Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA

DAN MEDULA SPINALIS


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB III

Disusun Oleh:
TINGKAT II B
Amalia Dwi Margiyati
Retno Novaliana Martono
Sherly Melinda
Tusni Syarifati

P17320312004
P17320312059
P17320312066
P17320312075

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BOGOR
2014

KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirohim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan HidayahNya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul Asuhan keperawatan pada
klien dengan cedera kepala dan medula spinalis. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah KMB III.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada Bu Camelia selaku dosen dan pembimbing Mata kuliah KMB III. Penulis berharap
semoga amal baik yang diberikan mendapat balasan yang berlipat. Amin
Penulis menyadari tugas makalah ini masih jauh dari sempurna dan

terdapat

kekurangan atau kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan, dan
kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas makalah ini untuk perbaikan
dimasa yang akan datang.
Semoga tugas Makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Bogor,

Maret 2014

Penulis

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... ii
BAB I...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
A.

Latar Belakang.................................................................................................. 1

B.

Rumusan Masalah.............................................................................................. 1

C.

Tujuan............................................................................................................ 1

BAB II..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN......................................................................................................... 3
A.

Pengertian Cedera Kepala.................................................................................... 3

B.

Jenis Trauma Kepala........................................................................................... 3

C.

Tipe Cedera Kepala.......................................................................................... 11

D.

Gejala Klinis.................................................................................................. 11

E.

Penatalaksanaan Medis..................................................................................... 11

F.

Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cedera Kepala............................................12


1.

Pengkajian.................................................................................................. 13

2.

Diagnosa keperawatan................................................................................... 18

3.

Rencanan Keperawatan..................................................................................18

4.

Implementasi............................................................................................... 22

5.

Evaluasi..................................................................................................... 23

G.

Pengertian cedera medula spinalis........................................................................23

H.

Etiologi......................................................................................................... 23

I.

Patofisiologi................................................................................................... 23

J.

Klasifikasi Cedera Medula Spinalis......................................................................24

K.

Gejala Klinis.................................................................................................. 25

L.

Penatalaksanaan Medis..................................................................................... 25

M.

Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cedera Medula Spinalis.............................29

1.

Pengkajian.................................................................................................. 29

2.

Diagnosa Keperawatan.................................................................................. 31

3.

Rencana Keperawatan....................................................................................34

BAB III.................................................................................................................. 46
PENUTUP.............................................................................................................. 46
A.

Kesimpulan.................................................................................................... 46

3
LAMPIRAN............................................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 48

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak istilah yang dipakai dalam menyatakan suatu trauma atau cedera pada
kepala di Indonesia. Beberapa rumah sakit ada yang memakai istilah cedera kepala
dan cedera otak sebagai suatu diagnosis medis untuk suatu trauma pada kepala,
walaupun secara harfiah kedua istilah tersebut sama karena memakai gradasi respons
Glasgow Coma Scale (GCS) sebagai tingkat gangguan yang terjadi akibat suatu
cedera di kepala.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan akibat
trauma

yang

mencederai

kepala,

maka

perawat

perlu

mengenal

neuroanatomi,neurofisiologi, serta neuropatofisiologi dengan baik agar kelainan dari


masalah yang dikeluhkan atau kelainan dari pengkajian fisik yang didapat bisa
sekomprehensif mungkin ditanggapi perawat yang melakukan asuhan pada klien
dengan cedera kepala.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian cedera kepala?
2. Sebutkan jenis-jenis cedera kepala?
3. Sebutkan tipe dari cedera kepala?
4. Bagaimanakah penatalaksanaan medis pada cedera kepala?
5. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala?
6. Jelaskan pengertian dari cedera medula spinalis?
7. Jelaskan etiologi cedera medula spinalis?
8. Bagaimanakan Patofisiologi cedera medula spinalis?
9. Sebutkan klasifikasi dari cedera medula spinalis?
10. Sebutkan gejala-gejala klinis dari cedera medula spinalis?
11. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien cedera medula spinalis?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian dari cedera kepala.
2. Dapat menyebutkan jenis-jenis cedera kepala.
3. Dapat menyebutkan tipe dari cedera kepla.
4. Dapat menjelaskan penatalaksanaan medis pada cedera kepala.
5. Dapat mengerti asuhan keperawtan pada klien dengan cedera kepala.
6. Dapat mengetahui pengertian dari cedera medula spinalis.
7. Dapat menjelaskan etiologi dari cedera medula spinalis.
8. Dapat menjelaskan patofisiologi dari cedera medula spinalis.
9. Dapat menyebutkan klasifikasi dari cedera medula spinalis.
10. Dapat menyebutkan gejala klinis dari cedera medula spinalis.
11.Dapat memahmi asuhan keperawatan pada klien cedera medula spinalis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Cedera Kepala


Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan
fungsi normalotak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
nrurologis terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa
karena hemoragik, srta edema serebral disekitar jaringan otak. Cedera kepala meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cedera
oleh rambut, kulit kepala serta tulang dan tentorium (helm) yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami
kerusakan. Selain itu, sekali neuron rusak, tidak dapat diperbaiki lagi. Cedera kepala
dapat mengakibatkan malapaetaka besar bagi seseorang. Sebagian masalah
merupakan akibat langsung dari cedera dan banyak lainnya timbul sekunder dari
cedera.
Pada beberapa literatur terakhir dapat disimpulkan bahwa cedera kepala atau
cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan intrestiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontuinitas otak.
Berdasarkan GCS, cedera kepala atau cedera otak dapat dibagi menjadi tiga
gradasi, yaitu:
1. Cedera kepala ringan/cedera otak ringan, bila GCS: 13-15
2. Cedera kepala sedang/cedera otak sedang, bila GCS: 9-12
3. Cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan ke otak dan efek
percepatan dan perlambatan perlambatan (akselerasi-deselarasi) pada otak.
B. Jenis Trauma Kepala
1. Cedera kulit kepala
Luka pada kulit kepala merupakan tempat masuknya kuman yang dapat
menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,
laserasi, atau avulasi.
2. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorang yag disebabkan
oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur
tengkorak dapat menimbulkan dampak yang kuat. Fraktur tengkorak dapat terbuka

atau tertutup. Pada fraktur tengkorak terbuka terjadi kerusakna pada dura mater
sedangkan pada fraktur terttutup keadaan dura mater tidak rusak.
a. Gejala klinis
Gejala-gejala yang timbul bergantung pada jumlah dan distribusi
cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan
adanya fraktur. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengakak sekitar fraktur,
sehingga penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto
tengkorak. Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada
tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, perdarahan sering
terjadi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah
konjungtiva. Suatu area ekimosis mungkiin terlihat di atas mastoid.
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan serebrospinal (CSS)
keluar dari teinga (otore serebrospinal). Keluarnya CSS merupakan masalah
serius karena dapat menyebabkan infeksi seperti mningitis. Jika organisme
masuk ke dalam basis krani melalui hidung, telinga, atau sinus melalui
robekan pada dura mater. Laserasi atau kontusio otak ditunjukan oleh CSS
yang mengandung darah. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan melalui
pengkajian fisik, pengkajian fungsi neurologis, pemeriksaan CT-scan kepala,
MRI, dan angiografi serebral.
b. Penatalaksanaan medis
Fraktur tulang impresi pada umumnya tidak memerlukan tindakan
pembedahan, tetapi memerlukan observasi yang ketat. Fraktur tulang tanpa
impresi memerlukan pembedahan. Fraktur dasar tengkorak merupakan
keadaan serius karena biasanya terbuka (dan mengenai sinus paranasal atau
telinga bagian tengah) dan dapat menyebabkan bocornya CSS. Tanda halo
adalah kombinasi darah yang dikelilingi noda berwarna kekuning-kuningan
dan terlihat pada linen tempat tidur dan balutan kepala. Tanda ini merupakan
kesan pasti adanya kebocoran CSS. Kebersihan nasofaring dan telinga tengah
dapat dipertahankan dengan menempelkan kapas steril pada telinga atau
lubang telinga untuk menampung cairan yang keluar. Klien yang sadar harus
dianjurkan untuk menahan bersin dan menekan hidung. Tinggikan kepala klien
30 derajat untuk mengurangi tekanan intrakanial dan menahan keluarnya
cairan yang bocor secara spontan.
3. Cedera otak
Pertimbangan paling penting pada cedera kepala manapun adalah apakah otak
telah atau tidak mengalami cedera. Cedera minor dapat menyebabkan kerusakan

otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat
tertentu yang bermakna. Sel-sel otak membutuhkan suplai darah terus-menerus
untuk memperoleh nutrisi. Kerusakan otak bersifat irreversible (permanen dan
tidak dapat pulih). Sel-sel otak yang mati diakibatkan karena aliran darah berhenti
mengalir hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami
regenerasi. Cedera otak serius dapat terjadi, dengan/tanpa fraktur tengkorak,
setelah pukkulan atau cedera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi,
dan perdarahan (hemoragik) otak.
4. Komosio serebri (cedera kepala ringan)
Setelah cedera kepala ringan akan terjadi kehilangan fungsi neurologis
sementara dan tanpa kerusakan struktur. Komosio (commotio) umumnya meliputi
suatu periode tidak sadar yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa
menit. Keadaan komosio ditunjukkan dengan gejala pusing atau berkunangkunang dan terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak di lobus
frontal terkena maka akan menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Penatalaksaan meliputi kegiatan mengobservasi terhadap adanya sakit kepala,
pusing, peningkatan terhadapa rangsangan, dan cemas, memberikan informasi dan
penjelasan, dan dukungan terhadap klien tenang dampak pascakomosio,
melakukan perawatan 24 jam sebelum klien dipulangkan, memberitahukan
klien/keluarga untuk segera membawa kembali klien ke rumah sakit apabila
ditemukan tanda-tanda sukar bangun, sukar bicara, konvulsi (kejang), sakit kepala
berat, muntah, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh, menganjurkan klien
untuk melakukan kegiatan normal secara perlahan dan bertahap.
5. Kontusio serebri (cedera kepala berat)
Kontusio serebri (cerebri contusion) merupakan cedera kepala berat, dimana
otak mengalami memar dengan memungkinkan adanya daerah yang mengalami
perdarahan (hemoragik-hemorrhage). Klien berada pada periode tidak sadarkan
diri. Gejala akan timbul dan lebih khas. Klien terbaring kehilangan gerakan,
denyut nadi lemah, pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sring terjadi
defekasi dan berkemih tanpa disadari. Klien dapat diusahakan bangun tetapi
segera masuk kembali ke dalam keaadaan tidak sadar. Tekanan darah dan suhu
subnormal dan gambaran sama dengan syok.
Umumnya individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik
abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK yang merypakan
prognosis buruk. Sebaliknya klien dapat mengalami pemuliha kesadaran penuh
dan mungkin melewati tahap peka rangsangan serebral. Dalam tahap peka

rangsangan serebral, klien sadar tetapi sebaliknya mudah terganggu oleh suatu
bentuk simulasi suara, cahaya, bunyi-bunyian, dan kadang-kadang menjadi
hiperaktif. Denyut nadi, pernapasan, suhu, dan fungsi lainnyaberangsur-angsur
kembali normal walaupun pemulihan sering terjadi dan sering terlihat lambat. Sisa
sakit kepala dan vertigo biasanya terjadi. Gangguan fungsi mental dan kejang
sering terjadi akibat kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki.
6. Hemoragik intrakranial
Penggumpalan darah (hematoma) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah
akibat ang paling serius dari hemoragik cedera kepala. Penimbunan darah pada
rongga epidural (epidural hematoma), subdural, atau intraserebral, tergantung
pada lokasinya. Deteksi dan penangan hematoma sering kali lambat dilakukan
sehingga akhirnya hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi
dan herniasi otak serta peningkatan TIK.
Tanda dan gejala dari iskemia srebral yang diakibatkan oleh kompresi karena
hematoma bervariasi dan bergantung pada kecepatan dimana daerah vital pada
otak terganggu. Umumnya hematoma kecil yang terbentuk dengan cepat akan
menjadi fatal sedangkan hematoma yang terbentuk secara lambat akan
memungkin klien untuk beradaptasi.
7. Hematoma epidural (hematoma ekstradural atau hemoragik)
Setelah cedera kepala, darah berkumpul di ruang epidural (ekstradural)
diantara tengkorak dan dura mater. Keadaan ini sring diakibatkan karena terjadi
fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau
rusak (laserasi) dimana arteri ini berada diantara dura mater dan tengkorak daerah
inferior menuju bagian tipis tulang temporal dan terjadi hemoragik sehingga
menyebabkan penekanan pada otak. Epidural hematoma adalah hematoma yang
terletak antara dura mater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
sobeknya arteri meningica media (paling sering), vena diploica (oleh karena
adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis.
Secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai
lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan
tubuh) yang dapat berupa hemiparese/hemiplegia, pupil anisokor, adanya refleks
patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi
dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan
lokasi EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan
lokasi EDH. Lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena

dapat terjadi pada perdarahan intracranial yang lain, tetapi lucid interval dapat
dipakai sebagai patokan dari prognosisnya. Semakin panjang lucid interval maka
semakin baik prognosis klien EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk
melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang
dengan pemberian analgetik.
Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan
bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya
lebih dari 20 cc atau tebal lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah
(midline shift) lebih dari 5 mm.
Operasi yang dilakukan

adalah evakuasi hematoma, menghentikan

sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi
tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dapat
dikembalikan jika saat operasi didapatkan dura mater yang tegang dan dapat
disimpan subgalea.
Pada klien yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan
dilakukan diagnosis radiologis CT scan maka dapat dilakukan diagnostik
eksplorasi, yaitu Burr Hole Explorations. Burr hole explorations adalah membuat
lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik tertentu, yaitu pada
tempat jejas/hematoma, garis fraktur, daerah temporal, daerah frontal ( 2 cm di
depan sutura coronaria), daerah parietal, dan daerah occipital.
Prognosis dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS pada saat
klien datang kurang 8 dan datang lebih dari 6 jam serta umur lebih dari 60 tahun.
Gejala klinis yang timbul akibat perluasan hematoma cukup luas. Biasayanya
terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan
pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan (interval yang jelas). Hal ini penting
untuk diperhatikan, walaupun interval nyata merupakan karateristik dari
hematoma epidural, hal ini tidak terjadi pada kira-kira 5 % dari klien yang
mengalami lesi tersebut. Selama interval tertentu, kompensasi terhadap hematoma
luas terjadi melalui absorpsi cepat CSS dan penurunan volume intravaskular, yang
mempertahankan TIK normal. Ketika mekanisme ini tidak dapat mengompensasi
lagi, bahkan peningkatan kecil sekali pun dalam volume bekuan darah
menimbulkan peninkatan TIK yang nyata. Kemudian secara tiba-tiba, tanda
kompensasi timbul (biasanya penyimpangan kesadaran dan tanda defisit
neurologis fokal seperti dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis ekstermitas), dan
klien menunjukan penurunan status kesahatan dengan cepat.

Penatalaksanaan untuk hematoma epidural dipertimbangkan sebagai keadaan


darurat yang ekstresm, dimana defisit neurologis atau berhentinya pernapasan
dapat terjadi dalam beberapa menit. Tindakan yang dilakukan terdiri atas
membuat lubang pada tengkorak (burr), mengangkat bekuan, dan mengontrol titik
perdarahan.
8. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah penggumpalan darah pada ruang diantara dura
mater dan dasar otak, yang dalam keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma
subdural paling sering disebabkan karena trauma, tetapi dapat jga terjadi karena
kencenderungan perdarahan an serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih
sering teradi pada vena dan merupakan akibat dari putusnya pembuluh darah kecil
yang menjembatani ruang subdural. Subdural hematoma adalah terkumpulnya
daerah antara dura mater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronis. Terjadi
akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat di
antara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural
hematoma adalah hematoma yang terletak di bawah lapisan dura mater dengan
sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical,
sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural
hematoma dibagi menjadi tiga meliputi subdural hematoma akut terjadi kurang
dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut terjadi antara 3 hari-3
minggu, dan subdural hematoma kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3
minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran,

disertai

adanya

lateralisasi

yang

paling

sering

berupa

hemiparese/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran hiperdens


yang berupa bulan sabit (cresent).
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung,
mengantuk, menarik diri, perubahan proses piker (berpikir lambat), kejang dan
adema pupil.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut, atau kronis, bergantung pada
ukuran pembuluh darah yang terkena dan jmlah perdarahan yang terjadi.
Hematoma subdural akut yang dihubungkan denan cedera kepala mayor yang
meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya klien dalam keadaan koma atau
mempuntai tanda klins yang sama dengan hematoma epidural, tekanan darah

menigkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat sesuai dengan
peningkatan hematoma yang cepat.
Hematoma subdural suakut adalah sekuel dari kontusio sedikit berat dan
dicurigai pada klien dengan kegagalan untuk meningkatkan kesadaran setelah
trauma kepala. Tanda dan gejala yang timbul sama seperti pada hematoma
subdural akut. Angka kematian untuk klien hematoma subdural akut dan subakuut
cukup tinggi karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak. Juka klien dapat
dipindahkan dengan cepat ke rumah sakit, kraniotomi (craniotomy) segera
dilakukan untuk membuka dura mater, yang memungkinkan pengangkatan bekuan
padat pada subdural. Hasil yang baik bergantung pada kontrol TIK dan
pemantauan cepat terhadap fungsi pernapasan. Hematoma subdural kronik
tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terlihat paling sering
pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera kepala tipe ini akibat atrofi otak,
yang diperkirakan akibat penuaan. Tampaknya cedera minor dapat mengakibatkan
dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal secara sekuela
(sequela) negatif. Waktu diantara cedera dan serangan (onset) gejala mungkin
lama misalnya dalam beberapa bulan. Sehingga akibat aktual mungkin terlupakan.
Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera monir.
Hematoma subdural kronis menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap
sebagai stroke. Perdarahan sedikit menyebar dan menyebabkan kompresi pada isi
intrakranial. Darah di dalam otak mengalami perubahan karakter dalam 2-4 hari,
menjadi lebih kental dan lebih gelap. Dalam bebrapa minggu bekuan mengalami
pemecahan dan memiliki warna serta konsistensi seperti minyak mobil. Akhirnya
terjadi klasifikasi atau osifikasi bekuan. Otak beradaptasi pada invasi benda asing
ini, tanda dan gejala klinik klien berfluktuasi seperti mungkin terdapat sakit kepala
hebat yang cenderung timbul dan hilang, tanda neurologis vokal yang bergantian,
perubahan kepribadian, penyimpangan mental, dan kejang fokal. Srng kali klien
mungkin dianggap neurosis atau psikosis bila penyebab gejala tidak ditemukan.
Tindakan terhadap hematoma subdural kroni terdiri atas bedah pengangkatan
bekuan dengan menggunakan penghisap dan pengirigasian area tersebut. proses
ini dapat dilakukan melalui lubang (burr) ganda atau kraniotomi yaang dilakukan
untuk lesi subdural yang cukup besar yang tidak dapat dilakukan melalui
pembuatan lubang (burr).
9. Hemoragik intraserebral dan hematoma

Hemoragi intraserebral adalah perdarahan kedalam substansi otak. Hemoragik


ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepla sampai
darah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragik ini
didalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang
menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneurisma,
anomali vakuler, tumor intrakanial, penyebab sistemik termasuk gangguan
perdarahan seperti leukimia, hemofiia, anemia aplastik, dan trombositopenia, dan
komplikasi terapi antikoagulan.
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang
kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan adanya
daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3
cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut
dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan
biasanya adalah evakuasi hematoma disertai dekompresi dari tulang kepala.
Mungkin ada serangan (onset) defisit neurologis yang diikuti sakit kepala.
Terapi medis melalui pemberian cairan dan elektrolit yang cermat, medikasi
antihipertensi, kontrol TIK, dan perawtan pendukung. Intervensi pembedahan
dengan kraniotomi atau kraniektomi memungkinkan pengangankatan bekuan
darah dan kontrol hemoragik tetapi tidak mungkin baik karena lokasi perdarahan
yang tidak di akses atau kurang jelasnya batas sel darah yang dapat diangkat.
Tetapi fisik biasanya diperlukan untuk rehabilitasi optimal pada klien dengan
hemoragik intraserebral dan semua klien cedera kepala.
C. Tipe Cedera Kepala
1. Trauma Kepala Terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan
otak dan melukai atau menyobek dura mater menyebabkan CSS merembes, kerusakan
saraf otak dan jaringan otak.
2. Trauma Kepala Tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio,
kontusio, epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.
Komosio/gegar otak, dengan tanda-tanda:
a. Cedera kepala ringan.
b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.

10

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit.


Tanpa kerusakan otak permanen.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
Disorientasi sementara.
Tidak ada gejala sisa.
Tidak ada terapi khusus.

Kontusio serebri/memar otak, dengan tanda-tanda:


1. Ada memar otak.
2. Perdarahan kecil lokal/difus dengan gejala adanya gangguan lokal dan adanya
perdarahan.
3. Gejala:
a) gangguan kesadaran lebih lama;
b) kelainan neurologis positif;
c) refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi;
d) gejala TIK meningkat;
e) amnesia retrograde lebih nyata.
D. Gejala Klinis
Gejala yang timbul dapat berupa gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil,
serangan (onset) iba-tiba berupa defisit neurologis, perubahan tanda-tanda vital,
gangguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan
pergerakan, kejang, dan syok akibat cedera multtisistem.
E. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relative
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang
meninggi disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan
tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO dengan hiperventilasi yang mengurangi
asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk
menurunkan PaCO ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Tin
membuat intermittent iatrogenic paralisis. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada
klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO yang meninggi. Prinsip
ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
1. Bedrest total.

11

2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).


3. Pemberian obat-obatan
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau
glukosa 40%, atau gliserol 10%.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penicillin) atau infeksi
anaerob diberikan metronidasol.
4. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
dierikan apa-apa, hanya cairan infuse dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
5. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari
pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5% 8 jam pertama, ringer
dextosa 8 jam kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogatric tube (2500-3000
TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.
F. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Cedera Kepala
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan
cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.
a. Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda),
jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan motor
tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, ras, suku bangsa,
tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
b. Riwayat penyakit sekarang

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang
didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS <15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralisis,
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga,
serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan

12

perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsive, dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien
tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alcohol yang
sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
c. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi,


riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obatan anikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif,
konsumsi alcohol berlebihan.
d. Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertermis


dan diabetes mellitus.
e. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menulai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri).
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan
dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
memengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga. Perawat juga
memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan
neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan
dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, aitu keterbatasan yang diakibatkan oleh
defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam
sistem dukungan individu.
f. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) (B1Breathing; B2-Blood; B3-Brain; B4-Bladder; B5-Bowel; B6-Bone) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.

13

1) Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran
(cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13-15, cedera kepala sedang GCS
9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila CGS kurang atau sama dengan 8)
dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
2) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa, sampai koma.
Pemeriksaan fungsi serebral
a) status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada klien
cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
b) Fungsi intelektual: pada beberapa keadaan klien cedera kepala didapatkan
penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka
panjang
c) Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila
trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah
psikologis lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas
emosional, bermusuhan, frustasi,dendam, dan kurang kerja sama.
d) Hemister: cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri
tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral
sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera
kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan
sangat hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustasi.
3) Pemeriksaan saraf kranial
a) Saraf I. pada beberapa keadaan cedera kepala di daerah yang merusak
anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada
fungsi penciuman/anosmia unilateral dan bilateral.
b) Saraf II. Hematoma palpebra pada klien dengan cedera kepala akan
menurunkan lapangan penglihatan dan mengganggu fungsi dari nervus

14

optikus. Perdarahan di ruang intracranial, terutama hemoragia


subarakhhoidal, dapat disertai dengan perdarahan di retina. Anomali
pembuluh darah di dalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus. Tetapi
dari segala macam kelainan di dalam ruang intracranial, tekanan
intracranial dapat dicerminkan pada fundus.
c) Saraf III, IV, dan VI. Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada
klien dengan trauma yang merusak rongga orbital. Pada kasus-kasus
trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap
sebagai tanda Serius jika midriasis ini tidak bereaksipada penyinaran.
Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi pada
penyinaran. Paralisis otot-otot okular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria di mana bukannya
midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan
pupil pada sisi yang lain, maka pupil yang miosis lah yang abnormal.
Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis ipsilateral yang
mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat siliospinal
menjadi tidak aktif, sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan
berkonstriksi.
d) Saraf V. Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan
mengunyah.
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
f) Saraf VIII. Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan
biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan
saraf vestibulokoklearis.
g) Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut.
h) Saraf XI. Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup
baik dan tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
i) Saraf XII. Indera pengecapan mengalami perubahan.
4. Sistem motorik
a) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelamahan salah
satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
b) Tonus otot, didapatkan menurun sampai hilang.
c) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot
didapatkan grade 0.
d) Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia.
Pemeriksaan refleks
a) Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.

15

b) Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis sisi yang
lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan
muncul kembali didahului dengan refleks fatologis.
4) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visualspasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial)
sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi
(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, auditorius.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi:
a) CT scan(dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b) MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
c) Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
d) Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
e) Sinar-X
Mendeteksi perubahan sruktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)

(perdarahan/edema), fragmen tulang.


BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perubahan subarachnoid.
Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intrakranial.
Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
Toraksentesis menyatakan darah/cairan
Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)

16

Analisa gas darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan malalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.
2. Diagnosa keperawatan
a. Risiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan
desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan
baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.
b. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan depresi pada
pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang
tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan
O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
c. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
d. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
perubahan

kemampuan

mencerna

makanan,

peningkatan

kebutuhan

metabolisme.

3. Rencanan Keperawatan

a. Risiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan spidural hematoma.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.

17

Kriteria hasil: klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah,
GCS: 4,5,6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi

Rasionalisasi

Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan


individu/penyebab koma/penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab
peningkatan TIK.

Deteksi dini untuk memprioritaskan


intervensi, mengkaji status neurologis/tandatanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan.

Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.

Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral


terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai
dengan tekanan darah sistemik, penurunan
dari autoregulator kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi
darah serebral. Dengan peningkatan tekanan
darah (diastolic) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah intrakranial.
Adanya peningkatan tekanan darah,
bradikardi, disritmia, dispnea merupakan
tanda terjadinya peningkatan TIK.

Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan


reaksi terhadap cahaya.

Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari


bola mata merupakan tanda dari gangguan
nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi
pupil diatur oleh saraf III kranial
(okulomotorik) yang menunjukkan keutuhan
batang otak, ukuran pupil menunjukkan
keseimbangan antara parasimpatis dan
simpatis. Respons terhadap cahaya
merupakan kombinasi fungsi dari saraf
kranial II dan III.

Monitor temperatur dan pengaturan suhu


lingkungan.

Panas merupakan refleks dari hipotalamus.


Peningkatan kebutuhan metabolisme dan O2
akan menunjang TIK/ICP (Intracranial
Pressure).

Pertahankan kepala/leher pada posisi yang

Perubahan kepala pada satu sisi dapat

18

netral, usahakan dengan sedikit bantal.


Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada
kepala.

menimbulkan penekanan pada vena jugularis


dan menghambat aliran darah otak
(menghambat drainase pada vena serebral),
untuk itu dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.

Berikan periode istirahat antara tindakan


perawatan dan batasi lamanya prosedur.

Tindakan yang terus-menerus dapat


meningkatkan TIK oleh efek rangsangan
kumulatif.

Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa


nyaman seperti massage punggun, lingkungan
yang tenang, sentuhan yang ramah, dan
suasana/pembicaraan yang tidak gaduh.

Memberikan suasana yang tenang (colming


effect) dapat mengurangi respons psikologis
dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.

Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver

Mengurangi tekanan intrakranial dan


intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.

Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku.

Tingkah nonverbal ini dapat merupakan


indikasi peningkatan TIK atau memberikan
refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri
yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK.

Bantu klien jika batuk, muntah.

Aktivitas ini dapat meningkatkan


intrathorak/tekanan dalam thoraks dan
tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini
dapat meningkatkan tekanan TIK.

Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder,


pertahankan drainase urine secara paten jika
digunakan dan juga monitor terdapatnya
konstipasi.

Dapat meningkatkan respons otomatis yang


potensial menaikkan TIK.

Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan


keluarga tentang sebab-akibat TIK meningkat.

Meningkatkan kerja sama dalam


meningkatkan perawatan klien dan

19

mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS

Perubahan kesadaran menunjukka


peningkatan TIK dan berguna menentukan
indikasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi.
Pemberian O2 sesuai indikasi.

Mengurangi hipoksemia, dimana dapat


meningkatkan vasodilatasi serebral, volume
darah, dan menaikkan TIK.

Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi


darah dari dalam intracranial.

Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah


dilakukan bila kemungkinan terdapat tandatanda defisit neurologis yang menandakan
peningkatan intrakranial.

Berikan cairan intravena sesuai indikasi.

Pemberian cairan mungkin diinginkan untuk


mengurangi edema serebral, peningkatan
minimum pada pembuluh darah, tekanan
darah dan TIK.

Berikan obat osmosis diuretik contohnya:


manitol, furoscide.

Diuretik mungkin digunakan pada fase akut


untuk mengalirkan air dari sel otak dan
mengurangi edema serebral dan TIK.

Berikan steroid contohnya: dexamethason,


methyl, prenidsolon.

Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan


mengurangi edema jaringan.

Berikan analgesik narkotik contohnya:


kodein.

Mungkin diindikasikan untuk mengurangi


nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK
tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk
mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.

Berikan antipiretik contohnya: asetaminofen.

Mengurangi/mengontrol hari daripada


metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.

Monitor hasil laboratorium sesuai dengan

Membantu memberikan informasi tentang

20

indikasi seperti prothrombin, LED.

efektivitas pemberian obat.

b. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat


pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan
CO2, kegagalan ventilator.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali
efektif.
Kriteria hasil: memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi

Rasionalisasi

Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan


penggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi
yang sakit.
Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.

Meningkatkan inspirasi maksimal,


meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi
pada sisi yang tidak sakit.

Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi


pernapasan, dispnea, atau perubahan tandatanda vital.

Distress pernapasan dan perubahan pada


tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress
fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan
terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut


dilakukan untuk menjamin keamanan.

Pengetahuan apa yang diharapkan dapat


mengurangi ansietas dan mengembangkan
kapatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor


pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.

Pengetahuan apa yang diharapkan dapat


mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.

21

Pertahankan perilaku tenang, bantu klien


untuk kontrol diri dengan menggunakan
pernapasan lebih lambat dan dalam.

Membantu klien mengalami efek fisiologi


hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
ketakutan/ansietas.

Periksalah alarm pada ventilator sebelum


difungsikan.
Jangan mematikan alarm.

Ventilator yang memiliki alarm yang bisa


dilihat dan didengar misalnya alarm kadar
oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.

Taruhlah kantung resusitasi di samping


tempat tidur dan manual ventilasi untuk
sewaktu-waktu dapat digunakan.

Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat


berguna untuk mempertahankan fungsi
pernapasan jika terjadi gangguan pada alat
ventilator secara mendadak.

c. nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil: secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi

Rasionalisasi

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan


pereda nyeri nonfarmakologi dan non-invasif

Pendekatan dengan menggunakan relaksasi


dan nonfarmakologik lainnya telah
menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri.

Ajarkan relaksasi: teknik-teknik untuk


menurunkan tegangan otot rangka, yang dapat
menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi masase.

Akan melancarkan peredaran darah sehingga


kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi
dan akan mengurangi nyernya.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal


yang menyenangkan.

22

Berikan kesempatan waktu istirahat bila


terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman
misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang
bantal kecil.

Istirahat akan merelaksasi semua jaringan


sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

Tingkatkan pengetahuan tentang ppenyebab


dan menghubungkan berapa lama nyeri akan
berlangsung.

Pengetahuan yang akan dirassakan membantu


mengurangi nyerinya dan dapat membantu
mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.

Observasi tingkat nyeri dan respons motorik


klien, 30 menit setelah pemberian obat
analgesic untuk mengkaji efektifitivitasnya
serta setiap 1-2jam setelah tindakan
perrawatan selama 1-2 hari.

Pengkajian yang optimal akan memberikan


perawat data yang objektif mencegah
kemungkinan komplikasi dan melakukan
intervensi yang tepat.

Kolaborasi dengan dokter, pemberian


analgesic

Analgesic memblok lintasan nyeri, sehingga


nyeri akan berkurang.

d. Ganguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan
kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil: mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperihatkan kenaikan berat
badan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium
Intervensi

Rasionalisasi

Mandri.
Evaluasi kemampuan makan klien

Klien dengan trakheostomi tube mungkin


sulit untuk makan, tetapi klien dengan
endotrakheal tube dapat menggunakan mag
slang atau member makanan parenteral

Observasi atau timbang berat badan jika


memungkinkan

Tanda kehilangan berat badan (7-10%) dan


kekurangan intake nutrisi penunjang
terjadinya masalah katabolisme, kandungan

23

glikogen, dan kepekaan terhadap pemasangan


ventilator
Monitor keadaan otot yang menurun dan
kehilangan lemak subcutan

Menunjukkan indikasi kekurangan energy


otot dan mengurangi fungsi-fungsi otot
pernafasan

Catat peroral jika diindikasikan. Anjurkan


klien untuk makan

Nafsu makan biasanya berkurang dan nutrisi


yang masukpun berkurang. Menganjurkan
klien memilih makanan yang disenangi dapat
dimakan.

Berikan makanan kecil dan lunak

Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan


masuknya makanan dan mecegah gangguan
pada lambung.

Kajilah fungsi gastro interstinal yang meliputi


suara bising usus, cacat terjadinya perubahan
di dalam lambung seperti mual, muntah.
Observasi perubahan pergerakan usus
misalnya diare, konstipasi

Fungsi sistem gastro interstinal sangat penting


untuk memasukkan makanan. Ventilator dapat
menyebabkan kembung pada lambung dan
perdarahan lambung

Anjurkan pemberian cairan 2500 cc/hari


selama tidak terjadi gangguan jantung

Mencegah terjadinya dehidrasi akibat


penggunaan ventilator selama tidak sadar dan
mencegah terjadinya konstipasi.

Kolaborasi aturlah diet yang diberikan sesuai


keadaan klien

Diet tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat


diperlukan untuk pemasangan ventilator
untuk mempertahankan fungsi otot respirasi.
Karbohidrat dapat berkurang dan penggunaan
lemak meningkat untuk mencegah terjadinya
produksi CO2 dan pengaturan sisa respirasi.

4. Implementasi
Setelah dilakukan perencanaan keperawatan, maka intervensi pun dilakukan
kepada pasien di sesuai dengan diagnosa yang telah ditentukan dan kebutuhan
pasien.
5. Evaluasi

24

Setelah dilakukan implementasi maka dilakukan evaluasi untuk melihat hasil dari
keadaan pasien.
a. Tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
b. Adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
c. Nyeri berkurang/hilang.
d. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
G. Pengertian cedera medula spinalis
Medula Spinalis ( spinal cord ) merupakan bagian susunan saraf pusat yang
terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum kebagian
atas region lumbalis. Trauma pada medulla spinalis dapar bervariasi dari trauma
ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang
menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinalis dengan quadriplegia.
H. Etiologi
1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
2. Olahraga
3. Menyelam pada air yang tanggal
4. Luka tembak atau luka tikam
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis
servikal dengan meliputi, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan
cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi
infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada
vetebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi dan penyakit vascular.
I. Patofisiologi
Cedera medulla spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada
vetebrata. Medulla spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan dengan
akselerasi, deselerasi atau kelainan yang di akibatkan oleh berbagai tekanan yang
mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medulla spinalis mengalami
kompresi, tertarik atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya mengenai C 1 dan
C2, C4, C6 dan T11 atau L2.
Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umumnya mengenai servikal pada
C5 dan C6. Jika mengenai spina torakolumbar, terjadi pada T 12-L1. Fraktur lumbal
adalah fraktur yang terjadi di daerah tulakang belakang bagian baawah. Bentuk tejadi
mengenai ligemen, fraktur vertebrata, kerusakan pembuluh darah, dan mengakibatkan
iskemia pada medulla spinalis.
Hiperekstensi. Jenis cedera ini umumnya mengenai klien degan usia dewasa
yang memiliki perubahan degenerative vertebrata, usia muda yang mengalami
kecelakaan lau lintas dan usia muda yang mengalami cedera saat menyelam. Jenis

25

cedera ini menyebabkan medulla spinalis bertentangan dengan ligamentrum flava dan
mengakibatkan kontusio kolom dan dilokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari
medulla spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan volunteer menurun pada
daerah lesi dan kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medulla spinalis.
Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau melompat
dari ketinggian, dengan posisi kaki atau bokong ( duduk ). Tekanan mengakibatkan
fraktur vertebrata dan menekan medulla spinalis. Diskus dan fragmen tulang dapat
masuk medulla spinalis. Lumbal dan toraks vertebrata umumnya akang mengalami
cedera seerta menyebabkan edema dan perdarahan. Edema pada medulla spinalis
mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
J. Klasifikasi Cedera Medula Spinalis
1. Cedera tulang
a. Stabil. Cedera stabil disebabkan oleh tenaga fleksi, ekstensi, dan kompresi yang
sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak pada
daerah toraks bawah serta lumbal ( fraktur baji badan ruas tulang belakang
sering disebabkan oleh fleksi akut pada tulang belakang.)
b. Tidak stabil. Fraktur memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh. Hal
ini disebabkan oleh adanya elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensi
yang cukup dengan merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak
keutuhan askus neural, baik akibat fraktur pada fedekel dan lamina, maupun
oleh dislokasi sendi apofisel.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa deficit neurulogis
Disertai deficit neurologis, dapat terjadi di daerah punggung karena kanal spiral
terkecil terdapat di daerah ini.
K. Gejala Klinis
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien
mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung.
L. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai,
mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut.
Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang).
Untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk
melindungi koral spiral.

26

2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal, atau
debridement luka terbuak.
3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidak stabilan tulang
belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif,
cedera yang tak dapat direabduksi dan fraktur non-union.
4. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah korak spiral.
Dosis tertinggi metal prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4
mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera
akan memperbaiki neurologis.

Ganglisodi mungkin juga akan memperbaiki

pemulihan setelah cedera koral spiral.


5. Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi sensorik,
motorik, dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau asanden.
6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan melacak
keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa deficit neurologis seperti angulasi atau baji dari
badan ruas tulang belakang, fraktur proses transverses, spinosus, dan lainnya.
Tindakannya simptomatis ( istirahat baring hingga nyeri berkurang ), imobilisasi
dengan fisoterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.
8. Cedera tak stabil deficit disertai neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur
memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
a. Metode reabduksi antara lain:
1) Traksi memakai sepit (tang) metal yang dipasang pada tengkorak. Beban
20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2,5 kg
pada fraktur C 1.
2) Manipulasi dengan anestesi umum
3) Reabduksi terbuka melalui operasi
b. Metode imobilisasi antara lain:
1) Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester
2) Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera yang
sudah direabduksi.
3) Plester paris dan splin eksternal lain.
4) Operasi
9. Cedera stabil disertai deficit neurologis. Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis
disebabkan oleh :
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma
langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.
b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya
seperti spondiliosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral

27

Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada
saat pertama kali diperiksa :
a. Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif
b. Cedera di daerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (caliper) dan
diberi metal prednisolon.
c. Pemeriksaan penunjang MRI
d. Cedera neurologis tak lengkap konservatif
e. Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, traksi
tengkorak, dan metal prednisolon
f. Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya
g. Bila ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka lakukan
mielografi
h. Cedera tulang tak stabil
i. Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti dengan imobilisasi. Melindungi
dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan paraplegia.
j. Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti imobilisasi untuk
sesuai jenis cederanya.
k. Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan saat yang sama
l. Cedera yang menyertai dan komplikasi
1) Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak, toraks, berhubungan dengan
ominal, dan vascular
2) Cedera berat yang menyebabkan kematian, aspirasi, dan syok.
Pengelolaan Cedera
1. Pengelolaan hemodinamik
a. Bila terjadi hipotensi, cari sumber pendarahan dan atasi syok neurogenik akibat
hilangnya aliran adrenergic dari system saraf simpatis pada jantung dan vascular
perifer setelah cedera di atas tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardi, dan
hipotermi. Syok neurogenik lebih menganggu distribusi volume intravascular
daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan pemberian
terapi atropi, dopamine, atau fenilefrin jika penggantian volume intravascular
tidak bereaksi.
b. Pada fase akut setelah cedera, dipasangkan beberap jalur intravena perifer dan
pemangamatan tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, resusitasi, cairan
dimulai.
c. Bila hipotensi tak berekasi atas cairan dan pemberian tranfusi, lakukan
katerterisasipada arteri pulmonal untuk mengarahkan keperbedaan mekanisme
hipovolemik, kardiogenik, atau neurogenik.
2. Pengelolaan system pernapasan
a. Ganti posisi tubuh berulang
b. Perangsangan batuk

28

c. Pernapasan dalam
d. Spirometri intensif
e. Pernapasan betekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker adalah cara
mempertahankan ekpansi paru atau kapasitas residual fungsional.
f. Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi.
3. Pengelolaan nutrisional dan system pencernaan
a. Lakukan pemeriksaan CT-scan berhubungan dengan omen atau lavasi peritoneal
bila diduga ada pendarahan atau cedera berhubungan dengan ominal.
b. Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian elektrolit
dan pengamatan status cairan.
c. Terapi nutrisional awal yang harus dimetabolisme (50-100% di atas normal)
d. Bila ada hiperalimentasi internal elemental, pasang Duoclenol yang fleksibel
melalui atau dengan bantuan fluoroskopi (ileus)
e. Pencegahan ulkus dengan antagonis Hz (simetidin, Ranitidin) atau antacid.
f. Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT)
g. Beri difonoksilat hidroklorida dengan antropin sulfat bila mendapat NGT untuk
mencegah diare.
h. Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri Dulcolax.
4. Pengelolaan gangguan koagulasi
a. Untuk mencegah terjadinya thrombosis vena dan emboli paru beri heparin dosis
minimal (500 untuk subkutan, 2-3x hari)
b. Ranjang yang berosilasi
c. Ekpansi volume
d. Stoking elastic setinggi paha
e. Strokeing prenmatis anti emboli
f. Antiplatelet serta antikoagulasi untuk pencegahan
5. Pengelolaan genitourinaria
a. Pasang kateter dower (dower catheter DC)
b. Amati urine output (UO)
6. Pengelolaan ulkus dekubitus
a. Untuk cegah tekanan langsung pada kulit, kurang berfungsi jaringan, da
kurangnya mobilitas, gunakan busa atau kulit kambing penyangga tonjolan tulang.
b. Putar atau ganti posisi tubuh berulang
c. Perawatan kulit yang baik
d. Gunakan ranjang berosilasi.
7. Pengelolaan klien paraplegia
a. Repirasi dengan pemasangan endotrakea, kemudian trakeostomi serta perbaikan
keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi.
b. Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur klien setiap 2 jam
c. Kandung kemih
1) Lakukan komperesi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara
teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overflow dan dribbling.
2) Kateterisasi intermitten
3) Kateterisai indwelling
4) Tindakan bedah jika cara cara tersebut gagal.
d. Buang air besar (BAB)

29

Untuk mendapatkan pengosongan rectum mendadak dilakukan dengan cara:


1) Tambahkan diet serat
2) Gunakan laksatif
3) Pemberian supositoria
4) Enema untuk BAB atau pengosongan rectum teratur tanpa inkontinensia
mendadak.
e. Anggota gerak
1) Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot berlawanan
dengan latihan memperbaiki medikasi dan mencegah pemisahan tendo
tertentu.
2) Nutrisi umum tinggi kalori.
Rehabilitasi Klien yang Mengalami Paraplegia
1. Rehabilitasi fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas dan
tubuh bagian bawah.
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga
c. Perlengkapan splint dan kapiler
d. Transplantasi tedon
2. Perbaikan mobilisasi
a. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk klien cedera tulang belakang bawah
b. Latihan kursi roda untuk klien cedera tulang belakang dan tungkai yang tak
berfungsi
c. Kendaraan khusus untuk di jalan raya
d. Rehabilitai psikologi
e. Penerimaan di rumah.
M. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cedera Medula Spinalis
Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas dan istirahat
Tanda :
1) Kelumpuhan otot ( terjadinya kelemahan selama syok spinal ) pada bawah
lesi
2) Kelemahan umum atau kelemahan otot ( trauma atau adanya kompresi
saraf )
b. Sirkulasi
Gejala : berdebar debar, pusing saat melakukan perubahan posisi
Tanda :
1) Hipotensi, hipotensi postural, bradikardia, ekstremitas dingin dan pucat
2) Hilangnya keringat pada daerah yang terkena
c. Eliminasi
Tanda :
1) Inkontinensia defekasi atau berkemih
2) Retensi urine
3) Distensi berhubungan dengan omen, peristaltic usus hilang

30

d.
e.

f.
g.

4) Melena, emesis berwarna seperti kopi, tanah ( hematemesis )


Integritas ego
Gejala : menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda : takut, cemas, gelisah, menarik diri
Makanan atau cairan
Tanda :
1) Mengalami distensi yang berhubungan dengan omentum
2) Peristaltic umum hilang ( ileus paralitik )
Hygiene
Tanda :
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari hari ( bervariasi )
Neurosensorik
Gejala :
1) Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki
2) Paralisis flaksid atau spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi,
bergantungan pada area spinal yang sakit
Tanda :
1) Kelumpuhan, kesemutan ( kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal )
2) Kehilangan tonus otot atau vasomotor
3) Kehilangan atau asimetris termasuk tendon dalam
4) Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat dari berbagai tubuh yang

terkena karena pengaruh trauma spinal.


h. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri atau tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma
Tanda : mengalami deformitas, postur dan nyeri tekan vertebral
i. Pernapasan
Gejala : napas pendek, kekurangan oksigen, sulit bernapas
Tanda : pernapasan dangkal atau labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronkhi, pucat,
Sianosis.
j. Keamanan
Gejala : suhu yang berfluktuasi ( suhu tubuh diambil dalam suhu kamar )
k. Seksualitas
Gejala : keinginan untuk kembali berfungsi normal
Tanda : ereksi tidak terkendali (pripisme), menstruasi tidak teratur
a. Penyuluhan/pembelajaran
Rencana pemulangan :
1) Klien akan memerlukan bantuan dalam tranportasi, berbelanja, menyiapkan
makanan, perawatan diri, keuangan, pengobatan atau terapi, atau tugas
sehari hari dirumah
2) Klien akan membutuhkan perubahan susunan rumah, penempatan alat di
tempat rehabilitasi.
2. Diagnosa Keperawatan

31

a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan


perfusi ventilasi dan perubahan membrane alveolar kapiler, ditandai dengan :
DS : klien mengatakan sulit bernapas, sesak napas
DO :
1. Gangguan visual
2. Penurunan CO2
3. Takikardia
4. Tidak dapat beristirahat
5. Somnolen
6. Irritabilitas
7. Hipoksia
8. Bingung
9. Dispnea
10. Perubahan warna kulit (pucat, sianosis)
11. Hipoksemia atau hiperkarbia
12. Abnormal FP, irama pernapasan
13. Sakit kepala saat tidur
14. Diaphoresis
15. pH darah arteri abnormal
16. mengorok
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
peningkatan intracranial, ditandai dengan :
DS : DO :
1. Perubahan kesadaran
2. Gangguan atau kehilangan memori
3. Defisit sensorik
4. Perubahan tanda vital
5. Perubahan pola istirahat
6. Kandung kemih penuh
7. Gangguan perkemih
8. Nyeri akut atau kronis
9. Demam
10. Mual
11. Batuk
c. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
neurovasjular, ditandai dengan
DS : DO :
1. Kelemahan
2. Parestesia
3. Paralisis
4. Tidak mapu
5. Kerusakan koordinasi
6. Keterbatasan rentang gerak
7. Penurunan kekuatan otot

32

d. Risiko cedera atau trauma yang berhubungan dengan paralisis, ditandai


dengan :
DS : klien atau keluarga mengatakan mengalami kelumpuhan anggota tubuh.
DO :
1. Hemiplegia
2. Klien dengan bantuan atau alat bantuan
3. Berjalan lamban

33

3. Rencana Keperawatan
No Tgl/ Diagnosa keperawatan
Jam
1.
Gangguan pertukaran gas
yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan perfusi
ventilasi dan perubahan
membrane alveolar kapiler,
ditandai dengan :
DS : klien mengatakan sulit
bernapas, sesak napas
DO :
1. Gangguan visual
2. Penurunan CO2
3. Takikardia
4. Tidak dapat beristirahat
5. Somnolen
6. Irritabilitas
7. Hipoksia
8. Bingung
9. Dispnea
10. Perubahan warna kulit
(pucat, sianosis)
11. Hipoksemia

atau

hiperkarbia
12. Abnormal FP,

irama

Tujuan
Kritearia Hasil
Setelah dilakukan intervensi selama
1x24 jam, gangguan pertukaran gas
teratasi, dengan kriteria :
1. Klien akan merasa nyaman

Intervensi

Istirahatkan klien dala


posisi semifowler

2. Klien mengatakan sesak berkurang Pertahankan oksigen N


8-10/mnt
dan dapat membandingkan dengan
keadaan sesak pada saat serangan
yang berbeda waktu.

pernapasan
3. TD dalam batas normal :
13. Sakit kepala saat tidur
Bayi : 90/60 mmHg
14. Diaphoresis
3-6th : 110/70 mmHg
15. pH
darah
arteri
7-10th : 120/80 mmHg
11-17th : 130/80 mmHg
abnormal
18-44th : 140/90 mmHg
16. mengorok
45-64th : 150/95 mmHg
>65th : 160/95 mmHg
(Campbell,
1978)
Nadi dalam batas normal :
Janin : 120-160 x/mnt
Bayi : 80-180 x/mnt
Anak : 70-140 x/mnt
Remaja : 50-110 x/mnt
Dewasa : 70-82 x/mnt
(Campbell,
1978)

Observasi tanda vital t


jam atau sesuai respon
klien

34

2.

Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral yang
berhubungan dengan
peningkatan intracranial,
ditandai dengan :
1. Perubahan kesadaran
2. Gangguan
atau

4. AGD dalam batas normal :


Kolaborasi pemeriksaa
pH : 7,35-7,45
AGD
CO2 : 20-26 mEq (bayi)
26-28 mEq (dewasa)
PO2 (PaO2) : 80-110 mmHg
PCO2 (PaCO2) : 35-44 mmHg
SaO2 : 95-97%
Setelah dilakukan intervensi
keperawatan, klien tidak
menunjukkan adanya peningkatan
TIK, dengan kriteria :
1. klien akan mengatakan tidak sakit Ubah posisi klien seca
berangsur
kepala dan merasa nyaman.

kehilangan memori
3. Defisit sensorik
4. Perubahan tanda vital
5. Perubahan pola istirahat
6. Kandung kemih penuh
7. Gangguan perkemih
8. Nyeri akut atau kronis
9. Demam
10. Mual
2. mencegah cedera
11. batuk

Atur posisi klie bedres

35

Jaga suasana tenang

Kurangi cahaya yang m


ruangan

Tinggikan kepala

Hindari rangsangan or

Angkat kepala dengan


hati

Awasi kecepatan tetesa


cairan infuse

Berikan makanan
menggunakan sonde se
jadwal

Pasang pagar tempat ti

Hindari prosedur nonesinsial yang berulang


3. GCS dalam batas normal ( E4, V5, Pantau tanda dan gejal
peningkatan TIK deng
M6)
cara :
Kaji respon mem

mata
4 = spontan
3 = dengan perintah
2 = dengan yeri
1 = tidak berespon
Kaji respon verbal
5 = bicara normal

36

4. Peningkatan
membaik

pengetahuan

(orientasi orang, tem


waktu)
4 = kalimat tidak
mengandung arti
3 = hanya kata ka
saja
2 = hanya bersuara
1 = tidak ada suara
Kaji respon motorik
6 = dapat melakuka
semua perintah ran
nyeri
5 = melokalisasi ny
4 = menhindari nye
3 = fleksi
2 = ekstensi
1 = tidak berespon

Kaji respon pupil :


Pergerakan mata konju
pupil diatur oleh saraf bagia
korteks dan batang ota

Periksa pupil dengan s

Kaji perubahan tanda v

5. Tanda vital dalam batas normal

37

Catat munta, sakit kep


( kosntan, letargi ) geli
pernapasan yang kuat,
gerakan yang tidak
bertujuan, dang peruba
fungsi

Kosul dengan dokter u


pemberian pelunak fes
bila diperlukan

3.

Gangguan atau kerusakan


mobilitas fisik yang
berhubungan dengan
gangguan neurovasjular,
ditandai dengan
DS : DO :
1. Kelemahan
2. Parestesia
3. Paralisis
4. Tidak mapu

Setelah dilakukan intervensi


keperawatan, klien akan memiliki
mobilitas fisik yang maksiimal,
dengan kriteria:
1. Tidak ada kontraktor otot

Kaji fungsi motorik da


sensorik dengan
mengobservasi setiap
esktermitas secara terp
terhadap kekuatan dan
gerakan normal, respo
terhadap rangsangan.

38

5. Kerusakan koordinasi
6. Keterbatasan rentang gerak
7. Penurunan kekuatan otot
2. Tidak ada ankilosis pada sendi

3. Tidak terjadi penyusutan otot

Ubah posisi klien setia


jam

Lakukan latihan secara


teratur dan letakkan te
kaki klien dilantai saat
duduk dikursi atau pap
penyangga saat tidur d
tempat tidur

Topang kaki saat men


posisi dengan meletak
bantal di saru sisi saat
membalik klien

Pada saat klien di temp


tidur letakkan bantal d
ketiak di antara lengan
dan dinding dada untu
mencegah abduksi bah
letakkan lengan posisi
berhubungan dengan
abduksi sekitar 60

Jaga lengan dengan po


sedikit fleksi. Letakkan
telapak tangan di atas
lainya seperti posisi pa
liberty dengan siku di
bahu dan pergelangan
tangan di atas siku.

39

Letakkan tangan dalam


posisi berfungsi denga
jari sedikit fleksi dan
jari dalam posisi
berhubungan dengan
abduksi. Gunakan peg
berbentuk roll. Lakuka
latihan pasif, jika jari d
pergelangan spastic,
gunakan splint

Lakukan latihan tempa


tidur, lakukan latihan k
sebanyak 5 kali kemud
ditingkatkan secara
sebanyak 20 kali setiap
latihan.

Lakukan latihan berpin


(ROM) 4 x sehari sete
jam seragan stroke jika
sudah tidak mendapat
terapi.

Bantu klien duduk atau


turun dari tempat tidur

Gunakan kursi roda ba


klien hemiplegia
4. Efektif pemakaian alat
4.

Risiko cedera atau trauma


yang berhubungan dengan
paralisis, ditandai dengan :
DS : klien atau keluarga
mengatakan mengalami
kelumpuhan anggota
tubuh.
DO :
4. Hemiplegia
5. Klien dengan bantuan atau
alat bantuan

Setelah dilakukan intervensi


keperawatan selama 7x24 jam klien
tidak akan mengalami trauma dengan
kriteria :
1. Tidak jatuh

Pasang pagar tempat ti

Gunakan cahaya yang


cukup

40

6. Berjalan lamban

Anjurkan klien berjala


perlahan

Anjurkan istirahat yan


cukup saat berjalan
2. Tidak terdapat luka lecet dan tidak
terdapat luka bakar

Kaji adanya tanda trau


pada kulit

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi
normalotak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit nrurologis
terjadi karena robeknya substansi alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik,
srta edema serebral disekitar jaringan otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak.
Medula Spinalis ( spinal cord ) merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di
dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum kebagian atas region
lumbalis.

N.

41

LAMPIRAN

42

DAFTAR PUSTAKA
Batticaca Fransisca B. 2008.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem
Persyarafan.Salemba Medika:Jakarta
Muttaqin Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem
Persyarafan.Salemba Medika:Jakarta
http://buddifarma.blogspot.com/2013/03/askep-cedera-kepala.html
http://nursingbegin.com/askep-cedera-kepala/
http://asuhankeperawatancederakepala.blogspot.com/
http://triaan.blogspot.com/2009/03/askep-cidera-medulla-spinalis.html

Anda mungkin juga menyukai