumlah dan distribusi
cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan
adanya fraktur. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengakak sekitar fraktur,
sehingga penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto
tengkorak. Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada
tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, perdarahan sering
terjadi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah
konjungtiva. Suatu area ekimosis mungkiin terlihat di atas mastoid.
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan serebrospinal (CSS)
keluar dari teinga (otore serebrospinal). Keluarnya CSS merupakan masalah
serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti mningitis. Jika organisme
masuk ke dalam basis krani melalui hidung, telinga, atau sinus melalui
robekan pada dura mater. Laserasi atau kontusio otak ditunjukan oleh CSS
yang mengandung darah. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan melalui
pengkajian fisik, pengkajian fungsi neurologis, pemeriksaan CT-scan kepala,
MRI, dan angiografi serebral.
b. Penatalaksanaan medis
Fraktur tulang impresi pada umumnya tidak memerlukan tindakan
pembedahan, tetapi memerlukan observasi yang ketat. Fraktur tulang tanpa
impresi memerlukan pembedahan. Fraktur dasar tengkorak merupakan
keadaan serius karena biasanya terbuka (dan mengenai sinus paranasal atau
telinga bagian tengah) dan dapat menyebabkan bocornya CSS. Tanda halo
adalah kombinasi darah yang dikelilingi noda berwarna kekuning-kuningan
dan terlihat pada linen tempat tidur dan balutan kepala. Tanda ini merupakan
kesan pasti adanya kebocoran CSS. Kebersihan nasofaring dan telinga tengah
dapat dipertahankan dengan menempelkan kapas steril pada telinga atau
lubang telinga untuk menampung cairan yang keluar. Klien yang sadar harus
dianjurkan untuk menahan bersin dan menekan hidung. Tinggikan kepala klien
30 derajat untuk mengurangi tekanan intrakanial dan menahan keluarnya
cairan yang bocor secara spontan.
3. Cedera otak
Pertimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah otak
telah atau tidak mengalami cedera. Cedera minor dapat menyebabkan kerusakan
otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat
tertentu yang bermakna. Sel-sel otak membutuhkan suplai darah terus-menerus
untuk memperoleh nutrisi. Kerusakan otak bersifat irreversible (permanen dan
tidak dapat pulih). Sel-sel otak yang mati diakibatkan karena aliran darah berhenti
mengalir hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami
regenerasi. Cedera otak serius dapat terjadi, dengan/tanpa fraktur tengkorak,
setelah pukkulan atau cedera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi,
dan perdarahan (hemoragik) otak.
4. Komosio serebri (cedera kepala ringan)
Setelah cedera kepala ringan akan terjadi kehilangan fungsi neurologis
sementara dan tanpa kerusakan struktur. Komosio (commotio) umumnya meliputi
suatu periode tidak sadar yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa
menit. Keadaan komosio ditunjukkan dengan gejala pusing atau berkunangkunang dan terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak di lobus
frontal terkena maka akan menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Penatalaksaan meliputi kegiatan mengobservasi terhadap adanya sakit kepala,
pusing, peningkatan terhadapa rangsangan, dan cemas, memberikan informasi dan
penjelasan, dan dukungan terhadap klien tenang dampak pascakomosio,
melakukan perawatan 24 jam sebelum klien dipulangkan, memberitahukan
klien/keluarga untuk segera membawa kembali klien ke rumah sakit apabila
ditemukan tanda-tanda sukar bangun, sukar bicara, konvulsi (kejang), sakit kepala
berat, muntah, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh, menganjurkan klien
untuk melakukan kegiatan normal secara perlahan dan bertahap.
5. Kontusio serebri (cedera kepala berat)
Kontusio serebri (cerebri contusion) merupakan cedera kepala berat, dimana
otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami
perdarahan (hemoragik-hemorrhage). Klien berada pada periode tidak sadarkan
diri. Gejala akan timbul dan lebih khas. Klien terbaring kehilangan gerakan,
denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sring terjadi
defekasi dan berkemih tanpa disadari. Klien dapat diusahakan bangun tetapi
segera masuk kembali ke dalam keaadaan tidak sadar. Tekanan darah dan suhu
subnormal dan gambaran sama dengan syok.
Umumnya individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik
abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK yang merypakan
prognosis buruk. Sebaliknya klien dapat mengalami pemuliha kesadaran penuh
dan mungkin melewati tahap peka rangsangan serebral. Dalam tahap peka
rangsangan serebral, klien sadar tetapi sebaliknya mudah terganggu oleh suatu
bentuk simulasi suara, cahaya, bunyi-bunyian, dan kadang-kadang menjadi
hiperaktif. Denyut nadi, pernapasan, suhu, dan fungsi lainnyaberangsur-angsur
kembali normal walaupun pemulihan sering terjadi dan sering terlihat lambat. Sisa
sakit kepala dan vertigo biasanya terjadi. Gangguan fungsi mental dan kejang
sering terjadi akibat kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki.
6. Hemoragik intrakranial
Penggumpalan darah (hematoma) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah
akibat ang paling serius dari hemoragik cedera kepala. Penimbunan darah pada
rongga epidural (epidural hematoma), subdural, atau intraserebral, tergantung
pada lokasinya. Deteksi dan penangan hematoma sering kali lambat dilakukan
sehingga akhirnya hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi
dan herniasi otak serta peningkatan TIK.
Tanda dan gejala dari iskemia srebral yang diakibatkan oleh kompresi karena
hematoma bervariasi dan bergantung pada kecepatan dimana daerah vital pada
otak terganggu. Umumnya hematoma kecil yang terbentuk dengan cepat akan
menjadi fatal sedangkan hematoma yang terbentuk secara lambat akan
memungkin klien untuk beradaptasi.
7. Hematoma epidural (hematoma ekstradural atau hemoragik)
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di ruang epidural (ekstradural)
diantara tengkorak dan dura mater. Keadaan ini sring diakibatkan karena terjadi
fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau
rusak (laserasi) dimana arteri ini berada diantara dura mater dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal dan terjadi hemoragik sehingga
menyebabkan penekanan pada otak. Epidural hematoma adalah hematoma yang
terletak antara dura mater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
sobeknya arteri meningica media (paling sering), vena diploica (oleh karena
adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis.
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai
lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan
tubuh) yang dapat berupa hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks
patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi
dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan
lokasi EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan
lokasi EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena
dapat terjadi pada perdarahan intracranial yang lain, tetapi lucid interval dapat
dipakai sebagai patokan dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka
semakin baik prognosis klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk
melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang
dengan pemberian analgetik.
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan
bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya
lebih dari 20 cc atau tebal lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah
(midline shift) lebih dari 5 mm.
Operasi yang dilakukan
sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi
tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dapat
dikembalikan jika saat operasi didapatkan dura mater yang tegang dan dapat
disimpan subgalea.
Pada klien yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan
dilakukan diagnosis radiologis CT scan maka dapat dilakukan diagnostik
eksplorasi, yaitu Burr Hole Explorations. Burr hole explorations adalah membuat
lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik tertentu, yaitu pada
tempat jejas/hematoma, garis fraktur, daerah temporal, daerah frontal ( 2 cm di
depan sutura coronaria), daerah parietal, dan daerah occipital.
Prognosis dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS pada saat
klien datang kurang 8 dan datang lebih dari 6 jam serta umur lebih dari 60 tahun.
Gejala klinis yang timbul akibat perluasan hematoma cukup luas. Biasayanya
terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan
pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan (interval yang jelas). Hal ini penting
untuk diperhatikan, walaupun interval nyata merupakan karateristik dari
hematoma epidural, hal ini tidak terjadi pada kira-kira 5 % dari klien yang
mengalami lesi tersebut. Selama interval tertentu, kompensasi terhadap hematoma
luas terjadi melalui absorpsi cepat CSS dan penurunan volume intravaskular, yang
mempertahankan TIK normal. Ketika mekanisme ini tidak dapat mengompensasi
lagi, bahkan peningkatan kecil sekali pun dalam volume bekuan darah
menimbulkan peninkatan TIK yang nyata. Kemudian secara tiba-tiba, tanda
kompensasi timbul (biasanya penyimpangan kesadaran dan tanda defisit
neurologis fokal seperti dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis ekstermitas), dan
klien menunjukan penurunan status kesahatan dengan cepat.
disertai
adanya
lateralisasi
yang
paling
sering
berupa
menigkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat sesuai dengan
peningkatan hematoma yang cepat.
Hematoma subdural suakut adalah sekuel dari kontusio sedikit berat dan
dicurigai pada klien dengan kegagalan untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala. Tanda dan gejala yang timbul sama seperti pada hematoma
subdural akut. Angka kematian untuk klien hematoma subdural akut dan subakuut
cukup tinggi karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak. Juka klien dapat
dipindahkan dengan cepat ke rumah sakit, kraniotomi (craniotomy) segera
dilakukan untuk membuka dura mater, yang memungkinkan pengangkatan bekuan
padat pada subdural. Hasil yang baik bergantung pada kontrol TIK dan
pemantauan cepat terhadap fungsi pernapasan. Hematoma subdural kronik
tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terlihat paling sering
pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera kepala tipe ini akibat atrofi otak,
yang diperkirakan akibat penuaan. Tampaknya cedera minor dapat mengakibatkan
dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal secara sekuela
(sequela) negatif. Waktu diantara cedera dan serangan (onset) gejala mungkin
lama misalnya dalam beberapa bulan. Sehingga akibat aktual mungkin terlupakan.
Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera monir.
Hematoma subdural kronis menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap
sebagai stroke. Perdarahan sedikit menyebar dan menyebabkan kompresi pada isi
intrakranial. Darah di dalam otak mengalami perubahan karakter dalam 2-4 hari,
menjadi lebih kental dan lebih gelap. Dalam bebrapa minggu bekuan mengalami
pemecahan dan memiliki warna serta konsistensi seperti minyak mobil. Akhirnya
terjadi klasifikasi atau osifikasi bekuan. Otak beradaptasi pada invasi benda asing
ini, tanda dan gejala klinik klien berfluktuasi seperti mungkin terdapat sakit kepala
hebat yang cenderung timbul dan hilang, tanda neurologis vokal yang bergantian,
perubahan kepribadian, penyimpangan mental, dan kejang fokal. Srng kali klien
mungkin dianggap neurosis atau psikosis bila penyebab gejala tidak ditemukan.
Tindakan terhadap hematoma subdural kroni terdiri atas bedah pengangkatan
bekuan dengan menggunakan penghisap dan pengirigasian area tersebut. proses
ini dapat dilakukan melalui lubang (burr) ganda atau kraniotomi yaang dilakukan
untuk lesi subdural yang cukup besar yang tidak dapat dilakukan melalui
pembuatan lubang (burr).
9. Hemoragik intraserebral dan hematoma
10
c.
d.
e.
f.
g.
h.
11
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS <15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralisis,
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga,
serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan
12
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsive, dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang
sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
c. Riwayat penyakit dahulu
13
1) Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13-15, cedera kepala sedang GCS
9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila CGS kurang atau sama dengan 8)
dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
2) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
Pemeriksaan fungsi serebral
a) status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada klien
cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
b) Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien cedera kepala didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka
panjang
c) Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila
trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah
psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi,dendam, dan kurang kerja sama.
d) Hemister: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri
tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera
kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan
sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustasi.
3) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I. pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral dan bilateral.
b) Saraf II. Hematoma palpebra pada klien dengan cedera kepala akan
menurunkan lapangan penglihatan dan mengganggu fungsi dari nervus
14
15
b) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan refleks fatologis.
4) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visualspasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial)
sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, auditorius.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi:
a) CT scan(dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b) MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
c) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
d) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
e) Sinar-X
Mendeteksi perubahan sruktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
16
Analisa gas darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan malalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.
2. Diagnosa keperawatan
a. Risiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.
b. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan
O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
c. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
d. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
perubahan
kemampuan
mencerna
makanan,
peningkatan
kebutuhan
metabolisme.
3. Rencanan Keperawatan
a. Risiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan spidural hematoma.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
17
Kriteria hasil: klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah,
GCS: 4,5,6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi
Rasionalisasi
18
19
mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS
Kolaborasi.
Pemberian O2 sesuai indikasi.
20
Rasionalisasi
21
c. nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil: secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi
Rasionalisasi
22
d. Ganguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan
kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil: mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperihatkan kenaikan berat
badan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium
Intervensi
Rasionalisasi
Mandri.
Evaluasi kemampuan makan klien
23
4. Implementasi
Setelah dilakukan perencanaan keperawatan, maka intervensi pun dilakukan
kepada pasien di sesuai dengan diagnosa yang telah ditentukan dan kebutuhan
pasien.
5. Evaluasi
24
Setelah dilakukan implementasi maka dilakukan evaluasi untuk melihat hasil dari
keadaan pasien.
a. Tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
b. Adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
c. Nyeri berkurang/hilang.
d. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
G. Pengertian cedera medula spinalis
Medula Spinalis ( spinal cord ) merupakan bagian susunan saraf pusat yang
terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum kebagian
atas region lumbalis. Trauma pada medulla spinalis dapar bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang
menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinalis dengan quadriplegia.
H. Etiologi
1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
2. Olahraga
3. Menyelam pada air yang tanggal
4. Luka tembak atau luka tikam
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis
servikal dengan meliputi, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan
cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi
infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada
vetebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi dan penyakit vascular.
I. Patofisiologi
Cedera medulla spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada
vetebrata. Medulla spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan dengan
akselerasi, deselerasi atau kelainan yang di akibatkan oleh berbagai tekanan yang
mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medulla spinalis mengalami
kompresi, tertarik atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C 1 dan
C2, C4, C6 dan T11 atau L2.
Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal pada
C5 dan C6. Jika mengenai spina torakolumbar, terjadi pada T 12-L1. Fraktur lumbal
adalah fraktur yang terjadi di daerah tulakang belakang bagian baawah. Bentuk tejadi
mengenai ligemen, fraktur vertebrata, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan
iskemia pada medulla spinalis.
Hiperekstensi. Jenis cedera ini umumnya mengenai klien degan usia dewasa
yang memiliki perubahan degenerative vertebrata, usia muda yang mengalami
kecelakaan lau lintas dan usia muda yang mengalami cedera saat menyelam. Jenis
25
cedera ini menyebabkan medulla spinalis bertentangan dengan ligamentrum flava dan
mengakibatkan kontusio kolom dan dilokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari
medulla spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan volunteer menurun pada
daerah lesi dan kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medulla spinalis.
Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat
dari ketinggian, dengan posisi kaki atau bokong ( duduk ). Tekanan mengakibatkan
fraktur vertebrata dan menekan medulla spinalis. Diskus dan fragmen tulang dapat
masuk medulla spinalis. Lumbal dan toraks vertebrata umumnya akang mengalami
cedera seerta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medulla spinalis
mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
J. Klasifikasi Cedera Medula Spinalis
1. Cedera tulang
a. Stabil. Cedera stabil disebabkan oleh tenaga fleksi, ekstensi, dan kompresi yang
sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak pada
daerah toraks bawah serta lumbal ( fraktur baji badan ruas tulang belakang
sering disebabkan oleh fleksi akut pada tulang belakang.)
b. Tidak stabil. Fraktur memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh. Hal
ini disebabkan oleh adanya elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensi
yang cukup dengan merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak
keutuhan askus neural, baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun
oleh dislokasi sendi apofisel.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa deficit neurulogis
Disertai deficit neurologis, dapat terjadi di daerah punggung karena kanal spiral
terkecil terdapat di daerah ini.
K. Gejala Klinis
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien
mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung.
L. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai,
mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut.
Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang).
Untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk
melindungi koral spiral.
26
2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal, atau
debridement luka terbuak.
3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidak stabilan tulang
belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif,
cedera yang tak dapat direabduksi dan fraktur non-union.
4. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah korak spiral.
Dosis tertinggi metal prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4
mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera
akan memperbaiki neurologis.
27
Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada
saat pertama kali diperiksa :
a. Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif
b. Cedera di daerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (caliper) dan
diberi metal prednisolon.
c. Pemeriksaan penunjang MRI
d. Cedera neurologis tak lengkap konservatif
e. Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, traksi
tengkorak, dan metal prednisolon
f. Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya
g. Bila ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka lakukan
mielografi
h. Cedera tulang tak stabil
i. Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti dengan imobilisasi. Melindungi
dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan paraplegia.
j. Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti imobilisasi untuk
sesuai jenis cederanya.
k. Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan saat yang sama
l. Cedera yang menyertai dan komplikasi
1) Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak, toraks, berhubungan dengan
ominal, dan vascular
2) Cedera berat yang menyebabkan kematian, aspirasi, dan syok.
Pengelolaan Cedera
1. Pengelolaan hemodinamik
a. Bila terjadi hipotensi, cari sumber pendarahan dan atasi syok neurogenik akibat
hilangnya aliran adrenergic dari system saraf simpatis pada jantung dan vascular
perifer setelah cedera di atas tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardi, dan
hipotermi. Syok neurogenik lebih menganggu distribusi volume intravascular
daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan pemberian
terapi atropi, dopamine, atau fenilefrin jika penggantian volume intravascular
tidak bereaksi.
b. Pada fase akut setelah cedera, dipasangkan beberap jalur intravena perifer dan
pemangamatan tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, resusitasi, cairan
dimulai.
c. Bila hipotensi tak berekasi atas cairan dan pemberian tranfusi, lakukan
katerterisasipada arteri pulmonal untuk mengarahkan keperbedaan mekanisme
hipovolemik, kardiogenik, atau neurogenik.
2. Pengelolaan system pernapasan
a. Ganti posisi tubuh berulang
b. Perangsangan batuk
28
c. Pernapasan dalam
d. Spirometri intensif
e. Pernapasan betekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker adalah cara
mempertahankan ekpansi paru atau kapasitas residual fungsional.
f. Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi.
3. Pengelolaan nutrisional dan system pencernaan
a. Lakukan pemeriksaan CT-scan berhubungan dengan omen atau lavasi peritoneal
bila diduga ada pendarahan atau cedera berhubungan dengan ominal.
b. Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian elektrolit
dan pengamatan status cairan.
c. Terapi nutrisional awal yang harus dimetabolisme (50-100% di atas normal)
d. Bila ada hiperalimentasi internal elemental, pasang Duoclenol yang fleksibel
melalui atau dengan bantuan fluoroskopi (ileus)
e. Pencegahan ulkus dengan antagonis Hz (simetidin, Ranitidin) atau antacid.
f. Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT)
g. Beri difonoksilat hidroklorida dengan antropin sulfat bila mendapat NGT untuk
mencegah diare.
h. Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri Dulcolax.
4. Pengelolaan gangguan koagulasi
a. Untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dan emboli paru beri heparin dosis
minimal (500 untuk subkutan, 2-3x hari)
b. Ranjang yang berosilasi
c. Ekpansi volume
d. Stoking elastic setinggi paha
e. Strokeing prenmatis anti emboli
f. Antiplatelet serta antikoagulasi untuk pencegahan
5. Pengelolaan genitourinaria
a. Pasang kateter dower (dower catheter DC)
b. Amati urine output (UO)
6. Pengelolaan ulkus dekubitus
a. Untuk cegah tekanan langsung pada kulit, kurang berfungsi jaringan, da
kurangnya mobilitas, gunakan busa atau kulit kambing penyangga tonjolan tulang.
b. Putar atau ganti posisi tubuh berulang
c. Perawatan kulit yang baik
d. Gunakan ranjang berosilasi.
7. Pengelolaan klien paraplegia
a. Repirasi dengan pemasangan endotrakea, kemudian trakeostomi serta perbaikan
keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi.
b. Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur klien setiap 2 jam
c. Kandung kemih
1) Lakukan komperesi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overflow dan dribbling.
2) Kateterisasi intermitten
3) Kateterisai indwelling
4) Tindakan bedah jika cara cara tersebut gagal.
d. Buang air besar (BAB)
29
30
d.
e.
f.
g.
31
32
33
3. Rencana Keperawatan
No Tgl/ Diagnosa keperawatan
Jam
1.
Gangguan pertukaran gas
yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan
membrane alveolar kapiler,
ditandai dengan :
DS : klien mengatakan sulit
bernapas, sesak napas
DO :
1. Gangguan visual
2. Penurunan CO2
3. Takikardia
4. Tidak dapat beristirahat
5. Somnolen
6. Irritabilitas
7. Hipoksia
8. Bingung
9. Dispnea
10. Perubahan warna kulit
(pucat, sianosis)
11. Hipoksemia
atau
hiperkarbia
12. Abnormal FP,
irama
Tujuan
Kritearia Hasil
Setelah dilakukan intervensi selama
1x24 jam, gangguan pertukaran gas
teratasi, dengan kriteria :
1. Klien akan merasa nyaman
Intervensi
pernapasan
3. TD dalam batas normal :
13. Sakit kepala saat tidur
Bayi : 90/60 mmHg
14. Diaphoresis
3-6th : 110/70 mmHg
15. pH
darah
arteri
7-10th : 120/80 mmHg
11-17th : 130/80 mmHg
abnormal
18-44th : 140/90 mmHg
16. mengorok
45-64th : 150/95 mmHg
>65th : 160/95 mmHg
(Campbell,
1978)
Nadi dalam batas normal :
Janin : 120-160 x/mnt
Bayi : 80-180 x/mnt
Anak : 70-140 x/mnt
Remaja : 50-110 x/mnt
Dewasa : 70-82 x/mnt
(Campbell,
1978)
34
2.
Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral yang
berhubungan dengan
peningkatan intracranial,
ditandai dengan :
1. Perubahan kesadaran
2. Gangguan
atau
kehilangan memori
3. Defisit sensorik
4. Perubahan tanda vital
5. Perubahan pola istirahat
6. Kandung kemih penuh
7. Gangguan perkemih
8. Nyeri akut atau kronis
9. Demam
10. Mual
2. mencegah cedera
11. batuk
35
Tinggikan kepala
Hindari rangsangan or
Berikan makanan
menggunakan sonde se
jadwal
mata
4 = spontan
3 = dengan perintah
2 = dengan yeri
1 = tidak berespon
Kaji respon verbal
5 = bicara normal
36
4. Peningkatan
membaik
pengetahuan
37
3.
38
5. Kerusakan koordinasi
6. Keterbatasan rentang gerak
7. Penurunan kekuatan otot
2. Tidak ada ankilosis pada sendi
39
40
6. Berjalan lamban
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi
normalotak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit nrurologis
terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik,
srta edema serebral disekitar jaringan otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak.
Medula Spinalis ( spinal cord ) merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di
dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum kebagian atas region
lumbalis.
N.
41
LAMPIRAN
42
DAFTAR PUSTAKA
Batticaca Fransisca B. 2008.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem
Persyarafan.Salemba Medika:Jakarta
Muttaqin Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem
Persyarafan.Salemba Medika:Jakarta
http://buddifarma.blogspot.com/2013/03/askep-cedera-kepala.html
http://nursingbegin.com/askep-cedera-kepala/
http://asuhankeperawatancederakepala.blogspot.com/
http://triaan.blogspot.com/2009/03/askep-cidera-medulla-spinalis.html